Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10

Akhirnya selesai juga latihan rutin shodo hari ini. Seperti biasa sensei mengajarkan beberapa teknik terbarunya dalam menggores huruf kanji. Teknik-tekniknya jarang sekali gagal selama pikiran tetap tenang dalam melakukannya.

"Arigato gozaimasu, sensei!" Seru setiap anak ekstrakulikuler shodo. Setiap selesai jam ekstra, kami selalu mengatakan hal itu untuk menghargai jasanya.

Sensei tersenyum singkat, "Jangan lupa untuk membersihkan meja kalian sebelum pulang." Semua anak meng-iya-kannya, segeta membereskan masing-masing meja mereka, bahkan Yuuta—pemilik meja paling belepotan diantara yang lainnya.

Sejenak sebelum aku beralih padanya untuk membantu, lirikku terjatuh pada salah satu meja kosong disana. Seingatku, seorang gadis junior biasanya duduk disana, tapi beberapa hari ini dia tak datang.

"Hey, Yuuta—" "Sebentar, sedikit lagi."

Dia tampak begitu serius menyelesaikan shodo-nya kali ini. Sampai goresan terakhir..

"Selesai!! Sensei, aku sudah selesai!" Dia segera saja bergegas memanggil sensei untuk datang ke mejanya.
Kembali lagi aku melihatnya, selagi sensei masih sibuk membereskan mejanya sebelum datang ke meja Yuuta.

"Yuuta, apa kau tau kemana junior yang biasanya duduk di meja sebelah sana?" Tunjukku pada meja yang tak jauh darinya.

"Oh, Fubuki-san? Kudengar dia keluar dari ekstra beberapa hari yang lalu. Tapi aneh juga, aku tidak melihatnya menyapaku lagi di jam istirahat. Apa rumornya dicuri makhluk halus itu ada benarnya, ya?"

Kami berdua tenggelam dalam tanya sebelum akhirnya sensei berdehem mengejutkanku juga Yuuta.

"Tidak baik membicarakan seorang yang sudah tiada dengan sesuatu yang buruk. Fubuki-san keluar dari ekstrakulikuler shodo dengan niat baiknya. Dia berencana untuk pindah ke tempat lain dan akhir-akhir ini kudengar dia sedang menyiapkan perpindahannya."

Yuuta menyela, "Tetap saja, sensei, itu aneh. Kenapa setiap bulan selalu saja ada yang keluar? Padahal mereka masih belum lulus juga dari sekolah."

Lirikan setajam katana langsung saja terjatuh pada Yuuta, "Orang datang dan pergi. Seleksi alam juga berlaku disini, Hayashi-san. Tidak semua bisa bertahan, alam pasti akan mengeliminasi yang lemah, menggantikannya dengan sesuatu yang lebih dominan."

Yuuta tersentak, bibirnya mengerucut, "Paling juga mengundurkan diri gegara takut sama sensei." gumamnya.

Bletak! Tiba-tiba saja jentikan keras jatuh di dahinya, membekaskan rona merah panas disana.

"Jaga bahasamu, Hayashi-san. Mulutmu harimaumu. Dan shodo-mu masih belum berkembang setelah seminggu akhir ini." balasnya sambil memijat keningnya, memberikan kembali kertas shodo itu pada Yuuta.

"Pulang sesegera mungkin. Akan lebih baik kau pusatkan pikiranmu untuk mengembangkan kualitad shodomu malam ini. Dan untukmu, (m/n)." Sensei menampakkan senyum tipisnya, "Latihan intensif seperti biasanya."

Yuuta mengerucutkan bibirnya sekali lagi. "(M/n) mulu yang diperhatiin." decihnya kesal.

"Kalau kau menginginkan sesuatu, usaha keras adalah bayarannya, Hayashi-san."

"Ya ya ya, aku mengerti senseiii.."

Yuuta membereskan peralatannya, menutup tasnya dan mendekatiku sebelum pergi.

"Hati-hati sama tante-tante kayak dia." Bisiknya kemudian berlari menuju pintu saat sensei memekik, "Apa katamu, Hayashi-san?!"

Sensei mendengus lelah, menggeleng kepala, baru menoleh lagi padaku. "Jadi, sampai mana kemarin?" Tanya nya menguji memoriku.

"Oh, sampai sini, sensei." Aku mulai menggelar gulunganku, menampakkan progres kami beberapa hari sebelumnya.

Sensei mengangguk-angguk tepat disebelahku, saat aku menjabarkan apa saja yang dijelaskannya hari itu.
Namun tiba-tiba saja di tengah-tengah penjelasanku, lampu bbekelap-keli, mulai meredup sebelum akhirnya kehilangan cahayanya.

Ctss!, sensei mematik api lilin yang entah sejak kapan dia sudah membawanya.

"Ya ampun. Kau tunggulah disini, (m/n). Satpam itu pasti mematikan lampunya lebih awal lagi." Sensei bangkit dari tempatnya.

"Sambil menungguku, bagaimana kalau kau melukis shodo lainnya? Anggaplah latihan lagi." ucapnya yang kubalas anggukan.

Tatapku kembali terpaku pada kertas gulungan yang masih memiliki ruang kosong dibagian samping sengaja kusisakan untuk latihan hari ini.

Kuas shodo kucelupkan kembali pada tinta hitam, ujungnya kuoleskan dengan bibir tempat tinta agar tak menetes saat diangkat.

Sesaat kuas kuangkat, cairan gelap tiba-tiba menitik, memunculkan rona diatas gulungan seperti letupan kembang api hitam. Padahal kuasku sendiri tak menitikkan tintanya, belum juga kumulai menulis apapun.

Hawa dingin mulai terasa menusuk dari sekujur ruangan. Tanganku seakan membeku, bahkan tubuhku, wajahku pun tak mampu untuk mendongak ke arah sumber tetesan hitam yang terus menitik diatas gulunganku.

"Kenapa... ini...?" Sekuat mungkin kugerakkan tiap inchi tubuhku, hasilnya nihil, rasanya seperti tubuh ini terkunci di satu titik.

Khuhuhu~ suara tawa melengking terdengar mengitari ruang shodo. Lampu tak kunjung menyala, hanya dengan nyala lilin saja untukku melihat sekitarku.

"Kau melukisnya dengan sangat baik, (m/n)."

"Kau tak pernah mengecewakanku. Itulah alasanku menyukaimu."

Sensei? Batinku menerka apakah itu dirinya yang berkata dengan suara menggema.
Kini bibirku tak mampu terbuka, seakan terbalut oleh serat transparan yang menghadang suaraku 'tuk keluar.

"Tenanglah, (m/n), aku tak akan menghukummu."

"Aku akan memberlakukanmu lebih baik daripada yang lain."

"Karena aku tau..."

Tangan dengan jari ramping panjang mengangkat daguku. Seorang dari balik punggunggku mendekatkan bibirnya ke daun telingaku. Mendesis..

"Kau begitu spesial."

"Dan aku sudah mempersiapkan hadiah ini untukmu."

"Sejak duluuuu sekali. Bukankah kau seharusnya merasa senang? Aku melakukan yang terbaik untuk yang paling baik."

Daguku dikesampingkannya, jemari tangan lainnya mengusap kulit leherku, beralih ke pundak, menepikan kain kerahku untuk mengekspos area sensitif disana.

"Maka dari itu, terimalah hadiah spesial dariku, Ikki.. -dono~"

Nafas dinginnya terasa semakin mendekat. Aku sudah merasa tidak beres dengan ini semua. Aku harus membebaskan diri!
Tapi bagaimana? Sekuat apapun aku meronta, bahkan satu jari pun tak mampu bergerak.

Tidak, aku tidak boleh membiarkannya. Sensei—bukan—siapapun ini, entah yokai atau makhluk apapun itu. Aku harus mempertahankan milikku!

Kepala kugelengkan ke kanan dan kiri, meronta untuk mengganggunya.

"Ara~ Ikki-san. Kalau kau terus bergerak begitu, bagaimana kau bisa menerima hadiahmu?"

"Apa kau menolak pemberianku?"

Banyak nolaknya!! Aku tak ingin ini! Lepaskaann..

Makhluk itu mendenguskan tawa, kini dia menahan daguku jauh lebih kaku dari sebelumnya. Membuatku tak mampu bergerak lagi.

"Maaf atas kelancanganku, tapi perutku, dahagaku tak bisa tertahankan lagi~"

"Sekarang... selamat maka—"

Tidak, aku tidak sudi dengan ini. Bagaimana? Apa yang harus kulakukan kalau sudah begini?

Sesaat pantulan seseorang muncul dalam pandangku. Seorang dengan wujud mengerikannya. Api hitam menyesakkan yang terus membakar punggungnya. Surai perak yang tak pernah sekalipun ternodai rona merah milik lawannya.

'Kali ini, jangan menolakku.'

Apa tidak apa aku menerimanya?
Batinku masih menolaknya, namun yang kurasa kini, seakan hanya namanya yang bercahaya menerangi ujung masalah ini.

Nama. Haruskah kusebut namamu?
Meski bibirku terbungkam, tubuhku tak berdaya, apa kau akan mendengarku?

Mataku terpejam. Perhatian kufokuskan pada namanya yang menyala diantara energi yang mengalir dalam tubuhku.

Dadaku berdegub, mewakili satu nama diantara jedanya.

Uzui.

Seperti kuda hitam yang melompat keluar dalam buku cerita lama. Perawakannya muncul mendobrak pintu, menebas luas ke sekitarnya yang mengusir makhluk yang menahanku.

"(M/n)!!"

Dia menghampiriku yang masih membatu di depan meja lipat. Tak mampu berkata, bahkan bergerak seperti hari lalu.
Tangannya menggenggam tanganku sejenak, sebelum dia berdiri dan menghentakkan kakinya begitu keras yang merubah ruang kelas itu menjadi ruang kotor penuh dengan jaring laba-laba disekitarnya.

Barulah saat itu aku melihat dengan mata kepala sendiri. Tubuhku yang terjerat serat jaring laba-laba nyaris di setiap inchi.

Uzui kembali padaku, "Tahan ini sebentar, (m/n). Aku akan melepaskanmu darinya." tangannya menggenggam tanganku, menyalurkan api hitam menyesakkan itu lagi untuk membakar jaring laba-laba yang mengelilingi tubuhku.

"Urgh, uhuk! uhuk!" tangannya menahanku agar tak menabrak meja lipat saat terbatuk. Saat itulah kusempatkan diriku untuk melihat keatas, sumber titik gelap tadi adalah—mayat Fubuki-san yang terjerat di langit-langit, perutnya terbuka sebagai sarang laba-laba kecil yang meneteskan darah gelap dari organ membusuknya.

"Tidak usah kau lihat, buat apa sih?" Uzui menutup mataku dengan telapaknya, menurunkan pandangku kembali ke bawah saat air mataku sudah lebih dulu membasahinya.

"Dia sudah tiada. Percuma kau tangisi juga." Uzui melihat sekitarannya, dia mulai merasa risih sendiri dengan ruangan itu dan memutuskan untuk membakar ruang itu sepenuhnya kecuali aku dan dirinya.
Lantas ruang itu hanya bersisakan ruang gelap, bersih tanpa apapun yang mengotorinya sebelumnya.

"Uzui!" Pekik seorang yang muncul dari pintu dalam raga kitsunenya—Kyojuro. "Dia baru saja kabur tadi. Aku berusaha mengejarnya tapi kau bilang tidak perlu."

Uzui melirik padanya, "Tidak perlu. Ya kali aku sampai capek-capek ngebasmi satu yokai cuma buat satu anak." "Semuanya sudah selesai kan berarti?" tanya nya pada kawannya.

Lampu kembali menyala, seakan aliran listrik sudah benar-benar pulih. Namun Kyojuro masih belum menurunkan waspadanya, "Tidak, ini baru dimulai."

PYAR! PYAR! PYAR!!

Bola lampu satu persatu meledak pecah. Uzui melindungiku dengan kain kimononya.

Telinga Kyojuro mulai bergerak, begitu pula tatap tajamnya, "Dia kesana!". Kakinya berlari keluar dari ruang shodo.
Uzui menggeram, dia melihatku, "Kau lebih baik pergi saja daripada nambah kerjaan." tangannya sudah bersiap memindahku dengan kemampuan teleportasinya.

"UWAAAAAAKKHH!!!"

Suara jeritan seseorang yang begitu familiar terdengar dari suatu tempat.

"I-itu suara Yuuta!" langsung saja aku berlari tanpa mengurus Uzui yang sudah menyiapkan lingkar teleportasi untukku.
"Oi, tunggu!" tangannya menangkap pergelanganku, "Kau sudah gila?! Baru saja kau nyaris diterkam tadi, sekarang malah mau masuk ke mulutnya juga?"

"Temanku dalam bahaya, Uzui. Aku harus melindunginya!"

"Bukan dengan nyawamu juga! Sudah kubilang berapa kali tubuhmu itu lebih berharga dari apapun?"

"Tapi—"

"Kembali. Atau kupaksa kau kembali."

Tatapku berperang dengannya.
Jelas aku tak bisa membiarkan Yuuta bernasib sama seperti Fubuki-san. Dia sahabatku, aku tak ingin sesuatu seperti ini menyakitinya.

Uzui menggeram, dia mengaku kalah. "Jangan jauh-jauh dariku." balasnya memperbolehkanku pergi.
"Hm! Aku akan memegang itu." barulah kami berdua bergerak menuju lorong, dimana jaring laba-laba semakin menghalangi setiap aksesnya.

BLAARR!! "Lewat sini!" Sahut Kyojuro yang membakar suatu jalan dengan api merahnya. Kami berdua berlari mengikuti jejaknya.

"Tempat ini sudah menjadi sarangnya. Ruang shodo ruang makan dan berkembang-biaknya, tapi aku menemukan mayat-mayat lain di ruang ekstrakuler lainnya." jelasnya.

"Apa ada yang terjebak disini juga tadi?" tanyaku pada Kyojuro yang dibalaskan senyum singkat, "Satpam sekolah sudah kuamankan. Selain itu hanya ada satu yang tertinggal." langkahnya tiba-tiba berhenti. Tepat di depannya anak-anak laba-laba mulai menghalang jalan dan sekarang justru menghalang dari dua arah.

Uzui dan Rengoku mulai mengambil posisi, "(M/n)." panggil Uzui, dia melirikku dibalik punggungnya, "Tetaplah disini. Jangan melakukan apapun."

SKREEE!!!

Pasukan anak laba-laba merangkak begitu cepat kearah mereka bagai lumpur hisap.
Kyojuro langsung saja mengeluarkan kekuatan api merah Kitsunenya yang memanggil jiwa berapi untuk mendampingi tiap serangannya.
Sementara Uzui memanggil pedang besarnya juga membakar punggungnya.

ZRAASSH! BLAAR! BLAAARR!!

Suara meledak-ledak menggema di sepanjang lorong. Aku sampai tak bisa melihat apapun selain api disana-disini.

Satu barisan laba-laba merayap keluar dari pintu kelas, bersiap menyergap kakiku.
Dengan cekatan Uzui menggunakan batas api hitamnya untuk menghadang serbuan itu, sebelum dia kembali dengan bagian lorong yang dilawannya.

"Tck, ini tidak ada habisnya!" Uzui mulai merasa kesal. Serangan laba-laba itu semakin lama semakin menyadari celah tiap serangannya—dan menyergap kearah sana.

"Menjauh!"

TANG!!

SKREEE!!

Garis batas kebiruan muncul membatasi Uzui dengan musuhnya. Uzui melihatku, "Sudah kubilang jangan melakukan apapun! Kau tuli?!" Tatapku menajam, "Mau kau bilang apapun, aku tak bisa membiarkanmu sendirian."

TANG!!

SKRAARRHH!!

Semakin banyak aku membuat garis pembatas itu. Bahkan sampai mendahulu insting Uzui untuk membakar mereka semua.

"Heh, kau mulai memahami posisimu rupanya." Uzui mengeratkan genggaman pedangnya, "Kuserahkan punggungku, (m/n)."
Sekilas aku melihatnya tersenyum, sebelum dia kembali membengis dalam liputan api hitam.

Aneh, kenapa aku tidak merasa sesesak sebelumnya lagi? Ada apa dengan api miliknya?
Tapi intinya, aku harus melindunginya dari sisi lain.

Aku dan dirinya bersandar punggung, melempar serangan itu bersamaan dan beruntun, menghapus barisan laba-laba itu semakin ke ujung, memojokkannya seperti menyapu laba-laba biasa.

Entahlah, detik ini aku merasakan Uzui begitu berbeda. Emosinya tidak sekasar sebelumnya. Hawanya jauh lebih tenang dan dingin, jauh dari gambaran 'api' pada umumnya. Bahkan, meski kulitku menyentuh api hitamnya, tak ada panas ataupun rasa terbakar yang kurasakan.

Apa... yang terjadi sebenarnya?
Siapa Uzui sesungguhnya?

"TOLOONGG! SESEORANG!!"

Teriakan seseorang terdengar kembali dari arah lantai satu. Bayangan seorang anak melintas begitu cepat.

"(M/n)!"

BLAARR!!

Uzui membakar ombak anak laba-laba yang nyaris menabrakku, "Kau lihat kemana? Fokus ke depan!"

"Yuuta ada dibawah." Lirikku kembali mencarinya yang menghilang lagi.
Uzui berdecih, dia masih kesal dengan lawannya yang tak segera kehabisan stok pasukan.

Tiba-tiba saja bola api begitu besar terbang mendorong mundur pasukan di lorong milik Uzui, yang kemudian berubah menjadi raga milik Kyojuro.

"Kalian pergi! Aku akan mengatasi semuanya disini."

Uzui terbelalak, "Kau juga jangan hilang akal, Kyojuro!" Namun Kyojuro hanya tersenyum manis, "Bala bantuanku sudah datang. Kalian kejar saja anak itu."

Kyojuro lantas menggumamkan sesuatu, memanggil lingkaran api yang memunculkan katana merah menyala dari sana yang langsung digenggamnya.
"Serahkan padaku saja disini." Secarik senyum ditinggalkannya sebelum dia pergi menghunus maju musuhnya seperti kereta api tanpa henti.

Tinggallah aku dan Uzui yang saling menatap. Dia langsung merangkulku, seraya menebas jendela lorong dengan pedangnya yang digunakan sebagai akses melompat, rute paling cepat menuju lantai satu.

PYARR!! Flop!

Uzui mendarat begitu mulus, lantas dia membawaku menuju asal suara itu dengan cepat.
Benar saja tebakanku, Yuuta—dia terjerat dalam jaring laba-laba di sekujur tubuhnya.
Dia meronta keras, merobek serat-seratnya, namun dengan cepat laba-laba kecil memintalnya lagi, menjebaknya dalam pintalan benang putih.

Sementara suatu makhluk lebih besar dan ganas muncul dari langit-langit, jatuh di depannya, menarik pelatuk ketakutan manusiawinya.

"Menunduk!" Sambaran api Uzui menabrak wajah makhluk itu, membuatnya kabur kembali dalam bayangan—tapi masih disana.

"Kau bebaskan dia, (m/n). Aku hadapi Yokai ini." kepalaku mengangguk, membiarkan Uzui mengejar dan menghabisi dalang insiden malam ini juga malam-malam sebelumnya.

"(M/n)! Apa yang kau lakukan disini? Bahaya!" Aku menatapnya, "Justru karena bahaya aku menolongmu." Serat-serat putih berusaha kuenyahkan, tapi laba-laba kecil itu masih saja mengganggu.

Ini tidak akan ada ujungnya, batinku. Aku berdiri menjauh dari benang-benang yang memintal Yuuta.

"(M/n)? Apa kau juga lelah? Ahaha, tidak apa, aku mengerti. Ini sulit untuk dilepaskan. Aku sudah tidak berdaya. Tinggalkan saja." senyum hancurnya menampakkan keputusasaannya.

Jari telunjuk dan tengah kusatukan di dekat kening. Mataku terpejam, kufokuskan pikiran pada energi yang mengalir dalam diriku. "Yuuta, jangan takut. Aku akan membebaskanmu."  gumamku.

Udara kebiruan meliputiku, bisa kurasakan energi begitu besar menyahut kembali padaku, siap untuk dilepaskan kapanpun.

Aku ingin membebaskan temanku. Tolong dengarkan aku. Jadilah dinding terkuat yang membelah musuh, bukan kawanku.

"Garis pembatas!"

TANG!!!

Dinding kebiruan kini muncul begitu keras dari sebelumnya—dalam bentuk lingkaran yang membatasi Yuuta dari serangan pasukan laba-laba dan hal baru yang kuketahui adalah sinar misterius yang muncul dari dalam dinding itu, menghancurkan serat-serat pembungkus tubuh Yuuta.

"Uwooohh!! Apa yang kau lakukan barusan, (m/n)? Ini... terasa hebat sekali—duh!"

Dinding pembatas tak menghilang darinya, meski cahaya barusan sudah tiada.

"Yuuta, kau tetaplah disitu. Tidak akan ada yang bisa melukaimu didalam situ." Senyum paksaku tampak. Sebisa mungkin menahan huyungan tubuh yang begitu kuat, sampai mengucur keringat di pelipisku.

Suatu lengan tiba-tiba jadi tempat punggungku bersandar. Saat tatap kujatuhkan pada wajah pemiliknya, sudah kuduga itu dia.

"Usaha bagus, sayangnya kita kedatangan tamu."

Suara aneh merangkak begitu cepat menciptakan ritme langkah tak biasa di sepanjang lorong gelap.

"Khhh!! Kau menghancurkan pesta makan malamku!"

Uzui mengedepankan dengus tawanya, "Kau salah mengincar menu, nona. Atau perlu kusebut... nenek?" Makhluk laba-laba itu menggeram kesal.

"Ho? Kenapa? Nggak seneng? Umurmu sudah ratusan lebih, bukan? Aku heran sejak kapan kau menggunakan kamuflase-mu itu untuk menggantikan sensei anak ini."

Makhluk itu menggerutu, "Itu bukan urusanmu! Lagipula, bukannya kau juga Yokai sepertiku? Bukankah mengincarnya juga? Bagaimana jika kita bagi dua saja dia?"

Uzui berdehem, "Hmm, itu ide bagus." Makhluk itu seketika tersenyum sumringah. "Tapi sayang sekali, aku tak bisa menerima penawaranmu itu." lanjutnya sambil menarikku dalam pelukannya.

"Karena dia sudah jadi milikku."

Tiga orang terkejut saat itu juga. Mau Yokai itu, aku, Yuuta—oh, bahkan laba-laba kecil yang jadi pasukan tadi.

Yokai itu menggeram, "Tidak akan kubiarkan kau mengambil makan malamku!!" Disemburnya jaring-jaring itu kearah musuhnya.

"Tetap di pelukanku, (m/n)." Uzui dengan lihainya menghindari serangan Yokai itu, sambil merangkul tubuhku dengan lengan kekarnya.

Pedang miliknya terbang mengikuti komandonya, mengurai serat panjang serangan yokai laba-laba itu, memutus ujung sumber penghasilnya.
Sambil memberikan celah untuk Uzui melaju diantara serat putih yang terbelah dua.

GRAAAKHHH!!

Lantas pedang itu kembali ke tangan pemiliknya, menebas alat pergerakan musuhnya, dan tibalah tebasan pengakhir pertandingan itu dengan aliran api hitam pekat di tiap ujungnya—membelah tubuh yokai itu menjadi dua, terbakar inti tubuhnya.

AAARRGHH!!

Melengking jeritannya, samar tercampur dengan suara khas dunia lain yang berasal dari tenggorokannya.

Hawa mengerikan perlahan meredup. Sekejap saja, sebelum mayat-mayat berjatuhan dari langit-langit, dimana dari dalam perut mereka yang membusuk, ribuan laba-laba kecil merayap keluar—kembali membuat formasi yang membekap ruangku bersama Uzui dalam rangkaian bola hitam mereka.

"Hmph, teknik murahan." sindir Uzui yang semakin membuat formasi laba-laba itu memperkecil jarak, sampai dalam aku tenggelam dalam pelukan Uzui.

Uzui tak tersentak sama sekali, dia menjatuhkan senyum lembutnya, "(M/n), kalau kau tak suka keramaian, tutup telingamu."

"Telingaku?"

"Lakukan saja."

Kuturuti perkataannya. Seraya Uzui mengangkat wajahnya, melebarkan lengannya, melemparkan sesuatu ke sekitarnya.

PLTAK! PLTAK! PLTAK! PLTAK!!

Ledakan-ledakan seperti kembang api terdengar disekitarku. Bola-bola kecil yang menghasilkan kejutan api hitam seketika memecah formasi pasukan laba-laba itu.
Tak juga berhenti, letupan-letupan itu terus berlanjut sampai pasukan itu benar-benar mundur.

Srrrkk..

Barisan itu berkurang seperti pasang surut. Dilihatnya sebagai kesempatan, Uzui menyulut bola api hitam di tangannya.

"Hangus kalian semua." tangannya hendak diarahkan pada pasukan laba-laba yang tinggal beberapa barisan saja, tapi aku menangkap lengannya.

"Jangan, Uzui." liriknya beralih padaku, "Kau ini kenapa lagi? Membiarkan mereka hidup untuk memburumu lagi nanti?"
Tatapku mantap, "Mereka juga melakukan ini untuk bertahan hidup. Jangan bunuh mereka." manikku melihat barisan makhluk-makhluk kecil itu.

"Pergi dan jangan kembali lagi." tuturku. Entah mereka memahamiku atau tidak, barisan mereka terpecah dan bergerak menjauh dari bangunan sekolah.

Uzui menghilangkan api dan senjatanya, "Lalu mereka memburu orang lain, begitu maksudmu?". "Aku tak tau apa yang akan mereka buru setelah ini. Tapi makhluk seperti mereka tidak sepenuhnya salah, tidak seharusnya juga dimusnahkan, bukan? Mereka juga punya hak untuk hidup."

Uzui menatapku tak percaya, dengusnya tertawa, "Menarik." Selang beberapa saat, Kyojuro bertemu lagi dengan kami. Sama sekali tak ada bekas luka di sekujur tubuhnya, syukurlah.

"Kalian berhasil mengusirnya? Kerja bagus!"

Uzui mengangkat pundaknya, "Dia yang memintaku untuk tidak memusnahkannya."
Kyojuro beralih padaku, matanya separuh tersenyum, "Aku tau. Memang seharusnya begitu." kemudian rautnya berubah saat melihat seorang anak—Yuuta—terkurung dalam dinding pembatasku.

"(M/n), apa tidak sebaiknya kita hilangkan memori anak ini?" Dia bergerak mendekati Yuuta yang melihatnya dengan kagum dan aneh secara bersamaan.

"Manusia biasa tidak seharusnya mengetahui makhluk seperti kita. Kau juga pasti sudah menunjukkan 'keistimewaanmu' padanya, kan?" Tatapku terjatuh, mengingat itu sebagai kesalahan terbesarku—menunjukannya pada manusia biasa sepertinya.

"Aku tak bisa membayangkan masalah apa yang akan mengancam kalau ingatan anak ini masih disini. Apa kau keberatan aku yang menghapusnya?" Tawar Kyojuro untuk menghapus ingatan milik Yuuta.

"Tunggu! U-uwahh!!" Yuuta menyahut dari balik dinding, tubuhnya nyaris terjatuh karena dinding yang didobraknya tiba-tiba saja menghilang. "Kumohon, biarkan aku menyimpannya. Aku berjanji akan menutup mulutku."

Dua jelmaan yokai itu saling bertukar pandang, tak juga kata 'yakin' ditangkap masing-masing kepala.

"Baiklah, baiklah, aku bersumpah tak akan mengatakannya pada siapapun itu. Tapi tolong, jangan hapus memoriku yang tadi. Aku begitu bersyukur bisa menjadi saksi pertarungan tadi."

Aku tak mengerti kenapa Yuuta begitu berharap untuk tak dihapuskan ingatannya. Seakan dia memilih untuk tinggal dalam mimpi buruk itu—atau aku salah mengartikannya?

"(M/n)." Uzui memancing pandangku, "Mulai besok, kau tidak perlu lagi berada disini. Kembalilah ke tempat Jiji-mu itu."

Kyojuro mengangguk, "Benar, tempat ini memang terlihat jauh dari hutan tempat yokai bersarang. Tapi bukan berarti dalam kota metropolitan begini tak ada satupun yang hidup disini. Kupikir kuil itu punya batas cukup kuat untuk menghadang serangan Yokai daripada disini."

Pikirku tenggelam dalam dilema, apalagi saat menatap Yuuta—sahabatku yang harus kutinggalkan seorang diri di tempat ini jika benar aku harus pergi.

"(M/n)." Yuuta menjatuhkan dua tangannya diatas pundakku, "Aku akan baik-baik saja. Selama tidak pulang kemalaman, bukan? Aku akan mengunjungimu suatu hari nanti, oke? Jadi jangan khawatir."

Jawabannya masih belum memuaskan gundah dalam hatiku. Tenggelam dalam diam, terjebak dalam canggung dirinya, mengusap tengkuk leher.

"Uhh, bagaimana kalau—kalau aku bilang, aku akan tinggal di daerahmu setelah aku menjadi peng-shodo hebat nanti? Apa kau lebih mempercayaiku kali ini?" senyum riang begitu mencerminkan karakternya yang justru semakin tak ingin kutinggalkan.

Tanganku merogoh saku, meraih suatu untaian tali merah-putih dalam bentuk melingkar yang dilengkapi dengan lonceng kecil ditengahnya.
Benda itu terputus, namun saat ini kurangkai kembali koneksi untaian itu kembali.

"Bawa ini denganmu. Dia akan melindungimu." Gelang perlindungan itu kuberikan padanya. Yuuta berdecak kagum, senyumnya dia berikan lagi padaku, "Terima kasih! Aku pasti akan menjaganya dengan baik."

Senyumku jadi salam perpisahanku dengannya. Tenggelam dalam liputan api merah dan hitam yang membawaku pergi dari tempat saat ini menuju tempat lain.

Tempat seorang dewi seharusnya berada.

================
To be continued...






Nama Yokai :
Jorougomo

Kemampuan :
- Siluman laba-laba yang biasanya digambarkan sebagai wanita setengah tubuh laba-laba

- Mampu menggunakan jaring untuk memerangkap musuhnya

- Teknik kamuflase sering digunakan untuk mengelabui musuh agar tak mengetahui raga aslinya

- Memiliki kawanan laba-laba ataupun Yokai untuk menjadi pasukannya

- Ditemukan sejak zaman Edo pada kisaran tahun 1603-1867

================

Catatan author :

Hai-hai, reader-san tachii!
Mengmaap kalo semisal thor kadang suka nulis (m/n) jadi (y/n).
Kayaknya nih jari udah keseringan nulis (y/n)  daripada (m/n).

Jadi dimaklumin saja yah, anggep aja chara reader tetep cowo seperti sebelumnya TwT)b

Tencuu buat pengertiannya ^^)♪

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro