43. Salah Kesimpulan
Ketika Reki nyaris tiba di kelas, dari ambang pintu saja ia sudah bisa melihat bagaimana Velly yang tampak merebahkan kepalanya di atas meja. Membelakangi pintu memang, tapi Reki tidak akan salah menebak bila saat itu Velly tengah memejamkan matanya.
Tak membuang-buang waktu, Reki pun masuk. Menarik satu kursi dan membawanya ke depan meja Velly. Duduk tepat di depan gadis itu dan lantas menelengkan wajahnya demi bisa melihat wajah Velly. Dan ternyata benar, Velly memang tengah memejamkan matanya. Walau sebenarnya Reki tak yakin juga sih, apa Velly benar-benar tidur atau hanya sekadar menutup mata.
"Vel ...."
Setelah melalui beberapa pertimbangan di benaknya, Reki memanggil nama cewek itu. Seraya bertopang dagu pada satu siku, Reki menunggu panggilannya akan mendapatkan sahutan. Tapi, tidak ada.
"Ehm ... kamu tidur beneran, Vel?"
Lagi-lagi tak ada balasan yang Reki dapatkan. Bahkan kalau ia ingin teliti dalam melihat, bergeming sedikit pun Velly tidak. Layaknya cewek itu yang benar-benar sedang tidur pulas. Tapi, firasat Reki sih mengatakan kalau Velly cuma berpura-pura tidur.
Maka menuruti firasatnya, tangan Reki yang bebas pun lantas bergerak. Jari-jarinya terulur. Dengan iseng menyentuh helaian rambut poni Velly dengan ujung jari telunjuknya. Lalu ia menunggu.
Ehm ....
Velly masih bergeming.
Dan oleh karena itulah mengapa lantas jari tangan Reki bergerak lagi. Kembali menyentuh poni Velly. Lalu ia pun menunggu lagi.
Emang teguh pendirian ini cewek.
Dengan menahan geli, Reki sudah mengulurkan kembali jari telunjuknya. Tapi, belum lagi ia menyentuh poni Velly, eh mendadak saja gadis itu membuka matanya dengan cepat. Dan langsung melotot.
"Astaga, Vel ...."
Urung menyentuh poni Velly kembali, yang ada justru Reki mengusap dadanya lantaran kaget.
"Ngejutin aja ah."
Mengembuskan napas panjang, Velly bangkit dari atas meja. Dengan ekspresi malas, tampak ia mencibir pada cowok itu.
"Nggak ada kerjaan?" tanya Velly seraya memegang poninya. "Sampe usil megangin poni orang heh? Kalau iri, buat poni juga sana."
Reki terkekeh. "Ih ... gitu aja sewot."
Velly tak membalas. Dan melihat itu, Reki melipat kedua tangannya di atas meja, sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu.
"Ngomong-ngomong," kata Reki kemudian. "Kamu kenapa? Keliatan lemes gitu. Padahal tadi pagi juga biasa-biasa aja. Ehm ... apa nggak ada duit buat jajan?"
"Ck," decak Velly sekilas. "Udah deh, Ki. Aku kini lagi bad mood banget. Salah-salah ..." Mata Velly menyipit. "... ntar aku telan juga kamu bulat-bulat."
Bukannya takut, tapi ancaman itu justru membuat Reki tertawa terbahak-bahak. Sekali tangannya tampak memukul meja saking gelinya dengan perkataan Velly.
"Yang bener-bener aja, Vel," gelak Reki. "Badan sekecil itu gimana ceritanya bisa nelan aku bulat-bulat?"
"Kamu ...."
Mata Velly membesar, tapi ia mengatupkan mulutnya. Alih-alih menuruti kehendak dirinya untuk mengumpati cowok itu. Dan hal itu justru membuat Reki semakin terpingkal. Hingga iseng sekali cowok itu menyodorkan kepalanya.
"Ayo telan. Telan nih telan. Hahahahaha."
Bibir Velly mengerut geregetan. Berusaha untuk mendorong kepala Reki sementara tangan Reki lalu menangkap tangan Velly. Masih bersikeras memberikan kepalanya dengan sukarela.
"Ayo telan. Aku mau ngeliat gimana ceritanya kamu nelan aku bulat-bulat. Hahahahaha."
Velly cemberut. "Kamu ini emang hobi banget ngusilin orang ya?"
"Hahahahaha."
Reki masih tertawa-tawa sementara Velly kemudian berusaha menarik tangannya lepas dari tangan Reki. Keduanya tak menyadari bahwa ada Jessi yang melihat dari luar sana.
*
Ketika pelajaran terakhir dimulai, dari tempat duduknya Reki bisa melihat bagaimana Velly makin terlihat suram. Seperti ada awan hitam yang menaungi cewek itu. Hal yang kemudian membuat Reki bertanya-tanya ada apa gerangan dengannya. Karena jelas sekali, tadi pagi mereka masih begitu semangat ketika lari pagi bersama di koridor.
Hihihihi.
Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya, Reki lantas menarik fokus matanya dari penjelasan Pak Eko di depan kelas sana. Menoleh ke sebelah dan melihat Tama tampak memasukkan ponselnya ke saku celana. Semula sih Reki cuek saja. Tapi, ketika Pak Eko memberikan mereka tugas, eh Reki melihat Tama lagi-lagi mengetik pesan. Untuk kemudian menyimpan kembali ponselnya ke tempat semula.
Reki beringsut sedikit, berbisik.
"Pesan dari siapa, Tam?"
Tama mendesis. "Kepo."
Mendapati jawaban itu, mau tak mau Reki melihat ke depan. Pada gebetan sahabatnya yang tampak fokus mengerjakan tugasnya.
"Ih ... cuma jarak berapa kursi aja pake chat-chatan segala," kikik Reki. "Orang itu kalau di dalam kelas harus pake cara komunikasi yang lebih menantang dong."
"Maksud kamu?" tanya Tama seraya melayangkan lirikan pada ekor matanya.
Reki menyeringai. Membuka halaman terakhir buku tugasnya. Menjawab dengan sorot misterius di matanya.
"Gini caranya."
Kertas di halaman terakhir itu robek sedikit. Tanpa mengatakan apa-apa, Reki langsung menuliskan dua kalimat yang langsung membuat Tama bergidik ngeri.
Siang, Cantik. Mau pulang bareng aku?
Tapi, layaknya ekspresi ngeri di wajah Tama belum cukup untuk membuat dirinya puas, Reki lantas segera meremas-remas kertas itu. Berulang kali hingga tak butuh waktu lama untuk kertas itu kemudian menjelma menjadi sebuah bola kertas berukuran kecil.
Sekarang bukan lagi raut ngeri yang ada di wajah Tama, melainkan waspada. Ia tampak melotot.
"Eh .... Kamu mau ngapain, Ki?"
Raut wajah Tama membuat Reki menahan geli. Terutama ketika sahabatnya itu berusaha untuk merebut kertas itu dari tangannya. Tapi, dengan teramat sigap Reki melemparkannya. Dengan sasaran Eshika yang tengah menatap pada papan tulis, bola kertas itu meluncur mulus.
Reki dan Tama sama-sama terdiam. Melihat bagaimana bola kertas itu melayang layaknya dalam tayangan slow motion di film-film aksi. Nyaris mengenai belakang kepala Eshika, tampak gadis yang mendadak tersenyum itu justru menunduk demi melihat pada buku tulisnya. Alhasil, bola kertas tidak jadi mengenai Eshika. Alih-alih, justru terus meluncur.
Tama mengembuskan napas lega, eh Reki justru merasa tak bisa bernapas. Tepat ketika bola kertas itu justru mengenai sasarannya yang lain.
"Apaan sih?!" rutuk Velly.
Rutukan yang tanpa sadar Velly lontarkan membuat seisi kelas terlonjak dengan kompak. Seakan melupakan keseriusan masing-masing, semua mata sekarang terarah pada Velly yang tampak manyun.
Tama dan Reki membeku. Di depan, Pak Eko melihat Velly.
"Ada apa itu?"
Velly cemberut setelah menunduk untuk mengambil bola kertas yang mengenai pipinya tadi. Gadis itu mengacungkannya pada Pak Eko.
"Ada yang ngusilin saya, Pak. Masa saya dilempar pake kertas," gerutu Velly dengan wajah tertekuk.
Udahlah yang seharian ini bad mood, pake acara diusilin lagi.
"Terus kamu ngarepnya dilempar pake buket bunga gitu?"
Velly melirik Heri yang menyeletuk di belakangnya, melayangkan delikan sekilas sebelum kembali menghadap ke depan. Tepat ketika Pak Eko sudah berdiri di mejanya.
"Mana kertasnya?"
Velly menyerahkannya. Dan itu membuat Tama menyikut Reki.
"Mampuslah kamu, Ki. Mau dikubur di TPU mana? Biar aku booking-kan bentar lagi."
Glek.
Reki meneguk ludah.
Pak Eko menerima bola kertas itu. Sontak membuat Tama dan Reki segera memanjatkan doa-doa pada Tuhan. Terutama karena kedua orang cowok itu bisa melihat bagaimana Pak Eko yang langsung membaca tulisan di dalam sana. Lalu ... guru itu pun terkekeh pelan.
"Ckckckck. Anak muda anak muda," lirih Pak Eko seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas. "Ini siapa yang melempar? Lebih baik jujur daripada saya cek satu persatu buku tugas kalian."
Ancaman itu membuat Reki dan Tama langsung mengambil antisipasi. Nahasnya, antisipasi yang sama.
"Reki, Pak!"
"Tama, Pak!"
Sreeet!
Kalau tadi semua mata terarah pada Velly, maka sekarang berbeda. Semuanya melihat pada Reki dan Tama yang tampak saling menunjuk. Hening untuk beberapa saat, seolah sedang mempertimbangkan perkataan siapa yang bisa dipercaya. Hingga kemudian Tama berkata dengan penuh keseriusan.
"Saya berani menunjukkan buku tugas saya dari TK sampe sekarang, Pak, buat bahan bukti kalau itu bukan tulisan saya."
Reki membeku. Meneguk ludah dengan mata yang mengerjap-ngerjap saat mendapati tatapan mata Pak Eko berpindah padanya. Dan demi Tuhan! Reki benar-benar tidak bisa mengelak. Cowok itu jelas tidak bisa berkilah. Karena kalau Pak Eko sampai datang untuk melihat buku tulisnya, semua pun akan jelas.
Haduh.
Kok malah jadi begini sih?
Kenapa malah nyasar kena si Velly coba?
Menunggu beberapa saat dan tak mendapati pembelaan dari Reki lantas membuat Pak Eko menyeringai. Tentu saja guru itu sudah bisa menarik kesimpulannya. Pak Eko pun lalu beralih pada Velly.
"Jadi, ternyata pelakunya Reki, Vel," kata Pak Eko. "Tinggal jawaban kamu lagi nih. Mau atau nggak?"
Dahi Velly mengerut.
Jawaban?
Dan di saat Velly masih menerka-nerka isi bola kertas itu apa, eh ... ledekan demi ledekan pun sudah pecah di kelas itu.
"Priwiittt!"
"Cuit cuit!"
"Aduh pantas aja kemaren ada yang ngebet mau berangkat ke Puncak bareng buat nyoba mobil baru."
"Hahahaha."
"Ternyata lagi ada yang pedekate-an nih ceritanya."
"HWAHAHAHA!"
Kepala Velly terasa berdenyut. Merasa de javu dan lalu merutuk.
Kenapa seharian ini aku rasa-rasanya ngedengerin istilah PDKT aja sih?
Sementara Velly merutuk habis-habisan, di belakang justru ada yang tertawa besar seolah tak ada habis-habisnya. Dan itu sudah pasti adalah Tama yang puas melihat wajah Reki mengelam malu karena ulah perbuatannya sendiri.
"Rasain deh. Makanya sih, sok mau ngerjain aku," lirih Tama begitu puas. "HWAHAHAHAHA."
Reki mengatupkan mulutnya. Kepalanya mungkin sebentar lagi akan mengasap karena otaknya yang mendidih. Terutama ketika ia melihat bagaimana Pak Eko yang beranjak kembali ke meja guru setelah memberikan kertas itu pada Velly. Sontak membuat gadis itu langsung melirik ke belakang. Pada dirinya.
Mampuslah kamu, Ki.
Bakal diseret ke semak-semak lagi deh balik ntar.
Glek.
Kali ini aku nggak mungkin bakal bisa keluar dari semak-semak dengan keadaan masih bernyawa.
*
"Braaak!"
Tak ada hujan tak ada angin, tapi Tama langsung menyingkir tepat ketika Pak Eko keluar dari kelas. Karena jelas sekali cowok itu tidak mau ikut terlibat dalam peperangan yang mungkin saja akan meledak sebentar lagi.
Tama terkekeh pelan. Mencibir dan melambai geli pada Reki.
"Siang, Ganteng. Aku pulang duluan ya?"
Mata Reki membesar, tapi Tama keburu pergi. Meninggalkan Velly yang dengan jelas baru saja memukul mejanya. Lantas, jari telunjuk itu pun menuding.
"Kamu mau mati dengan cara apa?"
Meneguk ludah, Reki menilai situasi di sekelilingnya. Beberapa orang teman mereka tampak menahan tawa. Dan tak hanya itu, beberapa ledekan dan godaan pun silih berganti memeriahkan suasana pulang sekolah hari itu.
"Cie ...."
"Sebenarnya yang gentle di sini siapa sih? Hahahaha."
"Bakal jadian nih bentar lagi."
"Cie cie cie ...."
Tapi, seakan suara-suara itu tak ada, mata Velly tampak tak berkedip melihat pada Reki. Seakan benar-benar ingin menghakimi cowok itu untuk insiden memalukan yang melibatkan dirinya.
Mungkin Velly masih bisa menerima kalau yang tadi itu hanya melibatkan teman-teman, tapi ya ampun. Sampai guru ikut membacanya coba! Velly jelas malu.
"Sreeet!"
Kursi yang Reki duduki bergeser dengan kuat. Terlalu mendadak cowok itu bangkit hingga membuat Velly sendiri kaget karenanya.
"Ayo!" angguk Reki kemudian dengan mantap.
Jari telunjuk Velly pelan-pelan turun. Bingung. "Ayo?"
Reki angguk-angguk kepala. Menebalkan muka dan mengambil risiko Velly akan menerkam dirinya, tangannya meraih tali tas ransel cewek itu. Menariknya sementara ia pun beranjak dari sana. Mau tak mau membuat Velly mengikuti langkah kaki Reki.
"Eh eh eh! Ini mau ke mana?" tanya Velly. Berusaha melepaskan tas ranselnya dari tangan Reki, tapi tak bisa. "Kamu mau bawa aku ke mana?"
Ke parkiran.
Tentu saja.
Karena tak butuh waktu lama, Reki kemudian langsung mengenakan helm di kepala Velly. Ia bertanya.
"Kamu pernah makan es teler gunung belum?"
"Hah?!" Velly melongo. "Es teler gunung?"
Reki buru-buru memasang helm di kepalanya. Mengeluarkan kontak motor dan duduk di atasnya. Menyalakan mesin dan dengan cepat berkata.
"Ayo naik. Aku ajak kamu makan es teler gunung. Dijamin enak banget, Vel. Sumpah deh. Aku nggak bohong kali ini."
Mata Velly mengerjap-ngerjap bingung. "Ki---"
"Buruan!" potong Reki. "Mumpung aku lagi baik hati loh."
Cemberut, Velly mengembuskan napas panjang sekilas. Bagaimanapun juga, helm sudah terpasang di kepalanya. Hingga pada akhirnya, cewek itu pun naik pula ke motor Reki. Dan tak menunggu lama, Reki langsung melajukan motornya.
Melewati pos satpam, Reki pura-pura tidak melihat ketika Mulyo bersiap mengadang mereka.
Aku nggak liat aku nggak liat aku nggak liat.
"Eh?"
Mulyo menganga tak percaya melihat Reki dan Velly yang telah meninggalkan area sekolah tanpa memedulikan keberadaan dirinya. Seperti dirinya adalah makhluk halus saja.
"Emang mereka berdua ini," rutuk Mulyo. "Kalau lagi akur lagi semua kayak nggak keliatan. Ckckck."
Dan tepat ketika rutukan itu terlontar dari bibir Mulyo, terdengar derap langkah kaki seseorang yang berhenti di sebelahnya. Dengan napas tersengal, cewek itu melihat ke arah di mana motor Reki menghilang dari pandangan. Sontak saja membuat Mulyo mengerutkan dahi.
"Eh, kenapa, Dek?"
Siswi itu yang tak lain adalah Jessica mengatur napasnya sejenak. Tampak meringis ketika bertanya pada dirinya sendiri.
"Kok dia udah balik sih?"
Kerutan di dahi Mulyo bertambah. Dengan santainya ia bertanya pada Jessica.
"Maksudnya anak berdua itu?"
Jessica menoleh. Tampak bimbang, tapi tak urung juga ia mengangguk. Dan mendapati anggukan itu, Mulyo meringis seraya melambaikan satu tangannya di depan wajah.
"Mereka berdua mah gitu," katanya sambil geleng-geleng kepala. "Kalau lagi ribut aja heboh. Tapi, kalau lagi akur, beuuuh! Dunia memang cuma milik mereka berdua."
Jessica membeku. "Ma-ma-maksudnya?" tanyanya terbata. "Me-mereka pacaran ya Pak?"
"Memangnya ada yang percaya kalau mereka cuma temenan?" balas bertanya Mulyo. "Ckckckck."
Selesai mengatakan itu, Mulyo pun berlalu. Kembali mengambil tempat di dekat gerbang. Mengawasi tiap siswa yang beranjak pulang. Tak menghiraukan Jessica yang mematung di tempatnya berdiri. Bertanya di benaknya.
Ka-ka-karena itu Velly jawab mereka nggak lagi PDKT?
Ka-ka-karena mereka udah jadian?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro