Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 19. Status Evans

Adistia tersenyum puas setelah menyelesaikan 5 buah pesanan picnic roll dan 3 loyang cheescake yang kini sudah tertata rapi di kemasan kardus masing-masing. Tinggal menunggu diambil oleh pemesan karena kebetulan ini adalah pesanan dari tetangga komplek dan juga tetangga Namira, jadi mereka nanti yang akan mengambil sendiri. Sementara jika lokasinya sedikit jauh, Adistia biasanya akan menggunakan jasa ojek online untuk mengantarnya. Di mana uang untuk ongkos jalannya dibebankan kepada pelanggan. Sejauh ini semua pesanan yang sudah mendarat di tangan konsumen selalu mendapat komentar positif. Dan terulas baik di media sosial tempatnya melakukan promosi.

Setelah selesai dengan urusan pengemasan, Adistia segera mencuci dan membereskan peralatan tempurnya. Pesanan hari ini selesai, dan tinggal membuat list untuk pesanan besok.

"Adis!" Panggilan itu terdengar dari samping rumah. Tepatnya dari taman samping di mana kini bundanya tengah sibuk dengan pot-pot tanaman. Adistia yang sudah menyelesaikan pekeraannya, memastikan sekali lagi jika dapur sudah kembali bersih seperti semula sebelum akhirnya melangkah ke sumber suara. Sang bunda terlihat tengah sibuk dengan tanah dan juga sekop.

"Kenapa, Bun?" Adistia selalu senang memandangi taman kecil di samping rumahnya yang dipenuhi oleh berbagai macam tumbuhan. Paling banyak didominasi oleh mawar. Bundanya sudah berhasil mengoleksi berbagai warna. Dan kali ini ada mawar biru, kuning, serta merah yang terlihat mekar. Tangan sang bunda memang sepertinya memiliki magis, sehingga tanaman apa pun yang ditanam pasti akan tumbuh subur. Berbeda dengannya yang akan langsung membuat tanaman mati hanya dengan sekali pegang.

"Tolong bantu Bunda ambilin pot di belakang, Sayang," perintah sang bunda tanpa menoleh.

Adistia segera menggerakkan kaki ke tempat yang dimaksud. "Berapa?" tanyanya sedikit berteriak saat melihat pot yang ada lebih dari sepuluh.

"Ambil tiga!" Adistia segera mengambil tiga pot berwarna putih yang entah kapan bundanya beli.

"Bunda nggak capek apa baru pulang?" tanya Adistia sembari ikut berlutut di samping wanita yang telah melahirkannya itu. Pertanyaan tersebut meluncur karena bundanya ini memang baru saja pulang selepas mengajar di sebuah SD. Tadi sempat berkata sehabis menengok rekan guru yang kecelakaan juga, jadi jam bundanya di rumah agak telat.

"Capek Bunda ilang kalau udah megang ini semua." Arumi menjawab sembari tersenyum, tangannya sigap mengganti pot mawar yang sudah rusak juga membutuhkan wadah yang lebih besar.

"Mas Yudha jadi pulang bulan depan?" Adistia mendadak ingat dengan kakak pertamanya itu. Bundanya yang mencari kesibukan seperti ini sebenarnya karena merasa kesepian saat di rumah. Andai kakaknya yang sudah memiliki satu anak itu tidak tinggal jauh di luar kota, mungkin akan sering meramaikan rumah ini dengan suara anak kecil.

"Katanya sih jadi, nunggu Kanianya libur sekolah."

Adistia hanya mengangguk-anggukkan kepala. Matanya terus mengawasi tangan lincah sang bunda.

"Makanya Ayah sama bunda kepengin kamu cepet nikah." Ayahnya yang baru selesai mandi mendadak muncul dan kini sudah duduk di bangku tidak jauh dari tempat Adistia dan sang bunda kini berjongkok.

Adistia yang mendengar kalimat itu hanya meringis tipis, berniat kabur tetapi yakin tidak bisa. Maka hanya diam sembari mendengar kalimat lanjutan sang ayah.

"Gilang sama Yudha jauh, kalau kamu nikah dan beneran jadi sama Evans, kan, deket. Jadinya kalau kalian punya anak nanti bisa dateng setiap hari nengokin Ayah sama bunda," lanjut laki-laki dengan kaca mata itu sembari membuka koran yang belum sempat dibacanya pagi tadi. Gunardi memang masih senang membaca koran ketimbang membaca berita laman berita melalui media online.

Adistia hanya diam, tidak berani mengatakan apa pun, takut malah nanti salah bicara dan berakhir runyam.

"Oh, ya, itu ngomong-ngomong Evans sudah lama nggak keliatan?" Kali ini sang bunda yang bertanya.

"Lagi sibuk orangnya." Jawaban singkat yang Adistia harap tidak akan menimbulkan kecurigaan. Dan jika boleh berharap, tidak akan dilanjutkan ke pertanyaan selanjutnya.

"Tapi sekali-kali harusnya datenglah, masak kalian nggak saling kangen." Gunardi melirik sejenak putrinya yang tampak kebingungan.

"Ayah ini kayak nggak tahu teknologi aja," jawab Adistia. "Lagian baru minggu kemarin juga, kan, dia ke sini."

Gunardi sudah siap melayangkan satu pertanyaan lagi, tetapi urung saat terdengar deru mobil di luar. Adistia yang sudah hafal suara mobil siapa itu seketika melebarkan mata. Bangkit dari posisinya dan berlari ke luar. Benar saja, orang yang sedang menjadi topik pembicaraan muncul dari balik mobil yang kini tengah berhenti di depan pagar.

*

"Panjang umur, Mas." Adistia mengatakan itu sembari membuka pintu gerbang rumahnya. Diperhatikannya penampilan Evans yang tampak santai hari ini. Hanya mengenakan kaos pendek berwarna biru dengan celana cargo hitam selutut. Rambut laki-laki itu sedikit basah, terlihat begitu segar dan nyaman saat dipandang.

"Kenapa memangnya?" Evans tersenyum sembari mendekat ke arah Adistia, lalu menyorongkan beberapa kotak makanan pada gadis itu.

"Tadi lagi ditanyain sama ayah." Adistia melongok kotak makanan yang sudah beralih ke tangannya. "Apa ini?"

"Itu masakan dari katering mama." Evans entah mengapa harus merasa canggung saat menjawab, bahkan laki-laki itu sampai mengusap tengkuknya.

Adistia mendongak untuk melihat ekspresi aneh yang kini Evans tunjukkan. "Wah, makasih banget loh."

Evans mengangguk, sebenarnya enggan mengantarkan makanan ini karena hanya akan menimbulkan harap yang lebih besar untuk orang tua Adistia. Entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa bersalah, juga takut akan kenyataan yang harus dihadapinya nanti jika hubungan palsu yang dijalaninya dengan Adistia akan menimbulkan masalah. Kekecewaan yang kedua orang tua mereka rasakan akankah menjadi beban? Evans tadinya tidak pernah berpikir sejauh ini. Yang dia pikirkan kala itu hanya bagaimana cara menyingkirkan Berlian dari hidupnya. Tidak pernah membayangkan jika hubungan palsu ini harus menyeret banyak hal.

"Ya udah masuk, yuk! Bunda sama ayah pasti seneng liat Mas Evans." Adistia tersenyum lebar, terlihat sangat bahagia. Ekspresi yang juga membuat Evans semakin merasa takut. Takut gadis ini akan menaruh hatinya pada hubungan palsu mereka.

"Tapi aku lagi nggak rapi." Evans memang tidak berniat mampir, jika tidak disesak sang mama untuk mengantar makanan pun dia sebenarnya enggan datang ke rumah ini.

Adistia yang merasa penampilan Evans akan terlihat keren di setiap kesempatan tersenyum. "Nggak papa. Biar nggak keliatan formal terus." Entah keberanian dari mana, Adistia berani menarik lengan Evans agar mau masuk ke rumahnya.

*

Sambutan baik seperti sebelumnya kembali Evans dapat. Kali ini dia duduk di teras samping rumah, ikut melihat bunda Adistia yang masih sibuk dengan tanamannya. Juga mengobrol ringan dengan ayah Adistia yang langsung melipat korannya setelah Evans datang.

"Sekali-kali minum teh nggak papa, kan, Mas?" Adistia meletakkan dua cangkir teh yang mengepul di atas meja, juga beberapa potong brownies yang dibuatnya kemarin.

"Boleh," jawab Evans sembari tersenyum. Wajah Adistia terlihat letih hari ini, beberapa noda tepung juga masih terlihat. Namun senyum tidak pernah terlihat luntur sedikit pun dari bibirnya.

"Kamu itu belum mandi apa?" tegur Gunardi saat menyadari penampilan putrinya benar-benar masih lusuh.

Adistia meringis sembari berdiri, sempat berkaca di jendela yang berada di belakang kursi tempat ayahnya dan Evans duduk, dan ternyata penampilannya memang kacau.

"Tadi masih capek, Yah." Gadis itu melirik Evans yang hanya tersenyum geli melihat interaksinya dengan sang ayah.

"Ya udah mandi sana. Kasian Evans dikasih pemandangan kayak gitu."

Adistia berdecak lirih, tetapi tetap menuruti perintah ayahnya. Setelah pamit pada Evans, gadis itu bergegas ke kamar mandi. Jika biasanya dia akan berlama-lama, maka kali ini tidak. Hanya membutuhkan waktu tidak sampai sepuluh menit, Adistia sudah selesai dengan kegiatan mandinya, dan kini siap kembali ke taman samping dengan penampilan sedikit segar. Dengan langkah lebar dihampirinya dua orang yang kini masih duduk sembari mengobrol ringan. Namun langkah Adistia terhenti saat pertanyaan sang ayah terdengar dari tempatnya.

"Mohon maaf sebelumnya Nak Evans. Tapi Om boleh mengkonfirmasi sesuatu?" Dari nada bicaranya, sang ayah terdengar cukup serius. Hati Adistia mendadak cemas.

"Silakan, Om." Sementara Evans masih terlihat santai seperti biasa.

"Om denger kabar, kalau katanya Nak Evans ini duda, apakah benar?"

Mata Adistia melebar saat itu juga. Kenapa ayahnya harus mempertanyakan soal status ini pada Evans? Kenapa tidak padanya saja, apakah ini pertanda jika status itu akan bermasalah untuk hubungan palsu yang mereka bangun?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro