Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4

Pendidikan untuk anak bukan dimulai sejak dini. Melainkan sejak kamu memilih pasangan sehidup semati.

"Baiklah kalau begitu. Kami tunggu konfirmasi dari beliau kapan bisa diintrogasi. Jangan sampai rumah sakit yang Bapak pimpin ikut terseret juga," tutup ucapan laki-laki itu begitu tenang. Namun seperti adanya air yang tenang, Fatah tahu ucapan yang keluar dari mulut lawan bicaranya tidak bisa dianggap remeh.

Agam Baihaqi, begitu nama yang Fatah ketahui. Laki-laki muda yang Fatah perkirakan berusia 25-27 tahun itu datang ke rumahnya memiliki niatan khusus.

Bukan. Bukan karena dia ingin melamar putri kecilnya, Nada, melainkan Agam mempermasalahkan prosedur rumah sakit yang Fatah pimpin.

Sebagai seorang JPU atau Jaksa Penuntut Umum, Agam Baihaqi cukup kompeten dibidangnya. Semua kasus yang ia tangani terselesaikan dengan lancar. Namun untuk yang kali ini Agam seperti tersandung berkali-kali dalam menyelesaikannya.

Seperti kabar yang Fatah dengar, Agam tengah menangani kasus para koruptor yang sedang marak. Laki-laki itu biasanya sebelum membawa kasusnya ke pengadilan, sebisa mungkin dirinya melengkapi semua berkas-berkas perkara tersebut. Kadang bahkan Agam akan terjun langsung bersama timnya dalam penyelidikan kasusnya.

Akan tetapi kali ini penyelidikannya tersendat karena tersangka dikabarkan tengah sakit dan dirawat di rumah sakit milik Fatah. Sudah berkali-kali tersangkanya tersebut selalu berkilah sakit bila tengah ingin dilakukan pemeriksaan darinya. Padahal Agam sendiri sudah ingin kasus ini selesai. Namun tersangka terus saja menolak ketika ingin diintrogasi.

Untuk itu Agam langsung menemui Fatah. Bertanya bagaimana prosedur yang sebenarnya dalam mengintrogasi pasien yang sakit. Sekaligus bertanya tentang kebenaran penyakit yang tersangkanya miliki. Benar seperti yang diungkapkan oleh pengacara orang itu, atau memang sakitnya ini hanya sekedar untuk mengulur waktu pemeriksaan.

"Baik. Satu-dua hari ini kami akan kontrol selalu bagaimana perkembangan kondisinya. Nanti akan kami informasikan kepada anda kapan bisa diintrogasi,"

"Kalau begitu saya permisi," ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Fatah.

Tepat ketika Fatah menyambut uluran tangan itu, ia berucap sesuatu diluar kepentingan laki-laki ini ke rumahnya. "Untuk perkara perempuan muda tadi..."

"Itu bukan ranah saya untuk mengomentari. Jadi Bapak tidak perlu ragu, anggap saja saya tidak lihat apa-apa."

"Terima kasih," sahut Fatah merasa senang, walau memang dalam hatinya timbul kekecewaan bila ia telah gagal melindungi aurat putrinya dari orang lain.

Keduanya berjalan keluar, setelah memberi salam Agam langsung menuju mobilnya. Lalu pergi meninggalkan Fatah yang masih berdiri diambang pintu.

Laki-laki itu diam memikirkan tampilan Agam tadi. Wajahnya Fatah akui muda dan tampan. Cara laki-laki itu bersikap juga begitu sopan dan sangat hati-hati. Tetapi ada sesuatu yang tidak Fatah sukai, terdapatnya anting pada telinga laki-laki itu.

Mungkin bagi Agam gaya seperti itu terlihat keren dan sangat kebarat-baratan, padahal tidak bagus sama sekali dalam penilaian Fatah. Apalagi jika Agam adalah anak laki-lakinya, sudah habis Fatah ceramahi dari pagi sampai malam.

Bagaimana bisa kebiasaan seorang perempuan yaitu memakai anting ternyata dipergunakan oleh laki-laki? Batin Fatah bertanya-tanya.

Yang Fatah tahu, Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan bahwa,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang meniru-niru kebiasaan wanita dan para wanita yang meniru-niru kebiasaan lelaki." (HR. Bukhari 5885)

Naudzubillah min dzalik.. Mudah-mudahan pintu hati Agam segera dibukakan. Dan menjadi sadar bahwa semua yang dilakukan pada tubuhnya adalah sebuah kesalahan. Doa Fatah begitu tulus.

"Yah, tadi dia ke mana?" seru Nada ketika Fatah sudah masuk ke dalam rumah.

"Dia siapa?"

"Itu loh orang tadi. Ke mana dia? Kok dia bisa di sini sih?" cecar Nada dengan banyak pertanyaan.

Tubuhnya kini sudah tertutup sempurna dengan hijab. Pakaiannya pun sudah rapi, tidak seperti tadi. Yang hanya memakai celana pendek dengan kaus tipis berwarna putih.

"Kamu kenal dia?"

"Eh.. Nggak sih, nggak kenal. Nada cuma mau pastiin aja dia nggak ngerekam Nada tadi. Emangnya Ayah mau ada video anak cantiknya ini di dalam film dewasa?" tanya Nada masih mencoba mencari dimana Agam berada.

"Berlebihan kamu. Buat apa dia ngerekam kamu? Tujuan dia ke sini aja bukan untuk ketemu kamu." ucap Fatah seadanya.

"Tapi kan, Yah. Nanti kalau udah kejadian baru deh Ayah nyesel nggak dengerin Nada,"

"Kejadian apa?"

"Yaa.. Kejadian kayak yang Nada bilang tadi. Nada kan cantik. Anak Ayah sama Ibu. Nada nggak mau aja..."

"Nada...."

"Hehehee.. Kok Ayah nggak bilang-bilang mau berhenti," cicit Nada sambil mengusap keningnya.

Dia memang sejak awal terus saja mengikuti gerakan Fatah ke ruang kerjanya. Namun tiba-tiba saja Ayahnya itu berhenti hingga Nada membentur punggungnya dengan keras.

"Kamu itu fokusnya ke mana sih? Jalan aja pakai ketabrak begini."

"Kan Nada lagi ngomong. Ayah sih nggak dengarin," cemberutnya kesal.

"Dengarin apa? Semua imaginasimu itu? Nada, Ayah bilang ya... JANGAN KEBANYAKAN NONTON FILM!!!!" Tekan Fatah pada kalimat akhirnya.

"Bukan film kok, cuma drama Korea,"

"Sama aja! Coba kamu dalami ilmu agamamu. Masih banyak Nada yang harus kamu pelajari. Islam itu ..."

"Islam bukan cuma sholat sama puasa kan, Yah? Ya Allah, Ayah tuh ngomong begini udah sering banget. Nada aja sampai hapal luar kepala. Tapi Yah, kata Om Imam hidup di dunia ini harus seimbang. Dunia dan akhiratnya. Bisa gila nanti Nada kalau kebanyakan belajar agama. Emang Ayah mau anaknya gila?"

"Kamu setiap Ayah nasihati selalu saja begini." Tatapan sendu Fatah berikan pada putrinya itu.

Dulu dia pikir mengajarkan Sabrin dalam bidang agama merupakan ujian kesabaran luar biasa untuknya. Namun ternyata semua itu masih lebih baik ketimbang mengajarkan putrinya sendiri.

"Oh jadi menurut Ayah semua itu salah? Nanti aku bilang deh sama Om Imam kalau apa yang dia bilang ke aku ternyata salah dimata Ayah," gumam Nada sambil melirik penuh kejahilan dikedua matanya. "Nggak papa kan kalau Nada bilang Om Imam?"

"Iya nggak papa. Tetapi benar atau salah itu tergantung sudut pandang. Ayah kan nggak tahu seperti apa sudut pandang Om mu itu. Lagi pula, Nada, kamu bisa belajar hal lainnya jika maksud kamu dunia dan akhirat harus seimbang. Seperti belajar menjadi perempuan yang baik. Atau menjadi seorang istri yang baik. Usia kamu bukan anak-anak lagi Nada. Gali terus keingintahuanmu. Bukan hanya diajarkan tentang A, lalu kamu kuasai setelahnya lantas merasa puas begitu saja. Padahal kamu tahu sendiri huruf alfabet bukan hanya A, ada A sampai Z. Jadi selagi masih muda, masih diberikan waktu cobalah untuk belajar terus nak. Jangan tergiur kepuasan sesaat."

"Udah, Yah?" cengirnya. "Sayang ucapan Ayah nggak bisa Nada foto kopi. Abis panjang banget kasih nasihatnya,"

"Astagfirullah al'adzim, Nada!"

"Haha, Nada mau ke rumah Om Imam dulu ah. Sekalian minta diajarin yang singkat tapi Nada paham. Dari pada sama Ayah," tawanya geli sekali.

Fatah tidak bereaksi. Dia diam memperhatikan kedua bahu Nada terus bergetar karena gadis itu tengah tertawa. Langkah Nada yang begitu ringan berjalan pergi meninggalkannya seakan memperingatinya bila tugas akhirnya telah tiba. Memilihkan calon suami untuk Nada.

***

"Kenapa dek, kok senyum-senyum sendiri?" tegur Sabrin ketika melihat tingkah Nada di ruang keluarga sendirian. Dia pikir senyum Nada hadir karena acara televisi yang dia tonton. Tetapi nyatanya tidak. Bahkan televisi di ruangan itu mati tidak dinyalakan oleh gadis itu.

Perlahan Sabrin mendekati. Duduk di samping Nada, "cerita dong sama Ibu, kenapa senyum-senyum."

"Itu loh, Bu. Nada jahilin Ayah," cicitnya pelan. Takut sang Ayah dengar dari ruang kerjanya di lantai atas.

"Kerjain Ayah?" ulang Sabrin kebingungan.

"Iya, ternyata Nada baru tahu cara ampuh buat ceramah panjang Ayah jadi nggak berarti." cengirnya lebar.

"Gimana coba?"

"Ada deh. Nanti Ibu ngadu sama Ayah. Ibukan dipihak yang nggak bisa tetap. Kadang dukung Nada sama Abang. Tapi sering juga dukung Ayah. Pokoknya Nada nggak mau kasih tahu Ibu,"

"Ibu mendukung itu harus lihat dulu siapa yang benar, siapa yang salah."

"Sama aja, Bu. Ibu harus pilih dong. Dukung Nada dan Abang atau Ayah?"

"Ibu golput deh, habis pilihan yang sulit sih. Semuanya Ibu sayang," kekeh Sabrin geli. Menatap wajah Nada yang juga tertawa di depannya.

Tadi dia tidak melihat mengapa Nada berteriak kencang dari kamarnya. Tetapi jika dilihat dari raut wajah Nada yang seperti tanpa pikiran sedikitpun, Sabrin yakin bukan hal penting. Niatnya ingin bertanya pun ia urungkan.

"Bu,"

"Iya sayang,"

"Apa yang buat Ibu bisa sayang bahkan cinta sama Ayah? Selain karena agamanya, Bu. Apa ada hal lain yang buat Ayah semenarik itu dimata Ibu?"

"Kok tumben kamu tanya begini?"

"Haha, nggak papa kok, Bu. Nada kan mau tahu," rangkulnya pada tubuh Sabrin. Bersandar pada bidang dada sang Ibu, kemudian merasakan punggungnya diusap sayang. Rasanya bagi Nada bagian inilah yang paling sulit dia lupakan ketika tengah berada jauh dari orang tuanya.

Ada kalanya ia akan menangis di kos'an ketika teringat masa-masa manja begini dengan Ibunya. Padahal itu hanya terpisah jarak yang mampu membuatnya menangis rindu. Apalagi bila suatu saat nanti mereka terpisah dunia, Nada sama sekali tidak bisa membayangkan seperti apa kelak dirinya.

"Bu," tegur Nada pelan. "Cerita dong,"

"Kalau cerita tentang bagaimana penilaian Ibu ke Ayah nggak akan selesai-selesai sayang. Bahkan Ibu aja bingung dari sebanyak itu huruf alfabet, masih kurang untuk membantu Ibu menjelaskan bagaimana Ayahmu itu."

"Ibu cinta banget sama Ayah ya? Apa Ayah cinta pertama Ibu?" tanya Nada bertubi-tubi. "Bu, ayo dong cerita. Nada kan udah gede, boleh dong dengar cerita kalian. Dulu waktu Nada masih SMA, Ibu selalu bilang Nada masih kecil. Sekarang Nada udah kuliah, Bu. Udah semester 5, masa masih dianggap anak kecil," rengeknya sambil menatap wajah Sabrin.

"Kamu kan memang putri kecil Ibu,"

"Ibu, ayo dong cerita."

"Oke. Ibu cerita. Tapi sebelumnya Ibu mau tanya satu hal, kamu cukup jawab ya atau tidak. Baru setelahnya Ibu akan cerita tentang kisah Ibu dan Ayah."

"Apa-apa?"

"Apa Nada lagi jatuh cinta?" tanya Sabrin sambil memperhatikan gerak gerik Nada. "Apa Nada merasakan sesuatu perasaan aneh sama seseorang?"

Kali ini bibir yang sejak tadi banyak sekali bicara hanya bisa diam. Dia meragu apa yang harus dia katakan mengenai perasaan aneh ini.

"Nada,"

"Nada bingung, Bu. Apa bisa cinta hadir dalam rasa penasaran?" cicitnya melemah.

****
Bersambung...
Ulululuuu.. Ada yang lagi kepooo..
Biasanya orang lagi jatuh cinta ya gitu. Pengennya denger cerita2 tentang jatuh cinta aja..

Btw alurnya gak kelamaan kan?


Diatas gambar cast sabrin di cerita Al Kahfi sama cast Nada. Mirip nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro