Chapter 8
Author's POV
"Gawat!" Pekik (y/n) dengan paniknya.
"Sekarang bagaimana aku pulang? Ini sudah malam, kan? kereta terakhir sudah lewat sore tadi. Besok sekolah lagi."
Uzui mendengus melihat anak itu padahal jelas dia bersama dua makhluk yang bisa melakukan sesuatu jauh dari logika manusia biasa.
"Kalian kembali sana." usir yokai tersebut pada Mui dan Yui. "Katakan pada jiji itu, aku yang bawa dia pulang. Mau nggak mau juga sih." Kalimat terakhirnya terdengar samar.
Dia berjalan mendekati (y/n) yang lengannya digenggam erat.
"Maksudnya?—"
BWOSH!
Kobaran api hitam lebih dulu melahap mereka berdua. Membawa ke suatu tempat hanya dengan hitungan detik jalannya.
Kelopak (y/n) terbuka, begitu juga mulutnya, menganga tak percaya dimana dirinya kini berada.
Jalan tempat mereka bertemu dulu.
"Kau tuntun jalannya. Aku cuma ingat terakhir kali kita bertemu di dunia manusia, disini."
(Y/n) hendak mengiyakan ucapan Uzui.
Tapi satu tebakan skenario terburuk menghentikan niatnya.
"Sampai sini saja, aku bisa pulang sendiri kok. T-terima kasih untuk, uhm, tumpangannya."
Langkahnya bergerak pergi, menuju ujung gang itu, menjauhi sosok Uzui yang mengamatinya dalam diam.
Namun tak cukup jauh untuk salah satu tangannya diraih kembali oleh jelmaan oni itu.
"Heh, kau bodoh? Banyak yokai berkeliaran malam-malam begini."
Kesal, dicobanya melepas tangan Uzui yang kini mencengkram sekuat cengkraman elang.
"Lebih mengerikan kalau kau yang ikut denganku!"
Uzui memicing, dilepasnya kasar cengkramannya. "Sesukamu saja. Jangan berharap aku peduli." Balas Uzui lelah, membiarkan anak itu pergi kembali kemana rumahnya berada.
Baru saja dia diperingatkan Uzui akan serangan yokai, benar saja, baru beberapa langkah menjauhi oni itu— dia mendengar krusak-krusuk gerakan cepat melingkari sekitarannya.
Entah apapun itu, degub jantungnya mengatakan, itu bukanlah hal yang bagus.
Langkahnya lantas dipercepat, bergegas menuju dimana tempat tinggal sementaranya berada. Namun suara-suara aneh itu malah terdengar semakin jelas semakin dia mendekati arah pulang.
Tekanan udara hawa tidak enak meliputinya.
Memaksanya untuk pergi entah kemana lagi.
"Huff... Huff.. Huff.."
Energi dalam dirinya terkuras dengan cepat.
Dia pun merasa aneh dengan itu, tidak biasa dia mudah merasa kelelahan begini.
Ujung lututnya jatuh ke atas tanah.
Tangannya mencengkram dada tengah.
Dan saat wajahnya menengadah ke depan, suatu sosok muncul di hadapan.
Wajah mereka tercemar bayangan gelap, selang beberapa saat fisik asli mereka tampak.
"Woohh, jackpot! Tidak salah kau mencarinya tadi."
Seorang lagi muncul dari balik punggung (y/n), "Benar, kan? Aku tak pernah salah memilih mangsa."
Dan satu lagi muncul dari arah salah satunya, hidungnya mengendus udara, "Ini, aromanya tidak biasa. Tidak, tunggu."
Sosok baru itu memfokuskan pandangannya pada tanda (y/n) yang menyala samar di matanya. Jelas dia tau siapa saja yang memiliki tanda itu—keturunan spesial, dewa maupun dewi. Secarik senyum terangkat di ujung bibirnya.
"Hey, calon ningrat, ngapa main malem-malem? Nyari mati? Atau mau ngisi perut orang?"
Langkahnya berjalan mendekat.
Sekali lagi (y/n) mengalami kejanggalan, dimana dirinya tak bisa bergerak dari tempatnya. Seperti tubuhnya ditancapkan pada tanah bumi.
Sosok itu meraih dagu gemetar (y/n).
Tatap haus darahnya melahap jarak pandang, membuat anak itu tak mampu melihat kemanapun selain membalas kembali.
"Bagus, begitu, menurutlah padaku."
Tangannya bergerak turun ke arah dimana lehernya berada, menyentuh nyala kebiruan itu.
Namun sesampainya ujung jari berhenti disana, sengatan panas membakarnya, seperti menolak jarinya dari daerah krusial itu.
"Tch, apa itu?"
Selang beberapa detik, tepat diatas simbol (y/n), corak kehitaman mengambang di permukaan, melapisi separuh simbol itu.
Sosok itu terbelalak, berjalan mundur selangkah.
"Ada apa? Kenapa kau mundur begitu?" tanya kawannya.
"...Dia sudah ditandai." Jawab sosok itu.
Tawa terdengar dari bibir kawannya, "Terus ngapain mundur? Gigit saja, pasti juga tanda itu cuma bekas yokai kayak kita."
Sosok itu kembali membangkitkan senyuman, "Kau ada benarnya, kalau begitu—"
Dengan kasar dia menancapkan kepala (y/n) pada tanah. Ditariknya kerah baju anak itu ke samping, mengekspos area itu, agar leluasa dirinya menikmati santapan malamnya.
(Y/n) sempat meronta, tapi tekanan yang diberikan sosok yokai itu tak memberinya ruang untuk bergerak.
"Hey, hey, jadilah anak baik. Nggak bakal sakit, kok. Aku janji tidak akan sakit..."
Sosok itu mulai mendekatkan bibirnya sampai (y/n) bisa merasakan jelas dengus nafas sosok itu menghembus di lehernya, menarik pacuan adrenalinnya.
Baru dia sadari seberapa tidak bergunanya keturunan ilahi tanpa seorang pendamping di sebelahnya.
Itu juga yang Jiji coba camkan pada (y/n).
Dan karena kepolosannya yang sudah mendarah daging akibat menjadi seorang manusia terlalu lama, dia mengabaikannya begitu saja.
Ujung gigi tajam bisa dia rasakan tinggal beberapa milimeter lagi menghunus kulitnya.
Hanya beberapa milimeter saja..
"Eh?"
Namun sosok yang hendak menerkam (y/n) seketika terhenti. Belum sempat ujung taringnya menusuk kulit leher (y/n), sensasi terbakar begitu kuat lebih dulu menembus pusat dadanya.
Sebuah tangan runcing mencengkram jantung miliknya, yang mencabutnya melalui tulang punggung yang patah.
CPYASS!!
Ciprat cairan merah menjadi penampakan berdarah malam itu.
Buah jantung dalam genggam dicengkramnya hancur, menyisakan tetesan darah yang menguap dalam tangan pria tak bernama.
"Siapa lagi yang mau mencicipinya?"
Pria berbentuk bayangan gelap itu melirik ke arah berbeda, melihat dua sosok lainnya yang jadi tangan-kaki penyergapan itu.
"Kau!"
Belum sempat yokai itu menggerakkan kakinya, bayangan itu lebih dulu menangkap batang leher yokai tersebut, mematahkannya tulang dan memutus saluran pernafasannya.
"H-hiiii!!" Pekik salah satunya, mulai berlari kabur dari tempat. Sayangnya, api hitam lebih dulu menghalang rutenya.
Tapak kaki sang pria terdengar mendekat. Semakin mendekat punggung yokai yang tak berani berbalik arah.
"Apa tanda itu masih kurang jelas di matamu, hm?" Ujung surai yokai ditariknya, memaksa yokai itu menatapnya, netra dengan netra.
Dimana badai amarah mengamuk dalam lingkar warna iris sang bayangan.
"Apa perlu kubuktikan sekalian?" Semilirnya pada telinga yokai itu, menciutkan nyali pengganggu pasangannya.
Sebelas dua belas seperti gertakan seorang yakuza saat menghadapi bocah sekolahan yang tak sengaja menabraknya.
Sementara (m/n), terlepas dari jeratan sihir yokai yang telah tak bernyawa, dia memutar kepalanya dan menyaksikan fenomena berdarah itu.
Seorang yang familiar di matanya kini mengangkat tinggi-tinggi yokai berwujud manusia yang tadinya nyaris menyentuh dirinya.
Api hitam kembali tumbuh dari punggung itu yang terasa menyesakkan saat terhirup untuk (m/n) ataupun yokai yang nyawanya sudah diujung tanduk itu.
Lensa sang bayangan tak berkutik, terpaku pada mangsa. Ujung jari tajamnya menghunus kulit leher sang yokai, membuat yokai itu meronta, menjerit kesakitan dalam jeratan maut.
Tanpa rasa empati, cengkramanya ditajamkan, dimana dari tiap ujung berkobarlah api hitam pengering darah yang membakar rongga tenggorokan musuhnya.
Dia tampak begitu terhibur mempermainkan yokai itu dengan ujung kematian. Kalau saja sebuah suara yang tak bisa ditolaknya tak berbicara.
"Hentikan, Uzui!"
Detik itu juga tangannya berhenti bertindak.
"Lepaskan dia."
Tangannya terbuka seketika, melepas yokai yang mengerang kesakitan itu.
Tanpa melihat bayangan itu maupun (m/n), yokai itu melompat kabur dan menghilang dalam kegelapan. Kini hanya bersisakan dua orang yang saling mengenal. Menatap satu sama lain.
"Masih menolakku?"
Uzui melipat dua tangan kotornya, seperti tak keberatan sama sekali bernodakan warna kemerahan.
Uzui menghela, "Kalau kau sebegitunya ingin mati. Setidaknya jangan buat aku kerepotan begini. Mati pake cara normal, kek."
Sang sosok hendak berputar arah.
"Aku tak pernah berharap hidup seperti ini. Rasanya lebih baik mati."
Langkahnya terhenti. Dia sama sekali tak percaya dengan apa yang diucap anak sok dewi itu. Api kehitaman kembali tampak bila emosinya tak terkendali lagi.
"Jadi kau minta mati lebih enak daripada hidup, hm? Serendah itu kehidupan di matamu?"
Hendaknya (m/n) menarik kata-katanya, namun Uzui lebih dulu mendekat begitu cepat di depannya. Tangannya lebih dulu mengangkat anak itu dari tanah, kuku tajamnya sudah siap menghunus kulit leher anak itu.
"Asal kau tau, aku bisa membunuhmu kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun itu."
"Kalau memang pilihanmu untuk tidak menjadi dewi kehidupan. Memang benar kau mati saja saat ini."
(M/n) berusaha melepaskan diri. Dia mencakar-cakar punggung tangan Uzui, namun pasti hasilnya nihil.
Dilema seakan mengorupsi otaknya.
Benar. Kalau aku tak mampu, kenapa aku harus melanjutkan ini?
Sejak awal bukankah sudah salah aku disini?
Dewi yang menjadi laki-laki, bertemu dengan makhluk bengis yang tak pernah tunduk, bahkan sama sekali tak pernah kuharap ada disini.
Uzui terdiam bersamaan dengan anak itu. (M/n) seakan sudah tak tau lagi harus berkata apa.
Setelah beberapa detik Uzui tak melakukan apapun, dia menghembus nafasnya, pelan diturunkannya anak itu kembali yang mana membuat anak itu bertanya-tanya.
"Mau kau menerima atau tidak dirimu saat ini. Hanya satu jawaban yang bisa kau pilih."
Tatapnya kini bukannya penuh dengan amarah, tapi suatu pendalaman akan makna tertentu.
"Tetap hidup sampai takdir memanggilmu lagi."
(M/n) tak mampu berkata-kata. Seakan jawaban pembalasnya tersangkut diantara garis bibirnya, terpanah pada apa yang dilihatnya sekarang.
Uzui menjatuhkan telapaknya di ujung kepala anak itu, mengusapnya lembut.
Dia baru ingat, bahwa keturunan yang satu ini baru saja mengenal posisi ilahi. Tentu shock berat tak mungkin tak dialaminya.
Manusia yang berjalan dalam kehidupan biasa bagaikan tak ada rintangan didalamnya, seketika hidup dengan tanggungjawab begitu berat, berenang dalam dunia yang baru.
Harusnya dia menyadari itu lebih dulu, namun luka dalam dirinya juga kembali terasa sakit—dia tak menyalahkan diri ataupun anak itu lagi.
"Sudahlah. Kau masih baru dengan semua ini, bukan? Kuampuni untuk saat ini. Selanjutnya, jangan tolak aku lagi."
Usapannya dilepas, bergantikan punggungnya yang mendahului langkah anak itu.
"Kemana rumahmu?" tanyanya.
(M/n) mengarahkannya, menuntunnya menuju suatu rumah jepang pada umumnya yang menurutnya terlalu besar untuk seorang anak muda.
"Kau tinggal sendiri?"
Anak itu mengangguk.
"Ayah dan ibu sudah pergi. Aku sendiri disini."
Otaknya kembali berputar lagi. Malah lebih bermasalah kalau anak itu seorang diri disini.
"Nggak ada wali atau... apa gitu?"
(M/n) menggeleng, "Kakek saja."
"Itu bukan jawaban yang bagus."
Sebentar dia berpikir, sampai suatu ide menyangkut di kepalanya.
"Tunggu disini sebentar. Sampai aku kembali, jangan buka pintu untuk siapapun."
(M/n) mengangkat alis kanannya, menatap bingung saat makhluk itu pergi dalam kedipan mata. Sembari menunggu, dirinya memasuki rumahnya, dimana bingkai foto keluarga menyambutnya lebih dulu di dekat pintu, sebelah telefon.
"Aku pulang.." ucapnya lemas kali ini. Langsung saja kaki gemetarannya terjatuh. Tak kuasa menahan ketakutan, punggungnya gemetar, dua tangan memberikannya pelukan kupu-kupu.
Air matanya menggenang, dia takut. Seandainya dia masih memiliki sosok ibu, sosok itulah yang akan memeluknya lebih dulu untuk menenangkannya.
Sementara sang ayah pasti akan menjadi badut keluarga yang mencairkan suasana tegang, merubahnya menjadi kehangatan keluarga. Seakan dunia hari ini dan esok hari akan selalu bermandikan sinar mentari bersiramkan garis pelangi.
Saat dirinya meringkuk dalam pedih, suatu ketukan terdengar dari daun pintu. Langsung saja genang air mata disapunya, bergerak dia membukakan tamu malam itu.
Ceklek! Sungguh, dia tak mengira hal itu akan terjadi.
Sosok Uzui berdiri menenteng tas besar di tangan kiri, pakaiannya sudah berubah tak seperti tadi, surainya tertata rapi, mimiknya bahkan terlihat lebih cerah daripada tadi.
"Kupikir kau butuh teman kamar." ucapnya dengan seringai.
Untuk kedua kalinya kupastikan dia tak mengira hal itu terjadi.
Karena sejujurnya.
Dia benar-benar tak ingin hal itu terjadi.
=================
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro