Mr. Right For Now - Part 28 - 9.2 Si Mbak
Question of the day: Selasa 10/4/24 aku update apa nih enaknya? Pilih satu (1) yaw: Mr. Right For Now, Meet Me Halfway, Tug Of War.
vote, komen dan follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado. Thank you
🌟
Lamat-lamat aku bisa mendengar suara kedua orang dewasa di depan yang mengobrol. Suara rendah Ekata yang mengatakan, "... kamu nggak bisa datang ke sini ..." juga suara sopran dari si tamu yang mengatakan, "... kamu yang nggak bisa kayak gini ke aku ...". Aku tidak bisa menangkap kalimat mereka lebih jauh karena jarak, jadi aku memutuskan untuk mendekat.
"Gue perlu gelas apa biar kayak di film-film?" Aku mendumel sendiri karena suara mereka mengecil seolah tengah membicarakan sesuatu yang harus dirahasiakan. Alasan itu juga yang membuatku semakin mendekat dan menempelkan telinga di daun pintu.
"... aku nggak ninggalin..."
Hold on a minute, ninggalin?
Aku jadi semakin bersemangat bercampur sedikit kesal karena mendengar kata-kata itu dari cewek lain kepada suamiku, meski statusnya hanya selama tiga tahun. Kalau memang mau berbaikan kenapa tidak nanti saja, sih?
"... dia perlu ibu ... aku bisa jadi ibu yang baik ..."
Sekitarku menjadi hening karena kepalaku sedang memproses potongan kalimat yang dilontarkan oleh cewek itu dan hanya dua kata yang membekas dan aku perlukan untuk mengaitkan semuanya hanya dua kata: ninggalin dan ibu.
Ini adalah kesimpulan yang mudah untuk diambil.
Suara kursi yang beradu dengan lantai membuatku berlari cepat kembali ke sofa dan berpura-pura duduk. Berpura-pura menonton TV yang sudah aku besarkan suaranya hingga Ekata masuk dengan Alma yang menggeliat minta turun untuk mengambil mainan.
"Tamunya udah pulang?"
Ekata langsung menuju dapur. Bukannya aku mengharapkan dia datang langsung kepadaku dan menjelaskan, tapi dia biasanya menghabiskan waktu setidaknya lima menit untuk bercerita hal yang tidak aku minta atau menanyakan hariku dengan kalimat spesifik seperti "Gimana kerja hari ini? Makanan enak apa yang kamu coba?" atau menggodaku dengan kalimat "You miss me, don't you?". Aku merasa, tidak coret kata merasa, aku tahu dan yakin kalau Ekata menghindariku.
"Sudah." Ekata tidak mengatakan apa pun lagi setelahnya.
Kalau mengira aku akan melepaskan pertanyaan yang menggantung seberat ribuan ton di kepalaku begitu saja dan sibuk mengira-ngira, Ekata berurusan dengan orang yang salah. "Itu ibunya Alma?" Aku akan bertanya langsung karena tidak ada yang aku takuti dari pernikahan ini jika kandas. Tidak seperti hubungan dengan teman-temanku dulu yang membuatku memikirkan konsekuensi dari hal yang tidak harus aku tanyakan, jadi hasilnya adalah aku hanya memendam.
Sedangkan dalam relasiku dengan Ekata, aku tidak memiliki hal yang aku takuti. Jika harus bercerai pun, dia sudah membayar hutangku. Kalau dia mau uangnya kembali, dia harus menungguku menyicilnya dengan gajiku yang tidak seberapa ini. Culas memang, tapi dia sendiri yang mengatakan kalau aku yang memiliki upper hand di hubungan ini dan aku berniat untuk memanfaatkan sebaik mungkin.
Aku menunggu jawaban dari Ekata hingga akhirnya dia membalas hanya dengan satu kata, "Iya."
Apa susahnya untuk bilang 'iya' saja, sih?
"Mau bikin jadwal kunjungan buat Alma?"
"Enggak tau. Dia yang ninggalin Alma gitu aja." Aku bisa mendengar suara air mengucur dari sink. "Aku mau mandi dulu sama Alma, kamu makan keiknya duluan aja."
Tanganku mengangkat dessert plate yang sudah kosong. "Done, tapi mau tambah lagi." Kalau Ekata tidak mau membahasnya lagi, itu berarti bukan urusanku dan aku tidak mau mendorongnya untuk membicarakan hal yang membuatnya tidak nyaman.
Ini bukan urusanku.
Wait, did I say that already? Anyway, kalau jelas gini kan aku lebih lega ... kenapa juga aku harus lega?
**
"Peach, aku..." Ekata membuka mulutnya lebar sebelum menyemburkan liur dan sepertinya ingus juga ke wajahku saat bersin. "Sakit." Dia menutup kalimatnya dengan ingus yang dibuang ke tisu. Hidungnya merah, begitu juga dengan pipinya.
Kakiku bergerak menjauh saat Ekata kembali membuka mulut. Cukup sekali aku disembur, tidak perlu kedua kalinya. Aku mengolesi wajahku dengan sabun wajah sebelum menggosok dan membasuhnya. Aku juga tidak perlu virus yang ditularkan oleh Ekata yang kini sudah berbaring di atas ranjang hanya dengan bokser dan kaos kaki. Kemeja dan pantalonnya berserakan di lantai.
"Peach," rengek Ekata dengan suara bindengnya. Tadi pagi memang dia sudah mengeluh badannya tidak enak saat sarapan, tapi suhunya masih normal. Sekarang kepala Ekata terasa sedikit panas di telapak tanganku. Hanya hangat, bukan yang panas membara, tapi dia sudah bertingkah seolah dia sakit parah.
"Bang Tata biasa minum obat apa kalau lagi kayak gini?"
"Nggak minum obat."
"Ke dokter?"
"Enggak juga."
Aku mengesah. Punya dua abang membuatku hafal kalau para cowok yang tampilannya garang ini akan berubah menjadi bayi saat sakit, bahkan jika penyakitnya hanya flu. Tapi mereka masih tetap dengan pendirian tidak minum obat dan ke dokter, seolah itu akan membuat mereka makin menderita, padahal mereka yang membuat orang sekitarnya menderita karena harus mengurus tingkah mereka yang seperti bayi.
Mungkin mereka beranggapan kalau ke dokter berpengaruh ke tingkat kejantanan atau maskulinitas, yang sejujurnya aku tidak tahu di mana kaitannya, tapi keengganan mereka ke dokter perlu diacungi empat jempol dan diangkat menjadi topik riset karena ini sudah ditahap menyebalkan.
Namun, aku juga tidak heran kalau Ekata akhirnya jatuh sakit juga. Dia pulang malam terus sepanjang dua minggu ini, bekerja terlalu keras dibandingkan biasanya. Setelah menikah, Ekata lebih sering pulang tepat waktu supaya bisa menjemput Alma agar kami dapat makan malam bersama. Setelah ibu dari Alma datang dua minggu lalu, Ekata berubah seratus delapan puluh derajat. Kami berdua tidak pernah membahasnya, seolah ada kesepakatan tidak tertulis kalau itu hal tabu untuk dibicarakan.
Melihatnya seperti sekarang, mau tidak mau aku iba juga. Ekata yang lemah tidak enak dipandang. Aku lebih terbiasa dengan dia yang berkeliling mengejar Alma yang ogah memakai baju setelah mandi, ketimbang dia yang terbaring tidak berdaya.
"Mau aku buatin minuman kayak yang biasa aku bikin buat Bang Kamal, nggak? Biasanya dia suka minta kalau lagi flu."
"Aku nggak mau ngerepotin kamu."
"Tapi aku juga nggak mau disembur sama bersin Bang Tata."
Ekata mau berargumen lagi, tapi aku lebih dulu meninggalkannya dan menuju dapur. Rumah lebih sepi karena Ekata mengirim Alma ke rumah ibunya karena ketakutan anak itu akan tertular flu.
Aku buru-buru membuka kulkas dan mengambil pir. Buah di rumah ini adalah suatu keharusan karena Ekata memberikannya setiap hari untuk Alma dan juga memotongkannya untukku. Aku membagi dua pir, mengerok isi, membuang biji, memasukkan jahe, kerokan buah pir, dan yang terakhir madu. Aku hanya perlu mengukusnya selama dua puluh menit sebelum memberikannya kepada Ekata yang saat aku kembali ke dalam kamar masih membuang ingus dengan dramatis.
2/9/24
Jeng jeng emaknya dateng. Oh, aku ada cerita baru, steamy romantic comedy judulnya The Plot Twist Of Us.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro