Mr. Right For Now - 5.3 Abang Ipar Kampret Jilid 1
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado
Thank you :)
🌟
"Dede sama Alma aja yang masuk, lo pulang sana." Preambule Kamal saat membuka pintu membuatku menggelengkan kepala.
Abangku itu berdiri di depan pintu masuk dengan tangan terlipat di dada dan wajah semasam lemon. Di sebelahnya, tanteku memukul lengan Kamal lalu membuka tangan lebar-lebar untuk aku dan Ekata yang tampak tidak terusik.
Alma langsung berpindah tangan ke dalam pelukan Tante, sedangkan aku ditarik menjauh dari Ekata oleh Kamal. "Jangan deket-deket dia. Dia belum pernah tes rabies."
"Gimana mau jauhan? Gue sama Adi tinggal serumah. Sekamar dan satu tempat tidur pula."
"Aaaa gue nggak mau denger apa-apa lagi!"
Kamal menarikku memasuki rumah dengan sebelah tangan menutup telinga dan tawa membahana Ekata yang mengekori di belakang. "Siapa juga yang mau cerita sama lo soal kehidupan rumah tangga gue."
"Kamu nggak mau cerai dari dia? Abang bisa hubungin pengacara—"
Belakang kepala Kamal ditabok kencang oleh Ekata sebelum dia menggenapi tawarannya.
"Lo jangan dibaikin malah makin ngelunjak."
Kamal memegangi belakang kepalanya dengan mata nyalang dan siap menerjang Ekata kalau saja Tante tidak menarik cambangnya hingga dia merintih kesakitan. "Jangan bikin ribut waktu adeknya baru dateng. Kamu mending beresin kamar tamu biar ponakannya bisa tidur di sana kalau dia capek." Kemudian melepaskan dua jari keramatnya—ibu jari dan telunjuk—yang memelintir rambut Kamal.
Gerutuan kamal yang memang sengaja dikeluarkan dengan suara besar terdengar ke telinga kami yang digiring Tante ke sofa. "Mentang-mentang punya menantu baru, dibelain terus."
Tante menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Dia sejak semalem uring-uringan. Tante harus kunci pintu supaya dia nggak menyusul kalian."
Ekata tertawa di sebelahku, kemudian meletakkan dua kantung makanan yang kami bawa ke atas meja makan. Dia terlihat memaklumi tindakan Kamal yang berlebihan. "Dia emang suka lebay kalau soal Adi, Tante."
"Tante nggak tahu kapan dia bakalan nikah kalau yang diribetin itu Adi terus. Dia bakalan sendirian terus sampai tua kali."
"Bu, aku denger, lho. Omongan orang tua juga itungannya sumpah ke anak," teriak Kamal dari dalam kamar yang dibalas tawa mengejek oleh Ekata yang otomatis memancing teriakan abangku itu lagi dari dalam kamar. "Diam lo Tata Dado!"
Tante menggeleng dan berkata kepada Alma, "Kamu kalau sudah besar jangan kayak mereka, ya." Lalu beliau berbicara kepada kami. "Kalian sudah sarapan?"
"Sudah, Tante. Kan aku bawa makanan juga buat makan siang."
Beliau mengerutkan alisnya. "Padahal Tante bisa masak biar kalian nggak repot-repot bawain makanan."
"Aku beli, kok, bukannya masak juga."
Kamal tiba-tiba sudah berada di sofa tempat aku dan Ekata duduk. Dia mendorong bahu sahabatnya itu. "Sana lo. Siapain meja makan. Gue mau makan." Saat Ekata melotot ke abangku, dengan santainya dia bilang "Lo kan nikah sama adek gue. Posisi lo di bawah gue sekarang. Denger-denger kata gue. Siapin makanan."
Aku tidak tahu ada perang dingin apa yang terjadi di antara dua orang ini, tapi aku tidak ada niatan sedikit pun untuk bermain menjadi juru damai. Tidak ketika dua orang bertubuh besar dengan otot tangan yang ukurannya lebih dari pahaku. Uh-oh, tidak. Terima kasih.
Dengan gerutuan dan tampak menerima nasibnya, Ekata membereskan makanan yang kami bawa tadi. Memindahkannya ke piring saji. Mulutnya tidak berhenti bergerak dan melemparkan tatapan sinis ke Kamal. Tante yang lagi-lagi menggelengkan kepalanya berdiri dan berjalan menujut Ekata, masih dengan Alma di gendongannya.
"Kamu beneran mau tetap kerja?" Kamal duduk di sebelahku.
"Iya."
Kamal menunjuk Ekata yang kini tengah memindahkan ayam dengan matanya. "Dia memangnya nggak kasih uang jajan yang cukup?"
"Kasih. Tapi aku mau tetep kerja. Bosen banget kalau di rumah doang." Ini iya, tetapi aku juga perlu uang untuk berjaga-jaga setelah tiga tahun berlalu. Meskipun ini bukan pekerjaan yang aku inginkan, tapi aku perlu bertahan hingga menemukan pekerjaan baru. Tapi, sampai sekarang tidak ada panggilan yang kunjung datang mau aku mengirimkan CV sebanyak apa pun. Entah aku belum beruntung saja, atau aku memang jariku dikutuk untuk menjadi sial.
"Abang bisa tanya ke beberapa temen kalau kamu mau coba kerja di tempat lain."
"Tuh, kan. Nawarin lagi. Aku kan sudah bilang kalau mau coba sendiri. Masa aku mau disuapin terus padahal sudah segede ini." Aku merengut kesal, "Kerjaannya juga nggak buruk-buruk amat. Aku bisa pulang tepat waktu. Sambil kerja juga aku bisa online kalau lagi nggak ada orang atau telepon."
Kamal mengacak rambutku. "Kalau ada perlu apa-apa dan kamu nggak enak minta ke Ekata, kamu tahu kan kalau bisa hubungin abang?"
"Tahu. Tapi aku juga tahu kalau Abang harusnya lebih pusingin cari calon istri ketimbang urusin pernikahanku atau apa yang aku perluin. Kalau ada apa-apa juga aku harus carinya Ekata, bukan Abang lagi."
Tangan Kamal memegangi dada, wajahnya menampilkan ekspresi terluka yang berlebihan. "Abang nggak diperluin lagi sekarang? Sedih banget."
Aku berdecak, malas menanggapi kalau Kamal sudah dalam mode tersakiti seperti ini. "Pokoknya, berhenti khawatirin aku. Cari istri biar Tante nggak pusing anaknya belum juga laku."
"Emangnya aku jualan pakai acara laku atau enggak."
"Eh, enggak ya? Bang Kamal kan gratisan." Aku menepuk tanganku sekali. "Tuh, gratisan aja nggak laku, apalagi dikasih harga."
1/8/23
Apdet lagi saat bintang 450 dan komen 250 atau 1 September 2023. Sambil nunggu bisa ke kedua cerita ini ya :) SIx Ways To Sunday untuk childhood bestfriend, How This Story Ends untuk angst dengan politikus muda dan oldmoney.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro