Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 |

Ileana

Sekujur tubuhku seketika dingin, menggigil gemetar pada setiap persendiannya. Raihan Argantara ada di sini untuk menemuiku. Bukankah ini yang kumau? Menyaksikannya memohon agar kukembali. Tapi aku lupa menyiapkan jawaban apa yang harusnya kuberikan padanya.

"Raihan? Raihan mantanmu?" tanya Dewa.

Aku menjawab dengan anggukkan kepala.

Dengan pelan Dewa membelokkan setir untuk memarkir mobilku di depan gerbang rumahnya.

"Parkir sini dulu, ya, nggak bisa masuk garasi karena kehalang mobil mantanmu," kata Dewa mematikan mesin mobil.

"Terserahlah," gumamku.

Jantungku semakin bergemuruh tatkala Raihan keluar dari Civic putihnya. Meski gelap gulita, netraku menangkap jelas sosok Raihan yang tampan bukan main. Ia mengenakan topi beanie serta kaos polos warna hitam yang membingkai tubuh atletisnya. Sialan. Kenapa dia masih sempurna walau pun hari menjelang tengah malam?!

"He-he," kekehan Dewa mendadak membuyarkan lamunanku.

"Kenapa ketawa?" tanyaku mengernyit.

Dewa menggeleng. "Nggak. Mendadak kepikiran kalau alasan dia memakai kupluk karena ulahmu. But, not my business," ocehnya menelan tawa. Ia lantas menengok ke belakang untuk meraih tas kameranya. "Thanks udah nebengin."

Minim penerangan -- Raihan mengira kalau aku sendiri yang mengemudi, ia pun berinisiatif membukakan pintu. Seperti yang kubilang, Raihan Argantara adalah tipikal lelaki romantis penuh perhatian. Senyum Raihan melebar, tapi seketika menguncup karena melihat Dewalah yang melongokkan kepala. Ia pasti tidak menduganya.

"Lhoh?"

"Lah?"

Keduanya saling beradu pandang. Sementara, aku justru melengos keluar dari mobil tanpa dosa.

"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku.

Raihan terperangah karena mendapatiku berada di seberang. Di lain sisi, Dewa dengan santai melewati Raihan begitu saja.

"Ini siapa, Ileana?" raut Raihan gusar - seakan-akan dia masih berhak mengontrol diriku.

Belum sempat kujawab, Dewa berbalik menyela, "Besok jangan kesiangan. Jadwal kita padat," titahnya padaku. "Aku duluan." Dia menepuk bahuku dan nyelonong menuju ke dalam rumahnya.

"Sampai ketemu besok." Aku berseru.

Raihan mendengkus. "Ileana?" burunya. Tak terima diabaikan.

Aku cuek membuka kunci pagar. Sengaja kubiarkan Raihan mengekori di belakang. Aku berlagak acuh tak acuh padahal gugup bukan main.

"Dia tinggal di sebelah?" tanya Raihan lagi. "Mukanya kok nggak asing, ya?"

"Dia Dewa, pacarnya Soraya," terangku.

"Pantas familiar, aku baru ingat pernah melihat fotonya di akun Soraya." Raihan berniat ikut masuk. "Jadi sekarang rumah kosong itu ditempati pacarnya Soraya?" Ia terhenti karena aku mencegahnya.

"Ada perlu apa ke sini?" ketusku.

"Kamu nggak memperbolehkan aku masuk?" Raihan melotot.

Aku menggeleng. "Ini udah malam dan kita nggak ada hubungan apa-apa lagi. Buat apa aku biarkan kamu masuk?"

Raihan menyorotku lama. Ekspresinya tenang dan sulit kutebak.

"Aku mau antar buku vaksin Sultan." Ia menyodorkanku buku kecil yang diambil dari saku jeans-nya.

"Oh, okay," terimaku.

Tanpa kuduga, Raihan mendorong daun pintu kuat-kuat, kekuatannya berhasil mengalahkanku.

"Raihan!" sentakku.

"Jangan bersikap dingin, Ileana. Aku sudah mengalah datang ke sini menemuimu. Apa ini belum cukup untuk meredakan kemarahanmu?" sergah Raihan.

Aku membeliak. "Sudah mengalah? Bukannya memang sepatutnya begitu soalnya kamu yang salah, Raihan. Kamu kira gampang menyembuhkan lukaku karena pengkhianatanmu? Asal kamu tahu, itu sangat menyakitkan!"

"Coba kamu pikir baik-baik, tidak mudah menjadi diriku. Aku menghabiskan masa mudaku untuk belajar demi meraih gelar dokter spesialis. Lalu ketika aku memiliki sedikit waktu untuk diriku sendiri, dan melakukan sedikit kekhilafan, kamu meninggalkanku begitu saja. Wanita-wanita itu mengejarku hingga pertahananku runtuh. Kuakui aku terlena oleh godaan mereka. But, in the end of the day, I go back to you."

Napasku seolah terhenti. Aku menatap Raihan lamat-lamat dengan pandangan memburam penuh air mata.

"Kamu lupa kalau aku sudah bersamamu semenjak usiaku dua puluh satu? Itu sebelum aku lulus kuliah!" beberku. "Aku rela mengubur semua ambisiku demi mendampingimu, Raihan. Kamu pikir hanya kamu sudah berkorban paling banyak? Asal kamu tahu, menjadi dokter spesialis itu pilihanmu bukan sebuah keterpaksaan. Lalu, bagaimana denganku? Bagaimana dengan apa yang kuinginkan? Bahkan untuk mengubah penampilan pun, aku harus menunggu izinmu."

Raihan tercengang. "Apa yang kamu mau? Bukannya menjadi model merupakan keinginanmu? Dan aku sama sekali tidak pernah melarang atau membatasimu!" sanggahnya.

"Kalau begitu kamu sama sekali tidak mengenalku. Aku menjadi model untuk bertahan hidup, mencari sampingan demi menafkahi diriku sendiri," jelasku. "Kamu lupa seberapa seringnya aku mengatakan ingin mendaftar Au Pair? Oh aku rasa kamu tak ingat karena kamu hanya mendengar dirimu sendiri."

"Au Pair?" Raihan mengernyih. "Aku pikir kamu bercanda soal Au Pair, Ileana. Apa jadi pembantu di negeri orang adalah keinginanmu, huh?! Itu konyol!"

"Au Pair tidak sama seperti pembantu, Raihan!" serangku. "Aku begitu terkungkung di rumah ini sedari kecil dan aku rela mengubur kesempatanku keliling dunia demi bersamamu. Akan tetapi, lihatlah apa yang terjadi? Kesetiaanku justru membawaku kembali ke rumah sialan ini!"

"Kalau begitu kembalilah pulang denganku. Jual rumahmu setelah kita menikah. Aku janji akan membawamu berkeliling dunia, ke mana pun kamu mau." Raihan merunduk untuk memandang mataku. Ia membujukku dengan janji-janji surga yang melemahkanku.

"Katakan padaku, apa yang membuatmu menemuiku? Selama ini aku hanya pilihan keduamu," tolakku.

"Aku tidak akan melamar pilihan keduaku, Ileana," dalih Raihan.

Aku berpaling. "Kamu terlihat baik-baik saja tanpaku, Raihan."

"Aku tahu kamu pasti mengecek media sosialku dan aku sengaja membuatmu berpikir begitu. Tujuannya agar kamu semakin memikirkanku, agar kamu sadar bahwa kita seharusnya tidak berpisah." Raihan menarik lenganku.

"Cinta bukan permainan strategi," cercaku.

"Aku tak punya pilihan lain. Kamulah yang pergi meninggalkanku. Memohon padamu hanya akan membuatmu makin mengabaikanku."

"Dan kamu berpura-pura baik-baik saja demi mendapatkan perhatianku?" tukasku.

Raihan mengangguk. "Katakan padaku kalau aku berhasil, Ileana ..." Aku tertaut dalam iris Raihan yang mengiba. Ia menghipnotisku melalui raut sendunya. "Kesampingkan egomu dan akui dengan jujur."

Aku membuang muka.

"Ileana," buru Raihan. "Beb?"

Isakku pun pecah. "Kamu berhasil," lirihku.

Raihan serta merta mendekapku. "Maafin kekhilafanku, Ariadne Ileana," ucapnya. "Kumohon kembalilah padaku. Aku bersumpah bisa gila tanpa adanya kamu di sisiku."

Aku luruh dalam pelukan Raihan yang hangat. Mataku terpejam hingga menajamkan indra penciumanku. Aroma parfum Raihan masih sama — wangi yang menenangkanku. Selain itu suara detak jantung Raihan membangkitkan segala nostalgia kami.

Haruskah aku mempercayainya?

Secara penuh kasih, Raihan mengusap helai rambutku. Ia melepaskan rengkuhan untuk menempelkan bibirnya pada bibirku. Aku tak menolak atau menghindar.

Ciuman kami menciptakan geletar menyengat yang meleburkan segala rindu.

Pagutan lembut kami dengan drastis berubah kian intens. Raihan mendorongku hingga merapat pada dinding. Terus terang — aku cukup bergairah oleh dominasi yang sudah lama tidak kurasakan darinya. Aku lagi-lagi tunduk pada kuasa Raihan. Membiarkan lelaki ini memperbudakku dalam gelora.

Semua menjadi buram dan sentuhan Raihan terasa semakin nyata. Aku pun memilih pasrah; bergelayut ketika Raihan membopongku menuju kamar, menuntun kami pada ambang penyatuan.

Raihan membaringkanku pada ranjang. Lalu mencengkeram rahangku sambil mencumbuku lebih intim. Ia kelaparan dan aku adalah mangsa yang patuh. Kuakui tubuhku terlena, namun mengapa hatiku tidak? Tubuhku mendambakan Raihan menuntaskannya, namun mengapa nuraniku menolak? Tubuhku sungguh bernafsu hebat, namun mengapa benakku ingin mengakhirinya?

"Raihan ... tunggu," tahanku.

Raihan berhenti. Ia memandangku dengan cara yang sangat memabukkan. Oh ... egoku begitu mengidamkan lelaki rupawan ini.

"Biarkan aku ke toilet sebentar," kilahku.

Raihan tersenyum. "Aku akan menunggumu, Sayang."

Aku bergegas keluar dari kamar, bukan kamar mandi yang kutuju melainkan pintu depan. Sebelum pergi, kubawa ponselku yang ada di dalam tas. Aku butuh udara segar untuk berpikir. Tidak — aku sebenarnya sangat membutuhkan saran dari seorang Soraya Ivona. Pendapatnya begitu penting. Dia lebih mengenalku ketimbang diriku sendiri.

Sambil menyusuri beranda, aku menempelkan gawai pada telinga. Nada sambung yang terdengar semakin membuatku gelisah. Malam begitu larut, Soraya mungkin sudah tidur.

Soraya tak mengangkat.

Dengan gelisah aku mengetik pesan padanya, berharap ia akan membaca. Setelah terkirim, aku kembali menghubungi Soraya. Ya, aku tak ubah seorang posesif yang mengejar-kejar Soraya. Tapi hanya dia tempatku bersandar. Aku membutuhkan Soraya!

"Shit, Aya!" dumalku sendiri.

"Kenapa sama Aya?" Kepala Dewa tiba-tiba nongol dari dinding pembatas.

"Setan!" makiku. Aku hampir serangan jantung. "Haish! Ngagetin aja!"

"Aku dari tadi di teras. Keasyikan pacaran sampai lupa, ya, punya kucing?" Dewa mengangkat Sultan untuk menunjukkannya padaku.

"Sejak kapan dia ada sama kamu?" tanyaku heran. Pantas tadi seperti ada yang kurang di rumah.

Dewa mendecih. "Kamu bahkan nggak sadar kucingmu hilang. Dasar pawrent nggak bertanggung jawab. Dia ngeong-ngeong di depan pintuku. Kelihatannya dia lapar karena belum kamu kasih makan."

Aku enggan mengindahkan omelan Dewa tentang seberapa tidak becusnya diriku merawat Sultan. Sebaliknya, aku justru keluar dari pagar dan menerobos masuk menghampiri Dewa.

"Bisa hubungin Aya? Aku perlu bicara sama dia!" tuntutku.

"Sebelum kita selesai pemotretan di klinik, Aya sudah pamitan mau istirahat. Dia besok pagi mau ke Gua Jomblang, jadi harus tidur awal demi menjaga stamina," sahut Dewa mendetail. "Lagian buat apa telvon Aya malam-malam gini? Nggak ada kerjaan lain apa?"

"Aduh!" Aku mengacak-acak rambut. "Aku butuh sarannya Aya. Aku harus curhat sekarang juga."

Dewa mengernyih. "Kamu kira Aya call center PLN apa, bisa seenaknya kamu hubungi 24 jam?"

"Diem, deh, Dewa!" Aku merebut Sultan dari gendongan Dewa dan menerobos ke dalam rumahnya.

"Siapa yang izinin kamu masuk?!" sungut Dewa.

"Siapa juga yang izinin kamu acak-acak lemari pakaianku?!" balasku tidak mau kalah.

Dewa mengikutiku seraya berkacak pinggang. "Acak-acak kamu bilang? Me-ra-pi-kan mungkin lebih tepat!"

"Di luar banyak nyamuk," dumalku. Aku seenaknya merebahkan bokong ke atas sofa. "Astaga? Warna sofamu? Mencolok banget sampai mataku sakit! Norak!" pelototku.

"Sama mencoloknya kayak gigi pacarmu yang bikin mataku silau," balas Dewa.

Aku mendengkus. "Maksudmu?!"

"Kamu nggak sadar? Tingkat putih cemerlangnya bisa menerangi satu rumah pas mati lampu," kelakar Dewa.

"Dia pakai veneer!"

"Aku tahu." Dewa mendecih. "Gigi alami nggak akan seterang giginya. Kurasa ia tidak membutuhkan flashlight ponsel kalau tersesat di belantara."

"A-apa katamu?"

Dewa memamerkan deretan giginya padaku. "Shine bright like diamond ..." ejeknya.

"Pfft!" Tawaku akhirnya pecah. Well, aku juga ngerasa tingkat kecerahan veneer Raihan keterlaluan, sih. Cuman keseringan bersama bikin aku jadi terbiasa. "Berhenti me-roasting-nya!" protesku. Setengah mati aku berusaha menghentikan tawaku.

Dewa tersungging.

"Jadi, kenapa kamu justru ke sini? Silakan kembali ke rumah. Bukankah Mr. Teethbright sudah menunggumu?"

Aku menghela berat. "Aku bingung. Untuk itulah aku butuh nasihat dari Aya. Haruskah aku menerima Raihan kembali?"

Dewa menatapku jengah. "Aku nggak jago soal urusan perasaan," sahutnya. "Bisa nggak kamu selesaikan sendiri supaya aku bisa tidur?"

"Kamu tahu—" selaku. Tak kupedulikan usiran kasar Dewa. "Aku sangat menginginkan kami baikan, tetapi setelah dia datang, aku justru bimbang."

Dewa mendengkus.

Ia menjatuhkan badan ke atas sofa dan menyandarkan kepalanya.

Dewa melirikku sinis. "Aku nggak mau ikut campur sama masalah pribadimu," tegasnya. "Kalau emang kamu belum mau ketemu sama dia, suruh aja dia pulang."

"Suruh dia pulang?"

Dewa memejamkan mata dan pura-pura mendengkur demi mengejekku.

"Dewa!" omelku.

Dewa terkekeh. Ia membiarkan Sultan melompat pada pangkuannya.

"Anak manis." Dewa mengelus-elus kepala Sultan penuh perhatian.

"Bisa nggak, sih, kamu baik sama manusia kayak baik sama kucing?!" sungutku.

"Hmmh," desah Dewa kesal. "Apa, sih, Ileana?"

"Aku mana bisa suruh dia pulang?" ujarku. "Aku takut dia bakal pergi selamanya kalau kuusir."

"Ngapain takut?" Dewa bersandar. Ia memejamkan mata seraya mengusap-usap Sultan. "Kalau dia serius mencintaimu — dia nggak akan pernah pergi. Walau sejauh apa pun jarak memisahkan kalian, nggak ada celah buat keraguan," ujarnya.

Aku termenung.

Dewa memang ketus. Akan tetapi, ia bijaksana juga. Selain itu, aneh, aku tak lagi terusik oleh tingkah dinginnya.

Aku terdiam cukup lama.

Kali ini aku ingin semua berjalan dengan benar. Aku tak mau lagi menjadi wanita yang mengabaikan diri sendiri demi menyenangkan Raihan.

Aku menoleh dan melempar senyum ke arah Dewa. "Titip Sultan untuk malam ini, ya!" kataku.

"Hmm." Dewa mengacungkan jempol dan membiarkanku pergi.

***

Ekspresi Raihan penuh kegelisahan. Ia menghambur ke arahku. "Dari mana saja? Jangan bilang kamu sengaja meninggalkanku, Lei?"

"Maaf, aku butuh waktu untuk menjernihkan pikiran." Aku mengaitkan buku-buku jari kami dan menuntunnya kembali ke kamar. "Bisakah kita kembali tidur? Hanya tidur, tidak lebih."

Raihan memandangku bingung. "Tidur?"

Aku mengangguk. "Ya, tidur bersama," jelasku.

"Oh, okay." Raihan mengiakan.

Aku tersenyum lega.

Aku dan Raihan merebahkan badan ke atas matras. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Sementara, Raihan menyangga kepala dengan lengannya - ia menyorotku lembut.

"Okay, look, we don't need to rush into anything," kataku.

Raihan mengangguk.

Jemarinya menyisir helai rambutku yang panjang. "By the way, kamu tahu kalau aku sekarang bekerja di dua rumah sakit?"

"Sungguh? Selamat, ya!" seruku berbinar.

Raihan tersungging.

Pelan-pelan mataku mulai memberat, akan tetapi ...

"Karena itulah aku harus berangkat pagi-pagi sekali besok," kilah Raihan. Ia beringsut bangun untuk menuruni ranjang. "Jadi, aku sebaiknya pulang."

"Kamu bisa berangkat dari sini besok," cegahku.

"Banyak yang harus kupersiapkan, Lei. Aku takut terlambat." Raihan bersikukuh pergi. "Tidurlah. Tak perlu mengantarku."

"Tapi, kamu tadi setuju untuk menginap?" protesku.

"Maaf, ya. Setelah kupikir ulang, aku berpotensi telat kalau tidur di sini. Aku masih baru di rumah sakit itu, sebisa mungkin aku ingin menunjukkan kinerja yang baik," ujar Raihan

"Ya sudah," jawabku menyimpan murung.

Netraku mengikuti punggung Raihan yang berlalu menghilang. Saat runguku mendengar pintu tertutup, aku pun bangkit dan mengintip ke luar jendela. Raihan membuka pintu mobil seraya menunduk pada ponselnya. Pantulan cahaya dari layar gawainya memperjelas garis melengkung pada bibir Raihan.

Hatiku membisik bahwa aku belum mempercayai Raihan. Dia mungkin sedang mencari wanita yang mau menjadi pelarian nafsunya.

Tanpa kusadari, air mata menetes jatuh membasahi pipiku.

Menolak ajakan bercinta Raihan merupakan keputusan yang benar. But, why does the right decision make me feel awful?

Hai, Darls!

Ada yang pernah galau kayak Ileana?

No matter the decisions you make, just remember to always choose yourself. 🖤🖤🖤

Baca MR. VANILLA jalur cepat di Karyakarsa, yuk! Traktirlah Ayana jajan mixue lewat sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro