Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25

Kau memang tidak sekuat aku, namun yang harus sama-sama kita akui aku tidaklah setabah dirimu dalam memperjuangkan perasaan ini.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam, halo, Gam. Gue cuma mau reminder lo, lusa lo harus ikut, bro. Soalnya Bang Syafiq sama Bang Shaka belum ada konfirmasi akan pergi." ucap suara orang itu cukup kencang. Ia tahu Agam tengah di jalan karena suara bising knalpot kendaraan, oleh karena itu ia lebih mengencangkan suaranya agar Agam mendengar.

"Gue nggak bisa. Gue ada sidang paginya. Bisa-bisa gue datang sore. Emang acaranya jam berapa, Hid?"

"Kita mulai kumpul jam 8. Tapi kalau lo bisanya sore apa kita perpanjang sampai buka puasa bersama?"

"Nggak usah begitu, nanti cuma gara-gara gue jadi molor acaranya. Gue nggak setuju."

"Berasa penting banget lo ngomong begitu. Masalahnya kita memang kekurangan panita. Sumbangan sebanyak ini masa cuma 6 orang panitianya. Lagi pula yang buat gue bingung, ada tiga tempat dan itu berarti butuh ekstra tenaga, bro."

"Gue masalahnya nggak bisa ijin sidang, bro. Itu kasus emang dari awal gue yang tangani. Jadi..."

"Lo bisanya jam berapa? Pokoknya kita ubah jadwal aja kalau begitu." putus Wahid cepat.

"Sidang selesai gue langsung datang. Paling cepat sampai jam 2 paling lama jam 4 sore."

"Oke. Jangan lupa info bro ke yang lain,"

"Ke siapa?"

"Ke Nada," goda Wahid dengan tawa yang cukup keras di sebrang panggilannya.

"Gue serius, bro."

"Gue juga serius, dia loh yang usaha ke sana ke sini untuk acara ini. Dia yang kumpulin semua sumbangan ini sampai membludak. Alhamdulillah banget. Berkah acara dipimpin sama dia. Walau usianya masih muda tapi dia sudah menunjukkan pemimpin yang baik. Jadi gue harap lo bisa konfirmasi ke dia. Kalau lusa lo datang ya. Jangan buat dia pusing cari tenaga bantuan untuk jadi panitia,"

Tanpa suara, Agam mengangguk sebagai jawaban. Sampai panggilan itu terputus, pikiran Agam hanya bisa melayang. Dalam hati ia terus bertanya, apa benar inikah jalannya? Semakin ia menjauh, selalu saja ada jalannya untuk berdekatan dengan Nada. Semakin ia berdoa untuk diberikan jawaban, Tuhan seolah mendengar doanya. Tanpa perlu ia ragukan, ada saja jawaban dari doanya itu.

"Mudah-mudahan memang dia jalan terakhirku," gumam Agam sebelum memakai helmnya kembali.

Hari ini ia memang sengaja berkendara menggunakan motor. Selain menghemat waktu, motor juga lebih irit untuk urusan bahan bakarnya. Bukan berarti ia menjadi orang yang pelit. Namun selagi bisa menghemat mengapa harus menghambur-hamburkan uang. Bukannya ia tahu sendiri kalau mencari uang itu tidaklah mudah.

Harus dengan kerja keras, bahkan cacian serta hinaan melengkapi semua itu. Jika Agam kurang-kurang kuat dalam bertahan, sejak awal pastinya ia sudah terpuruk.

Sampai kini pun Agam hanya bisa tersenyum miris jika mengingat semua itu. Bagaimana dulu perjuangan awalnya menjadi Jaksa tidaklah mudah. Harus ada pengorbanan besar untuk mendapatkan sesuatu yang besar pula. Bahkan kala itu Agam merelakan sakit hatinya, demi mendapatkan batu loncatan dari keluarganya.

Keluarga? Masihkah orang-orang itu keluarganya?

Saat sadar dari pikirannya sendiri, ternyata ia sudah sampai ke tempat yang sejak tadi ingin ia tuju. Beberapa orang yang tampilannya mirip dengannya nampak keluar masuk tempat itu. Mungkin jika Fatah yang berada di sini, sudah di rukiyah olehnya tempat tersebut. Tetapi tujuan Agam di sini jelas. Ingin menjadi lebih baik. Seperti saran dari Adit beberapa hari lalu. Jangan karena ada masalah fokusmu berhijrah jadi memudar.

"Bismillah," ucap Agam pelan. Ia langkahkan kedua kakinya menuju sesuatu yang lebih baik.

***

"Kamu mau ngapain ke sini?" tanya Nada langsung pada intinya. Bahkan ia tidak mau repot-repot menyuruh Wahyu masuk ke dalam rumah.

"Aku mau bertemu sama dokter Fatah," jawabnya masih dengan senyuman yang dinajis-najiskan oleh Nada. Mungkin Wahyu tahu dari ekspresi Nada saja sudah terlihat kebencian di sana. Namun bukan berarti ia akan mundur. Baginya perempuan yang sulit ditaklukan adalah perempuan yang paling mampu menarik perhatiannya.

Bayangkan saja, dari sekian banyak perempuan yang tergila-gila padanya hanya Nada yang menolaknya mentah-mentah. Apalagi di jaman sekarang ini mata perempuan hanya terfokus kepada wajah dan masa depan pekerjaan laki-laki yang disukainya. Melihat laki-laki berjas putih langsung rela melakukan apa saja agar bisa mendapatkanya. Bahkan Wahyu akui banyak sekali perempuan yang rela ditiduri olehnya demi menjadi memiliki Wahyu selamanya.

"Alasan. Kamu itu mahasiswanya pasti tahu kalau jam-jam segini Ayah nggak ada di rumah. Dengar ya Mas Wahyu, kalau mau bohong itu pikir-pikir dulu." balas Nada dengan emosi. Apalagi melihat senyuman Wahyu yang terlihat mengejeknya emosi Nada semakin tidak terkendali.

Ya Tuhan, dosa sekali Wahyu ini sudah memancing emosinya ketika sedang berpuasa. Batin Nada.

Seharusnya sebelum Nada membuka pintu tadi, ia intip dulu melalui jendela siapa yang datang kira-kira. Kalau sudah seperti ini mengusir pun tidak akan bisa.

Seperti yang sering diajarkan Ayahnya kalau tamu adalah raja. Sikap diri kita bisa dinilai dari cara kira memperlakukan tamu. Dan itulah yang Nada benci. Kalau sudah begini ia harus mempersilahkan Wahyu masuk dan menemaninya berbicara. Padahal sejak tahu dia mengkhitbah Nada, ia paling anti melihat wajah Wahyu dalam radius terdekat dirinya.

"Masuk," ucap Nada akhirnya mempersilahkan.

Wahyu tersenyum menang. Ia duduk di salah satu sofa sambil melirik beberapa lembar kertas di atas meja.

"Mau ada acara?"

"Nggak usah lihat-lihat," jawab Nada cepat sambil membereskan semua barang-barangnya.

"Siapa tahu Mas bisa bantu,"

"Bantu-bantu, emang Nada minta bantuan." gerutunya masih dengan suara tidak bersahabat.

"Oh, ada Wahyu." seru Sabrin yang baru datang dari arah dapur. "Ibu pikir tadi pengantar paket yang Nada tunggu," ringis Sabrin tidak enak.

Senyuman mengesalkan yang sejak tadi Nada lihat di wajah Wahyu hilang sudah. Laki-laki itu bergerak mendekati Sabrin, lalu berusaha mencium tangan perempuan itu.

"Maaf," ucap Wahyu tidak enak karena Sabrin tidak mau tersentuh oleh Wahyu.

"Tidak apa-apa. Nggak baik bersentuhan sama yang bukan mahramnya," jawab Sabrin singkat. "Mau buka puasa di sini nak Wahyu?"

Wahyu melirik sekilas ke arah wajah Nada yang masih berekspresi kesal. "Iya. Sekalian meminta jawaban atas pertanyaan saya waktu itu,"

Benar saja, batin Nada. Ia datang ke sini bukan karena hal biasa. Melainkan ia butuh jawaban atas pertanyaannya waktu itu. Tapi bukannya Nada berjanji selepas hari raya jawabannya?

"Bukannya..." suara Nada terputus karena Wahyu memotongnya dengan cepat.

"Yang baik itu harus disegerakan. Dokter Fatah pasti setuju,"

Kedua tangan Nada terkepal kuat. Ya Tuhan laki-laki seperti apa Wahyu ini. Dari ekspresinya yang sangat mudah berubah-ubah membuat Nada kesulitan menilainya. Yang pasti, hati Nada berteriak kencang kalau Wahyu bukanlah calon imam terbaik untuknya.

***

Dengan harap-harap cemas Nada terus saja mondar mandir di depan pintu kamarnya. Jujur saja ia tidak siap mendengar keputusan final sang Ayah yang sedang berdiskusi dengan Wahyu sejak setengah jam lalu. Nada yakin Ayahnya adalah orang yang baik. Tetapi tidak menutup kemungkinan kebaikan yang Fatah lakukan malah membuat Nada tersiksa.

"Kamu kenapa toh, nak?" tanya Sabrin saat melihat wajah Nada gelisah.

Buru-buru Nada mendekati Sabrin dengan rasa penasaran tinggi. "Belum juga ya, Bu? Mereka ngomongin apa sih? Ayah tahu kan Nada kasih jawabannya habis lebaran. Tapi kok Nada takut ya, Ayah ambil jawaban sendiri."

Sabrin tersenyum, mengusap punggung Nada untuk menghilangkan gundah di hati anaknya itu.

"Kamu udah sholat belum? Minta sama Allah diberikan jalan yang terbaik. Jika memang Wahyu lah laki-laki itu, Allah pasti akan mempermudah jalannya. Tapi jika tidak, semua akan indah pada waktunya. Percaya sama Dia, sayang. Allah pasti memberikan yang terbaik untukmu."

"Tapi kan, Bu. Yang Nada tahu sekarang orang salah jalan dulu baru bisa menemukan yang sesuai. Apa Nada harus begitu juga?"

Sabrin langsung membisu. Mendengar ucapan Nada mengingatkannya kepada sang Kakak, Imam. Laki-laki itu pernah terjerumus dalam kesalahan dulu, barulah mendapatkan yang seharusnya sejak dulu ia dapatkan. Lalu bila seperti ini apa Sabrin rela anak gadisnya merasakan hal yang sama?

Tentu saja tidak. Di dunia ini tidak ada Ibu yang rela membiarkan anaknya terluka dan menderita. Bahkan ia rela menggantikan untuk rasa sakit itu.

"Apapun yang terjadi, apapun keputusannya, Ibu selalu ada untukmu sayang."

"Bu, Ayah yang selalu memegang kendali. Dia bahkan..."

"Percaya Ayahmu sayang. Tanpa kamu katakan ia tahu apa yang dirasakan darah dagingnya sendiri." nasihat Sabrin.

Suara bunyi motor berhenti di depan rumah menghentikan percakapan Sabrin dan Nada. Keduanya saling lirik dengan alis terangkat.

"Abang mau ke sini, Bu?"

"Abang? Shaka?" tanya Sabrin.

Ia tahu tidak mungkin Syafiq yang datang menggunakan motor. Biasanya Shaka yang selalu datang dengan suara motor menggema seperti itu.

"Nada lihat," ucapnya sambil berjalan turun ke arah pintu depan rumah.

Kali ini dia tidak mau salah langkah lagi, Nada mengintip sebentar di balik jendela. Lalu kedua matanya membesar saat melihat sosok itu membuka helmnya.

"Ya Tuhan," gumam Nada dengan jantung yang berdebar. Kok bisa? Batinnya bersuara.

Sambil salah tingkah, Nada merapikan kerudungnya. Menarik baju lengan panjang yang ia pakai. Tidak terlalu buruk, pikirnya. Lalu kemudian ia membuka pintu itu yang dibalas dengan tatapan kaget sosok tersebut.

"Assalamu'alaikum," salamnya sambil turun dari motor.

Setiap langkahnya mendekati arah Nada, debaran jantungnya semakin menjadi. Bibir Nada mendadak kaku, bahkan untuk membalas salam itu saja tidak bisa.

"Maaf," suara Agam pelan. "Datang tanpa bilang-bilang lebih dulu,"

Refleks Nada memegang dadanya yang berdebar tidak menentu. Ia bingung harus berkata apalagi. Dihadapkan dengan sosok Agam yang tinggi besar, membuatnya merasa kecil. Padahal ini bukan pertama kali mereka bertemu.

"Mau.. Mau ketemu Ayah?" tanya Nada terbata-bata. "Ayah di dalam, aku panggilin ya." sambungnya berusaha menghindar.

Saat tubuhnya berbalik, tak sengaja Agam menarik tangannya. "Maaf," seru Agam salah tingkah. Tetapi tetap menggenggam tangan Nada.

"Saya bukan mau ketemu sama Dokter Fatah, saya mau..."

Ucapan Agam terhenti saat orang yang sedang mereka bicarakan muncul di antara mereka. Memandang Agam dan Nada bergantian. Apalagi tangan Agam masih memegang pergelangan tangan Nada tanpa mau dilepas sedikitpun.

"Nak Agam Baihaqi," ucap Fatah seolah meyakinkan. Karena dari apa yang ia lihat tampilan Agam agak sedikit berbeda. Apa yang membuatnya berbeda? Tanya Fatah merasa bingung.

Nada perlahan melepas pegangan tangan Agam, kemudian bergerak ke belakang Fatah. Bersembunyi dari tatapan Agam yang terus saja menusuk jantungnya.

"Iya, Pak."

"Ada perlu apa ke sini? Apa kasusmu belum usai?" tanya Fatah kebingungan. Karena seingatnya pasien yang dulu Agam kejar-kejar sudah keluar dari rumah sakit.

"Bukan, Pak. Bukan untuk urusan pekerjaan saya ke sini. Tapi..." ucapannya terhenti saat sosok lain muncul dan berdiri di samping sisi Fatah satunya lagi.

Laki-laki itu belum pernah Agam lihat sebelumnya. Lalu siapakah laki-laki itu?

"Lalu urusan apa kau kemari?" pancing Fatah dengan tenang.

"Saya ada urusan dengan Nada," jawabnya singkat.

"Nada?" ulang Fatah meyakinkan. Ia melirik Nada yang menunduk di sampingnya, lalu melihat ke arah Agam kembali. "Apa yang membawamu ke sini untuk menemui anak perempuan saya?"

Agam diam, bingung harus memberikan jawaban apa. Di satu sisi ia ingin mengakui sesuatu yang menganjal di hatinya. Di sisi lain ia memang serius ingin menemui Nada untuk acara lusa.

"Nak Agam, seharusnya kamu ingat kata-kataku. Sesuatu yang belum menjadi milikmu, bukan berarti kamu tidak bisa memilikinya. Hanya saja kamu belum siap." ucap Fatah memperhatikan penampilan Agam. Sepasang anting yang biasa ada pada telinga laki-laki itu sudah menghilang. Namun tato di kedua lengan Agam tidak bisa Fatah abaikan begitu saja.

"Sejak awal saya paham, Pak. Dan pertanyaan bapak waktu itu akan saya coba jawab sekarang. Mengapa saya memiliki tato, mengapa saya beranting. Karena ini adalah masa lalu saya ketika berusia 17 tahun. Kini saya berharap Tuhan bisa mengampuni saya atas masa lalu saya itu." ucap Agam begitu tenang. Ia melirik Nada penuh makna tersirat, lalu tersenyum samar.

"Karena di sini saya sudah bertemu dengan Pak Fatah, saya sekalian ingin menjelaskan apa yang dulu sempat saya tutupi. Mungkin semua orang menilai saya dari penampilan. Tapi saya menilai putri bapak dengan hati saya. Nada Razani Al Kahfi, sudah cukup menyita semua hati dan pikiran saya. Nada Razani Al Kahfi, namanya bagaikan huruf Tafkhim dalam hati saya. Dan semoga Bapak paham, inilah perjuangan saya seperti nasihat Bapak waktu itu."

"Apa?" seru Nada tiba-tiba. "Aa.. Aku? Bagaikan huruf Tafkhim?" ulangnya mengingat-ingat.

Huruf Tafkhim? Kok bisa ia lupakan makna dari ini. Batin Nada berteriak kencang karena kesal. Disaat-saat seperti ini ia lupa pelajaran yang paling penting. Kemana dia dulu saat pelajaran Agam di sekolahnya?

***
Bersambung..
Panjangnya euyyy..
Awas gumoh..
Tolong ya... Kalau jelek aku minta maaf..
Cuma mau nulis aja kalo manusia itu gak ada yg sempurna.
Kayak nada, walau tumbuh dalam keluarga yg paham agama. Dia juga sering kali lupa akan pelajaran agama yang sering dijelaskan kepadanya.

Lalu kalau ada yang bilang, kok Nada kayak anak kecil bgt sih. Jadi nggak ngefeel sama cerita ini.

Memangnya kalian mau Nada kayak gimana? Yang alim, yang sifatnya tenang. Yang malu-malu kucing..

Kayaknya kalian salah baca cerita. Lagi pula di real gak semua orang sifatnya begitu. Lalu kalau yang begajulan kayak Nada dianggap buruk juga?

Dasar manusia, bisanya menilai dari sikap aja.

Nada kenapa kubuat kekanak-kanakan begini karena banyak hal. Yang pertama dia cucu perempuan satu2 di keluarga al kahfi, dan karena dulu sabrin pernah sekali kehilangan, maka Nada disayang begitu besar. Nada juga cucu terkecil perempuan di keluarga besar itu jadi wajarlah dia dimanja.

Pernah lihat anak bontot kan gmn sikapnya? Ya kayak begitulah Nada.

Jadi please. Sekali lagi aku bilang, jangan nilai karakterku dari satu sudut pandang aja

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro