Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24 |

Ileana

"Kamu akan merahasiakan ini dari Dewa, kan?"

Kamar suite tempatku dan Soraya berada cukup luas dan serba lengkap. Satu ranjang ukuran king size, mini bar, serta sofa empuk di dekat kaca jendela seharusnya mampu membuat tamu merasa nyaman. Tapi dari sekian banyaknya fasilitas dan furniture, kami berdua memilih duduk di lantai.

Aku ingat, dulu aku dan geng pembenci Soraya pernah menyembunyikan tas miliknya. Kami melempar tas itu ke dalam selokan yang dipenuhi comberan. Soraya tidak marah, dia juga tidak menangis. Soraya tetap tenang dan tersenyum sembari memungut barangnya satu per satu.

Tapi kali ini sikap Soraya berbeda dari biasa.

Kedua telapak tangannya gemetaran, dengan air mata yang terus menerus jatuh membasahi pipi semulus pualam. Setiap detik, setiap menit, Soraya memohon padaku. Aku merasa seolah-olah menjadi orang paling berkuasa, memegang nyawa Soraya dalam genggaman tanganku.

Sebuah sunggingan pahit terulas pada bibirku. "Baru kali ini aku berada dalam satu tempat yang sama dengan orang-orang paling kubenci," ujarku.

"Lei?"

"Tiga orang, Aya," kataku. "Darwin Laksmono, Dion, dan ... kamu."

"Lei ..." isak Soraya kembali pecah.

"Seharusnya kamu tak memperkenalkanku dan Dewa jika hubunganmu tidak serius. Maka, aku mungkin tak akan mempermasalahkan hobimu yang gemar mengoleksi lelaki."

"Aku serius sama Dewa, Lei. Aku sungguh-sungguh ..." Soraya menyedot ingus yang memenuhi hidung mungilnya. Matanya bengkak, kulit mukanya pun memerah.

"Serius tapi kamu masih kepikiran ngentod sama cowok lain. Kamu sedang bergurau denganku, kan, Ya?" decihku.

"Entah mengapa Dion mampu mengisi kekosongan yang Dewa tidak mampu isi. Akan tetapi, perasaanku dan hatiku cuma buat Dewa." Tangis Soraya lagi-lagi meledak. Ia menggenggam lenganku dengan telapak yang sedingin es. "Aku tahu aku salah, dan aku akan menjadikan ini sebuah pelajaran berharga," janjinya. "Kamu tahu, Lei, ketika kamu tiba-tiba muncul, nyawaku seolah tertarik dari tubuhku. Aku membayangkan kamu adalah Dewa. Ketakutan sontak menjalar membuatku sesak napas. Dan aku sadar ... aku sangat mencintai Dewa lebih dari apa pun."

Aku menyeringai getir.

Cinta, seperti apa, sih, manusia memaknai cinta? Aku acap kali mendengar pengakuan cinta, namun pada akhirnya mereka terjerumus dalam pengkhianatan. Apakah cinta hanya sebuah rasa tanpa wujud tanggung jawab? Apakah selama kebohongan itu tak terungkap, maka semua akan tetap baik-baik saja?

Aku pelan-pelan beringsut bangun. Kepalaku sedikit pening, pandanganku pun berkunang-kunang.

Soraya dengan segera menarikku. "Kamu mau ke mana? Kamu akan mengadukanku pada Dewa?" cecarnya.

Aku menatap Soraya dingin. Ia tampak kacau, berantakan.

"Dewa tidak akan memaafkanmu jika dia tahu ini semua," ujarku.

"Aku tahu ..." lirih Soraya.

"Maka tebuslah kesalahanmu dengan menjadi pasangan yang baik untuknya."

"Lei, thank you so much!" Soraya memelukku, akan tetapi aku menangkisnya. "Lei?" Ia memandangku bingung.

"Semula kupikir kamu terlalu baik untuk Dewa, sekarang aku baru sadar kalau aku salah. Dia yang terlalu baik untukmu, Aya."

Soraya kembali berkaca-kaca.

Aku melanjutkan, "Kamu pikir hidupmu akan tenang karena kebohonganmu tidak terungkap?"

"A-aku belum melakukan apa pun dengan Dion, aku—"

"Ada proses panjang sebelum kalian berdua memutuskan check in, Soraya." Aku menyela dingin.

Aku lantas keluar dan mengambil seribu langkah meninggalkan Soraya. Setiap derap yang kuambil, menampilkan wajah Dewa pada ingatanku. Penyesalanku bertumpuk-tumpuk. Menyimpan dusta dari Dewa memang bukan hal yang benar. Namun, aku tak ingin menjadi seseorang yang menggoreskan luka untuknya.

***

Toktoktok.

Aku mengesampingkan gamang dan mempertahankan posisiku. Aku berdiri di depan pintu rumah Dewa, berdebar tidak karuan seolah menunggu eksekusi mati. Ada berjuta kemungkinan; dia mengabaikanku, dia memintaku pergi, atau dia akan menyerangku dengan kalimat-kalimat pedas khas Dewangga Satya.

Pada akhirnya aku memilih menjadi tidak tahu diri.

Aku harus meminta maaf pada Dewa; meminta maaf karena telah memojokkannya soal Darwin Laksmono, dan ... meminta maaf karena aku memilih membohonginya.

Posturku seketika tegap tatkala Dewa membukakanku pintu.

"Mau apa ke sini?" sambut Dewa ketus. "Kupikir kamu sudah pindah ke rumah pacarmu."

"Hai." Aku tersenyum dan menunjukkan Dewa kantong plastik di tanganku. "Aku bawa nasi Padang," terangku.

Dewa berkernyit — oh, demi Tuhan, ekspresinya sangat menyebalkan dan mengintimidasi. Aku seolah berdiri telanjang di hadapannya. Dewa menatapku dengan cara yang super duper mengejek.

"Sorry, aku udah kenyang," tolak Dewa.

"Dewa!" Aku menahan pintu yang hendak ia banting tepat di depan mukaku. "Aku ketemu Darwin Laksmono hari ini!"

"Huh?"

"Ya, kami bekerja di satu acara yang sama," jelasku. "Dan aku akhirnya tahu seperti apa sifat aslinya. Dia lelaki yang menjijikkan, bukan?"

Ada helaan napas kasar keluar dari hidung Dewa yang mancung. Ia tidak lagi menautkan kedua alis tebalnya.

Aku kembali melanjutkan, "Aku minta maaf karena lebih membelanya dari pada menunggu penjelasanmu," ucapku. "Well, aku nggak tahu apa yang Darwin katakan hingga berhasil membuatmu marah. Tetapi, aku tahu dia adalah tipikal lelaki yang pantas menerima sebuah pukulan pada mulutnya."

Dewa memalingkan muka seraya mengusap dahinya yang berkerut. Ada tarikan melengkung tercipta dari bibirnya. Dewa tertawa kecil dan mencoba menyembunyikannya dariku.

Melihatnya tersenyum ada bungah kebahagiaan memenuhi relungku. Namun, seperti bom yang mendadak meledak, letupan kesedihan menguasai batinku. Lelaki inilah yang telah dibohongi oleh Soraya. Lelaki bersenyum rupawan inilah yang Soraya sia-siakan. Dan lelaki ini jugalah, yang tak mengetahui bahwa dirinya telah didustai.

"Masuklah," kata Dewa mempersilakanku.

Aku pun tersentak dari lamunan dan mengikuti ajakannya.

"Apa yang membawaku ke sini, Ileana? Kupikir kamu nggak akan kembali lagi." Dewa berjalan menyusur bagian dalam rumah, ia membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol minuman kemasan.

"Aku belum memutuskan tinggal bersama Raihan. Kurasa besok aku akan kembali lagi ke rumahku," jawabku. Aku menjatuhkan bokong ke atas sofa kuning neon milik Dewa.

Dewa menyambar kantong plastik yang kubawa dan meletakkannya ke atas piring.

"Ini dari tempat yang kita datangi itu?" tanya Dewa.

"Kukira kamu tadi bilang kalau sudah kenyang," sahutku.

Dewa cengengesan. "Omongan dari seseorang yang gengsi."

"So, are we cool?" selidikku.

Dewa tersenyum. Ia mengangguk.

Aku mengembuskan napas lega. Lalu membiarkan Dewa membuka bungkusan makanan yang kubawa untuknya. Dia terlihat lahap menyantap nasi bercampur sayur nangka dan daun singkong.

"Pak Darwin bilang apa sama kamu?"

"Ehm, soal penawarannya ke kamu. Entahlah?" ujarku. "Aku nggak begitu paham apa maksudnya. Emang dia nawarin kamu apa?" Aku berbalik tanya.

Dewa menggeleng. "Nggak penting. Nggak usah dibahas," elaknya.

"Bukankah itu menyedihkan?" gumamku. "Ketika kita mengidolakan seseorang, hingga memujanya sedemikian rupa. Namun ternyata, dia tak sebaik apa yang kita khayalkan. Kita seolah percaya dengan ilusi yang kita buat sendiri. Apa kamu kecewa?"

"Ya kecewa," jawab Dewa. "Sedikit." Ia lalu memandangku teduh seraya mengulum senyum. "Tapi kalau kupikir lagi, aku menyukai karya-karyanya. Bukan personalnya."

Aku mengangguk. "Kamu benar ..."

Dewa masih membingkaiku dalam sorotnya yang dalam. Ketika ia melakukan itu, aku memilih membalas tatapannya.

"By the way, aku mulai menyukai Mr. Brightteeth," aku Dewa. "Dia cukup gentle karena membereskan kekacauan yang kuperbuat."

"Oh ...? Ya," lirihku.

"Terlepas dari kesalahan fatalnya padamu dulu, kurasa dia tipikal lelaki yang bisa sabar menghadapi keketusanmu."

Aku meringis kecut.

Dewa menggeser tubuhnya mendekatiku. "Serius, aku jadi penasaran di balik cerita penyebab kepalanya plontos," kekehnya.

"Sudahlah!" sanggahku.

"Tapi kulihat rambutnya sudah mulai tumbuh, ya?" Dewa semakin terkikik geli. "Kamu berutang kisah itu padaku, Ileana."

"Kapan-kapanlah kuceritain," sergahku.

Sejurus kemudian, sensasi perih menyakitkan lagi-lagi menusuk lambungku. Aku sontak membungkuk sambil memegangi perut.

"Ileana?" Dewa memeriksaku. "Kamu kenapa?"

Aku meringis. "Nggak, perutku barusan bunyi karena lapar," dalihku.

"Astaga," decih Dewa. Ia mengambil satu lagi piring kosong dan menyuguhiku makanan yang kubawa. "Kalau gitu buruan makan."

"Iya." Aku menerima pemberiannya.

"Sultan gimana?"

Aku menyuapkan sesendok nasi masuk ke dalam mulut. Setelah mengunyahnya beberapa kali, aku pun membalas Dewa. "Dia baik. Aku sudah pernah bilang belum, kalau Raihan memperlakukan Sultan dengan sangat baik."

"Jadi Raihan penyuka hewan?"

"Entahlah," jawabku. "Dia hanya suka mengurus segala sesuatu. Dia suka mengurusku, dia juga suka mengurus Sultan."

"Dan kamu suka lelaki seperti itu? Yang mengatur semua untukmu?"

Aku mengangguk tanpa pikir panjang. "Ya, aku suka."

"Apa Raihan sedikit mengekang?" selidik Dewa.

"Dia tidak mengekang, dia mendominasi," terangku.

Dewa berdeham. "Kamu nggak masalah dengan itu?"

"Kamu tahu, Dewa," kataku. "Aku mungkin tergolong aneh karena sangat membenci emansipasi wanita. Aku tak ingin mandiri dan tak ingin lelah bekerja. Aku ingin ada lelaki yang bisa menyediakan semuanya untukku."

"Kenapa?"

"Karena aku capek melakukannya sendiri," akuku. "Aku sudah terlalu lelah melakukan segalanya sendirian."

Aku dan Dewa saling beradu pandang. Ada setitik iba yang memancar dari tatapannya terhadapku. Lalu Dewa memilih tersenyum untukku, sementara tangannya mengusap puncak kepalaku tanpa izin.

Aku membiarkan Dewa membelaiku seperti anak kucing.

Berharap sentuhannya akan berubah lebih intim. Tapi begini saja sudah lebih dari cukup — rasanya hangat dan damai. Kemudian sensasi menyakitkan itu datang lagi. Pasti hukuman karena aku telah membayangkan hal yang tidak-tidak bersama Dewa.

"Ileana?"

Aku meletakkan piring di pangkuanku ke atas coffee table. "Dewa, kamu punya obat maag?"

"Kapan kamu terakhir makan?" selidik Dewa panik.

"Kemarin," jawabku.

"Ya Tuhan!" berang Dewa melotot. "Terus kamu malah makan santan padahal sudah tahu ada maag."

"Dewa, nanti aja ngomelnya, kamu ada obat maag, nggak?" Aku meringis kesakitan sembari memegangi perut.

Dewa bergegas pergi meninggalkanku. Ia buru-buru membuka pintu kulkas untuk mendapatkan permintaanku. Kemudian Dewa kembali membawa sebotol obat asam lambung dan segelas air hangat.

"Semoga belum kadaluarsa," gumam Dewa.

"Kalau aku mati, bersiaplah kugentayangi," timpalku.

Dewa lalu menyuapiku sesendok, aku menerimanya seolah bayi yang baru belajar makan. Kemudian ia memberikanku air untuk minum.

"Tunggu beberapa menit baru makan. Kalau masih sakit, kita ke dokter aja," kata Dewa.

Aku menggeleng dan mengambil kembali piring makanku. "Nggak usah. Udah biasa begini." Namun Dewa mendadak merebut makananku. "Dewa?" pelototku.

"Jangan makan makanan bersantan dulu. Aku akan bawakan yang lain."

"T-tapi?"

"Tunggu," titah Dewa. Ia seenaknya pergi meninggalkanku.

Tak hanya perutku yang perih, hatiku pun berubah pedih. Aku sadar ikut andil membohongi Dewa. Semua terasa membingungkan. Entah apa yang harus kulakukan, maju mundur kena.

Tanpa menunggu lama, Dewa kembali dan memberikanku sepiring nasi hangat dengan lauk telur rebus.

"Ih, apa ini?" kernyitku.

"Makan yang hambar-hambar dulu supaya lambungmu nggak kaget."

"Mana enak?" sanggahku.

"Bawel. Nggak bisa, ya, nurut sekali saja?" decak Dewa.

Aku lantas meraih piring di tangan Dewa. Lalu mulai menyantap apa yang dia berikan.

Dewa tersungging puas.

"Nah gitu dong, Anak Pintar," puji Dewa.

Tanpa lagi bicara, aku dan Dewa duduk berdampingan menikmati makanan. Aku sadar bahwa Dewa sesekali menoleh untuk mengawasiku, memastikan apakah aku menghabiskan makanan hambar darinya.

"Ileana," celetuk Dewa.

"Hmm?" sahutku.

"Bisa nggak kamu bilang kalau aku pengen ajak dia ngopi?" pinta Dewa. "Pas dia senggang ..."

"B-buat apa?" selidikku penasaran.

Sebuah tarikan melengkung tercipta pada kedua sudut bibir Dewa. "Saat Raihan ngajak kamu balikan kemarin, Aya kelihatan antusias banget. Aku baru sadar kalau aku nggak pernah doing something sweet buat dia. Dan kurasa, aku bisa belajar dari Raihan. Supaya jatuhnya nggak malah creepy."

"Oh, ehmh ..." gumamku tercekat. "Okay. Aku akan sampaikan ke Raihan."

"Aku juga berpikir, mungkin sudah waktunya aku lebih serius sama Aya."

"Maksud kamu?" buruku.

Dewa tersenyum lebih lebar. "Tadinya aku pikir mempertemukan dua keluarga besar sudah cukup untuk mengikat hubungan kami. Tapi kurasa sebelum melakukan itu, ada baiknya aku memberikan kejutan romantis buat Aya." Kemudian mataku dan Dewa saling bertautan. "Aku ingin melamar Aya."

Darls, buat kalian yang suka Mr. Vanilla dan mau baca jalur cepat, buruan deh ke akun WACAKU, AyanaAnn. Cari Mr. Vanilla di sana, karena masih buanyak banget bab gratis. Aku juga pasang harga murah banget untuk bab-bab terkunci, misal 400, 600 rupiah, gila kan?!

Selanjutnya, aku nggak tahu kapan bakal update cerita ini lagi di wattpad. Aku jamin, cerita ini bakal ninggalin kesan kuat di hati kalian. Jadi, jangan ragu buat buka bab yang terkunci di WACAKU atau KARYAKARSA, ya! Untuk melanjutkan bab ini, silakan buka di bab 23. Versi Wattpad memang lebih pendek jadi bab-nya lebih banyak.

Oh, ya. Bagi kalian yang sedang belajar menulis, atau penulis pemula yang ingin bercuan, silakan follow Tiktok Ayana, cz aku bagiin tips kepenulisan di sana.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro