Chapter 4
Tak pernah kusangka Yui dan Mui menggiringku jauh ke dalam hutan perbukitan.
Sampai-sampai yang bisa kulihat hanya pepohonan rindang dan rerumputan hijau.
"Mui, Yui, apa masih jauh lagi?"
Tanyaku, berusaha menyibak semak tinggi yang menghalang pandang.
"Sedikit lagi-"
Ucap Yui.
Mui berhenti berjalan, telunjuknya mengacung ke depan.
"-Disana, disana pedesaan Tengu."
Benar saja apa yang dia katakan.
Sebuah desa berdiri di tengah hutan lebat, tertutupi deretan pepohonan yang menghalangi umat manusia untuk menemukannya.
Setetes keringat mengalir di pelipisku.
"Apa kalian punya kenalan disana?"
Ini kali pertama aku akan memiliki hubungan dengan makhluk astral.
Aku tak tau banyak tentang mereka, bagaimana aku bisa membuat mereka tunduk menjadi pendampingku?
Yui melirikku.
"Tidak ada salahnya mencoba. Lagipula, Tengu yang paling aman bersama manusia menurutku. Mereka masih mau diajak bekerjasama."
Mui memerhatikan sekitar.
Lantas melompat ke depan, memimpin jalan dengan merubah dirinya menjadi bola jiwa lagi.
"Cepat. Cari Tengu."
Bisiknya, kemudian terbang entah kemana.
"Mui-tunggu-duhh.. dia buru-buru sekali. Kalau begini aku sendirian yang harus njagain (m/n)."
Tangan kuangkat setara dada.
"Aku baik-baik saja, kalau kau mau mengejarnya."
Dia menatapku tak yakin.
"Baik-baik aja, kepalamu. Kalau yokai nyerang gimana? Siapa yang salah?"
Gelang suci yang melingkar di tangan kutunjukkan padanya.
"Aku punya ini. Jiji bilang ini cukup untuk menangkal serangan yokai."
Masih tak percaya, Yui mendekati tanganku.
Digoyangnya lonceng gelang itu yang menimbulkan suara gema cukup luas.
Sampai-sampai dia sendiri menutup dua telinganya.
"Maaf! kau baik-baik saja?"
Dia kembali menatapku.
"Y-ya, cukup kuat."
"Tuh kan? Kejar Mui, kau pasti tak bisa jauh-jauh darinya, aku mengerti perasaanmu."
Yui menatapku dengan lensa gemerlapnya.
"Serius kau akan baik-baik saja?"
Aku mengangguk mantap.
"Pasti. Kalau aku dalam bahaya, akan kupanggil nama kalian. Bagaimana?"
Yui mengangguk pelan padaku.
"Kalau begitu aku akan mengejarnya dulu. Jaga dirimu, (m/n)!"
Kemudian dia berubah menjadi bola jiwa berwarna merah, mengikuti kemana jejak Mui pergi.
Tinggal aku seorang saja yang tertinggal.
Dibawah rindangnya hutan, di tepi desa milik kaum tengu berada.
"Mungkin berjalan di pinggir-pinggirnya tidak apa."
Pikirku, tak ingin berjalan jauh dari tempat tengu yang katanya masih mau berpihak pada manusia.
Setapak demi setapak aku berjalan menyusuri hutan.
Mengitari desa yang tampak sepi itu.
Apa para tengu memang sesunyi ini?
Atau mereka sedang tidak ada di tempat?
Ujarku bertanya-tanya.
Hingga suatu suara mengundang perhatianku.
"Psst, manusia, psst."
Suara yang nyaris berbisik terdengar entah darimana menghentikan langkahku.
"Pssst, dibawah, psst."
Pandang kujatuhkan ke bawah.
Seekor ular berwarna putih menggeliat di tanah, dekat denganku.
"Ah!!"
Tepat saat kakiku berjalan mundur, bagian tubuhnya yang licin tak sengaja kuinjak.
Otomatis tubuhku terjatuh tersungkur ke belakang.
"Psst, kau menyedihkan sekali, psst."
Ukurannya yang kecil seketika membesar, lebih besar dari ular pada umumnya, dimana panjang tubuhnya lebih dulu mengelilingiku.
Namun ujung kepala ular itu tertuju pada benda di tanganku-gelang suci.
"Psst, tenanglah, aku tak ingin macam-macam denganmu."
"Aku hanya mendengar, psst."
"Kalau kau membutuhkan pendamping, psst~"
Terkejut, aku berniat menggeliat mundur, tapi tubuhnya membentuk lingkaran yang membuatku kembali terdorong maju untuk melihat dua netranya.
"K-kau mengetahuinya?"
Ular itu mendesis.
Sebelum gelang suci merespon energinya, dia melepaskanku.
"Pssst, tentu. Dan kalau kau mau, psst, aku punya satu orang yang bisa kau ajak berdiskusi, psst."
Air liur kutelan.
Sebenarnya aku tak yakin dengannya.
Apalagi dia ular, kudengar makhluk paling licik salah satunya adalah kalangannya.
Tapi dia ular putih..
Artinya dia bisa jadi utusan dewa.
Apa kucoba saja?
"Tunjukkan jalannya."
Ular itu kembali mendesis.
Tubuhnya menggeliat bergerak, menuju suatu jalan masuk ke dalam hutan.
"Ikuti aku, psst."
Bergerak bangkit, aku mengikuti kemana ular ini pergi.
Semoga saja tidak ke sarangnya atau mungkin iya.
Anehnya, aku merasa energi ular ini tidak sepenuhnya ada dalam tubuhnya.
Apa dia membagikan separuhnya pada seseorang?
Kakiku terus melangkah sambil bertanya-tanya, siapa yang sebenarnya ingin ular ini tunjukkan padaku sebagai calon pendamping.
Hingga sebuah pohon dengan seseorang berbaring diatas jadi tujuannya.
"Psst, obanai."
Ular itu melilit keatas, mendekatkan kepalanya pada sosok yang tak menoleh padaku.
"Oh, kau sudah kembali."
Diusapnya kepala putih milik sang ular.
"Aku membawa seseorang, psst."
Seorang yang kuyakin bernama Obanai itu menoleh padaku.
Obanai menoleh padaku.
Seorang pria dengan mata berbeda.
Kuning dan hitam.
Setengah wajahnya terbalut perban putih.
Entah apa yang membuatnya menutup mulutnya begitu.
"Kau."
Ucapnya mengejutkanku.
"Y-ya?"
Dia menatapku tajam.
"Bukan orang biasa."
Tubuhnya berganti posisi, mengarah ke hadapanku.
Dengan telunjuk mengarah padaku.
"Leher itu. Aku pernah melihat itu sebelumnya. Tapi bagaimana bisa ada di dirimu?"
Segera aku mengusap leherku.
Dimana tanda samar tampak disana.
"Uhm, simpelnya, ini tanda lahirku."
Obanai memicingkan matanya.
"Tanda lahir? Hanya tanda saja? Heh, manusia sampah, jangan membohongiku. Aku tau jelas siapa saja pemilik tanda itu sejak dulu."
Ular itu mendesis di dekat telinganya, seperti membisikkan sesuatu padanya.
Tiba-tiba saja dia melompat turun, berjalan mendekatiku, tapi dengan jarak.
"Kau mencari pendamping katanya. Aku benar?"
Kepalaku mengangguk kaku.
"Seseorang menyuruhku untuk mencari pendamping sesegera mungkin. Dan kudengar dari ular putih itu, dia akan membawaku pada seseorang yang mau menjadi pendampingku."
Obanai mendecih.
"Mau? Jangan bercanda, dia bilang mau berdiskusi bukan berarti aku benar-benar mau menjadi pendampingmu."
"Dan lagi, orang yang kau maksud itu laki-laki tua renta yang menjaga kuil, bukan? Marga Ikki, dia pasti pelindung keturunan dewi kehidupan."
"Lalu kau-manusia tak berguna yang cuma bisa bergantung malah mendapat tanda milik sang dewi."
"Hmph, dilihat lucu juga lelucon ini."
Tensi darahku langsung meluap naik.
"Bergantung katamu? Aku sudah berjuang hidup sendiri di perkotaan tanpa siapapun. Dan katamu aku hanya bisa bergantung?"
Obanai mengangkat alisnya.
"Ho, jelas. Kau kemari merengek ke Jiji-mu itu karena diserang dua yokai dan membuatnya harus menolongmu lagi. Bukannya itu yang namanya-beban?"
Kepalan tanganku mengerat.
"Aku tidak merengek, dan tidak memohon bantuannya. Dia yang-"
"Kalau begitu buktikan. Kalau tanpa bantuannya kau bisa menghadapinya sendiri."
Potongnya, sambil melirik ke pergalangan tanganku.
"...Kalau itu maumu."
Gelang suci kurenggangkan ikatannya, kulepaskan dari pergelangan, jatuh ke atas tanah.
Obanai tersenyum di balik perbannya, tatapnya masih menatap lurus padaku.
"Tekadmu boleh juga. Tapi apa kau mampu melindungi dirimu tanpanya?"
Ular putih yang tadinya berada diatas pohon, tiba-tiba saja muncul di belakang tubuhnya, berteriak keras, dan bergerak begitu cepat ke arahku.
"Menjauhlah!"
PYAS!
KYAAAK!!
Sebuah dinding pembatas muncul tepat sebelum ujung giginya menerkam kepalaku.
Ular itu terpental, tapi tak menyerah.
Dirinya berusaha menyerangku dari segala arah.
Mulai membuatku kebingungan kemana serangan selanjutnya datang.
"Kau memang bisa menahannya. Bagaimana dengan yang ini?"
BUAGH!!
Tebasan keras jatuh di punggungku.
Sampai tubuhku dibuangnya agak jauh dari tempatku berdiri.
Belum juga kakiku bangkit, ular putih kembali berteriak menyerang.
Membuatku terus-menerus terdorong mundur.
Sementara aku tak bisa melihat dimana obanai pergi.
Dirinya seperti melebur dengan bayangan hutan.
"Disini!"
Ucapnya dari arah kanan, tapi justru menjatuhkan serangan dari arah kiri.
"AKH!!"
Sekali lagi tubuhku terhempas.
Kali ini menabrak permukaan pohon cukup keras, membuatku terjatuh di dekatnya.
"Barusan ap-AH!!"
Ular putih yang tadi menyerangku, entah sejak kapan sudah melilitkan tubuhnya padaku.
Menempelkan tubuhku dengan pohon itu, sekaligus mengerat, menjerat nafasku.
Obanai tertawa dibalik perbannya.
Dirinya mendekatiku.
"Bodoh. Mungkin ini alasan semua dewi mati dengan kondisi yang sama-kalian terlalu percaya dengan orang lain."
Ujung ekor ular itu mengangkat tubuhnya naik, lebih tinggi sedikit dariku.
Netra berbedanya bertemu denganku.
"Biar kuberitau kau sedikit hal, (m/n)."
"Aku Obanai, yokai ular putih. Aku bisa mengendalikan ular lainnya menjadi pasukanku."
"Tentang tandamu itu, seseorang harus mengiggitnya untuk menjadi pendamping milikmu. Dan meninggalkan bekas gigitannya diatas permukaan kulitmu."
"Sayangnya aku tak memerdulikan tawaran manismu itu. Karena yang kubutuhkan-hanya darahmu saja."
Obanai membuka perban di mulutnya.
Dimana mulut selebar wajah miliknya bergerak terbuka, menampakkan dua taring tajam dan lidah pipih panjang mirip seekor ular-sedikit lagi menerkamku.
Begitu dekat...
Seperti aku bisa merasakan tusukan tajam itu sebelum-
"MENJAUH DARINYA, OBANAI!"
Satu bola api melayang nyaris menabrak wajahnya, justru menabrak kulit ular itu membuat ular itu menjerit kesakitan dan memilih untuk melepaskanku.
"Tidak akan Mui biarkan."
Selanjutnya permukaan tanah kering berubah menjadi keras bagai es di musim dingin.
Dimana permukaan es itu menyasar pada ular putih dan membekukannya dalam hitungan detik.
Obanai di lain sisi, belum sempat dirinya melompat menghindar, permukaan es mengejar kakinya.
Membekukan geraknya, menghentikannya di satu titik.
"(M/n)! Kau baik-baik saja?!"
Yui seketika merubah dirinya kembali menjadi manusia.
Sementara Yui sejak tadi sudah menjadi manusia.
"Uhuk! Uhuk!"
"Argh! Ucapanmu tak bisa kupercaya. Lain kali aku tak akan membiarkannya lagi."
"(M/n)."
Mui memeriksa keadaanku, sementara Yui menatap tajam ke arah Obanai yang tak mampu berkutik.
"Ular licik. Bagaimana kau bisa tau (m/n) disini?"
Obanai mengeryit.
"Tau?? Ini tempatku, sudah jelas aku tinggal disini. Dia sendiri yang datang padaku."
"Datang karena bisikanmu, itu maksudmu?!"
Obanai terkekeh dengan bibir lebarnya.
Lantas dia menghembuskan nafas lelah.
"Baiklah, kulepaskan dia. Sebagai gantinya, lepaskan aku dan temanku."
Yui menatap kesal.
Sulutan api muncul di tangannya, dilemparkan pada permukaan es milik Mui yang mencair perlahan, membebaskan dua makhluk itu.
Yui kembali lagi padaku, dia menggiringku keluar dari tempat itu.
Sebentar aku melirik ke arah Obanai.
Dia membalasku.
"Kita akan bertemu lagi, (m/n)."
Kemudian sosoknya menghilang dibalik hutan, kini aku kembali berjalan di dekat desa tengu.
Yui langsung berputar balik ke arahku.
"(M/N) BODOH!! KENAPA KAU MENDENDENGARNYA BEGITU SAJA?! KALAU KAU DIBUNUHNYA BAGAIMANA??"
Mui disampingku justru menahan isakan.
Dirinya lebih melukiskan rasa khawatir daripada Yui yang tiba-tiba saja berteriak di depanku.
Yui seketika menundukkan kepala, tangannya mengepal erat.
"Kalau saja kami terlambat sedikit saja tadi-"
Mui mengangkat wajah berlinangnya.
"-dewi kehidupan tidak akan ada lagi disini. Mui, hiks, nggak mau ditinggal lagi."
Tangan Mui merangkul pinggangku, ditenggelamkan wajahnya disana.
Sementara Yui berusaha setegar mungkin menahan air matanya.
Dua anak ini...
Sekelabat memori tak dikenal muncul di lensaku.
Sebuah keluarga kecil.
Ayah, ibu, dengan dua anak, mereka hidup bahagia di dalam hutan.
Tidak sampai sang ayah mati terjatuh ke jurang. Dan ibunya bersimpuh darah karena suatu makhluk dibalik bayangan.
Dua anak berlari bersama.
Bergandengan tangan, bahkan hingga ajal mereka menjemputnya.
Beberapa tahun kemudian seorang pria menenangkan mereka.
Membawa mereka menuju suatu bangunan yang dianggap rumah.
Dimana seorang wanita penuh kehangatan selalu menyapa mereka pulang.
Dan semua terus berakhir dengan bercak merah disepanjang mata memandang.
....
"Ugh..."
Keseimbanganku sejenak menghilang.
Tergantikan dengan rasa pening mendadak yang menyerang kepalaku.
"(M/n)!"
Sahut keduanya.
Sekali lagi ingatan sekelabat datang menghampiri.
Dua orang memanggil nama yang sama.
"Ikkigami!"
Lalu kemudian...
Pelukan hangat merangkul mereka.
Seperti bagaimana aku memeluk dua anak itu bersamaan saat ini.
"Maaf. Aku membuat kalian khawatir, Mui, Yui."
Bisikku pada dua anak itu.
Dimana dua anak itu langsung meledakkan tangis mereka dalam rangkulanku.
Seperti mendengar kalimat yang pernah mereka dengar, sebuah nama terpanggil kembali.
"Ikkigami!!"
================
Selang agak lama keduanya kembali ke kondisi baik-baik saja.
Isakan berhasil terhapuskan, semua termaafkan untuk sekarang.
"Lalu, sekarang bagaimana. Yui."
Tanya Mui pada kembarannya.
Yui bertopang dagu.
"Kita sudah berkeliling tadi, tapi tidak ada satupun Tengu yang mau menjadi pendamping Ikki-sama."
Alisku mengerut.
"Kenapa begitu?"
Mui hendak angkat bicara, tapi Yui lebih dulu memotong.
"Pokoknya nggak mau! Mereka itu kepala batu, tidak mau mendengarkan!"
Tatap Mui jatuh ke bawah.
Entah apa yang mereka sembunyikan.
Mungkin suatu hari nanti akan kuungkap sendiri.
Pokoknya sekarang-
"Ada ide dimana lagi harus mencari pendamping?"
Tanyaku.
Keduanya saling melirik, sama-sama tak yakin, namun akhirnya mengangguk.
"Ada. Satu tempat-"
"-yang hanya bisa dimasuki Yokai dan beberapa orang saja."
"Dunia Yokai."
Oke, namanya sudah membuatku cukup membuatku bergidik ngeri.
"Ikki-sama. Bisa kesana."
Yui mengangguk pada Mui.
"Tapi ada syaratnya."
Lanjut Yui.
Alis kananku terangkat.
"Syarat... apa?"
Yui menatapku serius.
"Kali ini, jangan jauh-jauh dari kami."
"Tetap disamping Mui."
Ucap mereka bergantian.
"Dan jangan mengeluarkan keberadaan seorang dewi disana. Atau kalau tidak-"
"Yokai-yokai akan tertarik."
"Itu masalah besar."
Dua tangan kuhadapkan pada mereka.
"Baik, baik, aku menerima syarat kalian. Sekarang lebih baik kita bergegas. Lihat! Sudah senja."
Yui dan Mui melihat kearah langit bersamaan.
Warna jingga mulai mewarnainya, mentari mulai kembali ke peraduan, bersiap untuk malam menjelang.
"Kalau begitu cepat! Malam ini bulan purnama. Ikki-sama tidak boleh diluar selama bulan itu."
Mereka berdua buru-buru bergandengan tangan.
Kemudian satu tangan mereka yang bebas, masing-masing diberikan padaku.
"(M/n)-sama, raih tangan kami."
Aku mengangguk mantap, meraih dua tangan mereka dengan dua tanganku.
Saat mereka memejamkan mata, dunia berputar.
Yang tadinya langit berwarna jingga senja, berubah menjadi langit gelap krimson merah.
Bulan purnama belum tampak, tapi aku bisa merasakan tempat ini sebenarnya masih dalam waktu senja.
Setelahnya, mereka berdua membuka mata, sebuah hutan sama seperti tadi, hanya dengan nuansa berbeda.
"Kesini. (M/n)-sama."
Mui kembali berjalan lebih dulu.
Dirinya begitu antusias meski terlihat yang paling pendiam.
Dibelakangnya, aku dan Yui menyusul.
Kami agak berlari menuju suatu tempat yang tadinya-tidak ada-disana.
"A-apa ini??"
Sebuah kota kecil sebelah hutan.
Dimana setiap penduduknya bukan manusia, tapi golongan yokai!
Yui dan Mui menatapku lagi.
Dua telunjuk mereka diletakkan di masing-masing bibir.
"Jangan berbicara."
Seketika sebuah bola cahaya kecil terbang ke arahku.
Masuk dalam dada bagian tengah, membuat tubuhku tak tampak.
"Selama itu, jangan berbicara-"
"-atau sihir kami akan pecah."
Aku mengangguk pada mereka.
"Sisanya, biar aku dan Mui saja yang mencarikan calon yang tepat untukmu, Ikki-sama."
Kepalaku sekali lagi mengangguk.
Mui menatapku.
"Tetap. Didekat. Mui."
Dirinya melepas genggamannya dariku.
Dan mulai berjalan di depanku layaknya yokai biasanya.
Sementara aku berjalan di belakang mereka. Mengikuti sembari mengenali tempat aneh ini.
Hingga suatu dentuman cukup keras membabi-buta bangunan sekitar.
Menghancurkan banyak properti bangunan.
Dimana hempasan reruntuhannya terlempar kemana-mana, menghancurkan suasana kota yokai saat itu.
Bersamaan dengan itu, suatu sosok ikut terhempas.
"BERHENTI, NAGA KEPARAT!! KEMBALIKAN ISTRI-ISTRIKU!!!"
Ucap seseorang yang bangkit dari reruntuhan tak jauh dariku.
Perawakannya yang tak lama aku melihatnya sehari yang lalu.
Dengan surai keperakan yang di milikinya...
"K-kau kan-"
==================
To be continued
- Perkenalan karakter baru -
Nama :
Obanai
Usia :
Ribuan tahun
Tinggi :
162 cm
Status :
Yokai ular putih
Kekuatan spesial :
Dapat memanggil kawanan ular menjadi pasukannya atau jiwa keduanya.
Karakteristik ular; dua taring beracun, kulit bersisik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro