Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08 |

Ileana

Aku berjalan masuk ke dapur dan mengambil sendok. Sambil membuka kulkas, aku menyuapkan sesendok ayam teriyaki pemberian Dewangga ke dalam mulut. Lumayan enak juga, beli di mana dia?

Bibirku menyungging karena melihat bagian dalam kulkasku bersih dan kinclong.

Soraya memang sahabat terbaik.

Dia tahu hatiku sedang terluka parah hingga sekedar membersihkan rumah saja, aku enggan. Tidak hanya dapur, Soraya juga membersihkan seluruh ruangan rumah. Termasuk lemari pakaianku.

Tanganku lantas merogoh ponsel pada saku celana dan bergegas menghubungi nomor Soraya. Tidak perlu menunggu lama, dia pun mengangkat panggilanku.

"Hei, ngapain? Lagi sibuk?"

"Nggaaaak. Baru pulang dari klinik. Ngantuk," jawab Soraya. "Kamu?"

"Lagi makan ayam teriyaki. Makasi, ya," ujarku tersenyum.

"Hah?" Soraya terdengar kebingungan. "Ngapain makasi ke aku?" tanyanya.

"Kamu yang suruh Dewa bawain aku makanan, 'kan?" sahutku.

"Dih enggak," kata Soraya. "Itu pasti inisiatif Dewa sendiri, Lei."

Aku mendecih. "Alah. Kamu yang suruh pasti."

"Nggak," sanggah Soraya. Ia lantas terkikik. "Baguslah. Aku jadi tenang soalnya kamu ada yang jagain. Dewa di sana?"

"Di teras, susun kandangnya Sultan."

Aku masih menyimpan keterkejutan, ternyata bukan Soraya yang meminta Mas Pongah memberikanku makanan. Jangan-jangan ini makanan sisa ...?

Soraya kembali terkekeh. "Manfaatin aja dia, Lei. He's handy."

"Hush!" Aku menggelengkan kepala. "Kamu mau ngomong sama dia, Ya?"

"Nggak, deh, Lei. Aku capek banget, mau tidur. Besok juga kita ketemuan. Salamin aja sama Dewa, ya. Bilangin, I love you so much my Beibi."

"Dih, bilang sendirilah!" sungutku.

Tawa Soraya menggelegar riuh.

"Eh, Ya," potongku. "Betewe, makasi soalnya udah rapiin rumah. Kamu emang sahabat terbaik. Sering-sering, ya ..." ledekku.

Soraya berusaha menghentikan tawa. "Itu bukan aku. Seharian aku tidur, itu kerjaan Dewa juga. Dia tuh neat freak, matanya sakit kalau lihat berantakan atau sesuatu yang nggak proporsional."

"De-Dewa?!" Aku membeliak. "Jangan bohong kamu, Ya!"

"Kamu lupa flat-ku aja kayak gimana? Boro-boro mau bersihin rumah orang lain!" dengkus Soraya.

"Tapi kenapa?"

"Ya nggak kenapa-kenapa. Dewa emang anaknya gitu! Makanya aku jatuh cinta banget sama dia. Sekarang kamu ngerti, kan, apa alasanku memilih serius sama dia. Cuz he's so perfect."

Aku tertegun.

Jadi Mas Pongah yang bersihin rumahku? Bersihin lemariku? Tumpukan beha dan celana dalamku?! Entah aku harus berterima kasih atau malah marah karena dia sudah menerobos privasiku.

"Hellooowww?" Soraya membuyarkan lamunanku.

"O-i-iya, Ya ..." aku gelagapan.

"Kok mendadak diem aja? Kirain teleponnya keputus," kata Soraya.

"Nggak kok, aku masih di sini." Aku pun kembali membisu. Pikiranku masih kalut karena kebaikan yang kuterima dari Dewa.

"Yaudah, ya, Lei. Kayaknya aku mau mandi terus bobok nih. Titip Dewa, ya." Soraya mengakhiri pembicaraan kami.

Aku termangu sesaat.

Kenapa Dewangga Satya niat banget merapikan rumahku? Selain itu, kenapa dia baik kasih aku makanan segala? Apa mungkin Mas Pongah nggak seburuk penilaianku. Mungkin saja dia cuma cowok pemalu yang kikuk pada tiap perkenalan pertama. Mungkin kali ini Soraya nggak salah memilih cowok. Mungkin ...?

Aku lantas berjalan ke depan untuk menghampiri Dewa.

Rasa sungkan bercampur segan sontak menyelimuti relung. Gimana caranya ucapin makasih ke dia?

"Eh, sudah selesai, ya?" Aku berbasa-basi.

Seingatku, aku hampir sejam merakit kandang tapi nggak kelar-kelar! Si Dewa belum sepuluh menit udah beres aja. Emang betul dia handy kayak kata Soraya.

"Ini gampang. Kamu tinggal mengaitkannya satu sama lain," ujar Dewa.

"Makasi, ya," ucapku tersenyum.

Dewa bergeming.

Aku pun jadi makin canggung. "Itu teriyakinya bikinan sendiri?" alihku.

Dewa mengangguk.

"Mana kucingmu?" selidik Dewa.

"Ada di dalam, tidur," sahutku.

"Baiknya jangan terlalu lama ditaruh di kandang. Nanti stres. Lagian apa gunanya pelihara kucing kalau dikurung," kata Dewa dingin.

Senyumku perlahan memudar. Cara dia bicara terkesan mengguruiku.

"Cuma aku kandangin sebentar selama kerja. Kalau nggak gitu nanti dia berak sembarangan. Sultan itu nakal," jelasku.

Dewa menatapku sambil mengangkat sebelah alis. "Kucing nakal biasanya karena kurang perhatian dari majikannya atau bosan. Sebenarnya, mereka bukannya nakal, melainkan insting semeta demi mendapat perhatian dari majikannya. Lagian, kalau litter box-nya bersih, kucingmu nggak bakal pup sembarangan."

"Aku rajin bersihin litter box-nya, kok," dalihku.

"Masa?" Dewa mengernyit. Rautnya sangat menyebalkan, underestimate banget.

"Emang aku harus laporan sama kamu apa -- kalau bersihin tainya kucingku sendiri?" sungutku.

"Nggak, sih. Tapi dari kondisi rumahmu -- aku jadi punya kesimpulan sendiri," seringai Dewa.

Dih? Nyebelin banget. Hilang sudah respect-ku sama dia. Dewa memang cowok paling songong sejagat raya!

"Kondisi rumahku?" sulutku.

Dewa mengangguk. "Berantakan banget," katanya. "Coba, deh, kamu rapian dikit. Supaya menciptakan suasana yang nyaman untuk ditinggali."

"Bukan urusanmu!" dengkusku. "Aku mau rapi atau nggak merupakan hakku, yang aneh itu kamu. Ngapain kamu bongkar lemari pakaianku? Kamu, tuh, lancang."

"Sorry, soal itu. Tapi bukan mauku buka lemarimu," kilah Dewa. "Pakaianmu mendadak longsor, dan sebagai manusia yang punya jiwa sehat, aku berkewajiban membenahinya."

"Jiwa sehat?!" pelototku. Maksudnya jiwaku nggak sehat gitu?

Dewa mengedikkan bahu.

"Orang normal nggak bakal betah tinggal di kamar penuh debu dan sampah," ujarnya santai. Ia lantas melengos dan berjalan menuju pintu gerbang. "Demi kesehatanmu, sebaiknya kamu lebih sering nyapu atau ngepel. Jangan terlalu jorok."

"Bukan urusanmu!" Bola mataku mengekori sosok Dewa penuh amarah. "Siapa kamu ngatain aku jorok segala? Selama setahun rumah ini memang nggak kutempati. Jadi wajar aku belum sempat bersih-bersih."

Dewa seolah tuli dan berbelok masuk ke teras rumahnya.

Aku semakin menjadi-jadi. "Dari awal aku udah nggak suka kalau Soraya pacaran sama kamu. Aku heran kenapa cewek sebaik Soraya mau sama cowok sombong macam kamu," semburku.

Dewa melirik sinis.

"Pendapatmu nggak penting karena aku dan Ayalah yang menjalin hubungan." Ia membuka pintu dan bersiap masuk. "Apa yang aku bilang ke kamu merupakan sebuah saran demi kebaikan. Kok malah nyolot?"

Dewa lalu menutup pintu rumah dan menghilang dari pandanganku.

Emosiku masih meletup. Kutendang keras-keras kandang kucing yang barusan dia rakit untukku. Sialan! Harusnya aku nggak terima bantuan dari orang macam dia.

Menyesal sekali karena aku terlanjur menghabiskan teriyaki pemberiannya.

***

Setelah melakukan ritual skincare delapan langkah, aku pun bersiap tidur. Besok ada pemotretan pagi dan mukaku harus kelihatan fresh.

Soal tahapan delapan langkah, aku cuma melakukannya kalau ada panggilan job. Maklum, aku harus berhemat untuk melunasi cicilan mobil. Harga produk perawatan muka tergolong mahal bagiku. Dan sekarang, aku kembali hidup mandiri; aku harus memikirkan soal biaya listrik, air, serta makan sehari-hari. Oh iya, belum lagi makanan kucing premium buat Sultan. Saat ini aku single mother anak satu (anak berbulu lebih tepatnya).

Pertama membersihkan muka menggunakan pembersih berbahan minyak, lalu dilanjutkan pembersih berbahan air. Jangan lupa eksfoliasi terus pelembab alias toner. Kalau sudah, kasih essence sambil ditepuk-tepuk pelan. Kemudian lanjut mengoleskan serum dan pakai sheetmask. Tunggu dua puluh menit untuk melepaskan sheetmask. Dan terakhir pemakaian moisturizer.

Melelahkan dan ribet. But, beauty is pain, right?

"Hush." Aku mengusir Sultan yang enak-enakkan berbaring di atas bantalku. "Sana, tidur di bawah. Mataku udah ngantuk, nih, Sul!"

Sultan melirikku sinis. Untuk ukuran kucing, dia bossy banget. Mungkin karena terlalu dimanja sama Raihan. Dibeliin tempat tidur, punya mainan panjat-panjatan, bahkan kadang Raihan ajak dia keliling kompleks pakai mobil kalau si Sultan tiba-tiba nggak mau makan.

"Kita sekarang harus belajar hidup prihatin, Sul. Raihan itu orang bejat. Dokter cabul," curhatku menarik selimut. "Aku punya peraturan yang beda dari Raihan. Aku nggak suka kalau kamu tidur di kasur yang sama, sama aku. Bulumu bikin bajuku kotor. Paham, ya?"

Sultan cuek saja dan melompat turun dari ranjang.

Aku pun merebahkan bokong ke atas matras. Tapi kok, hidungku sontak menghirup bau semerbak yang sangat menyengat. Aroma tai kucing!

Aku lantas menelisik ranjangku, dan benar, kucing laknat itu boker di atas kasur. Aku sontak menegakkan badan menuruni ranjang.

"Sultaaaaaaaaaan!" pekikku.

Sultan tak acuh menggaruk-garuk telinga menggunakan kakinya. Ia bukan tidak mendengarkanku, aku tahu Sultan memang sengaja mengerjaiku. Dia kesal karena kubawa pergi dari Raihan. Ketimbang bersamaku, kucing ini lebih suka di rumah Raihan yang nyaman dan terjamin.

"Harusnya kamu pup di pasirmu!" bentakku. "Lihat, aku udah taruh toiletmu di-"

Netraku menyapu pandangan ke sekeliling -- litter box Sultan nggak ada.

Oh iya.

Aku lupa menurunkan litter box Sultan dari mobil!

"Okay. Aku emang lupa taruh toiletmu, tapi bukan berarti kamu pup di tempat tidur!" dehamku. Aku menarik Sultan dalam gendonganku. "Ngerti?!"

Mata Sultan menyorotku sinis. Mirip sama cara Dewa saat melihatku tadi.

Ia meronta dan melepaskan diri dari rengkuhanku. Dengan kesal, aku mengambil kantong plastik untuk membuang kotoran Sultan. Mungkin membawa kucing ini tinggal bersamaku merupakan keputusan salah. Namun, Sultan adalah satu-satunya penghubung antara aku dan Raihan. Meski, aku membenci perbuatan Raihan padaku. Tapi, tetap saja, aku masih sayang dia. Aku berharap kelak ia akan menghampiriku sambil mohon-mohon supaya kami bersatu kembali.

"Sekarang aku harus ganti seprai, dan entah di mana aku dulu menyimpan seprai-seprai-" Sambil terus mengomel sendiri, aku membuka lemari pakaian. Sudah terbayang malam ini harus begadang karena sibuk mencari pelapis kasur.

Tapi, ternyata dugaanku salah.

Aku langsung menemukan tumpukan seprai yang terlipat dan tersusun rapi pada rak almari paling bawah.

"... Seharusnya kamu bisa lebih rapi supaya menciptakan suasana yang nyaman untuk ditinggali."

Aku malu sendiri.

Rupanya tertata rapi begini enak juga. Aku nggak perlu susah payah bongkar sana-sini untuk menemukan benda-benda yang kubutuhkan. Sial, mau tidak mau aku akhirnya membenarkan nasihat dari Dewangga Satya.

Makin besar kepala dia kalau tahu.

Hai, Sugar!

MR. VANILLA bisa kalian baca jalur cepat + part adult lengkap lewat Karyakarsa & Bestory.

Yuk, jangan pelit. Traktir aku tahu bulat di sana!

- Pacarnya Brian Domani -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro