Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1

(M/n)'s POV

Bel sekolah kembali berbunyi untuk kesekian kalinya.
Kalau langit sudah berubah menjadi senja, itu berarti bel barusan adalah bel yang paling dinanti—selain bel istirahat tentunya.

Seperti kegiatan anak SMA pada umumnya, sebuah ekstrakulikuler menjadi kesibukanku untuk mengisi jam kosong sepulang sekolah.

"Ooooii! Ikki!"

Lantang ucap seorang lelaki paruh baya yang menepuk pundakku, nyaris membuatku tersungkur ke depan karena kemunculannya.

Dada kuusap, untuk menenangkan jantung pastinya, barulah aku menoleh untuk menjawab panggilannya.
Dia tersenyum.

"Kau sudah menyelesaikan tugas kaligrafi yang sensei berikan?"

Kepalaku mengangguk.

"Hee~ mana? mana? lihatin dong!"

Seperti biasa kawan se-ekstra ku itu selalu mencari tau apa yang kubuat setiap ekstra akan dimulai.

"Jangan disini. Bisa malu aku dilihatin orang."

Bibirnya mengurucut ke depan.

"Booo. Kau ini malu-malu kucing mulu. Kapan jadi masternya kalau ngeliatin karya aja pake malu segala?"

Kepala kugelengkan, langkah kupercepat saja menuju ruang ekstra.

"Nanti di kelas aja, lah."

"Woh! Serius? Tapi aku yang pertama lihat nanti. Janji lho ya! Janji??"

Dengus terdengar dariku.

"Janji."

"Yeeeyy!! Nggak sabar deh. Yodah ayok cepetin jalanmu. Lama ih, kayak siput."

"O-oi.."

Entah dia selalu begini.
Mendorong-dorongku untuk segera ke kelas hanya untuk melihat hasil kaligrafi yang kutulis.

Tepat di lantai tiga, sebuah ruangan tak jauh dari tangga kudapati.
Di depan pintunya sebuah kertas bertulis kaligrafi bertengger.

Ruang kaligrafi jepang.

Dan itulah nama ekstra yang kuikuti.

Tidak banyak peminatnya.
Kudengar juga baru buka beberapa bulan sebelum aku mendaftar.

Srrk!

"Konnichiwa."

Ucapku memberi salam pada siapapun yang ada didalamnya.

"Konnichiwa!!"

Diikuti temanku yang selalu mengikuti di belakang.

Barulah orang-orang didalamnya membalas.

"Konnichiwa~"

Senyum pun berhias di mimik mereka.
Mempersilahkanku masuk, sembari seorang gadis menyiapkan ocha khusus untuk anak klub itu.

Bantal duduk, meja pendek dan lantai tatami. Semuanya menghadap ke arah jendela yang menampilkan suasana senja.

Tepat dibagian paling depan, meja sensei berdiri.
Beliau entah pergi kemana, yang pasti nantinya dia akan duduk disana.

"Silahkan ocha-nya."

Ucap gadis klub memberikannya padaku.

"Terima kasih."

Setelah menerima gelas ocha, aku meletakkannya lebih dahulu diatas meja.
Belum juga kuhisap, kawanku kembali menyenggol pundakku.

"Psst, Ikki, kau ingat janjimu, kan?"

Dengan malas aku melihatnya.

Serius, nggak bisa kah menunggu beberapa detik saja setelah aku duduk beristirahat dari naik tangga tadi?

Tapi yang keluar hanya hela nafasku saja.
Tanganku mengambil gulungan kertas khusus dalam tas.

"Jangan berisik lho tapi."

Dia mengangguk mantap padaku.

Barulah kugelar gulungan itu di hadapannya.

Dalam hitungan tiga...

Dua..

Satu..

"WOOOOOOOHHH!! GILAK! MANTEP BENER GORESANMU!!"

Sontak semua anggota menoleh pada kawanku yang mengangkat gulungan itu tinggi-tinggi.

"Hoy! Hoy! Jangan diangkat—"

"Wuahahaha!! Hey lihat, kaligrafinya Ikki bagus bener ga sih?!"

Tingkahnya yang bersinergi langsung menunjukkan hasil-yang-belum-ingin-kutunjukkan pada yang lain.

"Hee? Mana? Mana?"

"Aku juga mau lihat dong!"

Ucap mereka bergiliran ingin melihat hasilku.

Baru saja dia hampir memperlihatkannya.
Sebuah tangan menarik gulungan itu lembut.
Seorang wanita dewasa yang menggunakan yukata lebih dulu menyita gulungan itu.

"Yuuta, sudah berapa kali kukatakan untuk tidak mengambil sesuatu jika tidak diizinkan?"

Yuuta, seorang laki-laki paruh baya kelas sebelahku, langsung membeku.

"W-waduh. E-ehehe sensei. Udah dateng toh."

Sensei menatapnya tajam.

"Semua duduk."

Segera mereka semua duduk di meja mereka masing-masing.

Sementara sensei masih menggenggam gulunganku.
Sepasang netra hijau lumutnya memerhatikan goresan kaligrafi dalam gulunganku.

Tentu saja air liur kutelan.
Sensei—dia adalah penulis kaligrafi hebat yang sudah diundang kemana-mana hanya untuk secarik huruf jepang saja.
Setiap komentarnya terkadang menusuk, tapi memang itulah caranya mengkritisi tiap karya yang dilihatnya.

"Ikki, kemari."

"B-baik!"

Dengan agak gugup aku berjalan padanya. Dirinya melihatku dulu sebelum memberikan gulunganku kembali.

Bibirnya terdiam beberapa saat sebelum senyuman muncul di wajah dan netranya.

"Hari ini kau dapat latihan tambahan ya."

Haduh, mati aku.

Semua orang jelas tau, kalau seseorang dapat latihan tambahan—antara karyanya bagus ingin dikembangkannya dan karyanya super jelek ingin dibenarkannya.
Yang pasti latihan yang dimaksud semacam latihan intensif.
Udah kayak ujian aja.

"Sekarang kembalilah. Dan semuanya, siapkan tugas kalian diatas meja. Biar kukoreksi satu per satu."

Semua anak bisa kudengar meneguk liur mereka juga.
Gulungan demi gulungan terbuka di atas meja, begitu juga diperhatikannya.

"Hm, cukup."

"...caramu menulis ini bagaimana?"

"Apa ini? Bukannya sudah kita pelajari menulisnya darimana dulu?"

Atmosfer seketika menjadi intens untuk sesaat. Hingga semua kaligrafi berhasil dikomentar dan dikoreksinya, barulah dia duduk dengan tenang.

"Baiklah, untuk hari ini, aku akan menerangkan kembali beberapa hal. Setelah selesai..."

Senyum lembutnya merekah.

"Nikmati waktu luang kalian."

Hela nafas lega terdengar.

Kalau soal waktu luang, siapa juga yang nggak mau?
Klub kaligrafi punya berbagai jenis ocha  manisan, kuas dan benda-benda traditional yang menarik.
Ruangnya pun di desain senyaman mungkin agar kesan tenang bercampur damai bisa tersampaikan dengan jelas.

Ya meski saat sensei berkomentar, seperti berasa medan tempur zaman edo.
Tapi itu pasti tak berlangsung lama, berangsur pasti menghilang setelah dia menyeruput ocha di mejanya.

==================

Senja masih berlanjut.
Beberapa anak yang dianggap 'cukup' memilih untuk pulang lebih dulu.
Beberapa tetap dalam ruangan, menunggu perintah sensei selanjutnya.

Hanya sekitar... mungkin empat orang tersisa. Diantaranya aku.

"Untuk kalian, siapkan kertas baru."

"Baik, sensei!"

Semua mengambil kertas masing-masing.

"Sekarang tulis apapun yang ada di benak kalian. Aku ingin melihat bagaimana kalian menulisnya."

Dirinya sekali lagi bangkit dari meja.
Melirik ke kanan dan kiri, mengamati bagaimana tiap tangan menari diatas kertas gulung.

"Ikki."

Tanganku yang tadinya berniat mencelupkan kuas dalam tinta seketika berhenti.

"Iya, sensei?"

Dirinya terduduk di depanku.

"Untukmu, sebuah bunga."

Menangkap apa yang dimaksud, tanganky langsung bergerak.
Cairan tinta hitam terusap diatas kertas.
Menyerap dan membentuk suatu corak di tiap tarikan maupun tekanan yang kubuat.

"Silahkan, sensei."

Kuas kuletakkan kembali, menyudahi.
Lantas dirinya memutar kertasku perlahan, memerhatikan tiap goresnya.

"B-bagaimana hasilnya?"

Beberapa detik dirinya termenung.
Kelopaknya menutup, secarik senyum terlukis di wajah.

"Kau, begitu indah saat menulis hal seperti ini ya?"

"Bunga, kehidupan, gunung, hujan."

"Apa kau begitu rindu kampung halamanmu?"

Rona merah muda muncul di pipiku.

"Mungkin... ahaha.. aku sedikit merindukan Jiji(kakek)."

Sensei menjatuhkan tatap padaku.

"Sesekali kunjungi dia. Itu akan menjadi obat terbaik untuk melepas rindu."

"Tidak mudah tinggal jauh dari orang tua yang mengasuhmu. Rindu pasti ada, dan akan selalu datang saat sosoknya muncul dalam benak."

Sekali lagi dia berhasil menebak isi pikiranku.
Memang benar aku begitu merindukan kampung halamanku.

Hidup di perkotaan..

Ini adalah jalan hidup yang sudah kupilih saat menjelang masa SMA.

Demi mendapat ilmu yang lebih memadai. Aku rela mencari izin yang begitu sulit didapat dari Jiji.
Hanya dia satu-satunya keluarga yang kumiliki, begitu pula dia miliki—aku.
Mungkin itulah sebab dia lama sekali memberikan keputusannya untukku pergi ke kota—meski tak begitu jauh sebenarnya.

Sampai akhirnya dia memperbolehkanku pergi dengan berbagai syarat.
Salah satunya adalah aku harus mengikuti klub kaligrafi di sekolah.

Biasanya dialah yang mengajariku membuat kaligrafi sejak kecil.
Mungkin sebuah tradisi, dimana dia mewajibkanku untuk menguasai kemampuan itu.

"Sensei, aku sudah selesai!"

Salah seorang gadis menyahut, memecah lamunan penuh rinduku.

"Baiik, aku segera kesana."

Balas sensei, namun sebelum itu dia berbisik padaku.

"Aku bisa memberimu bimbingan lebih kalau kau mau. Potensimu besar, Ikki."

Tanpa menolak aku mengangguk, menyetujui tawarannya.

Bimbingan langsung dari ahli adalah hal yang begitu kuinginkan.
Tidak boleh lewat begitu saja!

=============

Langit jingga kini meredup.
Mulai ditampakkannya sinar redup sang bulan dari ufuk barat.

"Ara, sudah jam segini."

Ucap sensei menyadari jam dinding sudah berdetik di jam malam.

"Untuk hari ini kita sudahi dulu ya."

"Baik sensei."

Dirinya mengangguk, berdiri dari depan mejaku.

"Anu, sensei!"

Kembali lagi dia berbalik.

"Uhh, apa bisa aku yang mengunci ruangannya malam ini? Aku ingin berlatih agak lebih lama lagi."

Sensei terbelalak mendengarku, tapi akhirnya dia mengangguk setuju.

"Selama kau menjaganya dengan baik dan mengembalikannya besok jam 6 pagi."

Lensanya melirik ke salah satu loker.

"Kuncinya ada disana."

Kepalaku mengangguk, tubuhku membungkuk.

"Terima kasih banyak untuk bimbingannya, sensei!"

"Sama-sama~"

Balasnya dengan senyum lembut.

Kemudian dirinya membereskan barangnya dan pergi meninggalkanku.

Yosh!
Saatnya kembali berlatih.

Rasa suka ku akan kaligrafi sudah tertanam sejak kecil.
Itu semua terjadi saat pertama kali aku melihat kaligrafi milik ibu dahulu.
Sebelum dirinya pergi begitu jauh bersama ayah, meninggalkanku sendiri dengan karya-karyanya.

Hingga akhirnya Jiji menarikku ke desa.
Meninggalkan perkotaan yang samar kugambarkan di kepala.
Dan menjadi anak desa untuk sementara waktu sampai saat ini kembali ke tempat aku dilahirkan.

Jam terus berjalan, bahkan saking bersemangatnya aku tak mengira jam 9 malam datang dengan cepatnya.
Kalau saja bukan karena pak satpam yang mengetuk pintu, sudah kelewatan aku terduduk di ruang itu.

Setelah mengunci ruang kaligrafi, aku berjalan melewati lorong gelap dengan bantuan senter pak satpam.
Dia menggiringku sampai ke gerbang sekolah, dan kami berpisah.

Beberapa jarak menjauh dari gerbang.
Kaki yang awalnya berjalan lambat kini kupercepat.
Deru nafasku mengejar nyala lampu pertokoan di sepanjang jalan.

Setelah kudapati kondisi sudah membaik, pandangku jatuh pada pemandangan kota.

"Tidak, tidak, tidak mungkin kan makhluk mistis bisa hidup di perkotaan modern. Mereka pasti sudah musnah, hanya mitos belaka."

Gumamku, berusaha membuang jauh-jauh apa yang selalu kakek camkan di benakku sebelum datang kemari.

Deru nafas dan kaki kuperlambat.
Kugantikan rasa tidak enak itu dengan menikmati pemandangan kota di malam hari.

Jalanan penuh dengan cahaya.
Bahkan jam segini, keramaian pun tak luput dari tiap penjuru.
Kendaraan masih berjalan kesana-kemari.
Begitu juga para pekerja yang malah bekerja sampai malam hari.

Tidak ada yang perlu kuhawatirkan!

Begitu pikirku,
sampai sebuah jalan kecil di tengah perjalanan menyapaku dengan rona kemerahan menghias tanah-dindingnya.

"Wah, wah, tidak biasanya aku melihat ada orang lewat sini."

Ucap seseorang yang menjadi pelaku dibalik kekacuan itu.

Langkahku membekeku.
Bahkan aliran udara dingin mengalir, mengusap permukaan punggungku.

Jiji.

Maafkan aku.

Aku sudah melanggarnya.

===================
To be continued..

Nama :
Ikki (M/n)

Usia :
17 tahun

Tinggi :
169 cm

Warna rambut :
Biru turquoise

Warna lensa :
Ungu Magenta

Kelas :
3 SMA

Hobi :
Membuat kaligrafi jepang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro