Chapter 9
(M/n)'s POV
Aku tidak pernah memilih takdirku serumit ini. Apalagi menjadi sosok yang begitu penting seperti turunan ilahi.
Memang benar aku mengatakan itu malam tadi, karena sejujurnya,
HIDUPKU SESIAL INI!!!
Lihat saja sekarang siapa yang tinggal satu atap denganku. Dia yang seenaknya menandaiku dengan alasan darurat, kemudian dia pindah kemari dengan alasan...
"Kau kalau ditinggal jadi mekdi nya yokai lain entar."
Sudah nginap tanpa izin, berlagak jadi sekuriti. Sekarang malah nyanyi di kamar mandi, udah suaranya ngganggu banget lagi.
Tok tok tok!
"Uzui, cepetan. Aku juga mau mandi."
"Ha?"
"CEPETAN MANDINYA! AKU MAU SEKOLAH!"
"...oh."
Tck! Daritadi jawabnya itu terus. Kalau begini apa aku harus pergi ke kamar mandi umum saja? Keburu telat nggak ya?
Baru saja aku memikirkan cara lain, tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka. Kupikir penantianku langsung terbayarkan, kalau saja DIA MENGGUNAKAN HANDUK ATAU APAPUN YANG MENUTUPI BELALAINYA!!
"A-anoo, kau tidak bawa handuk atau apa gitu buat nutupin, Uzui-san?"
Kutahan emosiku, dia malah celingak-celinguk melihat sekitar.
"Oh ya, tadi ketinggalan diatas kasur sih. Ini baru mau ambil."
"KENAPA NGGAK DARITADI??!!"
Uzui hanya mengedip-ngedipkan matanya, menyilangkan tangannya.
"Hoy, mau aku pakai atau tidak, kita sama-sama laki-laki. Melihat burung itu sudah biasa, malah KEWAJIBAN!"
"Jangan bilang punyamu kecil."
Liriknya langsung jatuh ke celana dalamku, memicing mengira-ngira berapa senti ukurannya. Jelas langsung kututup pastinya!
"Ng-nggak juga!"
"Hoo, besar berarti?"
"Nggak sebesar punyamu."
"Kecil berarti."
"Normal pokoknya! Udah, udah, minggir, aku mau mandi."
Tak kuasa menahan malu membahas beginian langsung saja aku menyusup masuk ke dalam kamar mandi dan kupastikan pintunya terkunci rapat agar dia tak bisa masuk.
Barulah aku mengguyur tubuhku dengan shower, membersihkan tiap sela sembari mengusap sekujur kulitku dengan bersih. Sampai akhirnya tatapku mendarat pada kulit leher, dimana tanda itu tak menampakkan dirinya entah kenapa. Meski begitu aku masih bisa merasakan sensasi dimana dia menghunuskan gigi tajamnya hari itu.
Sakit, sama sekali tidak menyenangkan.
Seakan aku bertanya, aku harus seperti ini sampai kapan?
Kontrak yang tak dapat dibatalkan. Tak bermakna selain hanya sebuah kecelakaan.
Jawaban itu mungkin masih belum ada untuk sekarang. Hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja.
Pancuran shower kumatikan, menyisakan tubuh telanjangku yang bertitikkan titis air, dari ujung surai sampai ujung kulitku.
Kain handuk kuraih untuk mengeringkan diri, barulah aku beranjak pergi saat air tak lagi menitik.
Sesaat diriku keluar dari ruang pembersihan diri, suatu aroma mengambang di udara.
Wangi sekali, seperti... masakan ibu.
"Ibu?"
Langkahku menuruni tangga tanpa berpikir panjang. Tenggelam dalam euphoria nostalgia, menganggap semua yang sudah tiada masih ada disana.
Aroma berasal dari suatu tempat, dimana sosok hangat itu biasa menampakkan punggungnya yang berikatkan tali celemeknya.
Tanganku terangkat, terbuka lebar seraya memeluk punggungnya yang begitu kuingin tetap ada.
Bidadari surgawi itu berputar menampakkan wajahnya, namun garis senyumnya tak melengkung keatas, melainkan berubah menjadi garis lainnya yang lebih lebar dan kaku dibanding dengannya.
"Kau."
Pecah seketika delusi itu, bergantikan kenyataan dimana kini dirinya lah yang berada dalam pelukku.
Terkejut dengan apa yang kulakukan, dimana tubuh telanjangku yang hanya berbalutkan kain lembut penghisap titik air bertemu dengannya yang berpakaian santai sembari memasak sesuatu dalam tungku.
Segera saja kakiku melompat mundur, seraya ingin menjauh, punggungku mmenabra punggung kursi, menghilangkan keseimbangan telapak kakiku yang belum sepenuhnya kering.
Srak! Kain handuk terbuka, jatuh mengikuti gravitasi, namun tak jauh dari punggungku, karena lingkar lengan seorang yang lain menahannya bersama denganku.
"Hati-hati dong." desisnya kesal. Beberapa detik dia menyadari fenomena yang sama seperti yang kupikirkan—tubuh tanpa secarik kain yang bersandar di lengannya, hanya beralaskan handuk yang sama sekali tak menutupi areanya.
Seringainya tampak "Heh, kecil ternyata." dan kupikir ini saatnya menggunakan kemampuan bertarungku.
PLAK!! Tamparan, apalagi?
"M-MESUM!!"
Dia sama sekali tak merasa kesakitan, seperti dia sudah terbiasa dengan tamparan itu yang hanya diusapnya lembut. Lantas membiarkanku menjauh untuk kembali membungkus diri meski semu kemerahan tak bisa kupungkiri.
"Lainkali, calon dewi. Pakai bajumu dulu sebelum sarapan, oke? Kau bisa memancing nafsu makhluk manapun dengan kulit sesuci itu."
Keningku berkedut "I-ini juga mau ganti." Dia hanya merehatkan tangan di pinggulnya, menatapku menggoda "Ganti apa.. ganti?"
Kesal dengan caranya, juga malu karena kejadian barusan, aku beranjak pergi kembali ke kamar lagi sembari menggumam kesal.
Setelah sepenuhnya aku berpakaian tanpa melupakan apapun, barulah aku turun kembali kesana, melihatnya sudah menyiapkan segalanya diatas meja.
Aromanya memang menjanjikan, tapi aku tak boleh menilai sesuatu tanpa merasakannya lebih dahulu.
"Selamat makan." dua telapak bertepuk, sumpit kuraih untuk mencicipi masakannya yang memabukkanku tadi.
"Bagaimana? Masakanku enak, kan?" belum juga kukomentari, urat kepedeannya sudah muncung dulu, menunggu kalimat yang dia harapkan muncul dariku.
Dan sejauh indra pengecapku merasakan sensasi makanan ini, satu kata yang patut dikatakan.
"Aneh." jawabku sambil menahan dan menelan rasa aneh di mulutku.
"Huh? Nggak mungkin, lidahmu paling yang salah. Ini resep paling enak di dunia lain."
Jawaban terang-terangannya sudah bisa dijadikan alasan pasti aku memuntahkan isi mulutku ke wastafel dapur.
"Oi! Hargai masakanku, apa gimana gitu?" Serius aku tak bisa menghargai hasil karya tangannya, entah resep apa yang dia gunakan, aromanya jelas wangi bahkan memikat, tapi rasanya benar-benar tak bisa diharapkan.
"Huegh... kalau nggak percaya kenapa nggak kau cicipi saja dulu?" ucapku nyaris tersedak. Uzui melihat kembali ke masakannya. Sekilas memang tidak ada yang salah, sampai dia mengunyah salah satunya dan berebut tempat denganku.
"Payah." Balasku melihatnya yang sama-sama menyedihkannya denganku.
"Kau sendiri memang bisa masak?"
"Setidaknya rasanya tidak seburuk punyamu."
Keningnya berkedut "Oh ya? Memang masakan apa yang begitu kau banggakan ini?"
Datar saja kujawab "Nasi teriyaki kotakan."
Seketika titik keringat mengalir di keningnya "Kau juga sama menyedihkannya."
"Setidaknya itu tidak seribet masakanmu dan satu hal yang pasti.."
Ibu jariku berdiri melebihi yang lain "Murah, apalagi pas diskonan." ucapku dengan berbinar. "COK! SAMA AJA!!" balasnya sedikit ngegas.
Kami berdua akhirnya memutuskan untuk makan telur mata sapi dengan nasi saja pagi ini, berhubung jam pagi mengejar.
=================
Jadi, kusimpulkan pagi ini aku benar-benar sial. Pertama, aku tak sengaja memeluknya dan membiarkannya melihat tubuh telanjangku. Kedua, makanan beracun buatannya benar-benar menghancurkan selera makanku. Kedua itu sudah cukup, sayangnya takdir seakan tak membiarkan penderitaanku berhenti sampai sana.
"Anoo, boleh aku bertanya?"
"Hm?" responnya begitu santai, berbeda sekali denganku yang keburu meledak daritadi.
"Kenapa.."
"KENAPA KITA SATU SEKOLAH, HAH?! ITU JUGA CEWE-CEWE DARITADI NGIKUT TERUS!!"
Sekedar untuk kalian tau saja. Memang kebanyakan pria menyukai perempuan berdada besar dan tubuh kencang, pantat semok juga bibir kenyal.
Sayangnya entah kenapa aku merasa jijik dengan itu semua, seakan mereka ancaman untukku. Sementara itu Uzui..
Dia begitu menikmatinya.
Kalau digambarkan, seperti bunga yang menerima kupu-kupu manapun untuk hinggap pada dirinya.
Malah dia menarik lebih banyak kupu-kupu yang membuatku semakin tidak nyaman dan terhapuskan dari perhatiannya.
"Yo, yo, semuanya. Uzui-sama sudah disini. Tidak usah berebut, semuanya dapat jatah kok."
KYAAAAA!!~
Dan seperti yang kalian tau, fangirl, berlaku seperti apa. Yang jelas aku tak ingin mengetahuinya, malah segera berharap dia tak memerhatikanku menyelinap melewati desakan para wanita itu hanya untuk naik keatas tangga.
"Agh! Haaaahh... akhirnya.. udara..."
Aroma parfum wanita wangi bukan main. Beberapa aromanya justru bukan seleraku, terlalu menyengat dan menggoda.
Langkahku nyaris sempoyongan menuju lantai dua, tanpa memerdulikan Uzui seperti apalagi. Sesampainya aku di lorong, seseorang dengan kekar menepuk pundakku dari samping.
"OHAYOGOZAIMASU, (M/N)-KUN!!"
"UWAAARGHH!!"
Sontak saja aku berteriak bersamaan dengannya yang juga berteriak menyebut salam.
Kupikir siapa, sampai kukenali wajah yang tak-kuharapkan-dia-muncul-disini-juga
"Rengoku?! K-kau, kenapa kau disini?"
Rambut membaranya begitu khas, apalagi netranya yang seakan tak mengenal kata 'berkedip' itu.
"Kenapa aku disini? Sekolah pastinya! Kita harus menimba ilmu untuk keberlangsungan hidup kita, bukan?"
Aku ingin sekali mengatakan sesuatu seperti 'Ya benar juga, kalau kau tidak bersekolah disini pasti kau tidak ada disini.' Atau 'Kau bersekolah disini, Rengoku-san? Kupikir kau seorang guru.' tapi dia lebih dulu memotongku.
"Aku dan Uzui bersekolah disini. Kami sekelas, kelas tiga. Kau sendiri?"
Begitu rupanya, mereka menyamar jadi kelas tiga SMA rupanya. Padahal sebisa kutebak, usia mereka mungkin nyaris sampa ratusan.
"Kelas 2-E, disebelah sana."
Jariku menunjuk suatu ruangan di lantai dua, dekat sekali dengan ruang kelas lainnya.
"Woh, bagus kalau begitu aku dan Uzui bisa dengan mudah bertemu denganmu, kan?"
Eh? Tunggu, bagaimana? Jangan bilang.
Aku baru sadar sebelah ruang kelas 2-E memang ada ruang kelas tiga yang mencar sendiri dari ruang angkatannya.
3-A
"Kalau kau ingin berkunjung sesekali, santai saja, (m/n)-kun!" Rengoku menepuk-nepuk punggungku cukup keras, penuh dengan kepositifannya yang bisa hidup-hidup menelan kesialanku pagi ini.
Tidak, terima kasih. Batinku. Tidak mungkin aku masuk kesana yang jelas-jelas masuk mulut binatang buas.
"Ahaha.. iya, lain kali. Mungkin. Uhm, aku permisi." Moodku sudah lebih dulu jatuh, segera saja mengambil langkah seribu, menolak ajakan makhluk yang nyaris-tidak-pernah-mengedipkan-matanya itu.
Baru saja aku berputar menuju kelas, dari ujung tangga suara ribut suara melengking para wanita terdengar menggema. Siapa lagi kalau bukan gigolo itu yang datang? Kemanapun dia pergi, kesanalah wanita mencari.
"Oit, Kyojuro. Pagi sekali kau datang."
Kyojuro membalas kawan seper-paranormalnya itu dengan nada suara biasanya.
"Yomoya yomoya, Uzui. Ini sudah nyaris terlambat apa bisa kau sebut pagi?"
Uzui mendengus tawa, "Matahari masih dekat diarah timur masih pagi kan berarti?"
"Hm! Hm! Walau begitu jamnya sudah mau jam 8, kau telat sedikit saja tadi bisa dibilang terlambat."
Uzui dengan malasnya mengangkat pundak, "Mau telat apa nggak, cuma sekolah aja. Nggak nentuin masadepanku kayak gimana juga. Lagipula.."
Dia mengibaskan surai berkharismanya seperti duta shampo lain yang mengundang sorak-sorai para wanita.
"Aku sudah lebih dari sempurna untuk anak sekolahan, kan?"
Hooeghh, pucat langsung aku mendengarnya. Tak kuasa menerima sprinkle-sprinkle ketampanannya itu, lebih baik aku segera masuk kelas saja.
Namun belum juga aku menyentuh bibir pintu, Uzui meng-kabedon ku tanpa alasan yang jelas di depan keramaian.
"Hey, kau."
"KYAAAA~"
Oh jelas itu bukan jawabanku, tapi keributan wanita-wanita dibalik punggungnya.
"Tck, huff." Kepalaku terangkat, tidak menatapnya, kuberusaha untuk mengangkat lengannya yang menggaggu jalanku, tapi tak bergerak.
Tatapku mencari jalan keluar lain dan melihat sela diantara tubuh-kakinya, dimana aku menundukkan kepala dan berniat keluar dari sana—sebelum akhirnya dia menggunakan kaki juga untuk menghadangku. Batinku kesal, orang ini benar-benar menyebalkan.
"Aku mau kelas, Uzui. Tolong jangan ganggu aku."
Dia tak merespon, maniknya melihat ruang kelasku dari jendela, melihatku lagi, senyum jahilnya muncul.
"Boleh."
"Syukurla—"
"Eits, satu syarat."
Tarikan nafas kesekekian kalinya kulakukan untuk menenangkan diri.
"Apa lagi?!" Lama-lama aku kesal dengannya. Bertindak seenak jidat, mentang-mentang dia lebih kuat dariku.
Uzui bergerak maju, memutus jarak sampai-sampai membuatku bersandar dengan tembok ruang kelas.
Wajahnya mendekat dan saat itu aku sadar jelas dia akan melakukan sesuatu yang memalukan. Hanya satu hal untuk menjawabnya.
"Pukulan seribu!!"
BUAAGHH!!!
Pukulan begitu kuat yang kuberi nama asal-asalan langsung saja kujatuhkan ke pipinya. Sukses membuatnya nyaris terjatuh kesamping.
Dimana kesempatan itu kugunakan untuk kabur menuju kelas.
"Oi, tck, keparat!!"
Tak kuperdulikan lagi dia. Buru-buru pintu kutahan dengan sapu, berharap dia tak mendobrak masuk. Syukurlah bel sekolah berbunyi dengan cepat. Seketika dia mengurung niatnya dan berjalan menuju kelasnya bersama Kyojuro.
"Haaah..." helaku sambil berjalan menuju kursi, mengabaikan tatapan tidak enak orang lain, karena energiku hari ini hanya fokus lari darinya.
Kelas pertama dimulai, meski awalnya bermasalah karena sapu untuk mengganjal pintu sempat membuat sensei tidak masuk kelas.
Jam sekolah berlalu, meski begitu mentari masih diatas segalanya. Suatu gumam muncul di kepalaku.
Kalau matahari masih terang benderang begini.Yokai tidak akan menyerangku, kan?
Harusnya tidak berada di dekatnya masih baik-baik saja di jam segini.
Yosh, aku bisa bebas istirahat nanti.
Begitu pikirku yang memang kulakukan. Setelah jam istirahat berdering, segera saja aku membuka pintu, berlari kabur tanpa sedikit pun melirik ke belakang.
Sesampainya di kantin..
Ya seperti kantin jepang pada umumnya yang cenderung ramai, berdesakan, sesak, segala macam. Tidak mungkin aku kesana kecuali memang ingin mati, tapi..
Kruyuk..
Tidak mungkin juga aku mati kelaparan sinag ini. Otakku sulit untuk berpikir saat lapar.
"Apa beli susu kotak aja, ya?" langsung saja aku berjalan menuju mesin otomatis minuman terdekat. Tanganku merogoh saku dan baru kusadari satu hal.
Dompetku masih di rumah Jiji.
"..."
==================
Uzui's POV
Hadeeehh, anak itu kemana sih?
Udah pukulannya keras bener, untung tadi rahangku nggak sampai miring.
"Humu! Humu! Kau pantas mendapatkannya, Uzui."
"Bilang apa kau, Kyojuro?"
Kyojuro melirikku.
"Kau ingin melakukan 'kontak fisik' dengannya, kan? Jelas hal itu tidak bisa ditampakkan di publik. Dia mempertahankan martabatnya."
"Dunia sekarang berbeda dengan dunia dulu, Uzui. 'Dia' dan dia jelas banyak bedanya. Kau tak bisa melihatnya seperti 'dia'."
Bibirku berdecih, tak terima.
"Merepotkan. Lagipula apa salahnya? Aku melakukan itu tadi untuk kebaikannya. Agar aku bisa mendeteksi lokasinya lebih jelas."
"Tanda di lehernya tidak sempurna kuberikan. Aku hanya bisa merasakannya nyala-redup, samar. Merepotkan."
"Hm? Kupikir kau hanya menggunakannya saja untuk mencari tiga orang itu."
Baru saja aku ingat niat memperalat dirinya.
"K-kau benar juga." jawabku singkat. Kyojuro menatapku tanpa berkedip. "Jangan bilang kau mulai meletakkan perasaan padanya."
"Tentu tidak!!" Pekikku menggarisbesarkan itu. "Aku masih lurus, Kyojuro. Dan terlebih, aku sudah berjanji untuk tidak jatuh hati lagi dengan keturunan ilahi." balasku dengan geram. Dendam dan perih tak tampak ini masih terasa goresannya. Entah berapa tahun lagi untukku sembuh darinya.
Kyojuro tak menyahut, dia kembali menatap kemana kami berjalan. Sebentar hidungnya mengendus singkat, menengok ke suatu tempat.
"Uzui, bisa tunggu aku diatas?"
"Huh?"
"Ada sesuatu yang mau kuurus. Kau duluan saja!"
"Woy, Kyojuro!—tch, main lari saja dia."
Tatapku melihat kearah tangga, dimana di ujungnya sebuah pintu terbuka mengarah ke atap sekolah. Yah, mau gimana lagi. Batinku memilih untuk naik keatas sana sembari menunggu Kyojuro datang.
Sesampaiku diatas, suatu hawa terasa samar lembut berasal dari suatu titik. Di bawah bayangan, dibalik dinding pintu menuju atap, seorang anak bertekuk lutut.
Tatapnya seakan tak bernyawa, terpaku pada lantai. Seorang diri tanpa siapapun, termenung disana seperti tak menunggu siapapun.
Tap tap tap, langkahku mendekat.
"Hey." Wajahnya terangkat mendengarku. Dia terkejut aku ada disana. "Uzui?! Apa yang kau lakukan disini?" Tubuhnya mulai digeset menjauh, mimiknya menatapku curiga.
"Hanya menunggu seseorang. Kau sendiri?"
Dia membuang wajahnya, "Duduk. Apalagi?"
"Duduk saja? Kau tidak makan siang?"
"S-sudah kok."
Aneh, kalau sudah kenapa dia memeluk perut sebegitunya? Kenapa dia terlihat tidak berenergi?
"Tunggu disini. Aku segera kembali."
"Eh? Kau kemana?"
Tanpa kuperdulikan lagi, aku mengteleportasi diri ke kantin. Berebut roti isi hari itu dalam keributan. Tidak mungkin kugunakan kekuatan supernatural ku disini, jadi harus berebut juga.
Terombang-ambing dalam lautan manusia, berdesakan dan bergesekan dengan yang lainnya, tanganku menjulur menuju suatu kotak dimana roti isi terakhir kusambar cepat dengan bayarannya. Barulah aku berhimpit keluar ke belakang keributan itu.
Kyojuro itu, batinku. Dia punya indra penciuman tajam, jelas dia tau dimana anak itu berada. Apa dia memancingku kesana karena dia tau anak itu dalam masalah?
Sebagai seorang pendamping, hal seperti ini sudah disebut sebagai kegagalan. Meski aku tak benar-benar berniat jadi pendampingnya, tetap saja, kondisi anak itu harus diperhatikan. Kalau tidak, kekuatan darah yang mengalir dalam tubuhnya akan melemah juga.
Kembali lagi aku padanya yang kembali terkejut melihatku tiba-tiba muncul.
"Ambil ini." Roti isi hasil perebutanku hari ini kuberikan padanya, "Kalau kau nggak makan, kau bisa mati."
Dia mengacuhkanku, "Tidak, terima kasih." Decit kesal muncul di keningku, "Kau ini kenapa sih? Tinggal makan aja susah. Perlu kusuapin?"
"Aku tak bisa membalas perbuatanmu lebih dari mencari tiga istrimu. Kalau kau minta balas budi, aku tak bisa menerima pemberianmu."
"Heh, mulai pintar kau sekarang. Tapi serius, kali ini aku hanya memberimu tanpa meminta kembali. Jadi makanlah. Kau kelaparan, kan?"
(M/n) mengerutkan alisnya, "Kenapa kau jadi peduli begini? Mencurigakan." Tangannya meraih roti pemberianku, membuka bungkusnya dan membaginya menjadi dua.
Setengah bagiannya dia berikan untukku, " Bagianmu." "Huh? Untuk apa? Semuanya untukmu." balasku, tapi dia menggeleng.
"Kau yang susah-susah mendapatkannya kan tadi? Aku tau kantin selalu ramai saat ada roti isi. Tidak mungkin aku mengambil semua ini. Ambil."
Anak ini... kenapa? kenapa memiliki bayangan sepertinya?
Tidak, tidak, sadar Uzui. Dia sudah tiada. Tidak ada juga yang bisa menggantikannya.
Roti isi pemberiannya kuterima begitu saja, menumbuhkan senyum di wajahnya. "Kau mau duduk disini? Aku tidak biasa makan bersama, tapi kebanyakan orang duduk bersama saat makan siang."
Satu pertanyaan menggantung di kepalaku, tapi kuturuti saja apa maunya dulu, sambil menggigit roti isi yang biasa saja menurut lidahku.
"Kau tak pernah makan bersama temanmu?"
"Hm?"
"Mungkin anak kelas atau apalah itu. Kau pasti punya teman, kan?"
Dia terdiam sejenak sebelum suatu nama menabrak kepalanya.
"Aku punya. Tapi aku tak ingin memberatkannya hanya karena urusan begini."
"Huh? Kenapa? Dia miskin?"
"Ssh! Kau tidak boleh mengatakannya begitu. Pokoknya kekurangan, tapi... dia tetap ingin bersamaku. Dia kagum denganku, sampai-sampai bermimpi kalau kami menjadi penulis shodo terkenal nanti, dia akan membuat pameran bersamaku yang mana hasilnya akan dibagi dua untuk membuat rumah pelatihan shodo miliknya. Disana dia akan menjadi pengajar dan menghasilkan uangnya sendiri."
"Dia pejuang keras, meski hasilnya masih berbanding jauh denganku, rasanya aku merasa bersalah bisa lebih darinya dalam waktu singkat."
Tatapku melihat langit biru, menelaah setiap kalimat yang diceritakannya. Kemudian mengingat perkataannya hari itu, saat dia masih terkejut tentang nasib barunya.
"Kau tak perlu untuk merasa bersalah."
"Kelebihanmu itu yang disebut sebagai bakat. Bersyukur dan jalani saja. Jadilah hebat, kalau kau ingin membantu orang lain. Bukan malah berlari karena rasa bersalah dan membiarkannya sia-sia."
"...karena kau harus menghadapinya, mungkin suatu hari nanti."
Dua pasang kalimat terakhir, itu murni bukan dariku. Dua kalimat sebelum hari terakhirnya yang sampai sekarang masih belum bisa kuterima.
"Uzui." Anak itu memecah lamunanku. "Kenapa kau tiba-tiba jadi bijak begini? Tadi juga.."
Tatapku mulai berlari kemana-mana, kujawab saja cepat, "Entah, roti isinya beda paling. Kau juga makan, kalau nggak, kumakan nanti."
"Kau selapar itu? Ambil saja punyaku."
Anak ini!! Kalau sudah prihatin nggak ketulungan jadi orang.
"Tinggal makan aja susah!" kudorong bagian belakang kepalanya sekaligus mencengkram tangannya yang memegang roti itu untuk mendekat ke mulutnya yang sengaja ditahan untuk tak segera melahapnya.
"Kau sendiri kasar gitu, gimana aku bisa makan dengan tenang?!"
"Berisik! Makan aja udah!!"
Kalau dipikir lagi, aku benar-benar tak bisa membiarkan anak ini.
==============
"Bagaimana? Kau menikmati waktumu dengannya?" Kyojuro dengan santainya mempertanyakan hal itu setelah aku mengusaikan makan siang dengan anak itu.
"Menikmati kepala bapakmu. Yang ada aku kembali bertengkar dengannya."
"Kau sendiri? Urusanmu benar selesai apa benar bohongnya?" Tanyaku padanya yang tiba-tiba saja menghilang tadi.
Rautnya masih tersenyum, "Bohong sih awalnya, tapi tidak kemudian." Perlahan senyumnya menghilang, volume suaranya bergerak turun, "Kudengar suatu yokai menguasai sekolah ini selain kita."
"Apa maksudmu?" tanyaku semakin memperlebar penjelasannya.
"Akhir-akhir ini aku mendengar desas-desus menghilangnya anak-anak sekolah setiap jam pulang sekolah. Aku sudah mencari informasi kesana-kemari, baru hari ini aku mendengar kejelasannya."
Kyojuro menatapku tajam, "Uzui, anak itu sasaran selanjutnya."
==================
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro