
Bab 47. Penyesalan
Gadis dengan cat rambut warna almond itu menggigil takut sembari meringkuk di sudut kamar. Setelah emosinya melesap, ketakutan tentang apa yang akan menimpanya baru terpikirkan. Bahkan dia tidak berani untuk kembali ke apartemen. Takut jika polisi tiba-tiba menghadangnya di depan pintu, lalu langsung menyeretnya untuk dibawa ke penjara.
CCTV di jalan tadi, apakah menangkap jelas kejadiannya? Apakah uangnya akan bisa membantu kali ini?
Berlian kembali meringkuk dengan napas memburu serta jantung yang berdegub begitu cepat. Air matanya terus meleleh, tetapi sebisa mungkin ditahan. Jangan sampai orang tuanya tahu apa yang baru saja dilakukannya. Mereka memang tidak pernah marah padanya selama ini, tetapi sekarang mereka pasti tidak hanya marah. Gadis itu memeluk lututnya sendiri, kembali menggigil takut saat bayangan polisi datang untuk menjemputnya.
Reputasinya bisa hancur hanya karena kecerobohannya. Berlian kembali menjatuhkan air mata penyesalan. Kenapa dia bisa bertindak gegabah seperti itu? Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dengan tangan gemetar, gadis itu mencoba mencari ponselnya, berniat menghubungi seseorang untuk membantunya. Namun saat suara salam yang terdengar familier itu terdengar dari depan, ponsel yang Berlian pegang jatuh. Gadis itu membekap mulutnya agar tidak menimbulkan suara apa pun. Jangan sampai Evans tahu keberadaannya di rumah ini.
*
Berbekal rekaman CCTV yang kini sudah ada di ponselnya, Evans melajukan mobil ke rumah orang tua Berlian. Yakin jika kini gadis itu berada di sana karena Evans sudah menyuruh orang untuk memantau apartemen yang gadis itu tempati, tidak ada tanda-tanda jika kini Berlian ada di sana.
Mungkin gadis itu kini sedang ketakutan karena sudah melakukan hal nekad yang didasari oleh emosi. Itu kenapa Evans tidak langsung membawa kasus ini ke polisi. Selain prosesnya yang akan lama, juga karena dia ingin tahu bagaimana kondisi Berlian saat ini. Bagaimanapun, Berlian adalah adik dari Mutiara. Mereka pernah memiliki hubungan kekerabatan meski kini gadis itu terus saja melakukan hal gila yang membuatnya pusing.
Evans membelokkan mobilnya ke sebuah halaman rumah yang cukup luas. Gerbang tinggi menyambutnya dan seorang security yang sudah hafal dengan mobilnya langsung membukakan pintu. Evans memencet klakson sembari mengangguk ramah pada security yang membalasnya dengan anggukan pula.
Ibu Mutiara, orang yang masih sangat Evans hormati sampai saat ini terlihat keluar. Wanita itu sepertinya mendengar deru mobilnya yang mungkin sudah dihafal. Senyuman lembut wanita itu berikan sebagai sambutan.
Evans yang kini tengah turun dari mobil selepas mematikan mesinnya pun langsung menghampiri wanita itu. Mencium punggung tangannya, dan melangkah masuk dengan lengannya yang digandeng. Ibu Mutiara memperlakukan laki-laki itu dengan baik seolah-olah dia ini masihlah menantunya.
"Papi ada?" tanya Evans setelah melakukan obrolan basa-basi sebentar dengan wanita yang kini duduk di sampingnya itu.
"Tadi kayaknya lagi mandi, bentar lagi juga keluar kalau denger suara kamu." Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang sudah menunjuk angka 50 lebih itu menjawab sembari tersenyum hangat.
"Kamu lama sekali nggak ke sini, Vans?"
Evans menanggapi kalimat itu dengan senyuman. "Maaf, Evans lagi agak sibuk, Mi." Obrolan ringan kembali terbangun sampai sesosok laki-laki dengan perawakan tinggi muncul.
"Eh, Vans, lama sekali kamu nggak keliatan?" sapa laki-laki dengan uban yang sudah memenuhi kepalanya itu.
"Iya, Pi, lagi agak sibuk." Evans lalu bangkit untuk mencium punggung tangan ayah Berlian yang masih dipanggilnya papi. Itu semua atas permintaan orang tua Mutiara yang berkata akan menganggap Evans anak sampai kapan pun.
"Sebenarnya Evans punya sesuatu yang penting untuk dibahas." Evans tidak mau mengulur waktu. Dia harus segera menyelesaikan ini agar bisa mengambil langkah selanjutnya dengan cepat. Dia harus segera memberikan jawaban pasti pada Adistia hari ini juga.
Dua orang tua yang kini duduk berdampingan di seberang Evans itu tampak menunggu, memerhatikan Evans yang kini tengah mengutak-atik ponselnya.
"Ini tentang Lian." Evans menyorongkan ponselnya yang kini tengah memutar video rekaman CCTV. Di mana mobil Berlian tampak melaju kencang dan hampir menabrak sosok Adistia. Beruntung gadis itu sigap melompat ke belakang. Karena jika tidak, entah apa yang kini akan terjadi pada gadis itu. Sampai saat ini Evans masih terus merutuki musibah yang Adistia alami.
Dua orang tua itu tampak mengerutkan kening, mungkin sedang mencoba mencerna apa sebenarnya yang Evans maksudkan. "Ini mobil Lian?" Papi Berlian yang lebih dulu bersuara.
Evans mengangguk, bisa mendengar kesiap lirih yang wanita di depannya tunjukkan. Mami Berlian tampak syok mendengar kabar tersebut.
"Gadis itu Adis, teman dekat Evans saat ini," jelas Evans mulai menceritakan apa yang terjadi belakangan ini. Dia akan menceritakan semua perbuatan Berlian tanpa ditutupi. Orang tua gadis itu perlu tahu semua kelakuan putrinya, dan Evans berharap kali ini dia mendapat bantuan dari orang yang tepat.
"Lian nggak terima Evans dengan Adis dan selalu mencoba untuk mencelakainya. Dan ini bukan yang pertama kali." Evans menceritakan apa yang terjadi belakangan ini. Tentang Berlian yang menyewa orang untuk menfitnah toko kue online Adistia, dan beberapa kejadian lainnya. Evans membawa beberapa bukti, termasuk video rekaman dari orang yang Berlian sewa untuk menyerang toko online Adistia kala itu.
Orang tua Berlian kini tampak syok, mungkin tidak menyangka putrinya akan melakukan semua tindakan ini. Berlian sudah lama tinggal terpisah dari mereka meski sesekali masih pulang. Namun pergerakan anak satu-satunya itu sama sekali tidak terpantau dengan baik.
"Kenapa Lian jadi kayak gini?" keluh mami Berlian dengan mata berkaca-kaca, juga tangan yang gemetar karena syok. Evans sungguh tidak tega melihatnya, tetapi ini konsekuensi yang harus ditanggung. Dan Evans tidak memiliki cara lain untuk bisa menghentikan aksi gila Berlian selain meminta bantuan orang tua gadis itu.
"Maaf kalau Evans buat Mami sama Papi syok, tapi Evans benar-benar sudah bingung bagaimana lagi menghadapi tingkah Berlian yang semakin hari semakin nekad." Evans menunjukkan aura sedih juga frustasi. Ingin kedua orang di depannya juga tahu jika dirinya benar-benar sudah tidak bisa mentolerir sikap Berlian lagi.
Helaan napas panjang terdengar dari bibir mantan ayah mertua Evans. Laki-laki itu lalu menyerahkan kembali ponsel milik Evans pada pemiliknya. "Ini semua salah kami," katanya. "Kami terlalu memanjakannya sejak kecil. Dan setelah Mutia meninggal, kami selalu menuruti apa yang dia mau."
"Mami pikir hubungan kalian baik," ujar mami Berlian menambahkan. "Selama ini Lian selalu bercerita kalau kamu sama dia ...." Kalimat itu sengaja digantung karena merasa cerita yang Berlian utarakan selama ini bohong.
Evans yang paham meski kalimat itu tidak diucapkan dengan tuntas menganggukkan kepalanya. Berlian ternyata berbohong kepada orang tuanya.
"Evans hanya menganggap Lian sebagai adik, Mi, nggak lebih," jelas Evans mencoba memilah kalimat yang tidak menyinggung. "Evans juga sudah berkali-kali mengatakan sama Lian tentang hal itu. Tapi Lian selalu tutup mata dan telinga. Dan ujungnya, dia nekad melakukan semua tindakan ini saat tahu Evans punya gadis lain di hidup Evans."
Mami Berlian masih mengeluarkan air matanya, merasa sangat sedih karena tidak berhasil membimbing dengan baik satu-satunya putri yang dimiliki. "Mami sungguh-sungguh minta maaf untuk semua perbuatan Berlian yang pasti sangat merugikan kamu."
"Sebenarnya kalau Evans masih bisa mentolerir, tapi keluarga Adis."
"Apa mereka sudah lapor polisi?" Pertanyaan itu diajukan papi Berlian dengan nada khawatir.
"Belum," jawab Evans cepat. "Mereka meminta bantuan Evans, itu kenapa Evans menemui Mami sama Papi, berharap—"
"Kita bakalan minta maaf, juga pastiin Lian buat nggak ngelakuin ini lagi. Kami akan tanggung jawab," potong mami Berlian dengan nada takut, tidak akan tega jika putrinya sampai dilaporkan pada polisi.
"Evans bisa atur itu, asalkan Lian benar-benar tidak akan melakukan hal yang lebih dari ini." Evans akan berbicara pada Adistia untuk tidak memperpanjang masalah ini. Memang akan terdengar tidak adil bagi gadis itu, tetapi dia benar-benar tidak tega jika harus melaporkan kejadian ini pada polisi. Namun jika keluarga Adistia pada akhirnya mendesak untuk membawa kasus ini ke jalur hukum, Evans tidak bisa berupaya lebih.
"Pantas saja anak itu tadi keliatan aneh." Papi Berlian bergumam, lalu tampak bangkit dari duduknya. Laki-laki itu melangkah ke dalam, dan tidak lama dari itu terdengar suara bantingan pintu serta teriakan marah.
Evans dan mami Berlian yang mendengarnya ikut bangkit dan melangkah ke sumber suara dengan sedikit tergesa.
"Mau ngelak? Evans sudah nunjukin semua buktinya!" teriakan papi Berlian.
Evans yang baru saja tiba di depan kamar Berlian bisa melihat gadis itu tengah meringkuk takut di sudut ruangan. Sementara mami Berlian langsung menghampiri anak gadisnya.
"Mami benar-benar kecewa sama kamu Lian, kenapa kamu bisa seperti ini?" Mami Berlian menangis, menunjukkan rasa kecewanya yang membuat Berlian tampak semakin merasa bersalah. Bahkan sekadar satu kata pun tidak ada yang bisa keluar dari bibir gadis itu.
"Kamu berani bertindak seperti ini, kamu juga harus berani tanggung resikonya!" bentak papi Berlian lagi. "Kalau sampai keluarga gadis itu mau memperpanjang masalah, Papi kali ini bener-bener nggak akan bantu kamu." Tentu saja itu hanya gertakan, tidak mungkin laki-laki itu tega membiarkan Berlian ditahan polisi.
Berlian yang mendengar ancaman papinya langsung bangkit dengan wajah yang sudah kacau dengan air mata.
"Pi, tolong jangan kayak gitu, Lian takut, Lian menyesal, tolong Lian, Pi." Berlian terisak sembari memeluk kaki papinya. Dia benar-benar takut jika harus menghadapi semua ini. Belum lagi jika dia benar-benar harus berhadapan dengan polisi.
Evans yang melihat semua pemandangan itu hanya diam. Merasa miris karena Berlian yang angkuh kini benar-benar terlihat ketakutan dan tidak berdaya.
*
Hari itu juga orang tua Berlian meminta Evans untuk mengantar mereka menemui Adistia dan keluarganya. Di sana keduanya meminta maaf, bahkan mami Berlian memohon agar Adistia tidak melaporkan anaknya ke kantor polisi. Tanggapan yang Adistia beri sungguh membuat Evans kagum, gadis itu langsung menuruti permintaan mami Berlian, bahkan sampai memeluk wanita itu untuk menenangkannya. Sementara orang tua Adistia yang tidak tahu persis masalah yang terjadi menyerahkan semua keputusan pada putrrinya.
Evans akhirnya mampu mengembus napas lega karena semua masalah teratasi, apalagi saat keesokan harinya dia mendengar kabar jika orang tua Berlian membawa gadis itu untuk pindah ke luar kota. Mami Berlian meyakinkan Evans jika mulai hari itu Berlian tidak akan pernah muncul lagi di hidupnya. Berlian sempat menghubunginya juga melaui telepon, gadis itu menangis dan mengatakan jika dia menyesal. Entah mengapa kali ini Evans yakin jika penyesalan Berlian memiliki ketulusan.
***
3 bab lagi menuju tamat. Yang mau baca lebih cepet silakan ke karyakarsa.
Oh, ya. Kalau ada yang punya aplikasi bestory, jangan lupa mampir ke cerita terbaru aku yang tayang di sana ya.
Judul : Jodoh untuk Pak Dosen
Akun : Aya Arini
Tayang setiap hari pukul 11.00 WIB.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro