38 | Konflik Babak Satu (bg.2)
• Dewangga •
Bayangan akan seberapa besar batu berlian pada cincin pertunangan Ileana dan Raihan masih terekam pada memoriku. Jika harus mencari perhiasan demi menyaingi pemberian Raihan, aku dipastikan kalah telak. Akan tetapi, ini bukan permainan ego lelaki. Namun nilai dari ketulusanku untuk membahagiakan Ileana.
Harga cincin berlian milikku turun drastis.
Begitulah berlian, harganya selalu jatuh ketika dijual kembali. Alasannya ya karena diamond bukan barang langka. Beda sama emas yang cenderung naik, mengikuti inflasi. Permainan bisnis dan iklan menciptakan image tertentu hingga berlian menjadi perhiasan mewah nan mahal. Tapi hukum ekonomi tetap berlaku, bukan?
Kali ini aku tidak akan terpengaruh oleh saran atau masukan dari siapa pun. Aku akan memberikan Ileana, kekasihku, sesuatu yang memang ingin kupersembahkan padanya. Barang yang kuharap akan ia kenakan seumur hidup, bentuk cintaku dalam wujud minimalis. Besar harapanku, dia bakalan suka.
Setelah menjual cincin (yang tadinya buat Aya), aku memutari setiap sudut mall demi menemukan hadiah yang pantas untuk Ileana. Kepalaku sampai pusing - sungguh, aku benci dihadapkan oleh banyak pilihan. Belum lagi waktu terus berjalan, dan aku sudah janji akan kembali untuk dinner bareng.
Beruntung ... aku menemukan barang yang cocok.
Fancy dinner yang diminta Ileana bukan di restoran mewah seperti dugaanku. Dia malah merengek ngajak makan pizza. Entah itu memang maunya, atau dia sengaja supaya aku tidak keluar banyak uang. Ileana tahu aku lagi menekan pengeluaran. Kurasa dia tidak mau membebaniku.
"Abis ini mau cari gelato?" tawarku.
Ileana menggeleng. "Aku kenyang. Udah jangan makan lagi," tolaknya.
Aku mengambil satu slice pizza yang tersisa.
"Perasaan aku tadi ngajak kamu fine dining, kok malah ke sini?"
"Ya, kalau hasratku maunya makan pizza gimana, dong?" sahut Ileana acuh tak acuh.
"Banyak, lho, restoran bagus yang menyediakan pizza di menunya. Kenapa kamu nggak mau memilih salah satunya?" tanyaku.
"Aku maunya di sini," tukas Ileana. "Rasa pizza-nya udah paling klop sama lidahku."
Aku menyorot Ileana.
"Tapi kita nggak pernah makan di tempat yang romantis. Kamu jangan menahan diri karena takut merepotkanku."
"Kata siapa kita nggak pernah makan malam romantis?" sergah Ileana. Ia membalas tatapanku, lalu mengulas senyum. "Kamu lupa kita pernah melakukannya? Steak wagyu dan obrolan seputar nasolabial folds ..."
Tawaku meledak. "Oh, ya ampun!" kekehku. "Kamu benar." Aku memusatkan seluruh perhatianku pada Ileana. "Aku masih ingat malam itu kamu kelihatan sangat cantik. Dan untuk pertama kalinya, aku sadar kalau aromamu membuatku kecanduan."
"Dasar genit!" Ileana merona. "Kamu lupa waktu itu statusmu masih pacarnya Aya? Bisa-bisanya muji aku cantik sembari diam-diam mengendus aromaku?"
"Aku memang pacarnya Aya, tapi aku tidak buta dan hidungku berfungsi sangat baik," sanggahku. "Mau bagaimana lagi, kamu berhasil menghipnotisku, Ileana." Kugenggam jemari lentik Ileana yang tergeletak di meja. "Sampai sekarang pun aku masih tersihir."
Ileana semakin tersipu.
"Gombal," decihnya. "Belajar dari mana kamu?"
"Jatuh cinta menjadikanku pujangga dadakan," jawabku meringis. Bibir plumpy Ileana merekah malu-malu. Walaupun judes minta ampun, kalau sedang salah tingkah, Ileana luar biasa menggemaskan. Aku melirik jam tanganku, lumayan larut juga. "Udah makannya?"
"Udah," kata Ileana. "Mau balik sekarang?"
Aku menggeleng. "Kamu bilang mau cuddling, kan?"
Raut Ileana penuh tanda tanya. Akan tetapi ia memilih mengikutiku tanpa banyak introgasi. Kugandeng tangannya rapat, jantungku pun mendadak berdebar kencang. Berharap malam ini akan berujung indah, seperti yang sudah-sudah.
***
Aku mampir sebentar ke minimarket untuk membeli kopi kaleng, di belakang Ileana mengekoriku. Ia berhenti di depan frezer ice cream, sementara aku melenggang lurus menuju showcase. Setelah menemukan kopi yang kumau, aku pun menghampiri Ileana.
"Kamu mau? Ambil aja," tegurku.
Ileana mengambil sebatang ice cream varian rasa kacang hijau.
"Aku ambil yang ini, ya?" Ileana meminta izinku. Kedua iris kecokelatannya membulat.
Aku tersungging.
Padahal tadi kutawari gelato, dia bilang sudah kenyang. Berarti penolakan Ileana semata-mata agar aku berhemat. Aku lantas merangkul Ileana tanpa ragu. Kuraih es krim pilihannya dalam genggamanku.
"Cukup satu?" tanyaku. Hatiku mencelos karena Ileana meminta persetujuanku untuk sebuah ice cream seharga kurang dari lima ribu perak. She deserves more than this. Ileana mengkhawatirkanku. Dia memikirkanku. Ileana bahkan memilih jenis es krim paling sederhana.
"Cukup - tapi, Dewa -" Ileana berusaha melepaskan diri dari penjaraku. "Dilihat orang, lho!"
Aku semakin merapatkan kungkunganku. Biar saja dilihat orang, biar semua tahu, wanita ini milikku seorang. Biar semua orang jadi saksi, betapa bucin-nya aku pada Ileana.
***
"Dewa, kamu apa-apaan bawa aku ke sini?"
Aku mengulum senyum seraya membukakan pintu kamar hotel untuk Ileana. Sudah kuduga, dia pasti terkejut.
"Katanya mau cuddling," sahutku. "Kita bisa bersantai di sini sampai besok siang."
Ileana melotot. "Ya tapi nggak di JW Marriot juga!" sungutnya.
"Alah. Orang ini gratis," ujarku santai. Aku merangkulnya masuk ke dalam, membiarkannya melangkah mengikutiku. "Manajer di sini pernah jadi klienku. Dia puas sama hasilnya dan berulang kali memaksaku staycation di sini. Dan kurasa malam ini saat yang tepat."
"Bohong!" Ileana masih tidak percaya.
Aku pun menoleh. "Bohong gimana, sih?" sergahku. Kupandangi Ileana dengan serius. "Aku tahu kamu sedang mengkhawatirkan kondisi keuanganku, tetapi aku nggak sebangkrut itu sampai kesulitan membayar biaya makan malam kita. Atau kekurangan uang untuk sekedar mengajakmu menginap di hotel berbintang."
"Jadi, ini gratis atau bayar?" selidik Ileana.
"Gratis," jawabku. "Keuntungan menjadi fotografer berbakat adalah menerima banyak compliment dari klien. Salah satunya ini."
"Dih, sombongnya," dengkus Ileana.
"Tapi kamu suka, kan?" Aku merapatkan tubuh Ileana pada dinding yang dingin. Kubelai sisi wajahnya, kemudian menyisipkan helai rambutnya ke belakang telinga.
Ileana membingkaiku dalam irisnya yang bulat. Ada tarikan tipis pada kedua sudut bibir kekasihku ini. Ia lalu mengalungkan lengan pada pundakku.
Ileana menggeleng pelan. "Aku nggak suka, tapi cinta," timpalnya.
Untuk beberapa detik, aku dan Ileana bertukar pandangan.
Sudah lama tidak berduaan semenjak malam yang kami habiskan di studio. Beberapa minggu belakangan, Ileana sibuk bekerja. Aku pun sama. Fokus kejar setoran plus cari tempat tinggal baru. Sekarang - berdekatan lagi dengan Ileana dalam suasana intim, otomatis membangkitkan lonjakan hebat pada darahku.
"Aku kangen cium wangimu," bisikku.
"Memang, biasanya nggak kecium?"
"Kecium," lirihku. "Tapi samar-samar."
"Jadi?" pancing Ileana.
"Aku mau mengendus aromanya dari jarak paling dekat." Aku pun mengecup rahang Ileana. Akibat ulah mendadakku, ia menggelinjang.
Napas Ileana memberat.
Ia mendongak agar aku leluasa mencumbu lehernya. Wangi powdery itu bersumber dari sana. Wangi yang menenangkanku. Wangi kekasihku, Ileana.
Kukecup kecil ceruk leher Ileana. Lalu merayap pada tulang selangkanya yang cantik.
"Dewa," gumam Ileana.
"Hmm?" sahutku parau.
"Mau berendam bareng?"
Jantungku sontak berdebar lebih kencang.
Ileana tersungging manis. Kedua matanya menatapku penuh godaan. Ia lantas meloloskan diri dariku.
"Aku tunggu di dalam," kata Ileana.
Tanpa ragu, Ileana melepaskan seluruh pakaiannya di hadapanku. Ia melucuti kaosnya, dan menurunkan celana jeans yang ia kenakan. Kulit putih Ileana terekspos nyata. Hanya berbalut bra dan celana dalam senada.
Aku menelan ludah secara kasar.
Pemandangan yang Ileana suguhkan sungguh membuatku terpaku dan hampir hilang akal.
Belum cukup sampai di situ, tangan Ileana bergerak meraba punggungnya. Penutup dada warna hitam yang ia kenakan pun terjatuh membebaskan bukit kembar miliknya. Lalu ia beralih meloloskan celana dalamnya ke bawah. Kini wanita berambut senja ini tampil polos tanpa sehelai benang pun.
Bibirku menganga. Nyaris tanpa kata.
"Buruan, ya, Dewa." Ileana melenggang begitu saja meninggalkanku menuju bathroom. Bokongnya seakan memantraiku seiring langkah yang ia derapkan.
Sepeninggal Ileana, bak cacing kepanasan, aku bergegas melepaskan seluruh pakaianku. Namun, aku teringat ada 'hadiah' yang ingin kuberikan padanya. Kurasa, ini momen yang tepat.
Sambil bertelanjang dada, aku pun buru-buru merogoh dalam waist bag. Akan tetapi, ponsel Ileana tiba-tiba bergetar hingga mengagetkanku.
Kulirik pada layar untuk melihat siapa yang menelepon Ileana. Sebuah nama tidak asing terpampang di sana - Mbak Nanik. Jiwa penasaranku serta merta memburu, kuraih ponsel milikku untuk menyimpan nomor Mbak Nanik. Aku tahu tindakanku lancang. Tapi, sungguh, niatku baik.
"Dewa?" panggil Ileana.
"I-iya!" sahutku gelagapan. Beruntung aku berhasil mendapatkan yang kumau. "Sebentar."
Setelah itu, sambil setengah berlari, aku menghampiri Ileana. Dia sudah menungguku di dalam bathtup. Sosok Ileana sedikit memburam karena uap dari kucuran air hangat. Tubuh telanjang Ileana samar oleh busa sabun. Sementara rambut senjanya diikat tinggi-tinggi. Dia jelmaan bidadari.
"Kamu lama sekali?"
Aku mengulum senyum. "Aku tadi sedang mencari sesuatu," jawabku. Aku mencelupkan kakiku menyusul Ileana. Belum-belum, milikku sudah menegang hebat.
Perhatian Ileana tertuju pada adikku yang sudah teracung. Wajahnya bersemu merah.
"Cari apa?"
Aku mengambil tempat di belakang Ileana. Akibat ulahku, dia pun menggeser tubuhnya.
"Ini." Aku kemudian memasangkan silver gold necklace pada leher Ileana yang jenjang.
Jemari Ileana meraba liontin oval bermata zamrud yang dikelilingi ulir batu berlian. "Astaga Dewa ...?" Ia menengok untuk memandang wajahku. "Apa-apa'an ini?"
"Tanda sayangku buat kamu," terangku. "Sebenarnya, ini belum cukup menggambarkan betapa aku sangat mencintai kamu, Ileana. Kalung ini belum bisa menjabarkan betapa spesialnya dirimu bagiku."
Mata Ileana berpendar.
Kilatnya hampir mengalahkan kilau berlian yang bersarang pada lehernya.
"Dewa, kamu nggak perlu kasih aku perhiasan segala ..." Sorot Ileana berubah berkaca-kaca.
Aku segera mencium bibir Ileana.
"Kamu mau menerimanya, kan? Dan berjanji akan terus menyimpannya, apa pun yang terjadi."
Ileana mengangguk.
"Makasi," ucapnya. Jemari Ileana tidak berhenti mengusap pada liontin.
Ia kemudian membalas ciumanku. Secara membabi buta, Ileana mengecup setiap jengkal wajahku. Mata, hidung, pipi, dahi, bibir, jadi sasaran bibirnya.
Aku terkekeh kegelian.
"Eh, betewe, sebelum ini semua berlanjut, ada yang kuomongin," tahanku.
Ileana menunda serangan. "Apa?" selidiknya.
"Minggu depan ibu ulang tahun, kamu mau, nggak, ikut aku ke Malang?"
Ibu ulang tahun cuma alasanku - ada hal lebih penting yang mau kulakukan. Aku mau menemui papa Ileana.
MR. VANILLA sudah tamat di Karyakarsa. Silakan maraton baca sekalian traktir Ayana jajan lewat sana, ya 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro