Mr. Right For Now - 6.2 Kencan Pertama
You try your best to show your worst
Baby, you can rest assured
I'll always be here for you
Little Bit More - Suriel Hess
Question of the day: Tau lagu di atas?
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado
Thank you :)
🌟
Ekata menatapku dari atas kepala hingga ujung sepatu high heels. Dia tidak terkejut atau melihatku dengan aneh, tapi lebih ke melihatku seperti sesuatu yang menarik. "Kamu pakai itu ke bioskop?" Dia melemparkan pertanyaan, tapi matanya fokus menjelajahi setiap senti kulitku yang terpampang. Fokusnya patut diacungi jempol. Dia bahkan tidak malu saat kepergok memandang terlalu lama ke dadaku. Ekata hanya menyengir sesaat lalu menjatuhkan pandangannya lagi di tempat yang sama.
By all means, dadaku tidak besar, bahkan tergolong kecil. Dengan cami top bertali spageti, aku tidak punya banyak pilihan bra. Semua yang push up sudah aku pakai untuk ke kantor dan strapless-ku busanya standar. Melihat Ekata yang melahapnya melalui tatapan hanya meningkatkan rasa percaya diri dan mengelus egoku.
Aku menunduk, meski pun aku sudah tahu apa yang akan aku lihat. Crop cami top berwarna hitam dengan high waist mini skirt berbahan jeans. Aku berencana membuatnya malu mengajakku keluar dengan pakaian ini. Kalau dia protes, aku akan mengamuk dan berujung dengan kami yang tidak jadi pergi juga. Aku tidak masalah hasil akhirnya yang mana pun, yang penting aku tidak perlu berkencan dengan Ekata.
"Nggak kedinginan?" Lanjut Ekata bertanya hal yang tidak aku antisipasi. Lagaknya seperti orang tua yang melihat pakaian anaknya dan lebih khawatir kalau akan masuk angin.
"A hoe never gets cold," jawabku lugas sambil menyingkap rambut yang menutupi dadaku. Handbag yang isinya hanya ponsel sudah berada di tangan. "Kenapa? Terlalu terbuka? Nggak jadi pergi?"
"Nope. Kamu bebas pakai yang kamu mau. Aku nggak mati-matian ikutan kickboxing sama Jesse dan Kamal for nothing." Ekata berlari kecil menaiki tangga seraya berkata, "Aku ganti baju dulu. Nanny Alma sudah di kamarnya, Ibu datang sebentar lagi."
Aku berpegang pada railing tangga, buru-buru berucap saat mendengar kata Ibu. "Boleh berangkat sebelum Ibu datang?" Yang menghentikan langkah Ekata dan langsung menatapku dari tangga paling atas.
Dia terkekeh lalu mengiakan permintaanku.
Napas lega keluar dari bibirku, karena mau aku ingin tampak jelek di depan Ekata, aku tidak mau ibunya melihatku seperti ini.
Ekata turun tidak sampai lima menit. Hanya kaos hitam dan jeans lusuh serta sepatu kets. Dengan tangan kiri yang memutar kunci mobil dia bersiul kecil. Suasana hatinya tampak bagus untuk ukuran suami yang melihat istrinya memakai pakaian kurang bahan. Shit. Aku salah memperkirakan respons Ekata. Aku pikir dia akan bertingkah seperti suami posesif dan bertingkah seperti alpha male slash asshole male dengan berkata pakaian seperti itu terlalu mengundang dan sebagainya. Aku akan lash out, meski pun pakaian ini sudah dua tahun terakhir tidak aku kenakan karena aesthetic-ku sudah berganti. Sekarang aku lebih ke simple dan sophisticated nan elegan untuk menarik cowok kaya. Yang aku nikahi memang kaya, tapi bukan Ekata juga maksudku. Aku harusnya berdoa dengan lebih spesifik sambil menyebutkan nama setiap malam, misalnya Evan Spiegel.
"Siap, Peach?" Ekata menggenggam tanganku begitu kakinya menginjak tangga paling akhir.
Kami tidak pernah berada di titik harus berpegangan tangan dan bersikap seperti sepasang kekasih. Jadi apa yang dilakukannya mengejutkanku hingga aku kehilangan momentum untuk melepas tautan jari kami dan mengikutinya hingga ke mobil. Juga panggilan itu. Aku tidak pernah terbiasa mendengar panggilan itu dari Ekata.
Aku memilih film romantis penuh drama. Tipe yang tidak disukai oleh cowok-cowok, tapi Ekata sama sekali tidak memberikan protes saat aku menyebutkan judulnya. Dia hanya mengiakan lalu membayar dan membeli camilan.
Aku tidak bisa protes saat menyadari kalau tempat duduk kami itu ranjang dengan bantal dan selimut.
"Pantes nggak protes sama sekali," gerutuku.
Ekata hanya tertawa puas dan langsung menyenderkan punggungnya di bantal. Sepatunya sudah dilepas. "Bioskop itu dingin. Kamu perlu selimut." Dia melebarkan selimut hingga menutupi paha saat aku duduk. "Mau chipsdulu atau popcorn?"
"Popcorn."
Kami tiba tepat waktu. Sepuluh menit sebelum mulai, makanya saat duduk tidak lama film langsung muncul di layar. Apa yang Ekata bilang mulai terasa di menit ke dua puluh. Aku sedikit mengigil dan selimut yang digunakan pun tidak cukup untuk menghalau dingin. Aku merutuki keputusanku memakai baju ini ke bioskop dengan mencoret kemungkinan dinginnya tidak dapat aku tahan, padahal aku tidur dengan onesie dan kaos kaki. Cerdas sekali memang aku.
Tubuhku yang gemetar mendapatkan fokus Ekata. Tangannya yang tengah mengambil popcorn berhenti dan tubuhnya sedikit maju untuk melihat wajahku. "Kenapa? Kedinginan?" bisiknya.
Aku menggigit bibir, tapi mengangguk. Siap mendengarnya menertawakanku.
Namun, aku melihatnya menatapku geli dengan campuran maksud tertentu yang tidak dapat aku baca. Ekata lalu meletakkan popcornnya di meja kecil. "Kamu duduknya majuan." Ekata menepuk ranjang kosong di antara kami. Aku mengikuti tanpa banyak pertimbangan apalagi berpikir yang aneh-aneh. Setelah itu dia menyelipkan dirinya di antara dipan ranjang dan diriku. Kakiku diangkat hingga ada jarak antara belakang dengkul dengan ranjang dan kedua kakinya mengisi sela itu.
Aku berada di antara kedua kaki Ekata yang bersila. Punggungku bertemu dadanya tanpa bisa aku berikan jarak. Tanpa sentuhan tangan, dia mengunciku di tempat.
"Kalau gini kan kamu bisa pakai selimutnya sampai pundak, aku juga nggak kedinginan. Panas tubuh dari manusia itu paling ngebantu."
Aku bingung mau marah atau memberikan pujian untuk aksi cerdik Ekata. Sesuai ucapannya, suhu tubuhku yang menempel dengannya meningkat lebih banyak ketimbang yang memakai selimut. Jadi aku menoleh ke arahnya dan mendengkus. Yang aku dapati adalah dagu Ekata yang dekat dengan kepalaku, dia tengah tertawa hingga dadanya bergetar pelan.
"Bisa banget akal-akalannya."
"Nggak ada yang dirugikan di sini," kata cowok itu pelan di telingaku. Dia lalu mengambil popcorn lagi dan lanjut memakannya seolah dia tidak baru saja memanfaatkan dalam kesempitan. "I am content with whatever I receive."
Di beberapa kesempatan, aku bisa merasakan dia mengambil napas dalam di sekitaran puncak rambutku. Tidak ada akal-akalan lainnya hingga aku dapat fokus ke film. Meski seluruh tubuhku siaga karena jarak kami yang terlalu dekat, terutama indra penciumanku yang dikerubungi oleh parfum Ekata dengan hint aroma kayu.
Ketika aku sibuk memikirkan alur cerita dengan susah payah, Ekata berkomentar dekat dengan telingaku dan suara berat dan seraknya menginvasi telinga dan juga otakku.
"Peach, you smell so good."
15/10/23
Priiiit buayanya mulai bergerak! Mana smooth lagi Wkwkwkw bonus apdet ya ini. Yuk pencet bintang n komen yang banyak hihi
Apdet lagi November atau saat bintang 450 dan komen 250. Tenang, kalau nggak sampai tetep update kok November nanti.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro