Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35 | Bestie

Ileana

"Jangan pernah minta maaf untuk hubungan yang kita jalin. Aku atau kamu adalah individu bebas yang tidak terikat oleh sebuah restu dari seorang Soraya Ivona. Kamu bisa lakukan itu, kan?"

Pesan Dewa terus terngiang dalam benakku.

Betapa ia berulang kali mewanti-wantiku untuk tidak terus menerus menekan egoku. Agar aku dan Soraya memperbaiki pertemanan kami tanpa mengorbankan harga diriku.

"Setiap orang yang kita kenal punya masa kadaluarsa. Kalau Aya memusuhimu karena kita pacaran, berarti tengat waktunya di hidupmu telah usai. Jadi, please, jangan minta maaf untuk hal yang bukan salahmu, Ileana."

Bicara memang mudah.

Akan tetapi, kenapa jadian dengan Dewa seakan-akan menjadi dosa besar yang serasa berat kupikul. Aku jatuh cinta pada lelaki itu - tapi aku juga menyesal karenanya.

Semenjak mengenal Soraya, duniaku yang kelam kelabu menjadi berwarna. Dia menuntunku keluar dari kehidupan dewasa yang kupaksakan. Soraya dulu mengajariku menjadi remaja. Ia mengenalkanku akan arti persahabatan dan indahnya tertawa bersama. Masa-masa SMA adalah fase terbaik karena dia ada untuk menemaniku.

Tak jarang - Soraya juga membantuku keluar dari kesulitan ekonomi.

Kami berdua saling membela dan melindungi. Dia melembutkan hatiku. Dan aku menyayangi Soraya lebih dari orang tuaku sendiri.

Apa yang Soraya beri, belum bisa kubalas. Namun, sekarang, aku justru merenggut seseorang yang sempat menjadi miliknya. Bukankah aku ... tidak tahu diri?

"Lei!" Soraya menyambutku antusias. Ia serta merta memelukku erat tanpa memberiku kesempatan untuk masuk terlebih dahulu. "Aku kangen banget," ucapnya serak.

Hatiku bergetar. "Kalau kangen, kenapa nggak hubungin aku sama sekali?" sahutku berlagak acuh tak acuh.

"Abisnya aku takut," aku Soraya. Ia melepaskan dekapan dan menggandengku ke dalam.

"Takut?"

"Iya, takut kamu omelin habis-habisan. Kamu, kan, pro-Dewa." Soraya menyeka sudut matanya untuk menghilangkan air mata yang hampir jatuh.

Aku mendesah berat sambil menjatuhkan bokong ke sofa.

"Wajar diomelin kalau salah, itu tandanya care," kataku.

Soraya mengangguk. Ia lalu mengambil tempat di sisiku. Kemudian memandangku berbinar. "Iya, aku tahu. Aku emang salah," ucapnya. "Apa yang aku lakukan ke Dewa memang jahat, dan demi Tuhan aku menyesalinya."

"Ehmh," gumamku memalingkan wajah. Rasa gamang semakin menjalar menusuk kalbuku.

"Lei, maafin aku, ya. Aku bakal kurang-kurangin jadi cewek berengsek." Soraya mengiba sambil menggenggam lenganku. "Kamu jangan marah terus, aku kesepian nggak ada kamu."

Aku menelan ludah kasar.

Permintaan maaf Soraya justru menenggelamkanku dalam pusaran sesal. Apa jadinya kalau dia tahu alasanku mendiamkannya bukan karena marah, tapi karena aku jadian dengan mantan pacarnya. Mantan yang baru putus kurang dari sebulan.

Shit, Ileana!

Soraya kembali menggoyangkan tanganku. "Lei? Kamu masih marah? Apa pertemanan kita nggak akan kembali sama?" burunya. "Aku emang berdosa sama Dewa, mana dia orangnya baik, tapi aku beneran nyesel, Lei. Aku juga udah bohongin kamu soal hubunganku sama Dion, aku udah ingkar jan-"

"Aku sama Dewa jadian," potongku.

"Hah? Apa?" tanya Soraya mengulas senyum.

"Aku sama Dewa jadian. Aku sudah putus dari Raihan dan sekarang aku dan Dewa menjalin hubungan, hu-bungan asmara," jelasku. Mataku menghindari tatapan Soraya yang kurasa mengintimidasi.

Soraya membisu. Ia seketika melepaskan pegangan tangannya dari lenganku.

Kami berdua kompak terdiam. Suasana mendadak mencekam dan dingin. Terlalu sunyi hingga aku bisa mendengar embusan napasku sendiri. Jantungku terus berdebar cepat. Perutku bahkan mual karena situasi menegangkan ini.

"Sejak kapan?" tanya Soraya.

"Belum seminggu," jawabku.

Soraya kembali hening.

Tiada kata yang terlontar dari mulutnya justru kian memperburuk segalanya. Sudah pasti Soraya bakal membenciku. Aku dan Dewa memang terlalu cepat, but there is no too soon or too late in love, right? All matter is meeting the right person.

"Sejak kapan kamu suka sama dia?"

Aku terkesiap.

"Maksud kamu, Ya?"

"Nggak mungkin dua orang tiba-tiba pacaran gitu aja, jadi ngaku sama aku, sejak kapan kamu mulai ada hati sama Dewa?" selidik Soraya ketus.

"Aku ..." Nyaliku tiba-tiba ciut. "Semula aku terkesan oleh kebaikan hati Dewa. Aku belum yakin betul itu cinta karena aku pun punya Raihan di sisiku," ujarku. "Akan tetapi, asal kamu tahu, tidak ada niatanku untuk merusak hubungan kalian."

Soraya tersenyum masam.

"Andaikan aku dan Dewa masih pacaran, bukankah pengakuanmu sekarang akan terdengar menjijikkan, Lei?"

"Aya?"

Soraya mendadak mendorongku. "Kok bisa kamu nyimpen perasaan sama pacarku? Pacar sahabatmu sendiri!"

"Meski begitu, apa pernah aku berusaha mengacaukan hubungan kalian? Aku sebisa mungkin selalu jaga jarak sama Dewa!"

"Alah. Mana aku tahu? Kalian tetanggaan, bisa aja kamu sering nyelinap buat tebar pesona sama dia," tuduh Soraya.

Aku membeliak. "Jangan ngomong sembarangan!" sanggahku.

"Buktinya Dewa mutusin aku tanpa berikan aku kesempatan untuk memperbaiki salahku. Itu berarti kalian memang udah saling berhubungan sebelum kami putus!"

"Kesempatan?" cemoohku. "Emang kamu bakal mempergunakan kesempatan itu dengan baik, huh? Kamu lupa berapa kali aku mergokin kamu sama Dion?"

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat pada pipiku. Pedih dan panas berdenyut di kulit wajahku, namun, itu tak sebanding dengan sakitnya hatiku.

"Hubungan kalian hancur bukan karena aku, tapi karena kamu terlalu serakah. Kamu haus belaian lelaki sampai menyia-nyiakan orang sebaik Dewa," balasku. "Sekarang kamu menyalahkan aku?"

Raut Soraya berapi-api. Ia bersiap memukulku lagi, tetapi aku menepisnya.

"Kamu nggak lebih dari ular, Lei! Tega sekali kamu nusuk aku dari belakang!" bentak Soraya.

Aku melotot. "Jangan bolak-balikin fakta. Kamu itu yang selingkuh!" Aku berbalik mendorongnya.

Soraya makin kesal dan menarik kerah kaosku.

"Emang kamu apa? Kamu juga selingkuh sama Dewa di belakangku dan Raihan!" Soraya meraih rambutku dan menjambaknya sekuat tenaga.

Aku meringis kesakitan.

Tidak tinggal diam, aku juga melakukan hal yang sama pada rambut Soraya. Dia sontak memekik.

"Playing victim!" sentakku.

"Pencuri!" maki Soraya.

"Dewa bukan milikmu!" elakku.

Aku dan Soraya berjibaku layaknya dua pegulat wanita. Saling mencakar, memukul, serta menjambak rambut satu sama lain. Sialan, kecil-kecil begini, tenaga Soraya kuat juga.

Tidak lagi tahan menahan kesakitan karena kuku-kuku Soraya yang menggores kulit kepalaku, aku pun menyorongnya jauh dariku.

"Apa nggak ada cowok lain selain Dewa?!" pelotot Soraya. "Kamu yang paling tahu kalau aku serius sama dia!"

"Serius tapi kamu malah selingkuh sama cowok bajingan macam Dion!" sergahku.

"Terlepas dari ada atau tidaknya Dion, aku yakin tiap hari kamu mendoakanku dan Dewa segera putus. Supaya kamu bisa rebut dia dari aku. Ya, kan?!"

"Ingat-ingat lagi apa saja yang kulakukan untuk kalian berdua - untuk kamu, khususnya! Cuman kamu aja yang keterlaluan bego sampai menyia-nyiakan Dewa!"

Soraya semakin terbakar amarah. "Kegatelan!"

"Kamu itu yang kegatelan!"

Kami saling memaki, mengumpat, dan menghina. Keadaan makin memanas hingga ingin sekali aku segera menghilang dari sini. Aku lantas merapikan tatanan rambutku yang acak-acakan. Sekujur tubuhku berdenyut perih, ulah Soraya yang kurasa separuh siluman kucing.

Aku dan Soraya saling menatap sengit.

"Terserah kamu mau mikir apa tentang aku," lanjutku. "Yang jelas, aku dan Dewa sekarang bersama sebagai pasangan kekasih. Menurut kami, tidak ada yang salah dari itu karena kamu dan Dewa sudah sepenuhnya berakhir."

Soraya menyeringai pahit.

"Well done, Ileana," sahutnya lirih. "Akhirnya jati dirimu yang sebenarnya terungkap."

"Maksud kamu apa?" dengkusku.

"Aku sudah tahu dari dulu kamu selalu iri denganku. Tapi aku membalas semua kelakuan binatangmu dengan kebaikan dan kedermawanan. Aku tahu kalau jiwamu terluka akibat serba kekurangan. Kamu kekurangan kasih sayang. Dan aku mencoba memenuhi kekosonganmu dengan semua yang kumiliki." Soraya menyorotku bengis. "Upayaku berhasil - aku berhasil menjinakkan hewan buas sepertimu. Lalu menjadikanmu peliharaanku yang setia melindungiku di mana pun."

"Sebaiknya berhenti atau kamu kelak akan menyesal karena mengatakannya!" Aku tercekat dan hampir menangis.

"Kenapa aku harus menyesal?" Soraya memekik. "Apa yang kukatakan memang benar. Kamu selalu bilang kalau papamu parasit, apa kamu nggak nyadar kamu juga sama?!"

Bibirku terkunci rapat.

Tidak lagi mampu membalas apa yang Soraya lontarkan padaku.

Ia juga sama. Rautnya mendadak memucat kehilangan rona. Amarah yang semula terpancar pada wajah Soraya sirna seketika, berganti air mata yang menyeruak tumpah. Seolah-olah ia yang tersakiti luar biasa.

Soraya terduduk lemah pada lantai.

Ia tersedu hingga kedua pundaknya gemetar oleh isakan.

"Jadi selama ini kamu cuma menganggapku peliharaanmu, Ya?" tanyaku sendu.

Soraya masih tertunduk. Tangisannya makin menderu-deru pedih. Ia kesusahan bicara, kesusahan menjawabku.

Soraya menggeleng. "Maafin aku, Lei. Maafin aku."

Cairan bening meleleh membasahi pipiku. Ulu hatiku bak diremas hebat. Sembilu bukan main.

Alih-alih meninggalkan Soraya, aku justru menghampirinya.

"Katakan kamu nggak serius," cecarku sesak. Aku pun memeluk Soraya dalam rengkuhan.

Soraya sontak mencengkam punggungku. "Aku nggak serius, Lei!" Ia memukul kepalanya sendiri berulang kali. "Aku ini tolol! Aku mengatakannya untuk menyakitimu. Kamu sahabatku! Kamu sahabatku! Satu-satunya sahabat sejatiku!"

Aku menahan tangannya. "Sudah, nanti kepalamu bisa cedera dan makin tolol."

Tangisan Soraya berubah diselingi ringisan geli. Ia membalas dekapanku dan terkulai tanpa daya di dalamnya.

Malam ini - aku dan Soraya melakukan banyak hal sekaligus. Kami berbagi rahasia, bertengkar, lalu menangis bersama.

Apa pun yang telah ia panahkan pada dadaku, aku tahu pasti, Soraya Ivona masih seseorang yang selalu kusayang.

***

"Aku pulang dulu," pamitku.

Soraya memandangku melalui matanya yang berpendar.

"Lei, apa yang meluncur dari mulutku saat kita bertengkar tadi merupakan kebohongan yang kurakit untuk membalasmu ..." ujar Soraya. "Kamu mau maafin aku, kan?"

Aku mengangguk. "Aku tahu kamu cuma terbawa emosi."

"Kamu sama sekali bukan parasit," kata Soraya. "Kamu berbeda jauh dari papamu ..." Ia kembali berkaca-kaca.

"Sudah, dong! Jangan nangis terus!" tampisku. "Aku tidak akan memasukkan semua perkataan jahatmu ke dalam hati, Soraya!"

"Sungguh?"

"Iya. Suer!" Aku menunjukkan jariku yang membentuk tanda 'V'.

Soraya menghela napas lega.

"Kuucapkan selamat, untuk kamu dan Dewa."

Aku terkekeh jail. "Seriusan? Nggak jealous?" godaku.

"Dikit." Soraya membuang muka. "But, sincerely, I am happy for both of you." Ia melempar sunggingan tulus untukku.

"Makasi." Aku membalas senyuman Soraya.

"Aku yakin kamu adalah wanita yang bisa membahagiakan Dewa. Dan aku bisa jamin, Dewa akan memberikan semua yang terbaik buat kamu. Kalian berdua akan saling melengkapi."

"Menurutmu begitu?"

Soraya mengangguk. "Aku yakin seratus persen," tegasnya. Ia lalu membuang napas seolah sudah menyingkirkan beban berat. "Sejujurnya kalian begitu serasi, ini sangat romantis karena kalian berdua saling menemukan satu sama lain."

"Makasi untuk pengertianmu, Ya ..."

Kedua sudut bibir Soraya melengkung ke atas. "Lei, kemarahanku tadi akibat kekecewaan pada diriku sendiri. Kecewa karena telah melepaskan lelaki seperti Dewa. Membuang kehidupan sempurna yang ada di depan mataku. Namun, aku juga sadar kalau chemistry tidak bisa dipaksakan. Aku dan Dewa memang pernah saling mencintai, tetapi kami berdua sama-sama tidak nyaman satu sama lain."

Aku mendengarkan Soraya dengan saksama.

"Sekali lagi selamat," tutup Soraya.

Aku dan Soraya kompak tertawa cekikikan.

"Kamu mau luangkan waktu buat hangout besok-besok?"

"Mau bangetlah!" jawab Soraya antusias. "Udah tahu ada drakor psikopat baru? Yang ratingnya tinggi itu, lho!"

"Tahu!" histerisku.

"Aku sengaja nggak nonton karena nunggu kamu!" aku Soraya.

"Kalau gitu gimana kalau lusa kita maraton?" tawarku.

"Deal! Di sini, kan?" sambut Soraya. "Aku bakal nyiapin cemilan yang banyak. Kamu sleepover, ya?"

"Sip!" Aku mengacungkan jempol tanda persetujuan. "Ya udah, ah. Aku balik. Udah malem."

"Ati-ati," kata Soraya mengantarku hingga ke ambang pintu.

"Betewe, kapan-kapan, apa kita bertiga bisa nongkrong bareng?" tanyaku.

Soraya cengengesan. "Kalau soal itu-" dehamnya. "Mungkin nggak dalam waktu dekat, Lei. Aku dan Dewa perlu waktu."

Aku menoleh. Kami pun saling beradu pandang.

"Setelah apa yang sudah terjadi, Dewa tidak akan mudah menerima kehadiranku di dekatnya. Kita bertiga nggak akan bisa kembali sama seperti dulu," lanjut Soraya. "Dan kamu pun hanya bisa menemui salah satu dari kami secara terpisah."

"Baiklah ..." gumamku.

"Hei," hibur Soraya. "It's okay. Yang terpenting adalah aku dan Dewa ada buatmu."

Malam ini - aku juga belajar jika aku tidak bisa egois dalam memanen kebahagiaan. Aku, Dewa, dan Soraya tidak lagi sama. Kami terhubung oleh romansa asmara. Aku akhirnya berhenti berharap terlalu banyak. Aku sadar bahwa apa yang sudah kudapatkan sekarang ... merupakan keberuntungan langka yang tak ternilai harganya.

Aku yakin tiada lagi kegundahan.

Seperti yang sudah-sudah, Soraya Ivona selalu hadir membawakan hadiah di balik tangannya. Jika dulu ia menawarkanku makna dari persahabatan, kini dia mengenalkanku pada seorang lelaki terbaik, Dewangga Satya.

***

Aku masuk ke dalam rumah dengan hati-hati. Malam sudah sangat larut, dan aku tahu Dewa menungguku di sini. Aku khawatir dia sudah tidur dan bakal terganggu oleh kedatanganku yang berisik.

"Wah ...?"

Aku membelalak. Sibuk berdecak kagum karena kondisi rumah yang sangat, sangat rapi. Semua perabotan lebih mengilap dan lantaiku kinclong. Sudah begitu, aroma khas karbol cemara menyeruak memanjakan hidungku. Tiada lagi bau pesing bekas kencing Sultan.

Dewa memang pacar serba guna.

Pelan-pelan, aku mengintip ke dalam kamar. Senyumku sontak terkulum, ada Dewa berbaring di ranjangku. Dia sedang terpejam damai.

Aku melangkah berjinjit untuk mendekat. Kupandangi wajah Dewa lekat-lekat. Sepasang bulu mata lentik yang membingkai mata elangnya, hidung bertulang tinggi yang merosot lancip, kemudian bibir tipis merona milik Dewa yang teramat menggoda. Selain itu, facial hair yang tumbuh menghiasi rahangnya juga selalu berhasil membangkitkan nafsuku.

Gosh, I'm so lucky to have him.

Sebuah ide gila pun mendadak terbersit pada otakku. Aku ingat masih menyimpan lingerie seksi yang kubeli untuk mengejutkan Raihan. Kasihan, baju tidur itu, tidak pernah dimanfaatkan sesuai faedahnya.

Maka, tanpa pikir panjang, aku pun mencari pakaian transparan tersebut.

Seolah direstui oleh semesta, tidak butuh waktu lama untuk menemukannya. Senyumku merekah. Aku lantas bergegas ngibrit ke kamar mandi untuk mengenakannya.

Tunggu saja Dewangga Satya, sebentar lagi kamu bakal terkezut bukan kepalang.

MR. VANILA sudah tamat di karyakarsa. Silakan cek ke sana untuk baca jalur cepat dengan naskah utuh tanpa potongan!




















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro