Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04 |

Ileana

Aku tersenyum manis menyambut kepulangan Raihan. Dia pasti lega sehabis menyalurkan nafsu purbanya di tempat lain.

"Lama banget, sih?" dumalku manja.

Raihan berjalan menuju kitchen dan meletakkan tas belanjaan ke atas counter. "Nggak sengaja ketemu orang tua dari salah satu pasien langgananku. Niat basa-basi sebentar, eh, malah diajak konsultasi gratis. Hmmh ..." Ia menghela napas lelah. "Mau gimana lagi? Terpaksa kuladeni dan nggak mungkin kutolak."

Mungkin maksud Raihan konsultasi seputar organ reproduksi.

"Oh ..." gumamku.

"Aku beliin kamu cokelat, nih. Biar mood kamu naik," sodor Raihan.

"Thanks," ucapku.

"Jadi, ada kejadian apa di Bandung sampai kamu pulang-pulang bete dan nangis?" Raihan duduk tepat di sebelahku.

Aku menatap Raihan lekat. Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku justru membelai rambut Raihan sambil menelisiknya teliti.

"Sayang," kataku berkernyit. "Kok rambut kamu kelihatan kering gini? Berketombe lagi. Kamu udah lama nggak keramas, ta?"

Raihan melotot. Ia seketika berdiri dan berlari ke arah cermin yang terpasang pada lorong ruang tamu. "Aku ketombean? Masa?!"

Ini dia! Raihan itu termasuk lelaki metroseksual. Dia rutin perawatan di klinik tiap beberapa bulan sekali. Baik wajah, kuku, mau pun rambut sangat ia jaga baik-baik. Dia bahkan lebih concern terhadap penampilan ketimbang aku yang berprofesi model. Bagi Raihan, dirinya itu tampan luar dalam. Andaikan ada ajang kontes kecantikan bagi pria, Raihan pasti ikut. Dia percaya diri mengaku bahwa dirinya merupakan perwujudan dari 3B, Brain, Beauty and Behavior.

Apa lagi setelah Soraya buka cabang klinik kecantikan punya maminya di Surabaya, hasrat Raihan buat tampil paripurna makin meronta-ronta. Sebulan bisa dua sampai tiga kali dia ke sana buat perawatan, maklum, Soraya kasih kami berdua diskon 50 persen.

"Kamu nggak rutin pakai hair mask yang kita beli dari Jepang itu, ya?" selidikku.

Raihan mendecih. Ia masih memeriksa diri melalui pantulan cermin. "Aku sibuk, mandi aja cepet-cepetan belakangan ini. Kayaknya udah waktunya aku hairspa."

Aku tersenyum menyeringai.

"Kita ke salon sekarang, yuk. Sekalian kamu juga bisa treatment, kan, Yang," ajak Raihan.

Aku menggeleng. "Capek banget kudu keluar lagi. Mending kamu mandi sekalian pake masker rambut yang biasanya. Nanti kalau udah segar, aku bakal kasih kamu pijat plus-plus."

"Huh?" Raihan membeliak. "Pijat plus-plus?"

Kenapa? Apa senjatamu sudah letoy karena habis membajak ladang lain, Raihan Argantara?

"Buruan. Keburu malem." Aku menarik lengan Raihan agar pergi menjauhi kaca.

Raihan mau saja. Aku sudah bisa memprediksi kalau ia akan melakukan apa pun demi penampilan.

Setelah Raihan masuk ke dalam bathroom, aku pun kembali duduk santai di atas sofa. Kunikmati semua camilan yang ia belikan untukku tadi. Saat Raihan pergi barusan, aku sudah packing dan memasukkan semua barang-barang ke bagasi mobil. Aku sudah melakukan hal gila demi membalaskan sakit hati. Pertunjukkan sebentar lagi dimulai. Aku sudah tidak sabar menunggu ledakan dari Raihan.

Sepuluh menit menunggu - dua puluh menit berlalu, dan akhirnya ...

"Aaaaaagggh ...!!!" Raihan berteriak. Ia memekik keras hingga menembus lapisan ozon bumi. Tak lama, sosok Raihan pun muncul, tubuhnya masih basah dengan handuk yang terlilit pada pinggang. "Ileana! Kamu lihat ini?!" Raihan pucat pasi seperti tahu mentah.

Long short story - abis beres-beres baju, aku pergi ke swalayan untuk beli removal cream. Itu lho ... krim perontok rambut-rambut halus yang biasa dipakai untuk melenyapkan rambut ketiak, kaki, atau tangan. Lalu aku membuang krim hairmask kesukaan Raihan dari jar-nya dan menukar isinya dengan removal cream. Abracadabra! I made a new specimen of gollum.

Raihan memegangi kepalanya yang plontos. "Aku nggak tahu ini kenapa! Ileana, I lost my f*cking hair!"

Aku menatap Raihan cukup lama. Hingga pada akhirnya tawaku pun pecah. Aku terbahak-bahak hingga setengah menangis. Baik pipi mau pun perutku terasa kram.

"It's you?" Raihan melotot dan berjalan mendekatiku. "You did this?!" sentaknya.

Aku membalas tatapan Raihan sambil berusaha menghentikan tawa.

"Surprise ..." seringaiku.

"Why?" tanya Raihan mengintimidasi. "ARE YOU F*CKING LOSING YOUR MIND?!"

Aku pun bangkit dan mendorong Raihan sekuat tenaga. "Rambut sialanmu akan tumbuh lagi dalam beberapa bulan! Tidak seperti hatiku yang sudah remuk dan terlanjur berantakan gara-gara ulahmu!"

"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa?!"

"Aku nggak jadi ke Bandung, Raihan! Aku menyaksikan semua menggunakan mata kepalaku! Aku lihat apa yang kamu lakukan di belakangku!"

Raihan terperangah. Ia membisu dengan rahang mengeras.

Aku pun tertawa getir. "Aku cukup lama memandangimu yang asyik bercinta dengan wanita lain di kamar kita, di ranjang kita. Kamu bahkan menggunakan barang-barang pribadi yang biasa kukenakan. Itu sangat menjijikkan, Sayang."

"Ariadne Ileana ... listen to me ..." Tatapan Raihan melunak padaku.

Aku menepis tangan Raihan yang mencoba menyentuhku. "Tell me, Raihan!" bentakku. "Kamu pakai kondom apa nggak waktu meniduri perek itu?"

"Ileana ..." Raihan mengiba.

"JAWAB!" sentakku.

"Itu nggak penting ..." elak Raihan. "Please, dengar dulu penjelasanku ..."

"Pakai apa nggak?!" desakku bersikukuh.

Raihan terdiam. Ia menyorotku dengan tatapan memelas. Semua jadi lebih lucu akibat penampilan barunya. Sebenarnya aku sekuat tenaga menahan tawa. Nggak bisa bayangin gimana sikap dia besok waktu balik praktek. Aku khawatir orang-orang bakalan mikir Raihan abis kena radiasi gamma, macam superhero Marvel.

Aku kembali mengulang pertanyaanku. "Jawab, Raihan. Kamu pakai atau nggak?"

"Aku ..." jawab Raihan tersendat. "Aku nggak pakai."

Aku mendecih. Sejurus kemudian, aku bergegas masuk ke dalam kamar. Raihan pun mengejarku. Tepat ketika ia masuk, aku melempar kotak kondom persediaan kami ke wajahnya.

"Lain kali setidaknya gunakan pengaman setiap kamu melakukannya, Bangsat! Bukankah kamu seorang dokter yang paham apa kegunaan benda ini, huh?!"

Raihan pasrah dengan perlakuan kasarku.

"Ileana, Sayang. Please ..." Ia memohon. "Maafin aku."

"Aku maafin kamu." Aku lantas melepaskan cincin tunangan darinya. "But we're done." Kuletakkan cincin itu ke atas nakas, persis di sisi kotak oval berisi anting berlian yang tadi Raihan berikan sebagai hadiah.

"Ileana?!" Raihan melotot.

"Aku pergi dari sini, Raihan." Aku melengos meninggalkan Raihan.

"Kamu nggak bisa seenaknya gini, dong, Lei!" kejar Raihan.

"Aku seenaknya?!" pelototku. "Kamu sendiri bagaimana?" Aku memutar handle pintu dan bersiap pergi.

Tangan Raihan menahanku kuat. "I love you, Ileana! Kita omongin baik-baik dululah! Kasih aku satu kesempatan!"

Aku menoleh.

Aku menatap langsung ke arah iris Raihan yang segelap arang.

"Your love isn't enough," sahutku. Aku lantas menyentakkan tangan untuk melanjutkan langkah kaki. Namun, aku kembali terhenti dan lagi-lagi menengok ke arah Raihan. "By the way, I gave you a change, but you wasted it."

Raihan tidak lagi mengejarku. Entah karena ia merasa sudah cukup berusaha, atau mungkin ia tidak memiliki kepercayaan diri untuk keluar dari teras dengan penampilan barunya.

Aku bergegas tancap gas.

Kutinggalkan semua impian masa depanku jauh di belakang. Semua rencana indah yang kami susun musnah dalam satu hari. Raihan telah menghancurkan kepercayaanku akan cinta sejati. Ia menyisakan sakit hati yang terus menyerang relung terdalamku. Raihan Argantara telah membunuh jiwaku. Segalanya menjadi lebih pedih karena dialah satu-satunya lelaki yang kusayangi di dunia ini.

***

Aku bertemu Raihan disaat usiaku menginjak dua-satu. Adik perempuan Raihan adalah teman satu agensi model tempatku bekerja. Saat mengenal Raihan, dia masih berstatus dokter residen alias PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis). Usia kami terpaut selisih tujuh tahun; Raihan menginjak dua-delapan, hampir menyelesaikan pendidikan spesialis anak.

Kalau ada yang bilang menjadi kekasih dokter itu enak karena uangnya banyak. Maka anggapan itu salah besar. Setahun pertama hubungan kami, akulah yang menjadi penyokong dana 'kencan' kami. Raihan belum menghasilkan uang, justru dia menghabiskan banyak uang. Orang tua Raihan memang tergolong 'berada' dan rutin mengirimkannya uang saku perbulanan. Namun tentu saja itu hanya cukup untuk kebutuhan primer Raihan sehari-hari, misal beli buku, bayar biaya penelitian, atau uang bensin.

Soal waktu pun, aku harus rela diduakan. Sering kali Raihan meninggalkanku begitu saja saat kencan karena dapat panggilan cito. Terkadang dalam satu bulan kami bahkan tak sempat bertemu karena dia kelelahan setelah piket jaga di IGD. Belum lagi ketika Raihan membahas permasalahan medis yang bahasanya tidak dimengerti oleh mahasiswi ekonomi sepertiku. Aku sering merasa beda kasta sama Raihan. Tapi kalau mengingat dia terkadang pinjam uangku buat beli MCD, kerendahan diriku pun sirna.

Intinya, perjuangan kami berdua untuk tetap bersama itu cukup panjang.

Sekarang di saat aku merasa telah memetik buah dari kesabaranku, Raihan justru berulah. Apa dia belum puas bermain-main karena waktu mudanya dihabiskan untuk belajar? Atau memang aku saja tidak cukup untuk Raihan? Lantas ... apa yang kurang dariku? Kalau boleh memuji diri sendiri, aku tergolong wanita yang good looking. Baik wajah mau pun fisikku cukup bisa dibanggakan. Hal ini bukan sesumbar belaka mengingat profesiku sebagai model sekaligus selebgram.

Apa karena dia berpikir aku ini bodoh dan tidak mampu mengimbangi kecerdasannya? Jika demikian, aku penasaran dengan pekerjaan wanita yang ditiduri Raihan kemarin. Dan apakah dia adalah orang yang sama dengan orang yang Raihan kirimkan pesan? Ah, entahlah! Yang aku tahu, wanita cerdas tak akan bersedia jadi selingkuhan tunangan orang.

Tangisku pecah dalam perjalananku kembali ke rumah. Oh Tuhan ... aku benci kembali ke rumah itu. Aku benci karena impian dan rencanaku porak poranda!

Padahal aku melabeli diriku sebagai cheater hunter terbaik. Tinggal satu atap dengan orang tua yang punya toxic relationship membuatku mampu membaca pattern dari pelaku perselingkuhan. Dalam konteks ini, tersangkanya adalah lelaki. Dan aku punya tiga sebutan yang kuciptakan sendiri.

Ada tiga pola sikap yang biasa dimiliki oleh para peselingkuh; yang pertama adalah tabiat gentleman cheater, yaitu mengakui perselingkuhannya ke pasangan sah. Para gentleman cheater nggak ragu memilih salah satu wanita untuk jadi teman hidupnya. Jika itu selingkuhannya, maka dia akan berkata jujur pada pasangan sah dan berupaya mengakhiri hubungan atau pernikahan. But, this kind of cheater are rare, ya.

Yang kedua adalah romantic cheater. Dia bersikap kelewat manis, sempurna, intinya boyfriend/husband material bangetlah. Untuk menyembunyikan affair mereka, para romantic cheater sering kali menghadiahi pasangan sah dengan barang-barang yang disukai oleh wanita. Entah holiday, jewelry, atau mungkin princess treatment yang bikin rahim makin menghangat. Raihan Argantara termasuk di dalamnya. Perlakuan penuh perhatian dan sayang itu bisa juga dikarenakan oleh rasa bersalah karena sudah berkhianat diam-diam. Padahal salah satu fondasi penting dalam setiap hubungan adalah kesetiaan. Sungguh sialan karena aku malah luput menyadari keanehan dari perlakuan Raihan yang kelewat romantis bukan main.

Yang terakhir adalah golongan paling bawah kastanya, yaitu bastard cheater. Ini tipikal yang paling menguras kesabaran dan terjamin masuk Neraka jalur prestasi. Sudah berkhianat, kelakuan kasar dan semena-mena, tidak mau mengaku salah pula. And I bet, papa masuk dalam pattern yang ini. Sebut saja aku anak durhaka. Akan tetapi, apa salah jika aku membenci papa yang seenaknya pergi meninggalkan kami begitu saja? Apa lagi, sebelum pergi papa sempat membawa kabur semua perhiasan mama. Dia juga tega menjual motor dan mobil keluarga tanpa sepengetahuan kami. Kalau bukan 'bastard', apa namanya?

Sibuk menangis dalam perjalanan, tahu-tahu aku sudah sampai saja di rumah. Setelah parkir sembarangan di depan gerbang, aku buru-buru masuk dan mengunci pintu. Khawatir berpapasan dengan tante Yoke lagi ketika aku lagi hancur-hancurnya.

Rumah ini memang pantas disebut rumah duka.

Bagaimana tidak - semua penghuni wanitanya merupakan korban dari pengkhianatan. Dan semua penghuni wanitanya selalu terisak-isak sendirian.

***

Drrrt.Drrrrt.Drrrtt.

Ponselku terus saja bergetar ketika mataku masih lengket bukan main. Lengket karena sesegukan semalaman.

"Sapa seeeeeeh?" gerutuku meraba-raba ponsel. Sekuat tenaga aku membuka mataku yang bengkak seperti habis adu tinju sama Sylvester Stallone. "Soraya?"

Aku akhirnya menerima panggilan telepon dari sahabat baikku itu. Apa dia kontak batin denganku makanya tiba-tiba telepon pagi-pagi begini? Inilah kekuatan persahabatan sejati.

"Halo, Ya?" jawabku.

"Keluar. Aku di depan."

Tuhkan bener!

Secepat kilat aku beringsut dari ranjang, kemudian berlalu menuju pintu depan dan membukanya. Senyumku merekah. Soraya memang selalu ada di saat-saat terendahku. Dia bahkan tahu aku tidak baik-baik saja meski aku tak mengatakan apa pun.

"Aya, kamu ..." Secara perlahan-lahan bibirku kehilangan sunggingan.

"Tadaaaaa!" Soraya sumringah menunjuk ke arah rumah di sebelahku. "Ini mah namanya jodoh, Lei! Ternyata Dewa bakalan tetanggaan sama kamu!" Ia bertepuk tangan antusias. "Aaaa! Seneng banget aku!"

Tampak sebuah pikap terparkir di depan. Kemudian sosok Mas Pongah turun dari kursi penumpang. Ia menatapku menggunakan sorotnya yang terkesan meloya. Tanpa babibu atau basa-basi, Dewangga melengos begitu saja membantu kuli angkut menurunkan barang-barangnya.

Dari ratusan rumah di Melati Regency, kenapa harus di sebelah rumahku?

"You must be kidding me ..." desisku.

Jangan lupa votes & comment 🖤

Baca MR. VANILLA jalur cepat lewat Karyakarsa dan Bestoryku. Spend your adult money wisely, hehe 🫰🫰🫰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro