Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 33. Resah

Arman tersenyum miring saat melihat Adistia terus memperlihatkan wajah resahnya. Apalagi saat dengan sengaja laki-laki itu memperlihatkan siapa nama orang yang dipanggil. Dengan tatapan memohon, gadis itu berusaha menghentikan aksi konyol Arman yang berencana memanggil Evans untuk datang.

"Mir, lo kenapa diem aja, sih." Adistia sungguh kesal karena merasa dikerjai hari ini.

"Memang kenapa kalau dia dateng, kan biar lebih seru." Namira bukannya ingin mengerjai Adistia. Hanya saja dia sudah sepakat dengan Arman untuk mencoba menyatukan dua insan yang sebenarnya saling menyukai ini. Daripada melihat keduanya terus galau dan terlihat menyedihkan, bukankah tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu Evans bisa luluh pada akhirnya. Jika tidak, setidaknya Adistia sudah pernah mendapat peluang untuk memperjuangkan hatinya. Untuk masalah akhirnya akan bagaimana, mereka hanya akan menyerahkan pada Tuhan. Masing-masing tidak terlalu memikirkan dampak pada Adistia jika akhirnya hati Evans tidak juga luluh.

Adistia yang bertambah kesal dengan tingkah Namira yang terlihat santai sudah berniat pergi, tetapi sahabatnya itu dengan sengaja menahan,. "Nggak boleh ke mana-mana."

"Sialan nih orang, nggak diangkat juga," gerutu Arman kesal karena panggilannya tidak juga terjawab.

"Udah, deh, mendingan berhenti, orangnya pasti lagi sibuk." Adistia menatap kesal sepasang sejoli ini dan berharap keduanya tidak melanjutkan rencana yang sungguh konyol ini.

"Udah, lo diem aja," ujar Arman santai. Lalu kembali meneror ponsel Evans, yakin akan diangkat jika terus seperti itu. Bibir kehitaman laki-laki itu tersenyum saat panggilannya diangkat. Saapan malas Evans menyambutnya.

"Ada yang mau ketemu lo." Adistia menahan napas saat kalimat tersebut terucap dari bibir Arman, lalu berdecak kesal karena tunangan Namira itu seperti sangat menikmati kegelisahan yang kini dirasakannya.

Adistia memilih untuk mengalihkan kegugupan yang tiba-tiba hadir dengan menyeruput minumannya. Dalam benak membayangkan bagaimana sikap Evans nanti jika melihat dirinya ada di sini. Bagaimana jika laki-laki itu bersikap dingin? Atau malah terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka?

Jujur saja meski gelisah, sebenarnya ada setitik harap Evans benar-benar akan datang. Sudah berapa lama mereka tidak bertemu dan Adistia sangat merindukan mata biru itu. Namun gadis itu juga takut jika nanti sikap Evans tidak akan ramah lagi terhadapnya. Takut serangan kecewa yang lebih dahsyat muncul dan kembali mengacaukan hatinya yang mulai membaik. Meski tidak benar-benar membaik setidaknya bayangan Evans sudah tidak lagi menyita konsentrasinya.

"Bakalan gue teror sampai dia beneran dateng." Celetukan Arman menyita fokus Adistia yang sempat teralih pada keributan yang kini menguasai kepalanya. Ditatapnya wajah Arman yang kini tampak menunjukkan senyuman miring dengan jemari sibuk mengetikkan sesuatu pada layar ponsel. Entah apa yang sebenarnya tengah dilakukan tunangan Namira itu saat ini.

"Mir, gimana kalau dia marah nanti pas lihat gue?" keluh Adistia pada Namira yang juga tengah sibuk dengan ponselnya. Gadis itu sedang membuka aplikasi sebuah marketplace.

"Nggak bakalan, tenang aja," ujar Namira santai masih dengan mata tertuju pada layar ponsel. "Tujuan kita itu baik kok," lanjutnya sembari melirik sepintas pada Adistia yang masih menunjukkan wajah gelisah.

"Baik di sisi mananya? Kalau nanti sikap dia nggak baik, lo mau tanggung jawab kalau gue kacau lagi dan berakhir nggak bisa ngerjain kue kayak kemarin-kemarin? Pesanan gue lagi banyak Mir." Adistia mendesah kesal, meski sebenarnya juga penasaran dengan apa yang Arman ucapkan tadi. Informasi yang mengatakan jika Evans juga sekacau dirinya karena perpisahan mereka. Benarkah seperti itu? Atau bagaimana jika ternyata Arman hanya salah paham? Evans kacau karena hal lain, rasanya sulit dipercaya jika laki-laki itu kacau karena dirinya.

"Makanya biar nggak penasaran kita mau tunjukin ke lo kalau dia juga sama." Namira mencoba meyakinkan Adistia jika pemikiran buruknya itu tidak akan terjadi. Meski tidak melihat sendiri bagaimana kekacauan yang terjadi pada Evans, entah mengapa kali ini Namira yakin jika Arman tidak mungkin akan berbohong. Tunangannya itu tidak akan memberikan informasi palsu yang akan mengecewakan Adistia.

"Kalau ternyata nggak bener gimana?" Adistia masih terus menyuarakan ketakutannya. Dia benar-benar tidak mau lagi harapan yang sudah mulai terkubur ini kembali muncul. Dan berakhir dengan luka kecewa yang lebih parah nantinya.

Namira yang kesal akhirnya berdecak gemas, lalu berujar dengan keyakinan penuh. "Kalau sampai nggak bener gue bakalan traktir lo jalan-jalan keliling Indonesia selama satu bulan penuh."

Adistia mengerjabkan matanya, lalu menyeringai tipis. "Bener loh, ya? Itu janji lo."

"Gue tambahin dua bulan kalau perlu." Arman mengimbuhkan sembari meletakkan ponselnya ke meja, lalu menyesap kopi hitamnya yang mulai mendingin. "Tapi kalau kita bener kebalikannya, gimana?"

Adistia berdecak sebal karena merasa dipermainkan. "Itu mah jebakan namanya."

Arman dan Namira terkekeh bersamaan. "Ya, kan, lo nggak percaya. Berarti lo harus yakin menang dong. Kalau sampai kalah berarti lo percaya kata-kata kita, kan?"

Adistia mendesah malas. "Nggak ada percaya atau enggak, nggak ada kesepakatan juga," katanya sembari membuang pandang ke arah lain, bisa bangkrut dia mentraktir dua manusia ini jalan-jalan keliling Indonesia dua bulan penuh.

*

"Nggak bakalan dateng, kan?" ujar Adistia dengan sorot kecewa di matanya saat yang ditunggu pada akhirnya benar-benar tidak menunjukkan batang hidungnya. Mungkin Evans berhasil menebak jika orang yang Arman maksud adalah dirinya meski laki-laki itu tadi tidak menyebutkan namanya sama sekali.

Arman tidak menjawab, laki-laki itu kembali meneror Evans, dan ternyata sahabatnya sedang terjebak macet. "Kena macet, dikit lagi sampai."

Jantung Adistia kembali berulah saat informasi itu hadir di telinganya. Apalagi saat sosok itu benar-benar muncul di depan kafe. Evans sudah mendorong pintu kaca untuk masuk, mengedar pandang, Adistia malah sengaja menyembunyikan diri di balik tubuh Namira. Namun rasa kecewa itu menyeruak saat Evans malah keluar, bukan mendekat ke meja yang kini mereka tempati. Apa laki-laki itu tadi melihatnya sehingga memutuskan untuk pergi?

"Yang, dia malah keluar!" Namira yang juga melihat kehadiran Evans segera memberikan informasi tersebut pada Arman. Laki-laki itu tidak menyadari kehadiran sang sahabat karena kini duduk membelakangi pintu.

Arman dengan cepat meraih ponsel untuk menghubungi Evans, tetapi nomornya sedang sibuk. Maka laki-laki itu segera mengirimkan pesan, terkirim. Tidak lama sosok itu kembali masuk. Ketiga orang itu pun segera mengalihkan perhatian ke tempat yang sama. Di mana kini Evans tampak berjalan santai ke meja mereka. Namun, langkah itu terhenti saat matanya menangkap keberadaan Adistia.

Adistia yang keberadaannya ditemukan oleh Evans segera membuang pandang ke samping. Mencoba menetralkan degub jantungnya yang menggila. Rasa rindu itu akhirnya terobati, tetapi perasaan resah tentang sikap yang akan Evans tunjukkan membuat sekujur tubuhnya seperti bergetar karena gugup. Dia tidak siap dengan semua ini. Apa boleh dia pergi saja saat ini? Adistia benar-benar takut merasakan kekecewaan yang berlebih kali ini. Juga, dia tidak mau memupuk kembali harap yang sudah berhasil disembunyikannya dengan rapi ke dasar hati.

***

Oke, terima kasih yang sudah mampir. Sampai jumpa di Wattpad minggu depan. :)

Yang mau baca lebih cepat dan nyaman terbebas dari iklan, kalian bisa langsung ke karyakarsa, ya. Novel ini sudah tamat di sana. Gassss meluncur guys. :D

Spoiler Bab 34. Tidak sesuai harap

Adistia yang paham jika Namira sengaja pergi untuk menyisakan waktu agar dia bisa berdua dengan Evans kini merasakan kegugupannya semakin bertambah. Berharap dua sejoli itu tidak akan meninggalkannya. Adistia benar-benar bingung harus bersikap seperti apa saat ini. Berdua dengan laki-laki yang beberapa waktu lalu menolak cintanya tentu saja bukan hal yang bisa membuatnya tenang.

"Gimana usaha kue?" Evans yang juga merasakan kecanggungan tidak menyenangkan mencoba mencairkan suasana.

Adistia menjawab dengan anggukan kepala, lalu berujar lirih, "Alhamdulillah, masih stabil," katanya dengan senyuman tipis.

Evans ingin sekali melihat senyuman lebar yang menunjukkan gigi gingsul itu, tetapi sepertinya saat ini keinginan itu terlalu muluk. Hening kembali tercipta, Evans mengucapkan terima kasih pada pelayan yang baru saja mengantarkan tehnya. Menyesap minuman dalam cangkirnya dengan mata memandang Adistia yang kini mengedarkan mata ke mana-mana, laki-laki itu berpikir topik obrolan apa yang bisa dibangunnya lagi? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro