Bab 18. Gugup yang menelusup
Evans merasa jika hari-harinya selalu dipantau oleh seseorang. Entah hanya perasaannya saja, atau memang ada yang menguntitnya belakangan ini. Ke mana pun dia pergi, seolah-olah ada yang selalu membuntutinya. Bahkan di kedai, ada satu orang mencurigakan yang selalu datang setiap hari. Jika tidak diperhatikan dengan benar, mungkin laki-laki itu tampak seperti pelanggan biasa. Namun, Evans merasa yakin jika orang ini selalu muncul di mana pun dirinya berada.
"Dil, kamu ngerasa aneh nggak sama orang yang duduk di kanan pintu itu?" Evans menanyakan itu pada Fadil dengan nada bergumam. Tidak menghentikan kegiatannya yang sedang menuang kopi dari moka pot. Sementara Fadil yang baru saja menyerahkan satu espresso pesanan pelanggan, mencoba untuk tidak menyita perhatian orang yang dimaksud.
"Yang pakai jaket cokelat, Mas?"
"Iya." Evans mengangguk. "Nggak tahu kenapa, saya ngerasa orang itu selalu ada di mana-mana."
Fadil tampak mengingat, lalu berujar, "Kayaknya belakangan ini orang itu juga sering dateng ke kedai. Sehari bisa dua atau tiga kali."
"Kira-kira mau apa dia?"
"Apa dari pesaing Mas?"
Evans menggelengkan kepala tanda tidak tahu, tidak mau curiga juga, tetapi harus tetap waspada. "Kamu minta sama yang lain buat awasin dia, jangan lengah."
"Baik, Mas."
Evans yang sudah selesai dengan kopi racikannya segera menyerahkan pada pelanggan, lalu mengambil kunci mobil karena harus mengambil pesanan kopi dari pemasok.
*
Evans sengaja tidak langsung turun dari mobil. Melalui kaca spion, mata birunya memerhatikan sepeda motor yang sejak tadi memang terlihat membuntutinya. Pengendaranya adalah laki-laki yang tadi terlihat di kedai. Siapa sebenarnya orang ini?
Setelah memastikan jika dirinya memang benar-benar dibuntuti, Evans segera melakukan apa yang seharusnya dirinya kerjakan. Mengambil pesanan kopi yang pembayarannya sudah dilakukan melalui transfer. Jadi Evans tinggal mengambil pesanannya saja. Jika biasanya dia akan mengobrol dengan karyawan yang berjaga, maka kali ini laki-laki itu memutuskan untuk langsung pergi. Dalam benak memikirkan cara, bagaimana agar dia bisa tahu apa tujuan laki-laki ini.
Evans yang sudah melajukan mobilnya kembali, membelokkan kendaraan roda empat itu ke sebuah mal terdekat. Sengaja berjalan pelan, agar orang yang masih menguntitnya tidak kehilangan jejaknya. Siapa pun dalang di balik semua ini, sungguh tidak pintar memilih orang karena jika diikuti secara terang-terangan begini, siapa yang tidak akan curiga? Sebenarnya Evans sudah memiliki satu nama, dia hanya perlu memastikannya saja.
Setelah masuk kawasan mal yang tidak terlalu ramai karena ini masih jam kerja, Evans langsung berbelok ke sebuah toilet. Sengaja berlama-lama di dalam agar orang yang diyakininya kini menunggu di luar gusar. Benar saja, setelah hampir satu jam tidak keluar, Evans akhirnya mendapati orang di luar toilet itu menghubungi seseorang.
"Orangnya di toilet, Bos, nggak keluar-keluar dari tadi."
Evans merapatkan badannya di samping pintu masuk toilet agar bisa mendengar dengan jelas apa yang tengah diperbincangkan laki-laki di luar sana. Beruntung toilet sepi, jika tidak mungkin banyak yang akan curiga dengan gerak-geriknya ini. Dan Evans harus bersyukur karena penguntitnya itu bukan orang yang cerdas. Bagaimana bisa dikatakan cerdas jika saat menelpon saja tidak menjauh dari sekitaran toilet. Sungguh tidak berpikir Evans akan mendengar pembicaraan yang sudah terjadi.
"Nggak bakalan kabur, soalnya pintu toiletnya cuman satu."
Evans langsung keluar, merebut ponsel di tangan penguntitnya saat orang itu lengah. Dan benar saja, suara Berlian terdengar di ujung telepon.
*
Evans pikir setelah ketahuan mengirim orang untuk mengawasinya, Berlian akan berhenti. Namun laki-laki itu salah besar karena Berlian kembali mengirim orang lain, kali ini orang yang dikirimnya malah dengan terang-terangan selalu duduk di bangku kedai, dan mengaku jika disuruh Berlian untuk memata-matai kegiatan Evans. Tindakan Berlian kali ini sungguh nekad dan sedikit keterlaluan.
"Dia kayaknya terobsesi banget sama Mas Evans, ya? Ngeri." Komentar Adistia setelah mendengar cerita yang Evans alami dua hari ini. Adistia memang tidak mengunjungi laki-laki ini selama dua hari karena sibuk mengerjakan pesanan kue. Sementara hari ini hanya ada dua pesanan, dua loyang lapis legit yang sudah diselesaikannya, itu kenapa Adistia bisa datang ke kedai sore harinya.
"Aku juga nggak nyangka dia bakalan sampai kayak gini setelah Mutia nggak ada." Evans sebenarnya tahu Berlian sudah menaruh perasaan padanya sejak pertemuan pertama mereka. Yaitu ketika Mutiara memperkenalkan mereka sebelum mengajaknya ke rumah untuk diperkenalkan pada orang tua. Namun saat itu Berlian tidak melakukan apa pun karena status mereka adalah calon ipar. Beberapa bulan setelah kepergian Mutiara, baru gadis itu berani secara terang-terangan menyatakan perasaannya, juga meminta Evans memberi kesempatan. Apalagi saat mama Evans juga memberi dukungan, Berlian semakin menjadi dan tidak peduli dengan sikap dingin yang didapat.
"Kalau orang kayak gini biasanya bakalan ngelakuin apa pun, Mas." Adistia semakin merasa ngeri dengan tindakan yang mungkin saja bisa Berlian lakukan padanya.
"Kamu takut?" tanya Evans saat sadar ada sorot ngeri yang kini Adistia perlihatkan di matanya.
"Sedikit." Gadis itu meringis tipis.
"Kalau kamu—"
"Tapi tenang aja, aku bakalan bantuin Mas Evans kok," potong Adistia cepat sebelum Evans merasa tidak enak dan menghentikan hubungan palsu yang mereka jalani.
"Aku nggak mau bebanin kamu."
"Sama sekali enggak," jawab Adistia cepat dan yakin. "Mas Evans udah selesaiin masalah perjodohan aku. Dan aku bisa lepas dari sosok Bisma yang aku bilang nggak lebih baik dari Berlian juga. Jadi sekarang waktunya aku bales itu semua."
Evans tersenyum, hatinya tersentuh mendengar penuturan tulus dari bibir Adistia. "Makasih, ya."
Adistia mengangguk, lalu gadis itu tampak berpikir. "Jadi mulai hari ini, aku bakalan sempetin waktu buat datang ke kedai setiap hari."
"Nggak perlu setiap hari juga, kamu juga kan sibuk." Meski senang Adistia akan membantunya dengan maksimal, tetapi Evans tidak mau pekerjaan Adistia terganggu.
"Soal waktu sih gampang Mas, nanti aku atur." Adistia tidak merasa terbebani, malah dia senang jika setiap hari bisa mendatangi kedai Evans.
"Kalau enggak gini aja," ujar Evans saat satu pemikiran terlintas. "Setiap kamu belanja, atau kamu mau pergi ke mana pun, bisa minta tolong aku buat nganter."
Adistia tersenyum lebar, sangat setuju dengan ide tersebut. "Asal nggak ganggu waktu Mas Evans."
"Itu bisa diatur."
"Oke, kalau begitu. Oh ya." Adistia ingat dia membawa sesuatu saat datang kemari. "Aku baru aja cobain menu baru, Mas Evans cobain terus kasih komen jujur, ya."
Evans mengangguk, diam-diam tersenyum sembari memerhatikan Adistia yang sedang mengeluarkan kotak makan dari paperbag batik. Gadis ini jika dilihat secara awas sebenarnya sangat manis. Dengan polesan make up yang bahkan nyaris tidak terlihat, Adistia menunjukkan kecantikan sederhana yang sangat nyaman saat terus dipandang.
"Aku buat kukis rasa kopi, Mas cobain kurang apa." Evans terhenyak oleh kalimat itu. Sadar jika tidak seharusnya memiliki kekaguman pada Adistia, atau pun gadis mana pun.
Sementara Adistia yang melihat Evans bersikap aneh hanya bisa menatap bingung, lalu menunggu komentar yang akan Evans beri untuk kue kering yang baru dia coba buat dengan resep baru, sedikit dimodifikasi.
"Menurutku aroma kopinya agak kurang." Evans memberikan komentar jujur setelah menggigit kukis di tangannya. Mencoba mengabaikan perasaan aneh yang kembali muncul setiap kali mata bulat Adistia memfokuskan pandang ke arahnya.
"Untuk manis dan renyahnya pas." Evans tersenyum tipis, menahan gugup yang anehnya langsung muncul saat Adistia melebarkan senyum, menampakan satu gigi gingsulnya. Perasaan apa yang sebenarnya tengah menelusup masuk ke relung hatinya ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro