Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29| Kamu Memang Buatku

Ileana

Hidup dalam kenyamanan jelas terpampang di depan mata. Untuk apa aku harus tergoda pada segala ketidak-mungkinan dan ketidak-pastian yang Dewa tawarkan? Dewangga Satya adalah ujian yang dikirim Tuhan untuk mengetes keteguhanku.

Aku yakin, memilih dia hanya akan menyisakan penyesalan.

Raihan menyeimbangkanku; dia stabil, bertanggung jawab, dan dewasa. Sementara, Dewa? Aku cuma mengenalnya selama beberapa bulan. Dia lelaki pemarah yang punya emosi naik turun, persis seperti wanita dilanda PMS.

Cinta? Alah. Peduli setan sama cinta.

Dulu mama sama papa juga menikah berdasarkan cinta. Lalu, bagaimana ending-nya? Komunikasi terakhir mereka berwujud perkelahian sengit yang menyebut segala binatang. Anjing, babi, monyet. Oh, sialan. Aku bahkan masih ingat.

Ujungnya ...

Mama beralih menikahi om Rahman, seorang lelaki paruh baya yang super duper membosankan. Pada akhirnya, wanita hanya membutuhkan hubungan stabil. Lelaki bertanggung jawab yang mampu menyediakan kepastian.

Kupandangi wajahku yang bengkak. Menyebalkan sekali, baik air mata mau pun ingusku terus saja meleleh. Raihan mana boleh tahu kalau aku habis menangis.

Toktoktok.

"Beib?"

Sial. Kok sudah datang saja, sih, si Raihan?

"Ya, bentar!" seruku terbirit-birit.

"Kok dikunci?" gumam Raihan tertangkap runguku.

Aku pun membuka pintu, menyambut tunangan tampanku sambil tersenyum lebar.

"Kok cepet datangnya? Aku belum apa-apa," sambutku.

"Kita harus mampir nitip Sultan dulu." Raihan menerobos masuk. "Mana si Ndut-nya Daddy?" Ia memanggil-manggil Sultan.

"Ya sudah, aku dandan bentar," kataku.

"Kopermu mana? Kumasukkin bagasi," tawar Raihan.

Aku menunjuk menggunakan dagu. "Itu," ucapku.

Raihan memaku tatapannya padaku.

"Lei, kenapa matamu bengkak?" selidik Raihan. "Kamu abis nangis?"

Aku menggeleng. "Tadi kena sampo waktu keramas," dalihku.

"Hmmh?" Alih-alih menerima jawabanku, Raihan justru mendekat. "Coba kulihat."

Aku buru-buru mengelak. "Udah, nggak apa-apa. Abis ini kutetesin obat mata." Menghindari Raihan dan masuk ke dalam kamar.

Aku memasukkan peralatan make up ke dalam pouch. Bisa gawat kalau ketinggalan. Aku takut orang tua Raihan ketakutan karena mengiraku mayat hidup. Mukaku lumayan pucat kalau nggak ter-cover riasan.

"Beib," kata Raihan dari luar. "Kulihat Dewa sudah pulang, ya?"

"Iya," timpalku singkat.

Raihan mengintip. "Gimana, dia? Baik-baik aja?" selidiknya. "Perlu nggak aku mampir buat menyapa?"

"Nggak usah," pelototku.

Raihan mengernyit akibat responku. Ia menyusulku menuju meja rias. "Kenapa? Kemarin-kemarin perhatian banget sama Dewa, sekarang kok mendadak keki?" tanyanya. Ia berdiri di belakangku, menyorotku saksama.

"Keki? Aku nggak keki. Aku cuma nggak mau kita ketinggalan pesawat. Lagian Dewa bukan siapa-siapa kita. Dia itu mantannya Aya. Sekarang udah nggak ada urusan sama Dewa lagi." Aku menutup risleting pouch, lalu mengamitnya di lengan. "Ayo, berangkat," ajakku.

Raihan menurut.

Ia mengikuti dari belakang. Setia menantiku yang sedang sibuk memasukkan pouch ke dalam tas jinjing.

Kami pun menyusuri halaman. Setiap langkah yang kuambil, memunculkan gemuruh hebat dalam dadaku. Rasanya berat sekali untuk meninggalkan rumah, meninggalkan Dewa. Aneh sekali karena semua berubah 180 derajat. Dulu, aku setengah mati berusaha enyah dari lingkungan ini, tapi kini, aku justru tak rela pergi.

Raihan membukakan pintu mobil untukku.

Setelah memastikan aku duduk dengan baik, ia pun menutupnya. Aku menengok ke belakang, memeriksa pet cargo yang mengurung Sultan. Tak lama, Raihan menyusul masuk pada sisi kemudi.

"Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Raihan memastikan.

Aku menggelengkan kepala. Barang-barangku sudah kubawa semua, tapi tidak dengan hatiku. Bagian terdalam itu masih tertinggal di sini. Menjerat leherku hingga aku tersedak. Mataku menerawang ke luar, dan semua menjadi makin memilukan ketika kendaraan yang membawaku melaju.

Sebentar lagi semua akan berubah. Akan tetapi kenapa perasaanku masih berkecamuk? Kacau dan bimbang.

Di luar sana, langit menggantungkan seutas perak di udara, mencerminkan kegalauan yang kurasakan di dalam hati. Namun, Raihan bahkan tak menyadari itu karena terlalu sibuk memilih-milih lagu.

"Raihan, apa kamu yakin benar-benar mencintaiku?" tanyaku membuyarkan bisu.

Raihan terkekeh. "Ya, yakin. Kalau nggak yakin, mana mungkin ajak kamu nikah, Beib?" sahutnya.

"Maksudku - apa tandanya?"

"Tandanya?" Raihan menggumam bingung. Ia lalu tersungging. "Salah satunya, tiap kali mendengar lagu cinta, wajahmulah yang terbayang, Lei."

'You make my heart feel like it's summer ...'

Alunan lagu dari Kodaline, The One, diputar di radio. Raihan samar-samar menyenandungkannya sambil menatap lurus ke jalan.

'When the rain is pouring down
You make my whole world feel so right when it's wrong.'

Sementara, aku sibuk mengatur napas yang berantakan. Kami hampir keluar dari kompleks perumahan. Suatu hal yang membuatku mendadak mendapatkan serangan panik.

'That's how I know you are the one.'

Kupejamkan mataku, memeriksa siapa gerangan yang menguasai pikiranku sedemikian dahsyat. Lantunan lirik indah yang terdengar membawaku pada sosok Dewa. Ya, Dewangga Satya. Dia.

"Raihan, berhenti!" Aku memekik.

Raihan membeliak.

Ia lalu berbelok untuk meminggirkan mobil. "Kenapa, Lei? Ada yang ketinggalan?" selidiknya.

Aku membisu.

Tertunduk dalam malu. Hening karena egoku. Aku telah menjadi wanita kejam yang semena-mena.

Dari awal pikiranku terbelah di antara Dewa dan Raihan, mencoba menemukan cara untuk menentukan masa depan. Kini aku akhirnya tertampar; kalau Dewalah pencuri hatiku, sebab perasaanku pada Raihan - sebatas iba semata.

"Aku nggak bisa melakukan ini," ucapku. "Maaf, Raihan. Aku nggak bisa ikut kamu ke Jakarta."

Raihan terhenyak.

Ia mungkin sibuk mencerna kata demi kata yang kulontarkan. "Bisa kamu jelasin kenapa?" tanyanya. "Kalau kamu memang nggak siap hari ini, kita bisa membatalkan kunjungan. Aku akan tunggu sampai kamu siap."

Aku menggeleng. "Aku nggak akan pernah siap," kataku. Air mata yang kutahan sekuat tenaga, meluncur juga. "Selamanya, aku nggak akan pernah siap."

"Beib?"

"Kita nggak bisa melanjutkan ini, Raihan," lanjutku. "Kamu layak mendapatkan seseorang yang mencintaimu, seseorang yang membalas cintamu."

"Maksud kamu ... kamu nggak cinta sama aku, Lei?"

"Tadinya aku memang mencintaimu, tapi aku sadar rasa itu sudah lama hilang," jawabku pedih. "Kukira, aku akan baik-baik saja selama kamu memberikan apa pun yang kuinginkan. Namun, kenyataannya aku salah. Aku begitu tersiksa. Hanya saja aku takut mengakhiri duluan. Aku takut kelak akan menyesal karena telah melepaskanmu." Aku lantas memberanikan diri membalas tatapan Raihan. "Tapi sekarang aku tahu apa yang benar-benar kutakutkan - aku takut terperangkap bersamamu, selamanya."

Aku seakan menangkap seribu bayangan pahit dan kelam menyelimuti mata Raihan. Ia terpaku, mungkin tidak percaya dengan pengakuanku. Ekspresi wajahnya berubah drastis. Alis tebal Raihan menegang begitu mendalam, ia seperti hendak meledak.

"Kok bisa kamu mikir kayak begini, Lei?" Kekecewaan jelas terukir pada raut Raihan.

"Lebih baik kita sudahi dari pada terus mengulur waktu," kataku.

"Enam tahun, Ileana." Intonasi Raihan meninggi. "Mau menyudahi bagaimana maksud kamu? Konyol sekali karena kamu mendadak berubah sikap. Tadi kamu baik-baik aja, lho."

Aku bisa menangkap semu merah pada mata Raihan. Aku tahu aku memang manusia tanpa nurani.

Raihan mengembuskan napas kasar. Rautnya bergulir dari kecewa menjadi rapuh. Ia kembali melanjutkan, "Bilang sama aku, ini pasti karena kamu belum bisa lupa sama perselingkuhanku, kan?"

"Itu bukan satu-satunya masalah, Raihan," sanggahku.

"Aku sudah janji sama kamu, aku akan tebus semua salahku. Kamu jelas-jelas sudah memaafkanku." Raihan meraih jemariku, menggenggamnya erat seolah ingin meremukkannya. "Ayolah, Lei. Jangan gampang ngomong putus. Jangan sedikit-sedikit mau menyudahi." Ia mengiba.

Aku menggigit bibir bawah demi menahan perih yang menyayat hati.

"Aku sungguh nggak merasakan apa pun lagi untukmu. Maaf, tapi, semua sudah lenyap. Tiada lagi yang bersisa."

Perlahan, Raihan melepaskan pegangan tangannya. Ia menyandarkan bahu, lalu tersenyum sinis.

"Katakan padaku, Lei," celetuk Raihan. "Apa sudah ada orang lain yang menggantikan posisiku di hatimu?"

"Jangan melebar ke mana-mana, Raihan. Aku-"

"Dewa, kan?"

Aku tercekik, terkesiap.

"Aku sudah feeling dari awal bertemu dengannya. Dari cara kamu melihatnya, dari caramu memperlakukannya." Raihan menerawang sendu. "Tapi aku coba tidak menghiraukannya karena Dewa kelihatan serius sama Aya."

"Bukan salah Dewa, aku sadar kalau ini nggak adil buat kamu. Seperti yang kubilang, kamu layak bersama wanita yang membalas perasaanmu."

"Jadi menurutmu putus denganku dan jadian sama Dewa itu adil buatku?" Raihan melirikku sinis. "Kalian berbahagia di atas kesengsaraanku. Dan lagi, kamu pikir perasaan Dewa tulus padamu? Dia baru saja putus dari Aya, bisa saja kamu cuma pelampiasan."

Aku tersungging.

"Maka sakitnya akan menghapus segala penasaranku. We only live once. Take the risk or lose the chance."

Raihan menyorotku kelabu, hanya beberapa detik, kemudian ia berpaling lagi. Tanpa berkata, Raihan membuka central lock, kode darinya untuk mempersilakanku keluar.

"Maafkan aku," ucapku pelan.

"Maafkan aku juga karena enggan putar balik mengantarmu bertemu dengan kekasih barumu," balas Raihan dingin.

Aku pun membuka pintu dan bergegas turun.

Melengos - berjalan selangkah demi selangkah menjauhi mobil Raihan yang tancap gas berlawanan arah. Tiap derap yang kuambil membuat senyumku kian merekah. Debaran pada jantungku berdentum riuh; sesak itu sirna, berganti antusiasme membuncah.

Aku pun sontak melesat, mempercepat laju bak perlombaan maraton. Dewangga Satya - aku ingin segera menemuinya!

Aku mau melihat tawanya, aku mau mendengar suaranya, aku ingin berada di sisinya.

Kubuka pagar rumah Dewa secara kasar, menerobos halaman dan menerabas rumput Jepang yang selalu dia bangga-banggakan. Lalu, secara tak sengaja menendang pot Aglaonema kesayangannya.

Masa bodoh!

Toktoktok. Kuketuk daun pintu di hadapanku sekuat tenaga, berkali-kali seperti seorang mafia penagih utang.

"Ileana?" Dewa sontak terbelalak ketika membuka pintu. "Bukannya kamu tadi sudah berangkat?"

Kucoba mengatur napas yang memburu. Sekujur tubuhku memanas karena kelelahan berlari. Terbirit-birit bagai dikejar anjing. Suaraku tertahan pada ujung tenggorokan, ketimbang menjawab pertanyaannya, aku memilih menghambur padanya.

It feels damn right.

"Aku ingin tenggelam dalam cinta tak masuk akal ini," lirihku.

Dewa membalas pelukanku. Mengusap belakang kepalaku agar merapat pada dirinya. Sementara, tangan satunya membelenggu pinggangku lekat.

"Kamu meninggalkan Raihan?"

"Kamu resmi jadi lelaki perusak hubungan orang, Dewa," godaku.

Dewa terkekeh. Napas hangatnya berembus mengenai pelipisku. "Ya sudah, biar saja," katanya.

Dunia serasa milik berdua.

Aku enggan melepaskan Dewa dari kaitan kedua lenganku. Kami saling bertukar debaran jantung. Menikmati aroma tubuh satu sama lain. Meresapi detik demi detik yang terasa memabukkan. Kalau pun kelak aku akhirnya menyesal - kurasa ini sepadan.

"Astaga!" Aku membeliak melepaskan dekapan.

"Apa?" Dewa ikut melotot.

"Koperku dan Sultan!"

Hai, Darls.

Mr. Vanilla sudah tamat di karyakarsa. Buat yang penasaran dan gak sabar nunggu bisa mlipir ke sana. Thank you buat dukungan, vote, dan komen positif kalian semua ya!

Love you All 🖤









Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro