
Chapter 16
Setelah menenangkan keluarga Kitsune Api, aku dan Giyuu berjalan kembali ke kuil.
Dengan tangan kosong tanpa sedikit pun informasi tentang Uzui.
"Terlalu awal untuk putus semangat, (y/n)." ucap Giyuu.
"Aku tau, tapi kalau begini terus bagaimana aku bisa memahaminya? Dia seorang juga yang secara resmi adalah pendampingku. Dimananya hubungan harmonis kita?" balasku membuat Giyuu beraut muram denganku.
Kami berdua terjebak dalam diam sembari ditemani gemerisik pohon maupun kicauan makhluk terbang yang hinggap di dahannya.
Hingga suara desis perlahan terdengar jelas mengikuti.
Giyuu menyadarinya, dia berhenti dan mulai menebar pandangnya.
Suara itu semakin mendekat dan mendekat, membuat kewaspadaannya semakin tajam.
Sampai sesuatu yang panjang, ramping dan kecil muncul dari sana-seekor ular. Makhluk itu menjulurkan lidahnya.
'Teman?'
Alisku terangkat, "Teman?"
Ular kecil itu menatapku begitu antusias. Dia mendekatiku tanpa ada niatan untuk menyerang.
"Hati-hati, (y/n). Ular adalah makhluk paling licik di dunia Yokai." ucap Giyuu.
Tetapi, sekilas kulihat, ular ini seakan sama sekali tak berbahaya.
Aku berjongkok, dia melingkar di tanganku, mengistirahatkan ujung kepalanya, seperti berada di tempat paling nyaman untuknya.
'Kanroji.'
"Kanroji?" Lagi-lagi aku dibuat bingung dengan ucapannya yang hanya sekata dua kata.
"Kau berbicara dengannya?" Giyuu melihatku dengan bingung.
"Apa kau tak mendengarnya, Giyuu?"
"Mendengar desisnya?"
Aneh, kenapa hanya aku saja yang bisa mendengarnya?
Kalau dilihat dari fisik ular ini... seperti aku pernah mengenalnya.
"Kau milik Obanai, bukan?"
Ular itu kembali berdesis. Dia melata semakin dekat-semakin Giyuu berniat menyingkirkannya pergi, tapi kutahan.
Netranya tajam menatapku.
'Kanroji, kau tak tau tentang Kitsune Api Hitam, kan?'
Bagaimana dia bisa tau?!
'Aku mengamatimu. Pagi hingga pagi lagi. Dari balik hutan bambu. Kau tampak bingung. Tampak sedih setiap hari. Karena memikirkannya selalu.'
Aku tak bisa menyalahkan apa yang dia katakan. Semuanya... benar.
Setiap sela hari, aku memikirkan Uzui, kenapa dia masih menjauhiku.
Apa masih karena hari itu dia salah telah menggigitku?
Atau sesuatu yang istrinya katakan hari itu?
Ular putih ini seakan mampu membaca pikiranku. Dia turun dari tanganku. Menjatuhkan diri. Dan melata menuju suatu arah.
'Ikuti aku, Kanroji.'
Aku masih tak mengerti kenapa dia memanggilku Kanroji.
Siapa Kanroji?
Giyuu hendak menghentikanku, tapi dia memilih diam dan mengikutiku.
================
Suatu tempat tersembunyi di dalam hutan.
Pemandangan berubah, hawanya begitu aneh-apa ini domain?
Sebuah pohon, sepertinya bonsai, tumbuh besar di tengahnya, bersiramkan cahaya bulan dari ujung tebingnya.
Seakan bersinar seorang diri disana.
Tempat ini begitu damai.
Siapa yang memiliki tempat ini?
Ular kecil memimpin di depan. Melata memanjat batang pohon. Hingga suatu sosok yang entah-sejak-kapan terduduk disana di sapanya.
'Obanai-sama! Aku membawa Kanroji kembali! Apa kau akan sembuh?'
Obanai?
Sosok bersurai hitam yang memunggungi itu menoleh pada kawan kecilnya.
"Jangan bercanda. Kanroji sudah meninggal puluhan tahun lalu. Mana mungkin dia masih disini.", desisnya seperti menahan rintih.
'Tapi aku menemukannya! Lihatlah ke belakang!'
Obanai berputar. Dia tak percaya, entah dengan ucapan ular kecil itu atau juga keberadaanku juga Giyuu.
"Kalian-" kejutnya.
"A-ah! Obanai, lama tak berjumpa." jawabku begitu santai tanpa begitu memerdulikan luka di sekitar bibirnya-dia memutar balik.
"Siapa yang kau bawa?!" Desisnya lagi pada ular kecil.
'K-k-kanroji, Obanai-sama.'
"Dia bukan Kanroji! Anak itu-ghh!"
Obanai mencengkram dahinya.
Seketika domain itu bergetar.
Berbagai makhluk melata bergerak begitu deras diatas tanah, berlomba-lomba kearahnya.
Ular-ular kecil itu menyatu, menyatu, membentuk raga raksasanya.
KHIAAAKK!!
Jeritannya menggema kencang. Dia menjatuhkan kepalanya padaku.
BLAARRRR!!
Yang menabrak permukaan tanah yang keras.
"Giyuu?!"
Giyuu membawaku pergi dengan lompatan tinggi.
Ular itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia kini menyasar pada udara-tempatku dan Giyuu masih melayang.
Giyuu mengumpulkan sihir air di tangannya.
Tembakan arus air menabrak mulut terbuka ular itu.
Tap! Dia mendaratkanku dengan selamat.
Tapi ular itu masih mengejar.
Giyuu menggunakan kembali serangan airnya yang berbentuk garis pembelah pada mata ular itu.
KIAAAKK!! Ular itu menjerit.
"Jaga dirimu, (y/n)!"
Giyuu merubah dirinya menjadi raga naga air. Terbang kearah musuhnya, berbalas teriakan.
Keduanya bergelut dalam raga yang nyaris sama, hanya berbeda salah satunya berkaki saja.
Giyuu menyerang secara menukik dari arah langit. Menjatuhkan diri dalam bentuk air bak air terjun deras. Menciptakan kubangan air dimanapun, bahkan cipratan besarnya membasahiku.
Ular itu tak kenapa-kenapa, dia malah semakin mudah bergerak dengan licinnya.
Keduanya saling melilit di tanah bumi-beradu siapa yang mampu mencekik musuhnya lebih kuat.
Giyuu mengencangkan lilitannya bersama cakaran kuku tajamnya. Ular itu kembali menjerit, tapi dia menggigitkan gigi tajam berbisanya pada leher Giyuu.
GROAAARR!! Giyuu merintih kesakitan.
Lilitannya semakin kuat, semakin tajam kukunya menusuk dalam.
Ular itu membuka mulutnya. Menandakan dia lebih kesakitan.
Mengira semua telah berakhir-ular raksasa itu malah memecah dirinya menjadi ular-ular kecil. Mereka melompat ke tubuh Giyuu dan menancapkan tiap taring berbisa mereka.
GROAARR!! Sekali lagi Giyuu mengerang. Lilitannya melemah. Raga naganya jatuh dalam lilitan ular itu.
"Giyuu!!"
Tidak, aku tak bisa diam disini!
Kurogoh kertas sisa dan kuas hitam di saku. Namun dua dari tiga kertas itu sepenuhnya basah, hanya bersisa satu kertas dengan setengah bagian yang kering.
"Jangan... mendekat.. (y/n). Pergi... Cepat."
Lensaku menegang mendengarnya.
"Mana mungkin!" geramku.
Tapi yang dikatakannya ada benarnya.
Ular-ular lainnya sedang berjalan kearahku dalam jumlah banyak. Mereka semua jelas berbisa.
Lalu bagaimana dengan Giyuu?
Aku membiarkannya mati disini?
Apa harus kupanggil Uzui? Tapi dia-
Cpyak!
Kakiku menginjak tanah berair.
Kudapati hal yang sama-ular itu berenang dalam genangan yang dibuat Giyuu.
"Itu dia!"
Kertas terakhir kusobek menjadi dua. Hanya bagian kering yang kugunakan. Kuletakkan di tepi genangan itu.
"(凍) beku!"
Kratak! Kratak! Kratak!
Genangan membeku menjadi es mengkilap. Berhasil memenjara ular-ular putih disana.
Lantas aku masih memikirkan Giyuu, dia berada disana, menderita dalam gigitan ular raksasa.
Pasti ada yang bisa kulakukan selain kertas sihir!
"Ggghh..."
Suara rintih terdengar tak jauh. Dia masih memegang dahinya. Melawan sakit disana.
"Obanai. Obanai!"
Dia tak menghiraukanku meski kuayun pundaknya. Tangannya masih menutupi dahi.
"Per..gggh..iii.."
Dia melepas tangan dari dahinya. Menampakkan padaku suatu luka yang terbakar hitam melintang di dahi hingga ujung dua matanya.
Tatapnya bertemu denganku.
"!!!"
=================
Hutan yang indah.
Aku melihat banyak sekali tumbuhan berbunga tengah mekar disini.
Seserpih demi seserpih kelopaknya tertiup angin, mengudara bersama aroma penuh warna.
Seorang wanita tersenyum begitu manis, terduduk di suatu kuil.
Dengan yukata yang tampak berbeda, berkain ganda, melambangkan posisi tingginya.
Surainya merah muda,
mirip sekali dengan sakuramochi yang dilahapnya.
"Kanroji-sama." ucap seorang.
Dia menoleh padaku.
"Mou... Obanai, sudah kubilang, kan sebelumnya? Kita bukan Pendamping dan Tuan lagi." Pipinya menggembung.
Tanganku bergerak sendiri, mengusap tengkuk leher.
Wanita ini kembali tersenyum. Dengan teropah merahnya, dia berjalan mendekat, meraih wajah ini.
"Obanai." Panggilnya, menjadi alasan jantung ini terpicu.
Suaranya melembut. Kecupan terasa jatuh di antara dua mata Obanai.
Lantas dirinya berubah menjadi bayangan gelap berdarah.
Kanroji... mati di depan matanya.
Pelaku yang membunuhnya berhasil merobek dadanya. Menarik jantungnya dengan kuku begitu tajam berapi hitam.
"Kau bodoh, Obanai." katanya.
"Jatuh cinta pada Dewi Kehidupan, hanya akan menambah luka."
Dia menghanguskan jantung Kanroji menjadi abu.
Obanai jatuh terduduk, hendak meraih abu jantung yang tak sempat mencapai pasir tanah taman itu.
"Kan... roji..."
Bayangan ini lantas mendekati tubuh Kanroji yang tampak tragis. Air matanya menitik. Hatinya meretak pedih.
"Ughh... a-apa yang-a-apa yang terjadi?"
Dia terus mengusap dahinya. Menggaruknya untuk menghilanhkannya.
Tetapi rasa terbakar itu semakin meradang, melebar dan membekas.
"HAAAAARRRGGGHHHH!!!!"
=================
Putaran memorinya-terasa cepat sekali.
Obanai.. Kanroji...
Sekarang aku mengerti.
"Obanai, tahan ini sebentar. Aku akan membantumu."
Lengan yukata kucincing. Tarikan nafas kutenangkan. Sebelum garis pembatas kubentangkan.
"Batas!"
Garis sihir mengunci Obanai di dalamnya. Sebelum cahaya menghantamnya untuk menarik luka itu dari dahinya. Dia meronta kesakitan, menggaruk dinding pembatas, perban di mulutnya hancur.
"HAAAARRGGHH!!! KEMBALIKAN KANROJI, UZUI!!! UZUIII!!!"
U-uzui?
Apa yang dia-
Krak! "Argh!"
Dinding pembatas-retak?
Tanganku... perih...
"Bertahan-Obanai-sedikit-lagi!"
Tangan kiriku mencengkram sebelahnya yang bekerja menahan garis batas.
KYAAAKKK!!! Ular raksasa itu ikut menjerit. Akhirnya dia melepaskan tubuh lemas Giyuu-dan menggeliat meronta kesakitan.
Aura hitam terangkat keluar dari kulitnya. Sebelum akhirnya jatuh tak berkutik.
Zuuuung...
Garis batas memudar. Menyisakan Obanai yang terhuyung, jatuh, dan kutangkap dalam dekapku.
"Kau sudah berjuang keras menahannya." bisikku.
Dia melirikku lemah, "Kau..."
Senyum tipis kuangkat. Kepalanya kuusap lembut, mengusir deritanya pergi. Kukecup ujung surainya, sementara dia terbenam di leherku.
Maniknya melirik. Tangannya meraih pundakku mendekat.
Krk.
"Hngrh!"
Taring tajamnya mendarat disamping tanda Uzui-tanda dari Obanai membentuk di pundakku. Berwarna kuning kebiruan.
"Aku. Dan segala hidupku." Dia menatap padaku. Lantas tersenyum dengan bibirnya yang begitu lebar garisnya, "Akan selalu ada, untuk Dewi Kehidupan."
Netraku berdecak. Seakan dia mengatakan itu seperti halnya pada Kanroji-sang Dewi Kehidupan.
Ingin kudalami netra warna bedanya itu lebih lama. Tapi-
"Giyuu.. Giyuu!"
Ku menoleh, mendapatinya sudah kembali dalam raga manusianya. Terkapar di sebelah tubuh Ular Raksasa.
Dekapan pada Obanai kulepas. Berlari padanya. Nyaris terpeleset karena lantai es kubuat sendiri-kalau saja Obanai tak menangkapku.
"Perhatikan langkahmu, Ikki-sama." ucapnya. Membuatku terkejut untuk sesaat.
Dia membimbingku menuju tempat Giyuu berada.
Tubuhnya berakarkan otot kulitnya yang hitam. Dia tak bernafas.
"Bertahan, Giyuu!" Kukerahkan ajaran teknik penyembuh yang selama ini kulatih.
Fokus, fokus!
Aku tak boleh kehilangan Giyuu.
Aku harus menyelamatkannya.
Obanai hanya terdiam. Dia berjongkok disampingku yang tengah fokus mengerahkan penyembuhan.
"Dia akan mati."
"Huh?!"
"Kalau dia bukan Pendamping-mu."
"...Apa maksudmu, Obanai?"
Fokusku menghilang. Obanai menatap Giyuu yang tak berkutik.
"Racun Yokai ular terkenal karena efek mematikannya. Beberapa sudah memiliki obat untuk menanganinya, tapi milikku-belum seorang pun mampu menemukannya. Kecuali satu."
Dia menunjuk padaku.
"Manusia akan dengan cepat sembuh, tapi racunku bereaksi berbeda pada sesama Yokai."
"Tubuhmu, darahmu, memiliki energi besar dari kehidupan. Darahmu hanya akan menahannya, dia harus mengkonsumsinya terus menerus untuk bertahan hidup. Sementara menjadi Pendamping, akan menghancurkan racun itu sepenuhnya."
Sekali lagi aku kembali menatap Giyuu. Dia sudah tak bernafas, ini benar-seperti efek bisa ular yang dikatakan ensiklopedia.
Aku harus cepat, segera, sebelum semua terlambat.
"Bagaimana aku memberinya darahku?"
Aku tak membawa benda tajam. Kalau menggigit tangan sendiri juga-belum sampai berdarah, aku sudah nyeri duluan.
"Tanganmu. Berikan aku tanganmu."
"Eh? Oh... ini."
Obanai mengamati pergelanganku sejenak. Ibu jarinya meraba, mencari suatu titik.
"Disana." ucapnya.
"Disana ap-khh!"
Dua gigi tajamnya menusuk kulitku cukup dalam-bisa kurasakan melukai pembuluh darahku.
Kemudian dia menarik tanganku mendekati mulut Giyuu yang dibuatnya terbuka.
Aliran darah jatuh ke mulut Giyuu.
Sejenak sunyi, sebelum Giyuu akhirnya merespon, membuka matanya perlahan.
"Giyuu? Giyuu, syukurlah! Syukurlah.."
Air mata hangatku tak mampu kubendung.
Giyuu pelan terbangun, dia menyadari mulutnya baru saja mengonsumsi sesuatu.
"(Y/n), kau-!!!"
Tapi Giyuu tetaplah Giyuu.
Seperti kakakku sendiri, dia melindungiku dari apapun yang dianggapnya bahaya.
"Hey, tenangkan dirimu, Giyuu. Aku hanya membantu. Anak itu bisa saja membiarkanmu mati jika tak kuberitau. Kau berhutang padaku."
Giyuu masih tak menurunkan kewaspadaannya. Dia menoleh padaku, mendapati luka segar di tanganku.
"Maaf. (Y/n).." Tatapnya melemah, merasa bersalah.
Aku menggeleng, "Selama kau selamat, ini bukan apa-apa. Daripada harus kehilanganmu."
Giyuu tersenyum tipis, dia meraih tanganku.
"Ini agak perih, tahan sebentar, ya?"
Aku mengangguk. Dia memanggil aliran air yang membalut luka segar itu.
"Aku tak ingin kau terinfeksi." lanjutnya.
Obanai merasa tersinggung, "Aku tau kapan harus menggunakan racun dan tidaknya."
Aku hanya meringis, antara nyeri dan geli akan mereka berdua ini.
"Oh ya, Giyuu."
"Hm?" Dia mengangkat wajahnya.
Sejenak ku terdiam, sebelum kulontarkan, "Maukah kau... jadi.. p-pendampingku?"
Jantungku berdegub agak kencang. Bahkan wajah kubuang saat mengatakan itu padanya.
"A-aku?" dia juga salah tingkah.
Kepalaku mengangguk gugup, "Seperti yang Obanai bilang-aku tak ingin hal buruk itu terjadi padamu."
Aku sungguh menyayangi Giyuu.
Selain kakek, dialah sosok yang selalu ada disampingku.
Saat sehat maupun sakit, dia ada disana.
Bahkan saat malam kembang api itu-kalau bukan karena dia yang juga kesana, memilih menetap denganku, mungkin kejadian mengerikan malam itu tak kan terjadi. Kakek juga tak akan memarahiku.
"Jadi.." Kata-kataku terpenggal saat Obanai menghela, "Astaga, ini bukan pernikahan! Apa kalian ingin mengikat janji suci sampai sebegininya?"
Wajahku mengepul asap putih. Sementara Giyuu menjatuhkan tatap tajamnya pada Obanai.
"(Y/n), dengar." Dia menepuk pundakku, "Pendamping dan tuan bukanlah hubungan yang mudah. Ada aturan yang menjerat di dalamnya."
Kepalanya kini menunduk, "Aku juga sudah pernah mencelakaimu di masalalu. Apa kau yakin aku tak akan mengulanginya nanti?"
Caranya memandangku...
Dia sungguh-sungguh menyesalinya. Sampai takut hal itu kembali menimpaku.
Kepalaku mengangguk, "Aku percaya padamu, Giyuu. Kita sudah bersama sedari dulu. Aku sudah memaafkanmu. Makanya-makanya jadilah Pendamping-ku. Aku tak ingin kau pergi!"
Netra Giyuu melebar. Dia menoleh pada Obanai yang memberikan punggung.
Giyuu mengangguk, "Baiklah, tapi, tidak disini."
Aku memahami maksudnya, makanya anggukan jadi jawaban.
Luka di tanganku mulai tertutup dengan magis airnya. Terasa lebih baik.
"Oh ya, Obanai." Obanai menoleh padaku, "Kau berhubungan dengan Dewi Kehidupan bernama Kanroji, bukan?"
Obanai membuang wajahnya, "Itu bukan urusanmu."
"Apa yang Uzui lakukan disana?"
Kini pertanyaanku menarik perhatiannya.
"Dia." Jawab Obanai. Termenung, kemudian melihatku lagi.
"Kau sungguh ingin mengetahuinya?" tanya dia. Aku mengangguk mantap. Tatapnya jatuh kebawah bersama tarikan nafas singkat.
"Baiklah. Akan kuceritakan padamu."
==============
To be continued...
Hwallow, reader-san tachii!! > <)/
Terima kasih banyak sudah menunggu update-an thor di ff satu ini
Sebelumnya maaf, karena Reader-san disini uke, jadinya author menggunakan panggilan (y/n) karena terkesan 'feminim'
Maaf ya, nggak bisa pakai (m/n) (ㅅ^^;)
Selanjutnya, di chapter 16!
Siapa Uzui sebenarnya?
Kenapa dia muncul di memori Obanai dan Kanroji sebagai makhluk bengis?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro