Chapter 3
(M/n)'s POV
Setelah menaiki shinkansen, selanjutnya naik bis, lalu berjalan sedikit sampai ke gerbang desa.
Batinku sambil mengingat apakah memori rute menuju desa-ku benar atau tidak.
Saat ini aku baru saja sampai di pemberhentian bis yang dulunya sering kunaiki.
Biasanya aku dan Jiji naik bis hanya untuk mencari bahan dari kota lalu kembali lagi ke desa.
Untuk kesekian kalinya, entah kenapa aku lebih merasa desa tempat yang lebih cocok untuk ditinggali.
Meski kota memiliki segalanya, tapi tidak dengan keluarga.
"Seandainya saja Jiji bisa ke kota."
Kondisinya yang merenta, membuat geraknya terbatas.
Dia sendiri juga bilang, dia sudah puas berada di kota dulu bersama mediang nenek.
Pada akhirnya mereka memilih desa untuk tinggal karena ketenangannya lebih memastikan.
Sejenak aku menoleh-noleh, tak sengaja menangkap sebuah toko manisan tak jauh dari tempatku berdiri.
Satu bungkus permen konpeito terlihat di etalase depannya.
Kompeto desa ini terkenal yang paling seimbang kemanisannya, bisa kukata.
"Atau mungkin Jiji disini karena Konpeito-nya enak?"
Tebakku sambil bercanda dengan diri sendiri.
Selagi bis belum datang, aku berkunjung ke toko itu lebih dulu untuk membeli sebungkus Konpeito. Lumayan juga buat stok seminggu.
Setelahnya barulah aku kembali lagi ke pemberhentian, dimana beruntungnya bis itu sudah muncul disana.
Dari dalam bis yang sepi akan penumpang di jam segini.
Aku bisa melihat pemandangan hutan rindang dan bukit-bukit hijau yang mulai menyapa.
Seperti mereka melambaikan tangan padaku, senang melihatku kembali lagi kemari.
Seiring bergantinya jalan, rerumahan kecil tampak.
Semua memiliki jarak, tidak seperti kota yang penuh sesak dan berhimpitan.
Ah, rasanya aku jadi rindu pergi ke stasiun bersama Jiji tanpa naik bis.
Sesampainya disana, kakinya langsung menyerah untuk berjalan.
Besoknya dia tak ingin jalan jauh lagi tanpa naik bis.
Agak lama, karena laju bis yang tak begitu cepat, sampai juga aku di pemandangan yang begitu familiar.
Bis berhenti, tepat di depan jalan masuk menuju desa.
Dimana angin sepoi dan udara segar berhembus melegakan dada.
"Tidak berubah ya."
Gumamku, tersenyum singkat, kemudian berjalan memasuki desa.
Beberapa penduduk desa memicingkan mata mereka.
Berusaha mengingat sesuatu di kepalanya.
"Lho, kamu kan—"
Seorang bibi membuatku berhenti.
Tangannya menunjuk, sejenak diurungkan, kembali lagi dengan memorinya.
"(M/n)... Kau (m/n) bukan?"
Bibirku terbuka.
"Iya, aku (m/n), bi."
Dia langsung tertawa senang.
"Ya ampun, (m/n). Kau sudah besar sekali sekarang. Lihat tubuhmu, 3 tahun saja kau sudah berubah."
Tangan kuusap di tengkuk leher.
"Ah, nggak juga, bi. Ini cuma naik lima senti. Ngomong-ngomong, kabar bibi gimana? Sehat sekeluarga?"
Bibi mengangguk padaku.
"Syukurlah, semua sehat-sehat. Akhir-akhir ini juga panen banyak yang laku. Bibi juga buka warung buat tambahan masukan."
Sejenak aku melihat rumah bibi yang dulunya hanya satu bangunan, berubah menjadi dua.
Bagian sebelahnya dijadikan warung kecil dengan tempat duduk di bagian depan yang berhias payung tradisional.
Membawa kesan lawas yang melebur dengan baiknya bersama pemandangan sekitar.
"Uwah~ kapan-kapan aku berkunjung, bi."
Bibi mengangguk lagi.
"Boleh~ panggil saja bibi nanti kalo udah dateng, biar bibi yang ngelayanin kamu. Aduh, bibi jadi kelewatan kan. Kamu pasti mau ketemu Jiji sekarang. Kesana dulu gih, kasian dia nungguin."
"Iya. Duluan ya, bi!"
"Hati-hati di jalan!~"
Bibi melambaikan tangannya padaku.
Barulah aku kembali berjalan menuju suatu rumah yang cukup besar di desa itu.
Gerbangnya sudah terbuka.
Jelas Jiji yang membukanya untukku.
Tepat saat aku berjalan memasuki gerbang, seorang pria paruh baya tengah berdiri di samping jembatan kayu.
Netranya terpaku pada aliran air tenang yang mengalir melewati bagian bawah sungai itu.
Senyumnya begitu tenang bak air yang mengalir sungai.
Seperti, dia sudah menemukan tempat paling nyaman untuk dipandang.
"Tomioka-san!"
Pria itu menoleh padaku.
Lensanya terbelalak.
"(M/n)?"
Langsung saja aku berjalan mendekatinya.
Yukata itu...
Masih sama seperti dulu.
Yukata yang sering dikenakannya, yang mana menjadi tanda pengenalnya bagi setiap warga desa.
"Konnichiwa, kau datang agak terlambat."
Ucapnya dengan senyum lembut, menyadari kedatanganku.
"Eh? Benarkah? Jangan bilang—waduh—Jiji ngambek?"
Bisikku di kalimat terakhir.
Tomioka tertawa kecil.
Kepalanya menggeleng.
"Tidak, emosinya baik-baik saja. Cuman, dia sudah pergi dari tempat sekarang—menuju kuil."
Kuil?
Tunggu, biar kuingat, kuil yang mana?
Disini kuil ada banyak sih, sebenernya semua sama aja, cuma beberapa rusak dan beberapa dibangun ulang lagi.
"Kuil biasanya, bukan reruntuhan. Kau tidak melupakan tempatnya, kan?"
Sejenak lensaku berkedip-kedip, berusaha mengingat dimana letaknya terakhir kali.
"Kalau itu—"
Kanan-kiri, aku menoleh ke arah mana harus pergi.
Tomioka tertawa kecil lagi padaku.
"Kau ini, segitu lamanya di kota, sampai lupa tempat pulang sendiri."
"Aha ha ha..."
Tawaku tak lucu.
Tomioka melihat barang bawaanku, yang mana dia berjalan mendekatinya.
"Biar kubantu masuk. Setelahnya aku akan menuntunmu kesana."
Degubku naik drastis.
Seperti biasa perlakuannya yang tenang dan ramah itu selalu bisa membuat orang lain jatuh hati.
Duhh, malah jadi salting gini kan.
Sadar (m/n), sadar.
Tomioka-san terlalu baik untukmu.
((Hiks srot))
Tomioka membawa separuh dari bawaanku, lantas kami berdua berjalan bersama ke dalam rumah milik Jiji.
Cukup lapang, bahkan ada ruang untuk taman zen.
Lorong berlantai kayu—aku jadi ingat dulu suka sekali berlari disini.
Apalagi kalau lantainya licin habis dibersihin, enak buat seluncuran.
Sebuah kamar dibukanya, pastinya kamarku dulu berada.
Diletakkannya barang-barangku disana.
"Sementara taruh saja dulu. Jiji sekarang sudah menunggumu."
Aku mengangguk padanya.
Sekali lagi kami berjalan berdampingan, melewati jembatan tadi, menyusuri jalanan desa, hingga menuju tangga yang mengarah naik keatas salah satu bukit.
Kami berjalan sampai sebuah tori tampak.
Itu pertanda, kuil sudah tinggal sedikit lagi.
Tomioka sejenak melihatku yang mulai letih. Sudah lama sekali aku tak berjalan menaiki bukit begini, udah kayak ngangkat beban keluarga.
"Kau baik-baik saja, (m/n)?"
Aku mengangguk.
"Dikit... haah.. lagi sampai kok... hadeh.."
Dirinya hanya bisa geleng-geleng melihatku. Lajunya diperlambat, menyesuaikan laju jalanku.
"Dulu yang kuingat kau malah sering lomba lari dengan yang lain disini."
Kepalaku mendongak.
"Itu kan dulu, sekarang beda."
Senyum miringnya ditampakkan.
Tangannya diulurkan.
"Sedikit saja, kubantu."
Heran.
Kenapa sih Tomioka pinter banget kalo urusan ngebaperin orang begini?
Yah, walau wajah dan niatnya nggak niat gitu, tapi kan sama aja!
Oh gitu ternyata, jadi ini toh yang bikin Tomioka sering jadi bahan bicaraan bibi-bibi desa dulu, yang katanya calon menantu idaman mereka.
"Hm? Ada yang salah, (m/n)?"
Lamunanku pecah.
"Eh? Ah, nggak kok. Cuma—uhm, Tomioka-san suka ngebantu orang dari dulu. Rasanya jadi nggak enak."
Tomioka mengedip-ngedipkan matanya.
"Sudah seharusnya manusia saling membantu. Dunia ini, tidak bisa dilalui seorang diri, uluran tangan orang lain bisa jadi begitu berharga. Aku pun, tidak keberatan membantu lainnya, jadi jangan khawatir."
Augh, udah kayak diguyur air terjun di tengah hutan. Adem ayem, beneran kalo udah bicara sama Tomioka.
Kayak ada rasa manis-manisnya gitu.
"Kita sudah sampai."
Sebuah kuil tampak di depan mata.
Bersama seorang pria renta yang berdiri memunggungiku dan Tomioka.
Sesaat barulah dirinya menoleh, menatapku yang baru saja datang.
Sebelum dia memulai perkataan, lebih dulu dia melirik Tomioka.
"Terima kasih sudah menuntunnya kemari, nak Tomioka."
Tomioka mengangguk, kemudian menatap kearahku.
"Kutinggal dulu, ya."
Bisiknya.
Kemudian pergi meninggalkanku dan Jiji yang kini saling menatap dalam jarak begitu dekat.
"Jiji, aku—"
Telapak tangan diangkatnya, menghentikan ucapanku.
"Lakukanlah ritual penyucian dulu di sumber air. Setelah itu temui aku di depan kuil."
Menurutinya, aku berjalan menuju sumber air yang tak jauh dari kuil itu.
Dimana beberapa gayung diletakkan diatas tempat penimbun air itu.
Cplak..
Satu gayung air kuambil, kugunakan untuk mencuci tanganku lebih dulu.
Setelahnya aku mengambil air lagi untuk membasuh mulutku.
Barulah setelah itu aku berjalan kembali menuju kuil untuk menemuinya.
"Jiji."
Jiji merespon, tanpa menoleh, kepalanya mendongak, melihat bagian atas kuil itu.
"Yui, Mui, keluarlah."
Tiba-tiba saja dua bola berkilau terbang dari langit-langit, biru dan merah, bergerak turun di kanan-kiri Jiji.
'Kau memanggil kami, Ikki-sama?'
Suara menggema dari dua bola melayang itu.
"Ya, tunjukkan dirimu."
Keduanya seketika berubah menjadi suatu sosok menyerupai manusia.
Tapi juga bukan, aura mereka berbeda dari manusia pada umumnya.
Salah seorangnya kupandang, saat itu juga dirinya memandangku kembali.
Namun hanya sebentar, sebelum dia kembali melihat Jiji lagi.
Jiji memutar tubuhnya kembali, kini melihat kearahku.
"(M/n), kenalkan, ini Yui dan Mui. Mereka adalah pendampingku—jelmaan dua jiwa."
Dua orang yang menatap kearahku bersamaan.
"Yui, Mui, ini adalah cucu ku. (M/n) Ikki."
Ucapnya bergantian memperkenalkan dua belah pihak.
Seorang bersurai hitam biru melebarkan lensanya.
"Dia—"
Disambung sebelahnya yang bersurai hitam merah.
"—keturunan terbawah."
Jiji mengangguk.
"Hari ini aku punya tugas untuk kalian berdua."
Dua anak itu menoleh ke arah Jiji.
"Carikan pendamping untuknya, salah satu yang kuat untuk melindunginya."
Dua pasang netra itu berkedip sejenak.
Salah seorang menunduk berpikir.
Salah satunya bertopang dagu dengan raut serius.
"Mulai darimana?"
Ucap si biru.
"Heh! Yang ada anak itu malah jadi santapan Yokai."
"Yui, kau tak boleh berkata kasar di depan tuan."
"Haaah! Aku mengerti, aku nengerti. Tapi, masalahnya (m/n) itu memang aromanya manis sekali. Jalan sebentar saja, kita bisa dibuat kewalahan sama serangan Yokai."
"Kau benar juga.."
Keduanya tampak kebingungan, apalagi aku yang sama sekali tak mengerti apa yang mereka bertiga maksud.
"Tunggu! Sebentar!"
Mereka bertiga menoleh padaku.
"Kalian ini berbicara tentang apa? Pendamping? Pendamping seperti apa, apa maksudnya? Dan mencarinya, untuk apa?"
Jiji menggeleng kepalanya, sekaligus memijat ujung kening.
Dengan penuh kesabaran dia mulai membuka mulutnya.
"Kau ingat kejadian yang kemarin kau ceritakan padaku, (m/n)?"
Pundakku terkejut.
Kepalaku mengangguk kaku.
"Dua orang yang kau sebutkan. Mereka bukan manusia sebenarnya."
Jiji berjalan mendekat.
"Seorang yang kau sebut memiliki aura gelap di punggungnya—yang menyesakkan dadamu sekali pandang saja—adalah keturunan oni api hitam yang telah lama dianggap menghilang. Golongan oni* terkuat yang pernah tertulis dalam sejarah."
"Dirinya pernah bertemu dengan salah satu keturunan dewi kehidupan. Aku khawatir dia punya niat buruk padamu setelah ini."
Jiji berhenti di depanku.
"Dan seorang lagi yang kau sebutkan, aku tak yakin jelas dia masuk ke golongan mana, tapi satu tebakanku."
Netranya terarah pada langit biru berpayung awan putih.
"Malam ini adalah malam bulan purnama. Mungkin saja, seorang lagi itu adalah kalangan kitsune* yang akan berburu mangsa setiap bulan purnama muncul."
Tatapnya kembali jatuh padaku.
"Mereka berdua pasti menyadari tanda di lehermu, (m/n), tanda milik dewi kehidupan. Ini sudah kali kedua kau terincar makhluk seperti mereka, aku tak ingin ketiga kalinya. Maka dari itu, aku mengutus Yui dan Mui untuk membantumu mencari pendamping yang bisa melindungimu dari mereka."
Sebentar Jiji membersihkan tenggorokannya.
"Pendamping, adalah semacam makhluk mistis yang menjadi peliharaan atau pelindung yang biasanya dimiliki dewa-dewi ataupun onmyoji*."
"Mereka akan membuat kontrak dengan tuannya. Tapi sebelum itu, kau harus bisa menjinakkan mereka lebih dulu. Membuat mereka patuh pada perintahmu."
Tatapku melihat kearah Mui dan Yui yang masih berdiri disana.
"Kalau mereka, bagaimana Jiji bisa bertemu mereka?"
Jiji kembali melihat Mui dan Yui.
Dengan tarikan nafas panjang—melihat dua anak yang tak keberatan—dia mulai bercerita.
"Aku menemukan jasad mereka di bukit sebelah utara saat masih muda. Mereka berdua kutemukan tergeletak bersimpuh darah, tertutup dedaunan musim gugur yang mulai tertimbun kepingan salju."
"Disanalah aku menemukan jiwa mereka yang tak tenang. Seperti mereka bukan terbunuh, tapi sengaja dibunuh sesuatu."
"Dengan sabar, kutenangkan dua jiwa kembar itu. Tidak mudah, sifat mereka begitu berbeda, tapi fisik mereka terjebak menjadi satu energi buruk."
"Sampai akhirnya aku bisa melepas mereka menjadi dua kembali. Sebagai balas budi, mereka ingin menjadi pendamping ku."
Yui berjalan maju.
"Kami sudah melindungi kuil ini begitu lama."
Mui ikut serta.
"Tapi. Dewi kehidupan tidak muncul. Mui bingung."
Dibalas lagi oleh Yui.
"Kalau kuil dibiarkan kosong terus, Yokai bisa menyerang dan menghancurkannya lagi!"
Mui mengangguk, setuju dengan Yui.
"Dan kalau kuil hancur lagi—"
Yui menundukkan kepalanya.
"—kami tak tau harus tinggal dimana lagi."
Keduanya bersamaan berkata,
"Kami mohon, menetaplah dewi!"
Sekali lagi pundakku terkejut.
Dua tangan kuangkat setara dada.
"T-tunggu, tunggu. Dewi? Nenek dan ibu memang perempuan—panggilan dewi cocok saja dengan mereka. Tapi aku laki-laki, lho!"
Dua jiwa itu menatapku bingung.
"Memang apa bedanya?"
Ucap Yui.
Mui bergerak mendekat, menatap lensaku lekat-lekat.
"Tidak ada bedanya."
Tubuhnya melayang sejenak.
Meraih wajahku dengan tangannya.
Mengusapku lembut.
"Tatapannya sama. Lembut, hangat."
Yui ikut terbang dengannya.
Dilihatnya tanda samar di leherku.
Dua jarinya menyentuh tanda itu, yang membuat tanda itu merespon kembali.
"Tandanya juga sama. Hanya posisinya saja berbeda."
Alis kananku terangkat.
"Memang seharusnya dimana?"
Dua anak itu saling menatap.
Keduanya juga menyentuh dadaku, tepat dibagian jantung.
"Disini."
Langsung saja aku melonjak kebelakang.
Mereka berdua menyentuh bagian yang tidak-seharusnya-disentuh.
Mui tersenyum samar, sementara Yui terkekeh melihat reaksiku.
Jiji menggeleng-geleng kepalanya.
"Mui dan Yui hidup di dunia yokai. Yang mana gender tidak selalu jadi persoalan. Maklumi saja."
"Pokoknya, sebelum malam menjelang, aku ingin (m/n) menemukan pendamping nya. Mui, Yui, kalian yang akan mendampinginya untuk sementara."
Dua anak itu menoleh pada Jiji, kemudian memgangguk.
Mui meraih tangan kananku.
"Ayo. Kita cari. (m/n)."
Ucapnya nyaris berbisik.
Yui mengangguk, menepuk tangannya di pundakku.
"Hm! Kita akan cari sampai dapat!"
Sebenarnya aku masih terkejut dengan kondisi ini.
Tapi, waktu terus berdetik, momen masih berjalan.
Aku tak ingin mengulang tragedi yang sama seperti nenek atau ibu.
"Tapi, dimana mencarinya? Apa harus dengan makhluk seperti itu? Tidak bisa mungkin—orang yang kukenal."
Jiji menangkap maksudku.
"Maksudmu nak Tomioka?"
Sebenarnya aku tak ingin menjebloskan dia kemari.
Hanya saja, sesuatu seperti tampak berbeda darinya.
Auranya begitu tenang, setenang air yang menghanyutkan.
Jiji menompang dagunya.
"Anak itu memang punya aura berbeda. Dia bisa mengetahui makhluk mistis sepertimu. Dia juga punya energi yang berbeda terpancar darinya, tapi sayangnya begitu kecil dan samar."
"Aku tak yakin dia punya kekuatan spesial seperti onmyoji atau tidak, sejauh yang kutau dia hanya berlaku layaknya manusia biasa."
Bibirku melengkung.
"Begitu rupanya."
Kembali pada Mui dan Yui, Jiji melihat mereka berdua.
"Mereka berdua tak bisa dilihat oleh penduduk desa kecuali, aku, dirimu, dan Tomioka. Sekiranya kau berbicara dengan mereka, jangan berbicara di depan umum, bisa kacau kondisi desa nantinya."
Yui dan Mui menoleh bersamaan.
"Soal itu—"
"—kami sudah ada solusinya."
Dua jiwa itu bergandengan tangan.
Keduanya menutup mata bersamaan.
Beberapa saat kemudian mereka kembali menjadi sebuah jiwa, lalu menjadi sosok dua anak lagi.
Hanya saja kali ini mereka tampak berbeda.
"Bagaimana?"
Ucap keduanya.
Jiji menatap tak percaya.
"Kalian—bisa menjadi manusia sekarang?"
Keduanya mengangguk.
Kini wajah mereka tak memiliki bercak aneh lagi.
Seperti manusia pada umumnya, mereka benar-benar seperti anak kembar sekarang.
Jiji menghela nafas.
"Aku tak mengira kalian belajar secepat itu. Baiklah, kupercayakan (m/n) pada kalian."
Keduanya mengangguk,
"Baik!"
Kembali lagi mereka menarikku.
"Ikut kami. (M/n)."
"Kita cari di tempat tengu* lebih dulu."
Aku hanya bisa mengangguk sambil mengikuti kemana mereka pergi dengan dua pasang kaki mereka.
Dua kaki tanpa alas sandal...
====================
To be continued
—Kamus mini—
- Oni = Iblis
- Kitsune = Siluman serigala
- Onmyoji = Keturunan manusia spesial yang biasanya mampu mengendalikan Yokai dengan dan sebagai kekuatan mereka
- Yokai = Makhluk supernatural; biasanya menyerupai manusia hanya saja berpenampilan mengerikan, legenda berkata mereka senang sekali menjahili, membunuh dan mengkonsumsi manusia untuk mengisi perut mereka.
Namun tidak semua Yokai mengerikan, beberapanya memiliki paras indah untuk menarik mangsa untuk mendekatinya.
- Tengu = Siluman berawakan manusia yang memiliki sayap burung gagak.
Elemen yang biasa mereka gunakan adalah elemen angin.
Tidak seperti yokai pada umumnya.
Beberapa tengu bersifat baik pada manusia, bergantung pada dimana kubu tengu tersebut memilih.
==============
Perkenalan karakter baru
Nama :
Tomioka Giyuu
Usia :
19 tahun
Tinggi :
176 cm
Status :
Warga desa, teman masa kecil (y/n),
penjaga kuil.
Kekuatan spesial :
Indra pengelihatan keenam
Nama :
Yui - Mui
Usia :
14 tahun
(Dan akan selalu begitu)
Tinggi :
160 cm
Status :
Jiwa anak kembar, pelindung kuil, pendamping Jiji.
Kekuatan spesial :
Mampu menjadi satu wujud.
Berubah jadi manusia.
Elemen :
Mui (Angin musim salju - membekukan).
Yui (Api musim panas - membakar).
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro