BAB 1 : Misi
Aku menatap keluar jendela kamar dengan tatapan kosong. Berkali – kali aku menarik nafas dalam lalu menghembuskannya kembali. Sedari tadi kedua tanganku tak henti – hentinya saling menggenggam di depan dada. Sakit kurasakan sejak seminggu yang lalu. Sosok yang penyayang dan penuh perhatian itu tiba – tiba menghilang. Ia direnggut dariku. Aku sangat merindukannya.
“Nenek...” gumamku parau. Kelopak mata mungilku kini sudah tidak sanggup membendung air mata lagi.
“Akai?” terdengar suara memanggil dari ambang pintu kamar.
Aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati sosok ibuku yang menatapku dengan cemas. Manik violet miliknya nampak berkaca – kaca. Kutahu ia pun sama denganku. Pastilah ia ingin menangis. Namun kenyataan bahwa ia adalah sosok orang tua yang harus selalu terlihat dewasa di depan anaknya, membuatnya menolak keinginan itu. Ia menahan semuanya demi aku.
“Ibu, apa nenek sudah ditemukan?” tanyaku pelan. Sejujurnya aku takut untuk menanyakan hal ini. Tapi entah mengapa mulutku rasanya bergerak sendiri.
Ibu hanya tersenyum lembut sambil mendekatiku. Tangan lembutnya yang nyaman itu membelai puncak kepalaku pelan. Sedangkan aku hanya terdiam diperlakukan seperti itu olehnya. Aku tahu, selanjutnya pasti ia tidak akan mampu menjawab. Sama seperti sebelum – sebelumnya, mulutnya terkunci rapat.
“Jika saja..” ujarku terputus. Rasanya keluh kesah hatiku sangat sulit untuk kuutarakan.
“Tak apa, Akai.” ujar ibuku lembut. Tangannya tak henti – hentinya mengelus puncak kepalaku.
Untuk beberapa saat, suasana kamar hening. Membiarkan mentalku siap untuk mengeluarkan semuanya. Semua yang selama ini kutahan. Emosi – emosi dalam diriku rasanya telah meluap ke permukaan. Hatiku panas dan terasa sakit.
“Jika saja ayah tidak bekerja keluar desa, kita pasti masih bisa menyelamatkan nenek. Aku benci.” ujarku sambil perlahan menunduk.
“Akai...” ibuku bergumam pelan. Entah apa yang sebenarnya ingin ia katakan kepadaku.
“Aku benci ayah! Aku benci ibu! Aku benci keluarga ini!” teriakku. Dan, kurasakan ibu membuat jarak denganku.
Tap!
Aku berlari keluar kamar meninggalkan ibuku. Air mataku mengalir deras keluar. Tadinya kupikir, ibu dan ayahku akan mencari nenek dengan sekuat tenaga mereka. Namun pada kenyataannya pencarian mereka bersama warga desa lainnya selalu nihil. Seminggu sebelum nenek menghilang, orang tuaku membawaku pergi keluar desa karena pekerjaan ayah. Memaksa kami meninggalkan nenek sendirian di desa.
Pokoknya aku benci mereka. Aku benci keluargaku. Dengan satu tarikan kasar, kuambil mantel merah kesayanganku dari gantungan pakaian di balik pintu masuk rumah. Kemudian tanpa adanya perasaan ragu lagi, kakiku membawaku melangkah keluar untuk menyelamatkan nenek. Tak peduli apapun yang akan terjadi nantinya. Jika terus dibiarkan, maka nenek tak akan pernah ditemukan.
Kabar burung mengatakan bahwa malam dimana nenek menghilang adalah malam dimana nenekku hendak mengumpulkan kayu bakar di hutan. Untuk itu, aku bergerak cepat menuju hutan di kaki gunung. Kuharap tak ada satupun warga desa yang menyaksikan kepergianku. Lihat saja, ketika pulang nanti, akan kubawa nenek kembali ke hadapan mereka. Dan akan kukatakan dengan lantang bahwa sebagai orang dewasa, mereka sangatlah tidak becus dalam mencari seorang wanita tua yang renta dan rapuh.
Jalan setapak yang ditumbuhi semak belukar menyambut langkah pertamaku memasuki hutan. Kusibakkan dedaunan pengganggu yang sesekali menghalangi perjalananku menyelamatkan nenek. Sesekali kupandang langit di atas kepalaku untuk memastikan senja belum tiba. Setelah dirasa aku telah berada jauh dari mulut hutan, aku mulai memberanikan diriku untuk memanggil nenek.
“Nenek! Nenek! Dimana kau!?” panggilku.
Tak ada respon. Hanya suara burung – burung yang beterbangan tak tentu arah saja yang menjawab. Kurasa mereka terkejut akibat teriakanku yang membuat sakit telinga mereka.
“Nenek! Nenek! Ini aku Akai!” teriakku. Rasanya tenggorokanku sakit. Sial, kurasa aku butuh air.
Sreeeekk....Sreeekkk...
“Suara apa itu?” gumamku terkejut. Mataku menyapu ke sekitar untuk mencari sesuatu ataupun makhluk yang baru saja menciptakan suara barusan.
“Gggggrrrrrrr....”
Astaga, suara geraman apa itu? Seketika burung – burung yang awalnya beterbangan tak tentu arah di atas kepalaku langsung menghilang entah kemana. Sayap kecil mereka membawa burung – burung itu melesat pergi. Seakan mereka baru saja ketakutan akan sesuatu. Tak lama kemudian suara geraman mulai terdengar kembali.
Tap!
Aku berlari cepat menjauhi tempat itu. Berharap aku akan selamat dan segera menemukan nenek. Tapi sialnya, aku mendengar ada sesuatu yang mengejarku dari belakang. Suara derapan langkah milik sesuatu itu terasa amat berat. Pastilah itu milik sesuatu yang besar dan mengerikan. Belum lagi suara geraman yang samar – samar dapat kudengar.
“Ah!” pekikku terperanjat kaget begitu kaki kiriku tergelincir sebuah kayu.
BRUK!
Tubuh mungilku terperosok ke dalam jurang yang tidak terlalu tinggi. Kurasa sekitar dua meter. Meskipun begitu rasa nyeri luar biasa berhasil menyerang seluruh inci dari tubuhku. Kutatap telapak tanganku yang tergores dan menciptakan luka yang cukup besar. Kucoba menggerakan kakiku.
“Aw!” ringisku pelan.
Sakit sekali. Sialan.
Perlahan semuanya terasa kabur di mataku. Tubuhku rasanya jadi seringan kapas yang akan tertiup angin. Setelah itu, aku menutup kedua bola mataku dan aku tidak ingat apapun lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro