34 | Raja & Ratu
• Ileana •
Kapan lelaki tampak lebih seksi dari biasanya?
Bagiku - lelaki kelihatan lebih seksi ketika fokus bekerja dan larut di dalamnya. Mereka terkesan lebih 'hidup'. Apa lagi kalau pekerjaan tersebut merupakan bagian dari passion-nya. Tidak banyak orang bisa seberuntung Dewa. Dia dibayar untuk melakukan apa yang ia suka. Dari banyaknya pegawai yang Dewa pekerjakan, aku bisa menerka kalau penghasilan Dewa lumayan fantastis.
Bukan matre.
Aku hanya bangga karena memiliki pasangan seperti dia. Pekerja keras.
Lebih tepatnya, bekerja keras untuk menghasilkan uang. Percuma, kan, kalau menghabiskan waktu cuma untuk menekuni sesuatu yang sia-sia. Soalnya banyak lelaki ideologis di luar sana, enggan jadi budak korporat dengan dalih ingin bebas meraih mimpi. Meraih mimpi setinggi langit yang cuma bermodal omong kosong. Koar-koar ke sana ke mari melabeli diri sebagai 'pengusaha', padahal apa yang mau diusahakan masih di awang-awang. Jadi pengusaha itu tidak mudah; ada jatuh bangun, pontang-panting hingga hampir gila.
Aku memang tidak mengetahui perjuangan Dewa sampai bisa mencapai titik ini. Yang jelas, dari caranya bersikap dan memanajemen waktu, aku tahu dia pribadi kuat yang disiplin. Tidak mudah menyerah.
Well, sayangnya tidak semua orang seperti Dewa. Banyak yang gampang menyerah di tengah jalan. Jadi pengusaha gagal, sementara egonya kelewat tinggi buat bekerja sebagai pegawai. Pada akhirnya luntang-lantung jadi benalu.
Seperti papa.
'Apa yang kuberikan untuk Mama ...
Untuk Mama ... tersayang ...'
Perhatianku teralih ke atas panggung. Seorang murid perempuan berdiri memegang microphone dan menyenandungkan lagu Cinta Untuk Mama. Di sebelahnya, ada lelaki berkaca mata mengiringi menggunakan piano keyboard. Kurasa mereka adalah pasangan ayah dan anak. Sementara tepat di depan stage, ibunya terlihat sibuk merekam penampilan anak dan suaminya dengan ponsel.
'Hanya ini kunyanyikan
Senandung dari hatiku untuk Mama
Hanya sebuah lagu sederhana
Lagu cintaku untuk, oh, Mama ...'
Meski membelakangi, gesture tangan si ibu menunjukkan bahwa ia berulang kali menyeka wajah. Mungkin air mata terus menitik karena haru oleh senandung putrinya. Si ayah juga sama, tersenyum bangga sambil terus mengiringi nyanyian dengan denting halus. Semua bertambah sempurna karena suara anak ini begitu merdu. Pelafalannya jelas, nyaring dan kuat di balik tubuh yang mungil. Harusnya dia ikut ajang pencarian bakat.
'Lagu cintaku untuk mama
Mama.'
Pada akhir lagu, anak dan ayah itu pun kompak membungkuk pada penonton. Lalu, si ayah menggendong anaknya sambil berjalan menuju si ibu. Tanpa diduga, mereka berdua memberikan setangkai mawar pada si ibu. Bunga itu sengaja disembunyikan pada saku belakang celana si ayah.
Momen tersebut menjadi sasaran tepuk tangan riuh. Termasuk aku pun ikut bertepuk tangan. Tanpa bisa kutahan, air mata mendadak meleleh jatuh pada pipiku. Rasanya sesak. Ada pekat dalam relung terdalamku. Mataku berkaca-kaca dan buram. Sesuatu yang benar-benar merawankan hati.
Ketimbang menangis tak jelas seperti orang bodoh, aku memilih bangkit dari kursi dan bergegas menjauh.
Tidak peduli kapan, ingatan-ingatan menyakitkan suka seenaknya datang. Padahal apa yang kusaksikan bukan hal mengerikan, melainkan kehangatan dari keluarga kecil yang tak kukenal.
"Besok cari gaun sama papa, ya."
"Kenapa nggak sama Mama aja?" Aku mendongak seraya menggelayut pada lengan mama. Ia yang sedang sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper pun akhirnya menoleh padaku.
"Ileana, Mama harus berangkat ke luar kota buat kerja. Tiga hari lagi Mama baru pulang. Nanti Mama akan titipkan uang untuk kamu beli gaun yang cantik. Okay?" Mama mengusap puncak kepalaku sepintas.
Bibirku melengkung turun. "Mama, nggak lihat Ileana tampil?"
"Maaf, ya, Sayang. Lain kali Mama pasti nemenin kamu. Mama harus cari uang supaya kamu bisa beli mainan yang buanyak!" bujuk Mama. "Ileana mau dibelikan mainan apa?"
"Boneka Barbie ..." jawabku pelan.
Mama mengulum senyum. "Okay. Nanti sepulangnya, Mama ajak kamu beli Barbie."
Semenjak kembali bekerja, mama memang selalu sibuk hingga jarang memerhatikanku. Mau bagaimana lagi, dia adalah tulang punggung keluarga karena papa memutuskan mundur dari perusahaan.
Sudah pernah kubilang, kan? Papa ingin jadi seniman, seniman lukis.
Alih-alih membawaku ke toko baju anak, papa justru mengajakku ke toko barang-barang bekas yang tidak jauh dari pasar. Aku masih ingat ukuran bangunannya yang sempit, serta benda-benda yang ada di sana. Rata-rata furniture tua, atau koleksi cincin bermata batu.
"Mana uang dari mama?" tanya papa padaku.
Dengan polosnya aku menyerahkan lembaran uang di sakuku pada papa.
Papa tersenyum puas. "Ini buat kamu cari baju, sisanya papa yang pegang." Ia menyodorkanku beberapa pecahan sepuluh ribuan. "Eit, ingat. Anak cantik nggak boleh ngadu ke mama."
"Terus Ileana kapan cari bajunya, Pa?"
"Pakai tanya? Ya, sekarang. Kamu nyebrang ke pasar di depan, cari sendiri baju yang kamu mau. Papa tunggu kamu di dalam toko." Papa menunjuk toko antik tempatnya memarkir motor.
"Kok gitu? Ileana takut sendirian," rengekku.
Papa berdecak kesal. "Alah. Kamu itu udah besar. Harus mandiri. Anak-anak seusiamu nggak ada yang belanja ditemenin orang tuanya. Mau jadi anak cengeng? Jadi anak manja, mau?"
Aku menggeleng. Menelan tangisku kuat-kuat sembari meremat uang receh yang papa sisihkan untukku.
"Mas Bagus!" Dari balik pintu toko antik, seorang wanita berpakaian serba ketat melongok. Ia mengerling genit.
Papa menengok dengan senyum terkulum. "Udah, ya. Papa udah ditungguin temannya di dalam. Kamu buruan belanja. Bebas mau yang seperti apa."
Aku pasrah ditinggalkan begitu saja.
Aku masih ingat kala itu tak ada gaun cantik yang berhasil kudapatkan. Uangku kurang. Papa mengambil terlalu banyak dan cuma menyisakan sedikit buatku. Ia merampas hakku. Ia bahkan merampas kebahagiaan masa kecilku.
Di usia lima tahun, aku sudah dipaksa untuk serba memaklumi.
Tidak peduli jika berulang kali terabaikan. Tidak peduli ditinggalkan. Aku akhirnya berhenti menceritakan tentang keseharianku di sekolah pada papa atau mama. Semua percuma - mereka tidak benar-benar mendengarkan. Mama terlalu lelah, sedangkan papa acuh tak acuh. Beda dari teman-teman sekelasku, aku jarang menangis. Aku juga tak pernah tertawa.
Aku adalah bocah berwajah datar dengan senyum minimalis.
Tiada lagu pengantar tidur yang mengendap dalam memoriku. Aku mana pernah mendengarkannya dari mama atau papa. Pun dengan dongeng untuk menemani malam-malamku.
Kuhabiskan hari-hariku untuk berimajinasi menciptakan keluarga sempurna versiku. Keluarga itu terdiri dari aku, raja dan ratu. Kubentuk mereka dalam halusinasiku, kemudian sibuk berbicara sendiri seolah-olah 'raja dan ratu' nyata. Tidak jarang - papa menyebutku kerasukan. Ia sering bertengkar dengan mama terkait perangaiku. Alih-alih mencari jalan keluar, mereka justru sibuk saling menyalahkan.
"Anakmu suka ngomong sendiri! Kurasa dia bisa lihat setan."
"Kamu perhatikan Ileana, dong, Mas. Kok bisa-bisanya bilang 'anakku-anakku'? Dia itu anakmu juga!"
"Garis keturunanku jelas, nggak ada yang punya riwayat gangguan kejiwaan. Sementara, dari keluargamu, kan, ada. Kalau nggak salah, pakde-mu tidak waras, to!"
"Enak aja kamu bawa-bawa keluargaku!"
"Heh!" Papa membentak keras. "Gangguan kejiwaan itu bisa diturunkan, tahu! Mungkin saja mengalir di Ileana!"
Dan - aku pun terpaksa berhenti. Mengucap salam perpisahan pada 'raja dan ratu', milikku satu-satunya. Lagi-lagi aku dipaksa berkorban agar mama dan papa berhenti berdebat.
Oh, Tuhan, aku sangat - sangat membenci mereka.
***
Langit mulai memucat oranye. Matahari perlahan bersembunyi di balik kumpulan awan yang berarak. Sepulangnya dari hotel Ayana, aku mengurung diri di kamar. Entah sudah berapa kali aku ketiduran lalu bangun lagi. Begitu seterusnya, hingga dari balik selimut aku tiba-tiba mendengar bunyi pintu depan yang terbuka. Aku tebak itu pasti Dewa.
"Hei," sapa Dewa mengintipku.
Aku meliriknya sepintas. Dugaanku memang benar. Itu dia.
"Kerjaanmu sudah selesai?" sambutku.
Dewa mengangguk.
"Sudah dari tadi, tapi lanjut ke studio untuk ngerjain lain-lain." Dewa menghampiriku. Rautnya letih dan muram.
"Maaf meninggalkanmu begitu saja," ucapku.
"Iya, nggak apa-apa," sahut Dewa. "Maaf juga karena nggak berinisiatif mengejarmu."
Aku mengangguk.
"Terus kamu tadi pulang naik apa?"
"Nebeng Yoga," jelas Dewa. Ia menyorotku berjuta makna. "Kamu sudah makan?"
"Belum," jawabku.
"Makan, yuk." Dewa menarik selimutku agar aku beranjak mengikutinya. "Nanti maag-mu kumat."
Aku menggeleng. "Nanti saja." Aku berbalik meraih lengannya dan meminta Dewa menemaniku di ranjang. "Mau nemenin aku dulu di sini?"
"Iya." Dewa menurutiku. Ia ikut berbaring di sebelahku.
Kami lalu terdiam cukup lama.
Dewa tiada henti membelai kepalaku dengan jari-jarinya yang kokoh. Sesekali Dewa mengecup pipiku mesra. Kemudian kembali hening memandangiku. Ia tidak banyak bertanya. Mungkin Dewa takut aku membentaknya lagi. Atau mungkin, dia berusaha memberiku waktu.
"Ehmh ..." gumamku memecah kebisuan. "Mbak Nanik itu anak dari istri baru papaku."
Raut Dewa terperangah. Bibirnya sedikit terbuka - tergagu. Ia pasti tidak menduga kalau aku akan langsung menuju pokok masalah.
"Oh," respon Dewa canggung.
"Jadi, selepas cerai dari mama, papa nikah lagi sama janda tua beranak satu. Mbak Nanik itu anak dari istri baru papa," terangku. "Semua orang, termasuk mbak Nanik menduga kalau papa cuma mau numpang hidup. Ya, menurutku, sih, memang benar demikian. Soalnya ibunya mbak Nanik punya banyak homestay dan vila di Batu."
"Batu?" Dewa berkernyit.
"Papaku tinggal di Batu," jelasku.
"Astaga. Jadi, selama ini papamu begitu dekat, Ileana?" selidik Dewa.
Aku mengangguk. "Dan aku sangat anti bertemu dengannya," dengkusku. "Kurasa, mbak Nanik pun sama jengahnya sepertiku. Mana ada anak yang ikhlas ibunya dimanfaatkan oleh parasit seperti papaku."
"Ileana, tidak sepatutnya kamu bicara begitu tentang papamu. Biar begitu, dia orang tuamu," sanggah Dewa.
"Kamu hanya belum tahu saja bagaimana papaku, Dewa. Dia tikus pemakan segala. Ia akan merenggut semua milikmu, dan jika semua tiada tersisa, maka giliran jiwamu yang bakal dia gerogoti."
"Ileana-"
Aku bergegas menyela. "Kamu pernah dibawa ke dukun?" tanyaku.
"Apa?" Dewa menegakkan kepala. "Dukun?"
"Papaku sempat mengira aku gila karena suka ngomong sendiri di kamar," kenangku. "Di belakang mama, dia pernah membawaku ke dukun, atau istilahnya orang pintar. Bak gayung bersambut, dukun itu membenarkan terkaan konyol papaku. Dia bilang aku 'ketempelan' makhluk halus dan harus segera disucikan."
Raut Dewa mengeras. Rahangnya berubah tegas seolah menahan gelora amarah.
"Apa yang selanjutnya terjadi?"
Aku meringis masam. "Si dukun memintaku telanjang bulat untuk dimandikan. Papa setuju saja, dia bahkan yang menyiapkan kembang tujuh rupa untuk prosesi tersebut." Mataku lantas berkaca-kaca. "Kamu bisa bayangin perasaanku, nggak, Dewa? Saat itu aku masih kecil, aku takut, dan dipaksa melepas pakaian di depan orang asing. Dia menjamah seluruh tubuhku sambil membacakan mantra-mantra aneh. Aku cuma bisa diam, dipaksa menurut. Rasanya terintimidasi sekali ..."
"Oh, Ileana." Dewa serta merta mendekapku. Pelukannya hangat. Dia juga wangi. "Kamu tidak sepantasnya mengalami hal mengerikan seperti itu."
"Aku memang gemar bicara sendiri waktu kecil. Aku punya teman imajiner, kamu mau tahu siapa mereka?"
Dewa mengangguk.
"Raja dan Ratu," kataku tersenyum.
Dewa membalas senyumanku. Ia lalu mendaratkan bibirnya pada dahiku.
"Ceritakan tentang mereka," pinta Dewa.
"Mereka orang tua khayalanku. Aku selalu berpikir kalau aku adalah anak pungut papa dan mama. Orang tua asliku adalah Raja dan Ratu, dan kelak mereka akan datang menjemputku," ujarku. "Yah, kurasa, keberadaan Raja dan Ratu cukup membantuku bertahan dari kesepian."
"Sekarang masih kesepian, nggak?" Dewa mengusap sisi wajahku penuh perhatian.
"Nggak. Apa lagi setelah ada kamu."
Mendengar jawabanku, bibir Dewa sontak tersungging lebar. Ia memelukku dan mengurungku dalam penjaranya.
"Aku akan berusaha selalu ada buatmu, Ileana. Aku janji. Terima kasih sudah membuka diri padaku," kata Dewa. "Janji sama aku, kamu akan jujur soal isi perasaanmu. Janji juga untuk minta apa saja padaku."
Aku terkekeh. "Kamu mau jadi gadun-ku?"
"Terserah mau jadi apa kek, yang penting bisa buat tempatmu bersandar!" dengkus Dewa.
Aku membalas perlakuan manis Dewa dengan ciuman pada bibirnya. "Iya, Dewangga Satya," bisikku.
Dewa lantas menyambut kecupanku, ia melumat bibirku secara impulsif dan dalam. Ciuman yang semula kupikir singkat, justru berlangsung lama. Pagutan Dewa padaku begitu intens dan penuh obsesi. Lidahnya memaksa masuk untuk membelit lidahku.
Napasku memburu.
Sebelum semua berubah terlalu jauh, aku pun menghentikan ciuman kami.
"Dewa," kataku. "Sebenarnya alasan mbak Nanik berkali-kali menghubungiku karena dia ingin aku menemui papa. Katanya, papa sedang sakit. Hanya saja, aku enggan menanggapi, karena yang papa butuhkan bukan aku, tapi uangku."
"Gimana kalau papamu memang rindu kamu?"
"Nggak mungkin," dalihku. "Dari dulu papa nggak pernah sayang sama aku. Dia sering bilang tidak suka punya anak perempuan. Dia menyesal karena aku tidak terlahir sebagai lelaki."
"Papamu bilang gitu?" Air muka Dewa mengiba.
"Ya." Aku membenarkan. "Selain itu, aku yakin mbak Nanik cuma ingin menyingkirkan papa dari keluarganya. Makanya dia ngotot memintaku menjemput papa. Tidak ada yang betah berlama-lama dengan papaku."
Dewa mengembuskan napas panjang.
"Ini rumit karena sampai kapan pun dia tetap ayah kandungmu," desah Dewa. "Tapi, apa pun keputusanmu, aku akan mendukungmu, Ileana. Jika bagimu mengabaikan papamu adalah keputusan tepat, maka lakukanlah."
"Kamu nggak menganggapku durhaka?" tanyaku
Dewa tersenyum tipis. "Kamu sudah cukup terluka, Ileana," sahutnya.
Aku terenyuh dan terhanyut dalam dekapan Dewa. Rasanya nyaman memiliki seseorang yang mendengarkanku. Seseorang yang menerima baik atau burukku tanpa penghakiman sepihak.
Sebelum Dewa, ada satu orang lain yang memperlakukanku serupa. Seseorang yang sudah lama kurindukan. Teramat ingin kujumpai.
"Dewa, sebenarnya satu hal yang ingin kulakukan malam ini," ujarku.
"Apa?" Dewa melepaskan pelukan kami. Ia lalu menatapku teduh.
"Aku berencana untuk menemui Aya."
Darls!
Apa kabar? Semoga selalu baik-baik saja di mana pun berada, ya!
MR. VANILLA udah tamat lo di karyakarsa. Bagi kalian yang penasaran dengan kelanjutan cinta Ileana & Dewangga, silahkan cek ke sana. Sekalian juga kasih Ayana sangu buat beli jajan. Hehe.
Jangan lupa vote, komen, serta share cerita ini ke sosmed² kalian 🖤
Salam sayang! — Ayana Ann
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro