Chapter 2
Jiji pernah melarangku.
Setiap harinya, entah kapanpun itu.
"(Y/n), jangan pernah berjalan sendirian setelah jam 9 malam."
Selalu saja begitu, membuatku bertanya-tanya.
"Kenapa, Jiji? Kenapa aku tidak boleh sementara anak desa lainnya boleh pergi."
"Aku juga ingin berjalan-jalan mengelilingi bukit, melihat rasi bintang di puncak malam hari."
Saat aku berkata begitu, Jiji selalu menampakkan amarah diwajahnya.
Sekaligus sebesit kemasaman disana.
Jiji tak pernah menjawabku setelah itu.
Meninggalkan kalimat menggantung yang terus menggerogoti rasa penasaranku.
Menyulut habis kesabaranku untuk terus berdiam diri di satu tempat.
Tepat saat menjelang malam tahun baru.
Kawan-kawan desaku mengajakku untuk ikut bersama dengan mereka, menonton kembang api bersama.
Sebenarnya aku ingin, tapi..
"Tidak. (Y/n) tidak datang malam ini."
Bagai kalimat absolut tak terbantahkan.
Kawan-kawanku meninggalkanku begitu saja.
Sementara Jiji kembali ke dalam, mengajakku untuk ikut masuk dengannya, meninggalkan beranda rumah, menjauhi pintu masuk depan ataupun belakang.
Ini tidak adil.
Pikirku saat itu.
Yang mana membakar api dalam dada, menumbuhkan niat untuk membelot dari larangannya.
Malam itu, saat dirinya tengah berdiam di kamarnya, saat itulah kulancarkan rute kaburku.
Berlari seorang diri menuju puncak, dimana salah satunya terdapat kuil tua yang nyaris runtuh.
Mengesampingkan rasa penasaran kenapa tempat itu ada.
Kujatuhkan perhatianku pada kembang api yang mulai meledak di permukaan langit.
Warna-warni yang mekar dari tiap ledakan dalam sekejap memanah netraku, mendebarkan jantungku dalam takjub.
Belum pernah aku melihatnya sejelas ini.
Saking takjubnya, kewaspadaanku turun dan saat itulah aku tak menyadari suatu makhluk menatapku dari balik bayangan.
Dua netra merahnya menatap kearah leherku.
Ketemu.
Bisiknya yang begitu jelas terdengar di daun telingaku.
Suara yang tak biasa, memancingku untuk berbalik kearahnya, tepat saat dirinya melompat dari persembunyiannya.
Menabrakkanku pada permukaan tanah.
Tak sedikit pun memberi ruang untukku pergi dari sana.
Lensaku terbelalak lebar mendapati seekor makhluk yang terbuat dari kegelapan menatapku dengan penuh rasa haus darah.
Netra merah darahnya menusuk pandang netraku.
Gigi taring dengan air liur menetes, jatuh di permukaan kulit leherku, menarik rasa ngeri tak terlupakan yang menghantuiku bagai mimpi buruk.
Jangan banyak bergerak, anak manis.
Aku berjanji akan memberlakukanmu dengan baik kalau kau memilih untuk diam saja.
Aku sudah hilang akal kalau mendengar perkataannya.
Suara kulantangkan padanya.
"Menjauhlah dariku, monster!"
Saat kalimat itu keluar dari bibirku.
Sinar kebiruan menyala dari sebuah simbol yang terlukis di leherku.
Mendorong makhluk itu menjauh dariku.
Pfft—
Khe khe khe~
Dirinya malah terkekeh melihat reaksi aneh barusan.
Kakinya kembali melompat ke arahku.
AKAN KUDAPATKAN DARAH ITU!!
Geraknya begitu cepat tak memberi kesempatan untukku bangkit kembali.
Refleks, kelopak mataku hanya bisa terkatup menutup.
Tak ingin menatap takdir yang menghadap kearahku.
"Pergilah makhluk berdosa!"
Caasss!!
Suara seseorang diikuti cahaya menyilaukan membatasi tubuhku dan tubuh monster itu.
Sebuah dinding cahaya mulai membentuk segitiga yang mengurung makhluk itu.
KREEEEEE!!!!
Jeritnya, merintih kesakitan, kemudian tubuhnya meluruh dalam cahaya putih.
Apa yang baru saja terjadi?
Tentu itu alasanku untuk menoleh pada sumber suara yang mana berasal dari pria dewasa bernama Jiji.
"(Y/n)!"
Dirinya berlari kearahku.
Tubuhku langsung dirangkulnya erat.
Jantungku berhenti sesaat.
Bayangan nasihat darinya menguasai pandanganku.
"J-jiji, a-aku—"
"Syukurlah, syukurlah kau baik-baik saja."
Peluknya dilepas.
Tangannya meraba pipiku, netranya memeriksa setiap sudut tubuhku.
Setelah didapatinya tak ada yang terluka, air mata membendung di kelopaknya, namun tak terjatuh.
"Kita pulang sekarang. Disini tidak aman."
Tanpa perlawanan, penuh pertanyaan, bibir kubungkam.
Aku hanya mengikuti dirinya yang menggiringku pulang, sembari lensanya mengawasi sekitar.
Sampai di tempat, Jiji menempatkanku di kamarku.
Kini kami duduk bertekuk lutut berhadapan.
Dan disinilah kesempatanku bertanya.
"Jiji."
Wajahnya terangkat.
"Apa yang kau sembunyikan dariku?"
"Apa Jiji mengetahui sesuatu?"
Mulut bungkamnya akhirnya terbuka juga.
"Mungkin... sudah waktunya kau mengetahui kebenaran."
Kakinya bergerak menyilang.
Tatapnya mengarah pada foto mediang ibu yang tersenyum diatas laci.
"Mediang ibumu, dan mediang nenekmu."
"Mereka meninggal karena ulah makhluk semacam itu, (y/n)."
"Mereka adalah makhluk kegelapam yang mengincar sesuatu dalam tubuh ibu dan nenekmu. Termasuk dalam dirimu, juga mengalir sesuatu yang diincarnya."
Nafasku terhenti sesaat.
"Sesuatu... apa?"
Lensanya kini menatap kearahku.
"Darah."
"Mereka menginginkan darahmu. Karena dalam dirimu mengalir darah spesial, (y/n)."
"Darah dewi kehidupan."
Degubku membeku.
Yang kutahu, dewi kehidupan adalah dewi pelindung perbukitan ini.
Dia adalah dewi yang memakmurkan, menumbuhkan tumbuhan, meghidupkan makhluk disekitarnya.
Aku sering mendengar kisahnya dari nenek ataupun ibu saat menjelang tidur.
Mereka bilang, meski dewi tersebut tampak begitu bahagia dalam hidupnya.
Tak sedikit makhluk yang mengincar nyawa dewi tersebut.
Mereka menginginkan kekuatan, umur panjang, kecantikan dan kemakmuran dewi itu.
Tapi dewi kehidupan selalu memiliki pendamping yang melindunginya.
Wujud mereka berbeda-beda dan semua loyal pada sang dewi, hingga dewi tersebut meninggalkan langit bumi dan tergantikan oleh penerus dewi lainnya.
Itulah kenapa ibu selalu menyuruhku untuk mencari teman.
Dengan begitu, sedikit bahaya bisa mendekatiku. Sebagai gantinya, aku bisa membantu temanku nantinya.
Dan terjadilah hubungan harmonis antar dua orang yang menuntun pada 'hubungan sebenarnya'.
Kembali lagi ke masa kini.
Jiji melanjutkan penjelasannya.
"Darah dewi kehidupan adalah darah yang dipercaya memiliki kekuatan besar yang bisa mengalahkan ataupun mengendalikan mereka semua yang hidup di dua dunia berbeda."
"Tak sedikit makhluk mistis menginginkan darah itu. Mereka selalu mengejar dewi kehidupan kemanapun dirinya pergi."
"Aku sudah kehilangan nenekmu juga ibumu karena diriku lengah untuk melindungi mereka."
"Tapi, kekuatan yang mereka dapatkan tak sepenuhnya terpenuhi. Karena darah dewi kehidupan terbesar, akan berada dalam tubuh keturunan paling bawah. Dan kini kau ada disana, (y/n). Kau adalah keturunan paling bawah di pohon keluarga kita."
Telapaknya menahan dahi rentanya.
Bisa kurasakan kehilangan dan kepedihan akan kehilangan terpancar jelas darinya.
"Aku... tak ingin kehilangan siapapun lagi."
Bibirku tak mampu berkata.
Jiji sudah melakukan banyak hal untuk nenek, ibu bahkan diriku sampai saat ini.
Tentu itu tak setimpal dengan kematian ganjil dua sosok yang begitu disayanginya.
Setelah mengambil nafas beberapa kali.
Menenangkan duka dalam dadanya.
Jiji menatapku kembali.
"Ayahmu juga sudah berjanji padaku untuk melindungi ibumu sekuat tenaga."
"Tapi makhluk-makhluk itu terlalu kuat untuk orang sepertinya."
"Aku yakin, kau masih mengingat hari dimana kau menyaksikan hari terakhir mereka, (y/n)."
Ya..
Aku mengingatnya jelas.
Dimana saat mentari fajar membangunkan diriku yang berusia 6 tahun dari balik tirai.
Kala kakiku berjalan ke lantai pertama untuk menyapa mereka berdua.
Bukan senyuman hangat yang kudapat.
Justru tubuh mereka berdua yang tak berkutik dalam satu ruangan yang penuh dengan bercak merah dimana-mana.
Tubuh ayah terkapar disamping ibu.
Semua properti ruangan rusak berantakan.
Seperti kekacauan besar terjadi saat aku terlelap dalam tidurku.
Satu hal yang begitu kuingat di tempat itu, sebelum polisi datang.
Cakaran berdarah menghias permukaan dinding.
Setelah polisi datang untuk mengamankan tempat dan diriku.
Jiji datang untuk menjemputku.
Mulai hari itulah aku kembali ke desa, meninggalkan kota tempatku dilahirkan.
Meninggalkan rumah tempatku dan mereka menikmati hangat mentari di berandanya.
"...ya, aku mengingatnya. Jelas."
Jawabku pahit.
Jiji melihatku tak hanya dengan rasa iba, tapi juga rasa khawatir.
Tangannya dijatuhkan di pundakku, membuatku reflek menatapnya kembali.
"Bukan berarti aku jahat karena tak memperbolehkanmu pergi bersama teman-temanmu."
"Tapi, keadaan diluar sana begitu berbahaya untukmu, (y/n). Kau mengerti?"
Bungkam diriku sekali lagi, tak menjawabnya.
Itu adalah kejadian pertama yang menamparku begitu keras karena melanggar larangannya.
Hingga bertahun-tahun lamanya aku tumbuh menjadi seorang remaja.
Aku ingin kembali ke perkotaan untuk menuntut ilmu yang lebih baik lagi.
Tentu Jiji tak mudah mengizinkanku begitu saja.
Hingga setelah menimbang-nimbang, dirinya memberikan izinnya padaku.
Tapi dengan beberapa syarat, dan salah satunya adalah...
Tidak keluar rumah lebih dari jam 9 malam.
===============
Dan saat ini.
Suatu fenomena tak biasa tertangkap dua netraku.
Yang sebelas dua belas dengan kejadian di mmasalalu
Seorang pria dewasa menghajar seseorang sampai babak belur.
Di sekelilingnya, tubuh lainnya terkapar dalam noda berdarah.
Anehnya pria itu tak memiliki noda darah di sekitar tubuhnya.
Puas dengan hasil yang diinginkan.
Dirinya berputar balik.
Tepat saat itu mata kami bertemu.
Meski jarak memberikan ruang.
Tetap saja, nafasku terasa sesak.
"Wah, wah, tidak biasanya aku melihat ada orang lewat sini."
Pria itu berjalan mendekat, membuatku mengambil satu dua langkah ke belakang.
Dirinya sempat terdiam.
Tatapnya jatuh bukan di wajahku, tapi sesuatu disampingnya.
"Hey, bocah. Jalan malam sendirian? Kau tak takut diserang tiba-tiba seperti orang-orang ini?"
Kakinya menedang salah satu mayat yang digulingkan padaku.
Benar saja instingku.
Orang ini punya niat buruk dibalik kalimatnya.
Tapi tidak mungkin juga aku berputar balik, ini rute tercepat yang pernah kutau.
"M-maaf, aku salah jalan. P-permisi!"
Tegasku, segera saja berusaha melarikan diri dari pria itu.
Sampai dirinya berjalan kesamping, menghalang.
"Kau laki-laki yang menarik ya, sekali pandang saja, aku langsung menyukaimu."
Tangannya jatuh di pundakku, seraya kepalnya bergerak mendekat daun telingaku, berbisik.
"Keberatan bermain sebentar denganku?"
Rasa kesal melunjak di dadaku.
Sesegera mungkin kutepis menjauh.
"Menjauhlah!"
PYAS!
Sinar kebiruan muncul diantara aku dengannya, pula mendorong dirinya beberapa senti dariku.
Sebentar pria itu mengamati telapak tangannya.
Terbakar,
tapi bukan luka bakar biasa.
Seketika ujung bibirnya terangkat.
"Hee~ kau benar-benar spesial ternyata. Tak ada salahnya kita mengenal satu sama lain."
"Aku juga 'spesial', kau tau? Kau mau bukti?"
Aura gelap muncul dari balik tubuhnya.
Menimbulkan rasa panas menyengat di sekitar.
"Ngghh, uhuk! uhuk!"
Tubuhku mulai bereaksi, membungkuk senbari telapak mencengkram erat permukaan dada.
Sengatan panasnya begitu menyesakkan, seperti dia berusaha mencekikku tanpa harus menyentuhku saat itu.
"Bagaimana menurutmu? Apa perlu kupertegas agar kau mau menetap?"
Netraku menatap objeknya yang berdiri tak jauh.
Tepat kearah netranya yang mulai menyala dalam gelapnya lorong gang itu.
Gawat..
Kalau begini terus, aku—
"Uzui? Uzui! Kau dimana??"
Suara seseorang mengganggu konsetrasinya.
Bibirnya berdecih, sementara netranya melirik ke arah yang lain, di belakangku.
"Ya ampun, disana rupanya."
Tapak seseorang berjalan mendekat.
Yang mana mempertipis hawa misterius pria barusan.
Seorang yang muncul mengabaikanku begitu saja. Dirinya yang bersurai campuran kuning dan merah berdiri di depan pria itu.
"Kenapa kau datang sekarang, Kyojuro? Aku masih punya urusan ini!"
Pria itu tersenyum.
"Sudahi saja! Toh, mereka cuma komplotan kecil. Tidak terlalu berdampak juga dengan tempat kita."
Balasnya sambil melirik ke mayat-mayat yang tergeletak di sekitar.
"Tidak terlalu bukan berarti mereka tak mengganggu kesenanganku."
Ini kesempatan!
Aku bisa kabur selama mereka berdua berbincang.
Selagi kakiku bisa berlari, aku melesat menuju ujung gang itu sambil menahan nafas agar tak diketahui olehnya.
=================
Author's POV
Melihat seorang yang dikenalnya datang.
Uzui mau tak mau melepas konsentrasinya pada anak itu.
"Kenapa kau datang sekarang, Kyojuro? Aku masih punya urusan ini!"
Celetuknya kesal.
Pria bernama Kyojuro itu seperti tak memerdulikan sekitar.
Dua netranya terjatuh pada mayat-mayat disekitarnya.
"Sudahi saja! Toh, mereka cuma komplotan kecil. Tidak terlalu berdampak dengan tempat kita."
Apa yang dikatakan Kyojuro sama sekali tak membuat pria surai perak bernama Uzui itu merasa senang.
"Tidak terlalu bukan berarti mereka tak mengganggu kesenanganku."
Dirinya ingat jelas dimana komplotan yang kini terkapar benar-benar menghancurkan waktu berharganya—tapi bukan disini.
"Benar, itu memang benar! Oh ya, btw, pria yang tadi disini kabur kesana lho."
Baru juga sadar dengan sekitar.
Kyojuro menunjuk seorang anak yang sudah kabur lebih dulu, bahkan sudah berbelok setelah mencapai ujung gang.
"Eh?! Tck, ah, Kyojuro, dia santapanku malam ini."
Kyojuro menatap bingung.
"Lho, yang geletakan itu belum cukup untuk isi perutmu?"
"Cukup sih cukup, cuma..."
Dua netranya melihat kemana terakhir kali anak itu meninggalkan keberadaannya.
"Anak itu punya aura berbeda. Lebih dari cukup untukku sebulan lebih."
Kyojuro menatap kearah yang sama—ujung gang.
Kelopak matanya bergerak menutup, perlahan tanda kemerahan muncul di ujung matanya.
Hidungnya mengendus udara sekitar.
"Humu humu! Kau benar! Dia punya aroma yang enak. Lebih manis daripada ubi bakar!"
Uzui terkekeh.
"Kau ini taunya ubi bakar saja, udah kayak manusia sungguhan. Sesekali makan sesuatu yang nggak manusiawi lagi lah, tuan kitsune."
Kyojuro membuka kelopaknya, kepalanya menoleh pada Uzui.
"Hm? Apa ekorku sekarang terlihat?"
"Auranya saja. Kau mengaktifkan kemampuan melacak jauhmu, kan? Yang aktif saat malam berbulan datang."
Kyojuro melirik kearah langit malam.
Benar, malam ini berbulan, tapi bulan bungkuk.
"Purnama nanti aku akan berburu. Kau ikut, Uzui? Atau perlu kusebut juga ras milikmu?"
Uzui terkekeh lagi.
"Tidak perlu. Aku ingin main dulu di distrik merah."
Kyojuro memotongnya.
"Bermain? Kukira kau ingin bercumbu dengan 3 istrimu lagi."
Uzui membalas tanpa menoleh,
"Jelas, kan? Terlebih lagi, sembunyikan ekormu itu sebelum manusia lain kemari. Bisa repot kalau kita masuk daftar polisi nanti."
Kyojuro tertawa.
Tanda di mata dan ekornya mulai dihilangkan, kembali ke aura manusianya.
"Aku bantu angkut yang ini!"
Kyojuro langsung mengangkut dua mayat sekaligus di tangan kanannya.
"Ah ya, boleh, yang gemuk itu juga tolong ya."
"Serahkan saja padaku! Yang begini kalah enteng sama ubi bakar, HA HA HA!!"
Uzui hanya bisa membalas kawannya itu dengan tawa yang sama.
Lantas ereka berdua membopong korban-korban Uzui, berjalan menuju suatu dunia yang berkebalikan dengan dunia tempat manusia biasa berpijak.
===============
Sementara itu (y/n) di lain sisi.
Hampir saja dirinya tersandung anak tangga karena berlari terlalu cepat.
Kakinya terus bergerak, sampai lensanya menemukan pintu apartemen yang sudah menunggunya dalam diam.
"Cepat cepat cepat cepat."
Dengan penuh rasa panik, tangannya gemetar memasukkan kunci ke lubang pintu, membukanya dan segera masuk ke dalam.
Blam!
Suara pintu tertutup dengan kerasnya.
Tapi tak sekeras detak jantungnya saat ini.
Keringat dingin mengalir deras di pelipisnya.
Tarikan nafasnya tak juga tenang, malah terasa semakin sesak.
"Hampir... hampir saja."
Tubuh lemasnya terjatuh, syukurlah pintu masih bisa menjadi tempatnya bersandar.
Kali ini, sudah kedua kalinya dia tertampar setelah melanggar ucapan Jiji.
Untuk tidak keluar saat malam hari, terutama setelah melewati jam 9 malam.
"Malam hari benar-benar berbahaya."
Sejenak tarikan hembusan nafas keluar-masuk dari mulutnya.
Berusaha ditenangkan dirinya sebelum kembali bangkit dengan dua kaki.
Cahaya rembulan malam menyapa kakinya, yang tampak bersinar di balik jendela kaca ruang tengah.
Saat itulah manik milik (y/n) terjatuh padanya dimana tirainya masih terbuka.
Saat dirinya berjalan mendekat, berniat menutupnya, rembulan ditatapnya.
Lensanya bergerak menyipit.
"Besok bulan purnama."
Kepalanya menunduk
Semilir perkataan Jiji membisik di telinga.
Bulan purnama memang indah untuk dipandang, tapi tidak untuk kita.
Bagi kita, itu adalah awal mula dari bahaya.
Tutup semua akses masuk, tutup telinga dan mulutmu, tetaplah terjaga dan jangan banyak melakukan apapun selama bulan mengalami masa itu.
Tidak sampai mentari kembali bangkit dari ufuk timur.
Kalimat itu cukup membuat bulu kuduknya berdiri.
Segera saja ditutuonya tirai jendela itu, disembunyikannya cahaya rembulan di balik kainnya.
"Lebih baik aku segera tidur. Semoga saja pagi hari cepat datang."
Gumamnya, sambil bergegas, bersiap tidur di kamarnya yang cukup untuk seorang saja.
Sebentar dirinya menangkap suatu objek yang tak sengaja ditinggalnya hari ini.
Sebuah gelang suci.
Tangannya meraih objek itu, diperhatikannya gelang kecil yang memiliki rangkaian simpel di bagian tengahnya.
Sebuah lonceng juga disematkannya disana, sebagai bentuk perlindungan dari Jiji yang telah diberikan.
"Kalau saja aku membawanya. Pasti aku tak bertemu dengan orang tadi."
Kepalanya seketika merasa pusing.
Mengingat kekuatan aneh dari pria itu benar-benar menguras energi tubuh ataupun pikirannya.
Secercah pertanyaan sempat muncul di benaknya.
Pria tadi..
Sebenarnya siapa dia?
Terus meliputi, menghantui kepalanya.
Yang membuat dadanya terkuasai awan gelap rasa tak nyaman.
Sebuah ponsel muncul di pikirannya
"Jiji masih bangun nggak ya?"
Tangannya meraih ponsel dalam saku, secepat mungkin mengetik nomer yang begitu dia ingat.
Tuut..
Tuut...
Clack!
Terangkat.
"Halo? Jiji, ini (y/n kau masih bangun?"
Tanyanya penuh rasa riang sembari menumpahkan kerinduan dalam hatinya.
Namun Jiji tak menjawab seperti tebakannya.
"(Y/n)!! Kau melanggar aturan lagi?"
Tersentak dirinya.
"M-maaf—tapi, bagaimana Jiji bisa tau?"
"Aku merasakan sesuatu yang tidak enak sejak tadi. Dan seperti terhubung denganmu."
"(Y/n), kau tak mungkin menelfonku hanya karena rindu."
Hembus nafas keluar dari bibir (y/n).
Jiji-nya memang selalu menebak benar setiap hal yang belum sempat dia katakan.
"...ya, aku mengalami sesuatu tadi."
"Sesuatu?"
(Y/n) berdehem.
"Setiap aku mengingatnya, dadaku sesak. Tapi setiap aku berusaha melupakannya, pikiranku terus terarah padanya."
Jiji terdiam beberapa saat.
"Bisa kau lebih jelaskan? Tak perlu terburu-buru, aku akan mendengarmu. Ambil nafasmu dan katakan saja."
(Y/n) menarik nafasnya.
Menenangkan pikirannya sebelum akhirnya dia menceritakan peristiwa tak mengenakkan yang menimpa dirinya.
Dua orang asing yang muncul di jalan kecil itu.
Tatap yang terus mengincar lehernya.
Aura gelap menyesakkan dada.
Pemandangan berdarah yang tak biasa dia temukan, tapi familiar di matanya.
Semua itu diucapnya pada Jiji.
Sekali lagi Jiji bungkam.
Hingga akhirnya dia memutuskan satu hal.
"Besok kau libur, bukan? Pergilah ke desa. Aku akan menemuimu di rumah."
"Untuk sekarang tidurlah. Aku mengerti perasaanmu sedang tidak baik-baik saja saat ini."
(Y/n) mengangguk.
"Selamat malam, Jiji."
Pip!
Hubungan ponsel itu diputusnya.
Bersamaan dengan hembus nafasnya sekali lagi.
"Desa, ya."
Kelopaknya terkatup sejenak.
Dibayangkannya pepohonan rindang yang akan menyapanya.
Pemandangan desa yang masih asri.
Juga salam hangat yang dilontarkan dari penduduk desa sesampainya dia disana.
Secarik senyuman timbul di bibirnya.
"Hm, sepertinya aku benar-benar merindukannya."
Detak jantung berangsur-angsur berdegub tenang, kembali ke lonjakan yang seharusnya.
Malam itu, (y/n) kembali ke ranjangnya dengan tenang.
Dalam benak, masalah itu akan segera selesai bila Jiji mau membantunya.
Setidaknya, itu yang dia percaya.
=================
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro