Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mr. Right For Now - 6.4 Kencan Pertama


Question of the day: usia pembaca di sini di atas 18 atau di bawahnya? Untuk kepentingan rating wkwk

Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG, X, tiktok @akudadodado

Thank you :)

🌟


I'm swaying. Aku memilih diam agar aku tidak memusingkan detak jantung yang menulikanku dari suara lainnya yang ada di sekitarku, selain suara Ekata dan deru napasnya di pipiku. Dagunya masih menempel di bahuku, tapi beratnya tidak menumpu kepadaku sepenuhnya. Aku tahu karena tidak mungkin berat Ekata tidak menghancurkanku jika seluruh beratnya ditumpukan ke bahuku.

Bagaimana Ekata melakukannya aku tidak tahu, tapi itu sangat considerate mengingat perbedaan tubuh kami yang sangat jauh.

Kuku ibu jariku menekan telunjuk hingga bentul bulan sabit muncul di sana. Aku memerlukan outlet untuk menyalurkan gugup yang baru pertama kali aku alami saat bersama Ekata. Aku tahu dia cowok, tapi aku tidak pernah melihatnya dalam perspektif 'cowok yang akan aku incar' sehingga jantungku tidak pernah bertingkah, tapi sekarang dia berdetak seperti tabuhan drum.

Ekata mengambil tanganku, mengelus bekas bulan sabit di telunjukku dengan ibu jarinya tanpa kata-kata.

Aku tidak ingat satu kata pun dari film karena seluruh sensoriku fokus kepada Ekata. Mulai dari telingaku yang fokus ke suaranya saat bernapas, kulitku di bahu dan jari yang selalu menempel dengan kulit Ekata. Keduanya kasar, by the way. Dagunya karena bakal janggut dan tangannya yang aku baru sadari tidak sehalus perkiraanku. Dia jelas berolah raga jika tangannya kapalan seperti milik Kamal. Juga dengan mataku yang tidak berhenti memerhatikan setiap gerak yang Ekata buat dari ekor mataku. Juga hidungku yang tidak bisa berhenti mengendus aroma Ekata bahkan dapat merasakannya di ujung lidah.

This is sensory overload.

Mataku berkunang-kunang dan aku melupakan semua orang yang ada di studio hingga film selesai dan semua orang keluar hingga yang tersisa kami berdua saja dan petugas yang akan membersihkan studio untuk film selanjutnya. Lagi-lagi yang dapat aku dengar hanyalah suara Ekata yang mengucapkan terima kasih saat kami melewati pegawai dan tangannya yang menggenggamku.

"Bang."

"Hm?"

"Tanganku basah," akuku jujur. Gugup yang tiba-tiba datang membuat kelenjar keringat di tanganku yang menempel dengan Ekata bekerja terlalu keras. Ini memalukan untuk diucapkan secara langsung, tapi aku tidak mau Ekata merasa tidak nyaman dan jijik dengan tanganku dan aku tidak tahu kenapa aku harus memikirkan hal itu.

"Terus?"

"Nggak usah pegangan gini."

Ekata memegangi hidungnya yang tidak lagi mengeluarkan darah, tapi masih memerah. "Tapi hidungku nyut-nyutan. Kamu yakin ini nggak berdarah lagi?"

Aku mendengkus ke arah Ekata yang diganjar tawa kecil darinya. Keringatku tampaknya menjadi hal yang tidak mengganggu Ekata sama sekali.

"Kamu suka popcorn di sini, kan? Beli dulu untuk bawa pulang?" tawar Ekata.

"Tahu dari mana?"

"Kita dulu pernah nonton bareng. Kamu, Kamal, Jesse, Harsa, Sada, dan aku. Selesai nonton kamu geret Kamal buat beliin popcorn." Ekata tersenyum dan memesan, "Yang campur asin dan manis. Soalnya kamu bilang kalau habis makan manis kamu mau asin habis itu manis lagi. Gitu terus sampai habis." Ekata melepaskan tanganku saat dia mengeluarkan uang untuk membayar.

Itu masa di mana Ekata jarang berbicara denganku dan aku tidak tahu kalau dia memerhatikan hal terkecil yang aku lakukan, padahal aku mengira dia tidak melihatku. Siapa yang tidak mengira begitu kalau kami hanya bertukar sapa saja kebanyakan? Dengan Harsa, Sada, dan Jesse aku sering bercanda atau mereka menggodaku untuk memancing amarah Kamal. Ekata? Kalau aku tidak menyapanya, aku yakin dia menganggapku tidak ada. Jadi jangan salahkan aku kalau aku tidak percaya dengan pernyataan cinta Ekata.

"Lo mau yang karamel?" Suara di belakangku otomatis membuat leherku menoleh terlalu cepat. Mataku membulat karena kaget, tidak menyangka akan mendengar suara itu lagi. Cowok itu pun melakukan hal yang serupa. "Adi?"

"Mark," bisikku. Berbanding dengan suara cowok itu yang terdengar sangat ragu, aku mengenal cowok itu hanya dari suara, meski potongan rambutnya berbeda dengan saat terakhir kami bertemu hampir satu tahun yang lalu.

"Gila. Lama nggak lihat lo jadi kurus banget." Matanya menyusuri tubuhku, membuatku tidak nyaman. "Anak-anak mau ke sini bentar lagi. Mereka masih on the way setengah jam yang lalu. Lo tahu sendiri lah gimana cewek-cewek on the way itu palingan lagi pakai make up, yang cowok cuma bisa pasrah nungguin."

Aku terlalu paham. Aku pernah menunggu mereka lebih dari dua jam dari waktu janji karena mereka memutuskan untuk mandi dan bersiap di apartemen satu orang. Aku duduk manis di sofa sementara mereka mendandani satu sama lain dan memuji setiap lembar kain yang menempel di tubuh. "Top lo bagus banget. Pink cocok banget sama kulit lo." atau pujian sejenisnya. Barang-barang bermerk yang diperkenalkan kepadaku, juga menjadi bagian dari it girl. Hal yang tidak pernah aku alami selama sekolah dan tiba-tiba aku mendapatkannya di kampus dengan orang-orang baru. Jadi, biarpun aku tahu hubungan pertemanan kami tidak sehat, aku tidak mau membuangnya dengan pikiran bahwa aku tidak akan mendapatkan teman yang keren seperti mereka lagi.

Dengan landasan pemikiran itu, aku adalah keset yang sempurna di hubungan yang tidak stabil, mau sebesar apa pun bendera merah yang dikibarkan. Baik itu pertemanan atau pun percintaan.

Oh, ini cue untuk aku kabur sebelum ada yang datang lagi. Aku saja tidak sanggup untuk menghadapi Mark sendirian setelah apa yang dia ucapkan kepadaku dulu. Semua emosi yang dulu aku rasakan masih dapat aku kecap di lidah; amarah, sedih, kecewa, merasa tolol, dan semuanya aku tunjukan kepada diriku sendiri.

Aku ingin kabur, tapi kakiku tidak dapat bergerak hingga tarikan di pinggang dan suara di telingaku menarik perhatianku dari Mark. Tanganku otomatis menempel pada dada Ekata agar bahunya tidak menempel dengan wajahku, atau dadaku dengan dadanya. Kepalaku otomatis mendongak dan mata kami bertemu. Dia menatapku hangat, sama sekali tidak menaruh perhatian kepada Mark.

Ekata tersenyum. "Peach, kita pulang atau kamu mau makan dulu?"

"Pulang." Aku menepuk dada Ekata pelan. Tiga kali. Yang pertama karena aku melakukannya secara tidak sadar, dan dua lainnya karena dada bidang Ekata ternyata nyaman untuk dipegang. "Ini Mark. Temen kuliahku dulu." Aku menunjuk pada cowok di depan kami dan gantian kepada Ekata yang masih bediri tegak di sebelahku dengan matanya yang sudah bergeser ke Mark. "Ini Ekata ..." Aku menggantung kalimat itu.

I mean look at you. Lo nggak mikir kalau gue bakalan punya perasaan sama lo, kan?

"... pacar gue."

24/11/23

Six Ways To Sunday TAMAT & GIVEAWAY The Honeymoon Is Over 2 tutup 25/11/23 sila mampir ke IG dan Tiktok akudadodado :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro