05 |
• Dewangga •
Aya kelihatan antusias sekali begitu tahu aku dan sahabatnya tetanggaan. Rumah yang kukontrak merupakan rumah milik saudara jauh ayah. Rumah itu sudah lama kosong karena mereka semua pindah ke Padang. Sebenarnya dari pada sewa rumah, aku lebih pilih tinggal di apartemen. Lebih praktis dan fasilitasnya juga lebih lengkap, ada swimming pool dan gym, selain itu maintenance-nya mudah. Kalau ada yang rusak, sudah ada staf yang siap membantu.
Dan yang terpenting dari semua - aku nggak harus basa-basi sama tetangga. Yah, aku emang jago bermanis-manis mulut, kalau sama klien atau kolega bisnisku. Tapi kalau sekedar basa-basi nggak jelas .. bukan tipikal introvert sepertiku.
Sayang - keinginanku ditolak mentah-mentah oleh ayah dan ibu. Katanya, kalau tinggal di apartemen kehidupanku bakalan nggak terpantau, terlalu bebas. Ayah bilang dia sudah save nomer Pak RT di kompleks buat mengawasiku. Aku tidak seberapa paham konteks 'mengawasi' yang ayah maksud. Apa lagi aku sudah dewasa, sudah dua-sembilan. Secara finansial pun aku tergolong mandiri. Namun mereka tetap orang tua kandung yang kuhormati. Tidak ada salahnya menuruti kemauan ayah dan ibu, toh mereka merestuiku untuk pindah ke Surabaya saja sudah cukup.
"Kenapa kamu seneng banget aku sebelahan sama temenmu?" tanyaku pada Aya. "Bukan kita yang tetanggaan, tapi aku dan Ilena itu."
"Ileana, Dewa!" koreksi Aya. "Ya senenglah! Kalian berdua bisa saling menjaga dan aku bisa meminta Ileana menjadi mata-mata yang mengintaimu."
Aku terkekeh. "Saling menjaga? Mengintai aku? Waktu kita LDR kamu bahkan nggak seposesif ini. Kamu takut aku selingkuh? Nggak percaya sama aku?" godaku.
"Mendadak nggak percaya sama cowok begitu tahu Ileana dan Raihan putus. Mereka sudah pacaran lima tahun dan baru saja bertunangan. Padahal aku selalu ngiri sama kemesraan mereka berdua. Raihan terlihat sayang dan perhatian sama Ileana." Aya mendengkus kesal. "Tega sekali Raihan menduakan cewek secantik Ileana."
"Cantik bukan jaminan lelaki bakal bertahan," sanggahku. "Dan kadangkala hubungan yang terlalu sempurna menyimpan banyak kebohongan."
"Maksud kamu?" Aya menatapku serius.
"Bagi sebagian orang penampilan fisik mungkin penting, tapi ada yang lebih penting dari itu, yaitu rasa nyaman. Bisa jadi pacar Ileana nggak mendapatkan itu. Jadi dia cari di tempat lain, tapi ..."
"Tapi?" buru Aya penasaran.
"Tapi seharusnya sebagai manusia yang punya akal dan nurani, kita harus memiliki rasa bertanggung jawab dan respect terhadap pasangan. Kalau memang dia bosan dan nggak nyaman, dia akan berusaha memperbaiki hubungan, bukan berselingkuh," jelasku.
Aya memandangku lekat. "Complicated banget, ya, menjalani hubungan serius? Cinta saja nggak cukup dalam sebuah komitmen."
"Nggak cukup," kataku. "Perasaan manusia itu mudah berubah. Cinta bisa jadi hambar seiring berjalannya waktu."
Bibir Aya melengkung ke bawah. Ia mencondongkan tubuh mendekatiku. Untuk sekian detik, tatapan kami saling beradu.
"Jadi suatu saat perasaanmu ke aku bakalan berubah?"
Aku sudah menduga pertanyaan ini bakalan meluncur dari Aya. Wanita memang makhluk emosional; tak peduli seberapa rasional dan logisnya pembahasan kalian, ujungnya mereka akan membelokkan itu semua menjadi masalah perasaan.
"Salah satu alasan aku pindah ke sini adalah kamu, Ya. Aku nggak mau kamu terlalu sering menahan rindu karena terpisah jarak denganku; aku merasa bertanggung jawab untuk membuatmu selalu tersenyum, bikin kamu bahagia. Selain itu, aku nggak akan curang di belakangmu, bukan karena aku nggak mampu. Tapi karena aku nggak mau. Aku menghormati perasaan kamu. Aku respect sama kepercayaan yang sudah kamu kasih ke aku. Paham?"
Senyum Aya perlahan muncul. Ia mengangguk.
"Makasi, ya." Aya membelai bakal janggutku sambil tetap tersungging.
"Kita tidur, yuk. Besok jasa angkut barang datang pagi-pagi sekali. Banyak yang harus aku beresin di rumah tua itu." Aku bersiap mematikan lampu tidur yang terletak di sisi ranjang.
Aya menahanku. "Beb," bisiknya.
O tidak. Aku sudah bisa menebak ke mana arah dari panggilan 'Beb' itu.
"Ya?" gumamku.
Aya mencumbu leherku penuh nafsu. "Main lagi sebelum tidur," sahutnya.
Kami sudah bermain tiga kali hari ini, dan dia mau lagi? For God's sake ... tapi aku bener-bener capek. Aya tak menunggu persetujuanku. Ia mulai menggerayangi setiap inci dari tubuh bagian bawahku.
Baiklah! Kamu harus kuat, Dewangga. Satu babak lagi akan kutempuh demi Soraya Ivona seorang.
***
Aku duduk di samping sopir pengangkut barang, sementara mobil Aya melaju duluan di depan. Kulihat Aya memarkir kendaraannya sembarangan. Ia lantas keluar sambil menempelkan ponsel pada telinga. Kemungkinan Aya sedang menghubungi Ileana, katanya mau bikin kejutan.
Tingkah Aya yang kelewat bersemangat membuatku senyum-senyum sendiri. Kelakuannya selalu ceria seperti anak-anak.
"Tadaaaaa!" seru Aya tatkala mobil pikapku berhenti. "Ini mah namanya jodoh, Lei! Ternyata Dewa bakalan tetanggaan sama kamu! Aaaa! Seneng banget aku!"
Aku menengok ke arah Ileana yang mematung di teras rumahnya. Ini sudah jam sembilan, tetapi dari wajahnya yang kusut dan berantakan, sepertinya si Ileana itu baru bangun tidur. Selain itu, bajunya kenapa? Celana super pendek dengan tanktop tipis. Andai ibu lihat penampilan Ileana - pasti serangan jantung. Kata Aya, Ileana itu model, tapi harus, ya, pakai baju kurang bahan begitu? Apa nggak malu?
Aku melirik si sopir, ekspresinya nafsu bener ngintip Ileana dari kaca jendela. Tanpa sadar bibirnya bedecak sambil meringis mesum.
"Ayo, Pak. Buruan diturunin semua," toelku memburunya.
Aku punya adik kembar, Talita dan Tania. Tatapan jelalatan si sopir bikin aku otomatis keki. Aku refleks memutus pandangannya ke arah Ileana. Entah kenapa, kalau lihat cewek dilecehkan (anyway, siulan dan menatap sudah tergolong pelecehan dalam peraturan Kemenag), aku jadi keingat adik-adikku di rumah.
Sopir itu mendecih pelan. Mungkin kesal kebahagiaannya kuusik.
Aku pun turun dari mobil dan bergegas membuka gerbang. Sebisa mungkin mencegah si sopir curi-curi pandang ke Ileana lagi.
"Kamu ke rumahnya Ileana dulu aja, ya," titahku pada Aya. "Di dalam masih kotor, nanti kamu bersin-bersin."
Aya mengangguk.
Aku membantu si sopir menurunkan kulkas berukuran sedang dari atas mobil bak. Yes, kulkas! Ibu memaksaku bawa kulkas dari rumah, padahal aku sudah bilang lebih baik beli yang baru. Tapi ibu ngotot memintaku berhemat. Katanya uang buat beli kulkas mending dialokasikan untuk renov studio. Yowislah, lagi-lagi kuturuti saja. Selain kulkas, ibu juga membekaliku dengan satu set sofa warna kuning mencolok. Untuk kali ini aku yakin bukan karena ibu perhatian, tapi dia cuma mau melenyapkan sofa ngejreng itu dari rumah kami di Malang. Alih-alih dibuang atau dijual ke tukang loak, menyerahkannya padaku adalah opsi yang ibu pilih.
Aku masuk ke dalam rumah.
Oh, crap! There is a lot to do here.
Terlalu lama kosong bikin kondisi rumah benar-benar hancur. Furniturnya banyak yang berjamur dan karatan. Pasti diakibatkan kelembapan tinggi dari sirkulasi udara yang kurang bagus. Beberapa meterial kayu rumah pun lapuk dan jadi sarang laba-laba. Hampir semua perabotan di dalam rumah nggak bisa terpakai lagi. Ternyata aku butuh beli kasur dan lemari pakaian baru. Juga meja ... kompor, AC, televisi. Tapi bukan Dewangga Satya namanya kalau tidak bisa membereskan semua kekacauan. Justru situasi rumah bobrok ini menantangku untuk membersihkannya secepat dan se-perfect mungkin.
"Mas, sekarang tinggal nurunin sofanya," kata si sopir.
Aku mengangguk.
Well, ternyata bawa sofa ngejreng itu berguna juga. Paling tidak - ada tempat untuk kupakai tidur malam ini.
***
"Beb!" Aya mengintip pada ambang pintu masuk. "Kamu ngapain?" Ia mengernyih.
"Ngepel," sahutku. Aku berhenti sejenak dan meletakkan tongkat pel agar bersandar di dinding.
"Lama banget dari tadi aku tungguin di sebelah," ujar Aya. Ia berjalan berjingkat menghampiriku. "Kenapa nggak panggil jasa bebersih rumah aja, sih?"
"Nggak apa-apa, Ya. Aku bisa ngerjainnya sendiri," jawabku. Ada kepuasan tersendiri bagiku setelah merapikan sesuatu yang tadinya kacau.
Aya mendengkus. "Kamu memang bisa tapi waktumu bersamaku jadi berkurang. Besok kamu udah mulai sibuk di studio, dan aku juga bakal di klinik seharian."
"Iya, abis ini selesai," dalihku.
"Udahlah tinggal dulu," rengek Aya. "Kita istirahat di sebelah, yuk. Aku bikin smoothies mangga."
"Smoothies mangga?" Bibirku mengembang. Smoothies mangga buatan Aya merupakan minuman terenak di dunia.
Aya menarik lenganku. "Ayo, ah!" paksanya.
Aku pun mau tidak mau mengikuti langkah sang Tuan Putri Mungil. Meninggalkan pekerjaan pentingku untuk sementara.
Aya menggandengku erat. Kami berdua berjalan menerobos halaman depan rumah Ileana yang lumayan luas. Sayang sekali karena tamannya dibiarkan tidak terawat. Rumput liar tumbuh mendominasi; sementara pada pot-pot, aku melihat tanaman sekarat yang tinggal batangnya saja. Sungguh pemandangan yang mengusik batin neat freak sepertiku.
Begitu masuk, kesan lawas menyergap dari pemilihan perabotan yang didominasi oleh kayu jati. Yang paling mencolok adalah pajangan lukisan harimau pada dinding tengah ruang tamu. Tak hanya itu, beberapa lukisan lain juga menarik perhatianku. Goresan cat acrylic menciptakan visual seorang gadis kecil yang tersenyum. Lukisan itu tampak hidup, bak sebuah foto yang dipotret menggunakan DSLR high-end.
"Beb, sini ..."
Aku terhenyak dari kekaguman. Cukup lama menatapi tiap-tiap lukisan sampai tidak sadar kalau Aya sudah tak ada di sisiku. Suara Aya terdengar jauh pada ujung rumah. Aku ragu menerobos makin dalam, aku dan Ileana sama belum akrab. Sungkan kalau nyelonong begitu saja.
"Beb?" panggil Aya lagi.
"Kamu di mana?" Aku berbalik tanya.
"Dapur. Sini aja. Nggak ada siapa-siapa," seru Aya.
Aku akhirnya memberanikan diri menembus ke dalam untuk mencari Aya. Setelah melewati ruang tengah, aku berbelok ke arah dapur, tampak Aya sedang duduk pada salah satu kursi makan.
Kusapukan pandangan ke sekeliling, ruangan itu adalah area krusial di mana makanan dibuat, tetapi kenapa kotor sekali? Debu tebal menyelimuti meja kaca, tumpukan plastik berisi sampah dibiarkan pada sisi dinding, selain itu piring kotor juga memenuhi sink.
"Ke mana Ileana?" tanyaku.
"Dia lupa ambil kucingnya di pethotel," terang Aya. "Duduk sini." Ia menarik kursi untukku.
"Dia tinggal sendiri?" Aku menyambar minuman kuning cerah yang Aya sodorkan. Buru-buru kutenggak smoothies campuran yogurt, mangga, dan susu itu. Sensasi menyegarkan sontak menenangkan rongga tenggorokanku. Rasa manis bercampur masam berhasil melenyapkan kantuk.
Aya mengangguk.
"Orang tua Ileana sudah bercerai. Keduanya sudah punya kehidupan masing-masing," jawabnya.
"Oh ..." gumamku.
Aku tidak bertanya lebih detail. Bagi kaum lelaki, kepo tentang seluk beluk orang lain tidak ada dalam kamus kami.
"Mamanya Ileana pindah ke Makassar, tinggal sama keluarga besar suami barunya. Sementara papa Ileana bukan orang yang bertanggung jawab, pergi gitu aja seenaknya," lanjut Aya. Padahal aku nggak tanya.
"Hush," tegurku. "Nggak baik ngomong negatif tentang orang tuanya orang."
"Apa yang kuomongin itu fakta. Aku dan Ileana udah temenan dari SMA. Papanya super nyebelin, tiap mampir ke sini, dia pasti lagi teler. Entah berapa kali Ileana terpaksa jalan kaki dari sekolah ke rumah karena papanya nggak jemput. Uang saku Ileana juga sering dirampas paksa buat beli cap Orang Tua."
(Orang Tua adalah nama minuman beralkohol)
"Hmm." Aku merespon sekenanya. Once again, mengurusi masalah hidup orang lain bukan minatku. Akan tetapi sudah jadi kewajibanku untuk mendengarkan Aya dengan saksama.
"Ileana itu sangat mandiri, di semester awal dia bahkan sudah mulai cari penghasilan sendiri," beber Aya. "Aku masih ingat - dulu - dia bahkan nggak nolak meski dibayar cuma 50 ribu buat jadi model toko pakaian di fesbuk."
"Hmm," timpalku lagi.
"Kukira sama Raihan, Ileana bakalan dibahagiakan. Eh, kok malah disia-siain begitu aja." Aya mendadak geram dan berapi-api. "Ingin rasanya sebar aib Raihan di medsos!"
Aku mengelus punggung Aya. "Sudah. Jangan terlalu ikut campur ke dalam masalah Ileana. Itu merupakan kehidupannya, Ya."
"Masalah Ileana adalah masalahku, Beb!" Aya terbakar amarah.
Aku menghela napas. "Setiap manusia punya battle-nya masing-masing. Bukan berarti kita nggak boleh menolong sesama, tetapi kita harus tahu porsi kita. Dengan mendengarkan keluh kesah Ileana, menemani dia, atau sekedar membawakannya makanan, kurasa sebagai sahabat - itu sudah lebih dari cukup. Kamu nggak perlu terlibat jauh dengan mantannya segala, Ya."
"Ya, sih." Aya mengerucutkan bibir. Ia lalu bangkit dari duduk dan membuka lemari pendingin. "Gara-gara kamu bilang makanan, aku jadi ingat kalau Ileana itu nggak pandai atur pola makan. Sejak dulu, dia cuma stok buah di kulkas. Waktu pacaran sama Raihan, aku sedikit tenang karena pola makan Raihan tergolong baik, dan Ileana otomatis mengikuti. Tapi, sekarang, lihatlah-" Aya menunjukkan bagian dalam kulkas padaku. "Ileana kembali ke tabiat asal."
Rak lemari pendingin itu kosong melompong. Hanya ada seplastik apel, tiga kotak yogurt, dan ... oh Tuhan, jorok sekali, Ileana itu! Netraku terpaksa menangkap sayuran berjamur memfosil dalam chiller. Baik periode penyimpanannya, mau pun jenis sayurnya sudah tak terdeteksi. Pasti sudah mendekam di sana sejak pemerintahan Bill Clinton.
Aku berpaling. Tak sanggup melihat kekacauan kulkas Ileana. "Udahlah, Ya. Dia sudah besar, kalau merasa lapar pasti order atau beli di luar."
"Ileana bukan tipikal orang yang suka makan. Dia betah tahan lapar berjam-jam. Ujungnya, maag dia kumat." Aya bersungut-sungut.
Aku geli sendiri.
Kupandangi Aya lekat-lekat; si cantik yang memesona, belahan jiwaku. "Ini yang bikin aku tergila-gila sama kamu. Kamu selalu baik sama semua orang. Kamu kelewatan perhatian dan tulus, Soraya Ivona," ucapku.
"Ih ..." Pipi Aya memerah. Ia mendekatiku dan duduk di atas pangkuanku. "Paling bisa kalau gombal."
"Kalau tentang kamu, aku nggak pernah gombal," sanggahku.
Bibir Aya tersungging. Ia lalu mengarahkan bibirnya untuk mencium bibirku.
"Ehmh ..." Aku menggeram dan mencoba menolak pagutan Aya. Bukannya enggan, tetapi ini rumah orang, rumah Ileana. Bagaimana kalau nanti dia memergoki aku dan Aya lagi bermesraan? Awkward parah pasti. "Ya, nanti dilihat Ileana," tolakku.
Aya mengerang kesal. Ia menarik kepalaku dan melanjutkan ciuman kami. "Ileana, kan, nggak ada," bisiknya.
"Dia pasti pulang sebentar lagi," sahutku.
Aya justru memagutku lebih liar. Dan anehnya, berada dalam situasi menegangkan seperti sekarang membuat adikku menegang keras. Kemungkinan Ileana datang membangkitkan adrenaline rush dalam aliran darahku.
"Pethotel Sultan jauh. Dekat rumah Raihan di Surabaya Barat."
"Sultan?" Aku berkernyit.
Aya menciumku gemas. "Udahlah." Ia menarik tanganku agar berdiri.
"Aya?" tanyaku bingung.
Tanpa bicara, Aya menyeretku menuju ruang tengah. Ia lalu membuka salah satu pintu kamar dan mengajakku masuk ke sana.
"Aya?!" Aku membeliak. "Ini kamarnya siapa?"
"Ileana," jawab Aya cuek.
"Kita nggak sepatutnya di sini!" sergahku.
"Come on, Beb. Let's spice things up a bit." Aya lantas melucuti satu per satu kancing kemejanya untuk menggodaku.
Ia lantas memanggilku menggunakan isyarat telunjuknya. Tanpa menunggu persetujuanku, Aya menurunkan jeans dan melompat ke atas ranjang. Ia menantiku datang sambil merayu menggunakan tubuhnya yang semulus porselen.
"Woman, you drive me crazy-" bisikku lirih.
Baca MR. VANILLA jalur cepat di Karyakarsa dan Bestory.
Yuk, traktir aku aku di sana 🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro