Chapter 14
"Maaf menunggu lama~"
"Hinatsuru, kau letakkan sushinya diatas sana. Oi, Suma! Siapa yang suruh makan dulu?!"
"Agshag—hichip hikid." (cicip dikit)
Malam ini, tidak biasanya rumah Jiji terdengar begitu ramai.
Setelah tiga istri Uzui terbangun dari tidurnya, mereka berterimakasih padaku. Bahkan aku tak menduga mereka jauh lebih baik daripada suaminya.
Mereka membuat makan malam sudah seperti ingin menggelar pesta. Berbagai makanan, minuman, sake, seakan semua itu mudah sekali mereka dapatkan. Entah darimana.
Jiji dan Giyuu hanya menatap dari pinggir melihat keributan tak biasa itu.
Ah ya, aku juga sudah menjelaskan padanya kalau Giyuu—seorang jelmaan naga air.
Berbeda reaksi dengan bagaimana dia menghadapi Uzui, Jiji justru bilang..
'Begitu ya nak Giyuu. Baiklah, aku serahkan keselamatan cucuku padamu.'
Dengan begitu mudahnya.
Grrkk..
"Maaf menunggu lama."
Suara dua orang terdengar dari arah pintu geser.
"Mui. Yui. Kalian datang juga—uwaah!"
Bruk! "Ikki-sama!!"
Keduanya langsung menabrakku dalam peluk mereka.
"Ikki-sama, apa iblis bajingan itu melukaimu?!"
"Mui dengar. Oni hitam itu. Membakar. Ikki-sama."
"AKU NGGAK MBAKAR DIA!! SALAHKAN NAGA BIRU DISAMPINGMU ITU YANG MAU MBAWA BANJIR."
Yui dan Mui bersamaan melihat kearah Giyuu. Merek berkedip-kedip melihat raga manusia Giyuu.
"Ikki-sama, oni ini mulai mengfitnah Tomioka-san. Dia pasti berniat menjauhkanmu dan memakanmu hidup-hidup."
"Hm. Hm!"
Uzui semakin berdecak kesal. Keringatku mengalir di pelipis. Giyuu yang menganggap dia tak melihat apapun saat ini.
Dua orang ini salah paham..
"Uwaaahh~ jadi ini pendamping Ikki-san yang sekarang?"
Seorang wanita bernama Suma mendekati dua anak jiwa yang mulai terkejut dengan kemunculannya.
"Mereka manis sekali." balas Hinatsuru melihat mereka juga.
"Hee, umur berapa kalian?" ucap Makio.
"Sini peyuuuukk!!~~"
Suma memeluk dua anak jiwa itu dariku. Dimana dua orang itu sesak dan bersamaan berkata, "O-o-o-o-oppai?!"
Uzui tak kuasa lagi, dia bangkit dari tempatnya terduduk, dua anak itu ditariknya paksa.
"Oi, kalian cari macam-macam denganku, huh? Istri siapa yang kalian sentuh itu?"
Api hitam mulai muncul dipunggungnya.
Dua jiwa itu memeberontak berusaha lepas dari genggamnya.
"T-tengen-sama, jangan membawa mereka seperti itu. Mereka masih kecil." ucapan Hinatsuru dibalas anggukan Suma, "Benar, benar. Lagipula mereka juga lembut lembut empuk~ tidak bisa kita bawa mereka pulang bersama kita?"
"GAK!" Uzui dan Yui membalas bersamaan.
Sementara aku hanya bisa tertawa miring melihat segala keributan ini.
"Ehem! Jadi." sela Jiji "Makan malamnya?" Dia melirik kearah satu meja penuh berisi berbagai macam hidangan dan minuman yang nyaris terlupakan.
Tiga istri Uzui saling bertatap dan tersenyum.
"Silahkan disantap!~"
"Ini masakan khusus buatan kami!"
"Maksudmu masakan Hinatsuru, Suma?"
"Manusia boleh makan, jadi santai saja. Silahkan, tidak perlu malu." Hinatsuru yang paling hangat diantara yang lainnya mempersilahkan Giyuu dan Jiji untuk menyantap makan malam buatannya.
"Selamat makan!"
Kami semua melahap hidangan-hidangan yang ada.
"Ini enak!" Sahutku, terbalaskan senyum milik Makio.
"Masih ada banyak lho, Ikki-san. Apalagi di dunia lain—beuh! Asal Suma tidak makan semuanya saja."
Suma dengan mulut penuh menoleh pada Makio, "Haguh ghak hakus!" (Aku nggak rakus!).
Dua diantara tertawa denganku.
Nuansa makan malam terasa lebih hangat meski agak berisik.
Jiji bahkan menikmati suasana itu, meski dirinya sering mengalihkan wajah atau memejam mata saat istri-istri Uzui berada di dekatnya. Kenapa dia begitu?
Sementara Giyuu, daritadi dia lebih memilih makan di pojok, mengabaikan segalanya. Bahkan nyaris semua orang menganggapnya tiada—terkecuali aku yang ingin mendekatinya kalau saja Makio tak berhenti memberikan lauk-pauk tambahan ke wadahku.
Yui dan Mui sempat berbincang-bincang juga dengan mereka. Sepertinya mereka lebih nyaman bersama Hinatsuru ataupun Suma.
Lain lagi dengan Uzui, pria itu.
"Apa lihat-lihat, calon dewi?"
Setiap aku menjatuhkan pandang, dia selalu berkata begitu.
"Nggak, nggak ada apa-apa."
Kembali lagi aku fokus melahap makananku yang baru-kutinggal-sebentar-sudah-segunung.
"Makan yang banyak, Ikki-san. Kau tidak bisa tumbuh jadi penerus hebat kalau makanmu cuma segitu!"
"I-ini sudah kebanyakan, Makio-san. Tadi aku sudah tambah—"
"Yang ini juga kau coba."
"U-uwaahh! Sudah, sudah!"
Dia semakin menambahkan banyak hal. Kembali lagi aku melihat kearah Uzui.
'Mampus', satu kata yang bisa kuartikan dari dengus tawa tawanya sebelum meneguk seceper sake lagi dari tangannya.
Syukur saja tubuhku tak sekekar dirinya. Bisa putus nanti sumpit yang kugenggam.
"Hai'~ semuanya sudah menyelesaikan makan malamnya. Kami harap makanan dari kami bisa mengeyangkan rasa lapar kalian." Hinatsuru kembali membungkuk padaku, "Sekali lagi terima kasih sudah menolong kami, Ikki-san."
Aku tersenyum, "Tidak, tidak, itu bukan apa-apa, selama kalian baik-baik saja. Kalau bukan karena Uzui juga, aku tak tau harus melakukan apa."
Hinatsuru mengedip-ngedipkan matanya, kemudian melihat kearah Uzui yang tiba-tiba mengalihkan wajahnya.
"Hee?! Tengen-sama udah baikan?!" pekik Suma yang suaranya sudah jelas memecahkan gendang telinga.
"Diamlah, Suma. Kau salah paham. Aku hanya memberi clue saja dengan pemula itu."
"Tapi Tengen-sama, kau melakukannya kan?"
"Bukan yang itu."
Huh? Baikan? Itu?
Apa maksud mereka?
Kembali lagi aku melihat Hinatsuru yang menampakkan senyum miringnya.
"Maaf ya, Ikki-san. Tengen-sama pasti banyak memberatkanmu. Kalau boleh, apa aku bisa mewakilkan permohonan maafnya?"
Oh, astaga.
Kenapa wanita seperti ini mau bersama lelaki kurang ajar seperti Uzui?
Kayak nggak ada yang lain.
"Ah, santai saja, Hinatsuru-san. M-mungkin kami belum dekat saja. Jadi untuk sementara ini.."
Aku dan Uzui saling beradu tatap.
"Yah.. mungkin kumaafkan."
"Syukurlah kalau begitu. Aku tak bisa cukup menyatakan terima kasih untukmu." ucap Hinatsuru begitu lembut.
Acara makan malam usai sampai sana.
Tiga istri Uzui yang menawarkan diri akan merapikan semua.
Tinggallah aku yang berjalan menyusuri lorong seorang diri, bergerak keluar rumah, hendak menuju suatu tempat.
"(Y/n)."
Tatapku berputar kebelakang.
"Giyuu, ada apa?"
Dia berjalan mendekatiku "Kau ingin berjalan-jalan malam-malam begini?"
Seketika aku tersadar "M-maaf, aku lupa."
Giyuu menatapku agak lama "Biar kutemani."
"Huh?" Saat aku kembali melihatnya, Giyuu sudah kembali dengan senyumnya sedia kala.
Setidaknya kejadian malam kemarin tidak mengedurkan dirinya sepenuhnya.
Kami berjalan melewati jalan desa, menuju daratan agak tinggi yang menghadap kearah pertanian-perkebunan.
"Kau selalu kemari setiap merasa jenuh. Dan gunung saat kau ingin tau."
Jawabnya kubalas dengus tawa, "Kau selalu yang menemukanku lebih dulu, Giyuu. Kecuali malam itu, saat seekor yokai menyerangku."
Giyuu membungkam bibirnya, tangannya dilipat, "Itu juga bagian dari rencanaku."
Tatapku melihatnya yang mengarah pada pemandangan perkebunan malam hari.
"Aku sengaja menyuruh anak-anak desa merayumu untuk keluar malam itu. Aku sudah menyiapkan umpan agar yokai itu mengetahui posisimu saat itu."
"Pikirku, jika kau mati saat itu, aku bisa memiliki bagian tubuhmu untuk pengorbanan itu. Tidak sampai Jiji datang untukmu, aku melupakannya."
"Maka dari itu aku bilang untuk menjauhiku, bukan? Bagaimana jika aku kembali berniat mencelakaimu?"
"Giyuu.." aku baru menyadari dirinya sudah melakukan banyak hal untuk mendapatkanku demi membangkitkan kawannya "Maaf."
Giyuu menoleh padaku, "Kenapa kau yang memintamaaf?"
Wajahku menatap kebawah, "Apa kau ingat perkataan Uzui? Dewi kehidupan tak mampu membangkitkan raganya. Sekeras apapun kau merubahnya, aku tak yakin tubuhku tak akan membantu. Makanya aku memintamaaf padamu."
Giyuu tertegun, "Tidak, kau tidak melakukan kesalahan, aku yang melakukannya." Dia mendekatiku, tangannya mengusap pipiku sembari senyumnya perlahan muncul.
"Tersenyumlah. Aku lebih suka dirimu yang tersenyum. Anggaplah semua yang lalu sudah berlalu. Yang tak bisa, biarlah begitu, aku hanya perlu belajar merelakannya."
Senyumku perlahan tumbuh. Dirinya benar-benar kembali.
Tangannya yang mengusap pipiku, kutangkap, kudalamkan wajahku kesana.
Kami berakhir duduk bersampingan sambil menikmati angin sepoi juga pemandangan langit malam.
Meski dunia terasa damai, dalam hati, aku tak merasakannya. Ada yang mengganjal.
"(Y/n), kau baik-baik saja?"
Dan sudah kuduga, cepat lambat dia akan mengetahuinya.
"Aku masih bingung dengannya."
"Dengannya? Uzui?"
"Hm. Banyak hal yang tak kuketahui tentangnya. Bahkan yang dikatakan Suma tadi, masih jadi pertanyaan untukku."
"Kenapa tidak tanyakan saja padanya?"
Hela nafas lelah terlepas dariku "Pasti dia menolak, seperti buku yang tertutup, menatapku seolah dia tak ingin melihatku."
"Dan justru orang seperti itu menjadi pendampingmu—karena satu kecelakaan." ucapan Giyuu tak mampu kubalas anggukan.
Tanda samar di leherku kuusap.
Kenapa aku harus terikat dengannya?
Giyuu kembali terdiam, lebih tepatnya kami terjebak dalam senyap.
"Bagaimana dengan kitsune api hari itu?"
"Kitsune api, maksudmu Rengoku-san?"
Giyuu mengangguk, "Sekilas aku melihatnya memiliki hubungan erat dengan Uzui. Mungkin kau bisa bertanya padanya."
Netraku mengkilap, mungkin dia jawabannya!
Tapi harapanku langsung pupus begitu saja.
"Tapi bagaimana menemukannya?"
Giyuu menjatuhkan pandangnya pada ladang ubi manis yang terbaris rapi "Mudah."
================
Besoknya Giyuu dan aku meminta ubi manis lagi pada paman. Paman senang sekali melihatku memintanya lagi padanya. Berita buruknya, dia memberikan kami satu karung nyaris lebih.
Aku dan Giyuu memilih bagian depan kuil untuk menjadi tempat memasaknya.
Dia mengumpulkan daun sementara aku membersihkan ubi.
Klatak! Klatak!
Percikan api mulai terlihat. Aku dan Giyuu tersenyum bersama.
"Sekarang, tinggal tunggu dia saja." ucapnya.
Teras kuil tempat kami menunggu sampai bakaran itu menimbulkan aroma manis semerbak.
Namun, keberadaan Rengoku tak juga muncul.
"Aneh sekali, biasanya dia sudah ada disini." gumamku.
Giyuu melirik kesana-kemari, "Mungkin sebentar lagi."
Kami menunggu lagi, sampai matahari sudah di titik tertinggi.
Tenggorokanku sampai kering menunggunya terlalu lama.
"Akan kuambilkan air untukmu. Kau tunggulah disini, (y/n)."
"Hm! Terima kasih, Giyuu."
Giyuu beranjak pergi meninggalkanku sendiri. Sedari tadi aku tak berhenti melihat kesana-kemari, bahkan pada dahan pohon manapun yang kukira begitu dekat dengan posisi ubi manis bakarnya berada.
Krusuk krusuk...
Gemerisik timbul dari sebuah semak dibalik kuil.
"Siapa disana?" panggilku tanpa sahutan kembali.
Karena penasaran atau mungkin saja itu Rengoku, aku mendekati semak itu.
"Keluar saja, Rengoku. Aku memang berniat membagi ubi bakarnya hari ini denganmu."
Namun semak itu tak menjawab.
"Rengoku?"
Kubuka satu persatu, tapi tak seorang pun ada disana.
Heran, perasaan ada seseorang sepertinya disini. Apa hanya rakun?
Karena kupikir begitu, kuputuskan untuk kembali. Dan saat aku kembali, pertanyaanku terjawab.
"R-rengoku?!"
Pria kitsune api merah itu menoleh setelah melahap setengah ubi bakar di tangannya.
"Haah.. kau mengejutkanku. Kupikir kau disana tadi, tiba-tiba sudah disini."
Rengoku masih menatapku dengan mengunyah dalam diam.
"H-hey, aku ingin menanyakan sesuatu padamu. I-ini soal Uzui."
Rengoku memiringkan kepala, seakan menunggu pertanyaan itu terlontar dariku.
Tapi aneh, tidak biasanya dia setenang dan sediam ini. Apa moodnya berbeda?
Bibirku hendak berkata saat seseorang tiba-tiba menarikku dari belakang.
Dari caranya menarik, aku sudah tau dia siapa.
"U-uzui, apa-apaan sih? Menarikku sebegitunya."
Uzui kembali melihat kearah Rengoku.
"Itu bukan dia."
Alisku terangkat sebelah, maksudmu?, belum juga kuucapkan, Uzui lebih dulu mendekati makhluk itu, menarik kerah belakangnya dengan keras.
Menarik Rengoku menatapnya begitu dekat dalam tatapan mematikannya.
"Makanan siapa yang kau curi itu, huh?"
Rengoku seketika merubah tubuh, berubah menjadi makhluk kecil yang memberontak lepas dari genggaman Uzui.
"Lepaskan! Lepaskan aku!!"
"Melepaskanmu setelah meniru temanku? Kau ini... minta mati?"
Uzui mulai menyalakan api hitam dibalik punggungnya yang menarik gemetar ketakutan makhluk kecil itu.
Aku sendiri bisa merasakan dan memprediksikan apa yang akan terjadi jika dibiarkan begini.
"Uzui, hentikan! Jangan lukai anak itu!"
Uzui yang menggeram perlahan menghilangkan api hitamnya. Namun tangannya tak melepas makhluk kecil itu sebelum aku mendekatinya.
Makhluk yang begitu mungil dengan telinga bulat dan ekor seperti rakun yang empuk.
Dia seperti Uzui, setengah manusia.
"Ini ayakashi* yang mana lagi?"
"Namanya, Tanuki. Mereka makhluk kecil yang mampu menggunakan kamuflase menjadi apapun sesuka hati mereka. Bangsa mereka hanya mencari makan, membohongi makhluk lain, tapi beberapanya menolong manusia." Jelas Uzui. Maniknya lantas terjatuh pada seorang yang baru datang dengan teko dan gelas air diatas nampan.
"Kemana saja kau, hah?! Ayakashi lain muncul dan kau malah ambil aqua."
Giyuu tersentak, dia melihat kesampingku dimana Tanuki itu ketakutan.
"Tanuki? Tidak, tunggu, aku mengenalmu."
Tanuki itu melihat kearah Uzui dengan penuh harapan, "Tomioka-san!~"
Tentu aku dan Uzui sama terkejutnya.
Makhluk ini kenal Giyuu??
Tomioka menangkap Tanuki yang berlari dan berhenti di depan kakinya.
"T-tanjiro? Kenapa kau kemari?"
Tanuki bernama Tanjiro itu seketika menundukkan kepala bahkan sampai membungkuk "Maafkan aku! Aku tak bermaksud mencuri ubi bakarmu. Aku hanya mencari makan untuk perutku dan adik-adikku. Mereka sedang kelaparan di rumah."
Alis sebelah Uzui terangkat, "Dia punya keluarga?"
Giyuu membalasnya dengan anggukan, "Daerah hutan sebelah utara. Mereka membuat tempat tinggal disana, dengan tujuh bersaudara totalnya."
"Tujuh?" Aku melihat kearah Tanjiro sambil berjongkok menyamai tingginya, "Kau mencari makan enam saudaramu seorang diri?"
Tanjiro menundukkan kepalanya, "Ayah dan ibu sudah pergi. Sebagai kakak tertua aku harus membantu keluargaku. Persediaan makanan kami mulai menipis dan kebetulan aku mencium aroma manis dari sini, jadi.."
Tanjiro melihat kearah ubi bakar yang masih tersisa, "..aku mengambilnya."
Namun Uzui masih belum puas, tangannya disilangkan, "Lalu kenapa kau menjadi wujud temanku?" Uzui kembali menjatuhkan tatapan mematikannya, tapi kali ini Tanjiro menghadapinya.
"Itu satu-satunya kemampuanku. Kudengar laki-laki ini menggunakan ubi bakar untuk mencari Rengoku-san. Jadi kupikir... kupikir... dia akan memperbolehkanku mengambilnya sedikit."
Aku bisa melihat jelas kening Uzui mengedut. Dia benar-benar tak terima.
"U-uhm! Aku mengerti kondisimu!" Selaku menghentikan niatnya untuk bertarung, "Kau tak perlu mengelabuiku begitu. Aku akan membantumu."
Tanjiro membinarkan maniknya, "Sungguh? Terima kasih banyak!"
Aku mengangguk-angguk lantas mengutus Giyuu untuk membawakan sekarung ubi manis yang didapat dari paman tadi. Giyuu menurut tanpa menolak, dia membawakannya untukku.
"Hm, aku baru tau kau punya porsi serakah, penerus dewi."
Keningku mengedut kesal, "Aku tidak makan sebanyak ini, Uzui."
Hela nafasku terlepas dari bibir, semakin aku berbicara dengannya, yang ada emosiku semakin tak terkendali.
"Yosh, bisa kau tunjukkan dimana rumahmu, Tanjiro?"
Tanjiro membulatkan mulutnya, kemudian dia mulai berlari ke suatu arah, "Kesini." Dia melompat masuk ke dalam semak belukar.
Sekarung ubi hendak kuangkat.
"Oi, kau serius mau membawanya begitu saja?" Uzui menghentikanku.
"Lalu mau diapakan lagi kalau nggak dibawa? Tidak mungkin bawa gerobak naik ke bukit."
"Astaga, otakmu dangkal juga, penerus dewi."
Keningku berkedut kesal. Dia melangkah mendepaniku.
"Untuk apa kau bawa sendiri?" Tangannya meraih karung ubi itu "Kalau kau punya aku."
Kupikir dia akan meledekku lagi atau apa, tapi kali ini... apa aku tidak salah lihat?
"Cepatlah, keburu ilang tuh anak. Woy, Tanuki! Pelan dikit larinya, anak belakang kakinya gak kuatan!"
Aku tak mengerti apa yang sebenatnya ingin dia lakukan.
Awalnya dia menekan emosiku, kemudian meluluhkanku, lalu kembali lagi menaikkan tensiku.
Apa yang ada dipikirannya sih sebenarnya?
Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang, mengikuti punggungnya.
Tapi kemudian dia melirikku, menarik lenganku secara paksa ke depannya.
"Jangan dibelakang. Kalau ayakashi lain muncul, yang repot aku."
Alisku mengerut kesal, tatap kubuang darinya sambil berdengus, "Aku tak peduli."
Aku bisa mendengar Uzui menghela nafas lelah dari balik tubuhku dan suatu hawa tidak enak sekaligus.
Tiba-tiba saja dia mendekatkan bibirnya ke leherku, membisikkan sesuatu begitu lembut ditelingaku.
"Apa kau tak takut aku yang menerkammu?"
Sontak aku menarik diri kedepan dan mengusap leherku.
"Kau ini kenapa sih? Berhenti menakutiku!" Pekikku ngeri. Orang ini mengerikan juga.
Tapi kali ini, dia terkekeh, entah apa yang lucu dari kelakuannya itu.
Tak lama setelah berjalan cukup panjang, kami menemukan sebuah gubuk tua yang terlihat masih cukup kokoh untuk tempat tinggal.
Disana Tanjiro memanggil berbagai nama yang tak bisa kuingat semua. Dan dari sanalah, tanuki-tanuki lainnya muncul dari balik pintu.
"Kak Tanjiroo!!" Secara bersamaan mereka merangkul Tanjiro.
"Kakak, kakak bawa makanan?" Tanjiro mengelus satu kepala anak yang menanyakan itu.
"Hm! Tentunya. Ah, kakak juga membawa orang kemari." Tanjiro menoleh padaku dan Uzui.
Semua anak itu tersenyum padaku, tapi tidak pada Uzui. Jelas. Bagaimana tidak, dia melihat anak itu seperti dia melihat sampah diberi nyawa.
"U-uhm, semuanya, tidak perlu takut. Dia bersamaku. Dia tidak menggigit kok."
Justru saat aku mengatakan itu, Uzui malah menampakkan gigi tajamnya untuk menakuti anak-anak itu.
Yang kemudian kubalas dia dengan injakan kakiku pada kakinya, membuatnya meringis kesakitan.
Karung ubi itu kuambil darinya, "Ini, aku membawakan ini untuk kalian. Jangan lupa dimasak dulu sebelum dimakan, oke?"
Anak-anak itu berdecak senang. "Terima kasih!" Sontak mereka bersamaan. Aku tersenyum pada mereka.
Sebentar aku melihat sekitar dan tak mendapati apa yang kucari.
"Tanjiro."
Tanjiro menoleh padaku.
"Orang tuamu... dimana mereka?"
Mimiknya seketika berubah.
"Ayah dan Ibu sudah pergi."
Alisku terangkat bingung.
"Pergi? Kemana mereka pergi?"
Dia menoleh pada langit yang mana aku langsung memahami maksudnya.
"Mereka tewas saat berusaha melindungi kami hari itu. Aku berniat menyelamatkan mereka juga, tapi aku masih terlalu kecil untuk bertarung."
Kepalanya kembali menunduk.
"Bertarung..? Bertarung dengan siapa? Siapa yang membunuh mereka?"
Tanjiro melihat padaku dengan tatapan kesal dan pahit.
"...manusia."
Saat itu juga aku menjadi saksi Uzui ikut membelalakkan lensanya.
"Mereka menganggap kami sebagai ayakashi yang jahat. Padahal, ayah dan ibu hanya mencari makan di ladang mereka. Bahkan mereka tak melakukan kesalahan apapun dengan manusia, mereka ayakashi yang baik!"
"Tapi, tidak semua percaya dengan itu. Mereka bilang ayakashi tetaplah ayakashi. Tidak ada yang baik diantara mereka."
Uzui mengepalkan tangannya bahkan menundukkan kepalanya, kemudian dia pergi berjalan entah kemana.
"M-maaf, aku tak berniat untuk mengingatkanmu pada mereka."
Tanjiro menggeleng padaku, "Mereka sudah bahagia di surga. Mungkin ini artinya aku harus menjadi anak yang kuat untuk melindungi keluargaku. Aku akan baik-baik saja!"
Bibirku melengkung tersenyum, dirinya kudekati, kuusap ujung kepalanya.
"Anak yang kuat. Aku bangga padamu, Tanjiro. Kalau kau membutuhkan sesuatu, datanglah saja ke kuilku, aku akan membantumu."
Tanjiro mendongakkan wajahnya.
"Kuil? Kuil Ikki?"
Aku mengangguk padanya.
"Kuil Ikki memangnya ada dimana lagi?"
"Eh? Yang kau kunjungi tadi itu kuil Ikki."
"Itu kuil Ikki?"
Aku mulai merasa aneh, "Y-ya. Memangnya ada kuil Ikki lagi disini?"
Tanjiro mengangkat sebelah alisnya "Bukannya kuil Ikki sudah rata dengan bumi?"
Deg! Apa maksud anak ini?
"T-tidak. Kau lihat sendiri kuil tadi masih berdiri. Darimananya rata dengan bumi?"
Tanjiro mengedip-ngedipkan lensanya, "Kuil Ikki kan—" "Penerus dewi."
Uzui tiba-tiba mengejutkanku dari balik tubuhku, dia melihat kearah Tanjiro yang menghentikan kata-katanya, kemudian menutup matanya sejenak.
"Aku sudah membuatkan batas agar manusia tak mengetahui tempat tinggalmu ada disini, Tanuki. Kau tak perlu khawatir lagi."
Tanjiro menatap tak percaya "S-sungguh?!" karena tak percaya, dia mendekati semak belukar yang mengitari rumahnya.
Telapaknya menyentuh udara kosong, kemudian netranya berdecak.
"Terima kasih banyak, Uzui-san! Pembatas ini cukup kuat untuk mengelabui mereka."
Uzui hanya membalas senyum, anak itu dielus kepalanya.
"Lindungi keluargamu dengan baik. Aku yakin ayah dan ibumu bangga diatas sana. Dan bila waktu mengatakan pembatas itu tak mampu menahan apapun lagi, lakukan apa yang harus kau lakukan."
Tanjiro mengangguk pada Uzui.
Kemudian Uzui kembali padaku.
"Kita kembali." Ucapnya sebelum pergi meninggalkan para Tanuki.
Aku berjalan menyeimbangi langkahnya. Pertanyaan demi pertanyaan semakin memberatkan benakku.
Apa dia akan menjawabnya jika aku mempertanyakannya?
"Anu, Uzui."
"Hm?" Dia melirik padaku.
"Apa benar ada kuil Ikki yang rata dengan bumi?"
Uzui membuang pandangnya dariku, "Mana kutau."
Tapi kau tau jelas dia selalu menyembunyikan sesuatu.
Seperti hari itu, aku kembali berhenti di depannya.
"Tck, apalagi, penerus dewi? Sudah kubilang aku tak tau soal itu."
Tatapku menajam, "Uzui." "Sampai kapan kau akan menyembunyikan semuanya dariku?"
Uzui tersentak, tatapnya memicing, tangannya mengesampingkan pundakku.
"Kau saja yang terlalu waswas. Aku tak menyembunyikan apapun darimu. Menepilah."
Perilakunya semakin menampakkan jawabannya, tapi apa?
Apa yang kau sembunyikan dariku?
================
To be continued..
°
°
°
°
°
Ayakashi = sebutan nama untuk makhluk halus yang berasal dari dunia lain. Nama lain dari Yokai.
Tanuki = Ayakashi bertubuhkan anjing Tanuki atau rakun. Beberapa dari mereka membantu manusia. Namun bukan berarti mereka tak menjahili manusia.
Mereka memiliki kemampuan berubah wujud dengan sehelai daun dikepala mereka untuk mengelabui lawannya.
Nama :
Tanjiro
Jenis :
Tanuki
Kemampuan spesial :
- Berkamuflase
- Merubah sesuatu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro