Chapter 13
(Y/n)'s POV
Netraku berkedip melihatnya.
Tak juga bibirku mengatakan sesuatu pada hal yang kini kuhadapi.
"Jadi.." ucapku berusaha memecah sunyi. Sementara Uzui malah bersantai ria di teras, menghadap arah lain.
"Ya, dia naga yang mencuri tuga istriku malam itu."
"Tomioka Giyuu." Jawab Uzui.
Aku masih tak bisa percaya dengannya.
Sosok yang selama ini kupercaya memiliki hawa yang berbeda—memang benar dia memiliki perbedaan denganku ataupun Jiji.
"T-tomioka...san?"
Netraku terguncang. Wajahnya dibuang.
Meski begitu dia adalah Tomioka-san, sosok yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri sejak dulu.
"Jangan dekati aku, (y/n)."
Dirinya menolak saat aku berusaha menyentuhnya. Membuatku bertanya-tanya, apakah dia merasa bersalah atau gelisah saat ini.
Tapi dari penjelasan yang Uzui katakan tentang malam itu, dimana Giyuu kembali menyerangnya saat berusaha mengambil tiga istrinya kembali dari sebuah ritual pembangkitan.
"Tomioka—bukan—Giyuu." Panggilku padanya yang tak juga membalikkan wajahnya "Siapa yang ingin kau bangkitkan? Kenapa kau melakukannya?"
"Itu bukan urusanmu." jawabnya dingin, tak seperti dirinya yang begitu kukenal begitu hangat.
Uzui mendengus kesal, dia menoleh padaku. "Jauhi saja dia seperti perkataannya, penerus dewi. Dia bahkan nyaris menggunakanmu juga sebagai pengorbanan malam itu."
Uzui berhasil mematik gerak Giyuu. Segeser jarak diambilnya menjauh dariku.
"Menggunakanku untuk pengorbanan?"
"Kau pikir tidak sedikit yang menginginkanmu, hah?" Sahut Uzui "Kekuatanmu itu mampu menghidupkan apapun—tapi bukan berarti menghidupkan kembali yang sudah tiada." kalimat terakhirnya terdengar mendesis, yang mana hal itu semakin membuat tanda tanya besar dikepalaku.
Jarak sedikit demi sedikit kuputus darinya. Kaki terlipat dengan dua tanganku.
"Giyuu, kumohon. Jelaskan padaku apa yang sebenarnya ingin kau lakukan."
"Aku tak berniat menghukum ataupun menjauh darimu. Kejelasan sudah cukup untuk mengampunimu."
Giyuu akhirnya melirik kearahku. Tubuhnya berbalik, netra kebiruannya kini menatapku.
"Ini cerita yang panjang."
"Dan bukan cerita yang menyenangkan untuk didengar—ataupun diceritakan."
==============
Terjadi bertahun-tahun lamanya.
Dalam ombak lautan, disanalah diriku berkelana.
Sembari menelan berbagai macam korban yang melintas diatasnya.
Langit selalu bergemuruh.
Suaraku pun tak pernah tak berderu.
Tak satupun kapal-perahu kembali dari tempat mereka berburu.
Tak seorang berani menantangku—penguasa lautan saat itu—Legenda naga laut biru.
Jiwaku selalu mengamuk, karena seorang dari mereka berani membunuh bahkan memakan raga kakakku.
Suatu daratan yang berdiri di pinggir pantai, sudah kuintai sejak kejadian lalu.
Bahkan meski mereka rakyat pesisir pun, tak seorang pun berani kembali berlayar diatasku.
Kubiarkan mereka begitu, memang sudah sepantasnya mereka menerima hukumannya, sebelum daratan itu akan tenggelam dalam genggamku.
Saat itu keadaan mereka semakin terpuruk.
Salah seorang memulai langkah berontak.
Suatu kontrak dan persembahan mereka lakukan, untuknya memanggil suatu makhluk yang dipercaya mampu menyeimbangi diriku.
Dan saat itulah, kami bertemu.
Dibawah sinar rembulan yang mampu dikendalikannya menaikkan arus air dalam genggamannya.
Menenangkan jiwaku yang terbakar dalam lautan.
Seorang yang mampu meredam amarahku sama seperti kakakku.
Sabito, Kitsune air.
Dialah seorang yang mampu memahamiku.
Dia seorang yang mengenalku lebih dari siapapun selain kakakku.
Berkatnya, hasratku untuk menghancurkan apapun luluh.
Dia pun membuat warga desa menyadari kesalahan mereka hanya dengan kata-kata.
Diciptakannya kedamaian diantara dua belah pihak, bergantikan hubungan harmonis yang tampak begitu baru untukku.
Bahkan setelah semua telah usai, dia menyerahkan dirinya untuk menjadi temanku.
Teman pertamaku, masa pertamaku mengenal arti dunia yang berbeda dengannya.
Menghabiskan waktu sambil mengukir kenangan dalam desir air laut.
Hingga sampailah hari itu.
Suatu kutukan aneh mengonsumsi tubuhnya.
Aku tak mampu melakukan apapun.
Segala pengobatan sudah kulakukan.
Namun tubuhnya seakan terus menolak.
Memar ungu mulai mencengkram wajahnya.
Pengelihatan sudah tercabut dari netranya yang tak mampu lagi melihatku yang selalu ada disampingnya.
Hingga sampailah detik itu. Momen itu.
Raganya menghilang bagaikan debu hitam pembakaran ritual kematian.
Aku kehilangan dirinya.
Aku ingin kembali melihatnya.
Aku ingin berada disampingnya.
Aku ingin kita kembali seperti sedia kala.
Tersenyum dan tertawa. Berenang menyusuri lautan maupun perairan dengan bebasnya.
Kenapa?
Kenapa hanya penderitaan yang harus jadi akhir darinya?
Tak bisakah sesuatu yang indah datang untuknya yang juga memiliki kehidupan penuh kehilangan sepertiku?
Sesuatu kulakukan, apapun akan kulakukan.
Untuk mengembalikan senyumnya.
Untuk menghapus luka dalam dadanya.
Untuk menghidupkan kembali dirinya.
Apapun akan kukorbankan.
Hingga seorang datang, menawarkanku bantuan dengan suatu pengorbanan.
Yang tanpa berpikir panjang kuterima.
================
"Jadi tiga istri Uzui yang diinginkannya?"
Giyuu menganggukkan kepala.
"Dia bilang, dia membutuhkan tiga keturunan iblis yang memiliki kekuatan spesial dalam diri mereka untuk membuka pintu kematian." "Tapi sejujurnya itu hanya pilihan sampingan saja. Dia menginginkan hal yang lebih dari itu sebelumnya."
"Apa itu?"
Pertanyaanku kali ini dihindarinya, dia kembali tak ingin menatapku.
Uzui berdecih, "Tch, dia membutuhkan pengorbanan nyawamu untuk membangkitkan teman Saito apa Sabitonya itulah."
Aku tersentak sekaligus semakin bingung, "Bukannya dewi kehidupan hanya bisa menghidupkan yang masih ada? Kenapa dia membutuhkanku untuk membangkitkan sesuatu dari kematian?"
Kini Uzui bangkit dari tempatnya. Kesal denganku, dia berjongkok disampingku, pundakku didorongnya cukup keras.
"Kau masih belum paham seberapa hebatnya dirimu? Dewi kehidupan punya keistimewaan yang mampu menghidupkan jiwa orang yang sudah tiada. Bukan menghidupkan raga orang yang sudah tiada."
Tatap tajam Uzui beradu dengan Giyuu, "Dia sengaja mendekatimu, berlaku baik denganmu selama bertahun-tahun hanya untuk keinginan bodoh yang tak akan pernah jadi kenyataan itu. Berniat mengorbankanmu pada orang yang sama sekali tak bisa dipercaya."
Sekilas aku mengingat memori malam itu kembali.
Seseorang berada begitu dekat denganku saat itu. Seperti aku dengannya pernah bertemu, maka dari itu aku mengira orang itu adalah Uzui.
"Siapa orang itu?"
Giyuu berusaha mengingat kembali, "Dia—tunggu, siapa dia?" Dia justru seperti kesulitan mengingat siapa orang yang telah bersekutu dengannya hari itu "Kenapa aku melupakannya?"
Lantas aku menjatuhkan pandang pada Uzui yang bergerak bangkit dan pergi, seakan tak ingin menjawab pertanyaanku.
Entah tak ingin menjawab atau dia sudah muak dengan pembicaraan ini.
"(Y/n)." Giyuu memanggilku. Wajah dipenuhi dengan rona kesedihan dan rasa penyesalan, yang mendorongnya untuk bersujud didepanku.
"Aku sudah menipumu. Bahkan hampir melukaimu, meski sebenarnya aku tak menginginkan itu."
"Aku justru ingin mengorbankan Uzui malam itu, tapi kau justru melawanku kembali."
"Aku bersyukur, kau yang menenangkanku malam itu. Kalau saja bukan kau—entahlah, mungkin aku sudah tenggelam bersama sekitarku."
"Aku menerima hukuman apapun darimu untuk menebus tindakanku."
Sekali lagi tubuhku tersentak, "Tidak, tidak. Kau tak perlu memintamaaf padaku sampai sebegininya, Giyuu."
Tubuhnya kutegakkan kembali, mata kami bertemu. Aku bisa melihat rasa kehilangan, bersalah, juga secercah amarah dari warna netranya.
"Kau melakukan hal yang menurutmu benar. Perasaanmu untuk Sabito, aku bisa merasakannya begitu hidup dalam dirimu. Aku mengerti rasa ingin bertemu dengan seorang yang telah pergi."
"Aku pun bersyukur kau masih memikirkanku malam itu."
Wajahnya kutangkup, pipinya kuusap lembut.
"Giyuu, kau tak sepenuhnya berbohong padaku. Kasih sayang juga pedulimu, terasa begitu tulus, sehalus alir sungai yang biasa kita temui."
"Dan meski kau melakukan hal itu, kau menyadari kesalahanmu dan memintamaaf padaku."
"Itu sudah cukup untukku. Aku memaafkanmu."
Netra kebiruan Giyuu kembali mengilapkan cahayanya. Kepalanya ingin bergerak turun lagi, namun kutangkap langsung dalam dekapku.
Cukup lama aku memeluknya.
Karena aku tau, rasanya kehilangan sesuatu yang begitu disayangi.
Dan saat mengetahui tak ada yang mampu membangkitkannya, kesedihan akan menusuk begitu dalam, cukup dalam untuk membuat suatu luka.
Aku mengingat perkataan ibu, bahwa peluk mampu untuk menyembuhkan luka seperti itu.
Luka yang tak kasat mata, yang hidup dalam dada dan tak mudah untuk menyembuhkannya, maupun menyembunyikannya.
Setelah Giyuu mulai merasa tenang, aku meninggalkannya untuk sementara.
Langkahku kembali pada Uzui yang menatap keluar teras. Dia menyadari keberadaanku.
"Sudah selesai mesraannya?"
Sontak pipiku merona, "M-mesraan apanya?!"
"Kau pikir mataku ini tak cukup jelas untuk melihatnya? Jelas kau dan dia bermesraan, nggak sekalian ciuman biar sekali—"
Bwosh!
"Lho, marah? Bener kan?" Balasnya berhasil menghindari tamparanku.
Darahku tak hanya mendidih karena rasa malu, tapi juga emosi melihat kelakuannya.
"Sudahlah, anggap saja kau tak melihat apapun tadinya. Lagipula ada sesuatu yang ingin kupertanyakan."
Uzui menyipitkan matanya. Apa dia berpikir aku akan mempertanyakan hal tadi padanya?
Bibirku tertutup rapat sebentar sebelum akhirnya memilih kata untuknya.
"Tiga istrimu, dimana mereka sekarang?"
Netranya melebar tak percaya.
"Aku ingin menemui mereka."
Uzui terdiam, kemudian berjalan menuju suatu ruang dalam kuil yang dijadikan tempat untuk tiga oni wanita itu dibaringkan.
"Aku sudah memberi mereka beberapa obat-obatan khusus untuk mengembalikan kesadaran, tapi mereka belum juga menunjukkan perkembangan."
Tiga oni itu kudekati. Wajah mereka satu persatu kuperhatikan. Pergelangan tangannya kudengarkan.
Energi mereka berdegub lemah.
Tatapku kembali pada Uzui, dimana dirinya terduduk didekat salah satunya, mengusap kening istrinya lembut, dengan penuh harapan kesadaran mereka segera kembali.
"Kau sudah membantuku menemukan mereka. Aku berterimakasih untuk itu." ucapnya tanpa menoleh padaku.
Bibirnya hendak terbuka lagi, namun tertutup kembali.
"Kontrak itu, apa sudah berakhir sampai sini?" tanyaku.
"Berakhir kepalamu. Sampai kapanpun, seumur hidup seorang pendamping, mereka tak bisa membatalkan kontrak itu. Mereka akan selamanya terikat dengan sang dewi, sampai kematian membawa mereka pergi."
Pandangku kembali mengarah pada tiga oni yang terlelap. Salah satunya kudekati, kuusap keningnya seperti yang Uzui lakukan.
"Hubungan harmonis, timbal balik antara dewi dan pendampingnya."
"Meski kau terlihat menggunakanku. Kau melindungiku, Uzui."
"Aku harus memberi sesuatu kembali untukmu."
Salah satu oni bersurai setengah pirang kukecup keningnya, kemudian beralih pada yang bersurai panjang. Berakhir dengan seorang bersurai pendek.
Sebenarnya aku tak tau jelas kenapa aku melakukan ini.
Aku hanya meniru apa yang Uzui lakukan padaku saat itu—mengecup bibirku.
Energi yang dimilikinya seakan menjadi degub jantungku, darah hangat yang mengalir dalam nadiku, dan kekuatanku untuk bangkit dari kegelapan yang menyergap kesadaranku.
Mungkin... ini jawabannya.
Dan tepat setelah itu, satu demi satu dari mereka membuka matanya, kembali ke kesadarannya.
"Tengen... sama?"
"Tengen-sama?"
"Tengen-sama..?"
Ketiganya memanggil nama yang sama.
Dimana saat itu keempatnya pun tak bisa percaya.
Uzui tak mampu menahan rasa terkejutnya. Tiga oni yang berstatuskan sebagai istrinya itu langsung dipeluknya.
"Kalian kembali. Kalian benar-benar kembali.." ucapnya yang nyaris sesak dalam isak.
Ketiganya perlahan mengembangkan senyum. Masing-masing tangan saling teruntai menjadi suatu lingkaran yang merangkul mereka dalam kebersamaan.
Aku, senang melihatnya.
Keluarga kecil yang tak ketahui bagaimana historinya itu kembali bersama.
Menitikkan air mata dan senyuman bahagia mereka.
Seandainya aku dapat kembali dalam pelukan keluarga sepertinya.
===============
To be continued..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro