2
Lidah orang berakal terletak pada hatinya. Tetapi hati orang bodoh terletak pada lidahnya.
Seperti sebelum-sebelumnya, jika sudah disuruh menunggu di ruang kerja Ayahnya, semua pasti sudah bisa tertebak. Tidak mungkin dalam waktu 10 menit Ayahnya datang kembali. Nada sudah tahu benar bagaimana sosok Ayahnya itu. Bukan hanya dari cerita kesedihan yang Ibunya sering tanpa sadar perlihatkan. Melainkan semakin menganjak dewasa, Nada bisa mengartikan sendiri.
Saat ini waktu sudah hampir waktu dzuhur, dan sang Ayah belum juga kembali. Perutnya telah memanggil-manggil untuk segera diisi. Tetapi dia harus bagaimana lagi, Ayahnya masih memerintahkan untuk menunggu padahal Nada saja tidak yakin dalam waktu singkat Ayahnya akan datang.
"Lama!!!" gerutu Nada kesal.
Jam tangan berwarna pink yang melingkar di tangannya seakan mengejeknya. Sejak pagi dia belum makan apapun juga. Apakah Ayahnya tahu akan hal itu?
Sambil cemberut kesal, Nada turun ke bawah. Niat hatinya saat ini ingin ke kantin rumah sakit untuk sedikit membeli pengganjal perut agar meminimalisir konser di dalam perutnya.
Namun niatnya hanya berakhir menjadi niat saja. Dia melihat sang Ayah tersenyum bahagia, menepuk-nepuk bahu seorang laki-laki. Bertubuh jangkung dengan rambut pelontos.
Nada ingat rasanya tadi laki-laki itu adalah salah satu mahasiswa koas didikan sang Ayah.
Dasar Ayahnya menyebalkan, geram hati Nada.
Sejak tadi dia menunggu di dalam ruang kantor sang Ayah dengan perut kosong hanya demi membawa sang Ayah pulang dan melepaskan rindu bersama Ibu dan dirinya. Tahu-tahu di sini, Ayahnya terlihat santai sambil tertawa-tawa dengan anak didikan.
Rasa kesal semakin menjadi di otak Nada. Nada akui yang paling sulit dia tahan dalam dirinya adalah rasa marah dan rasa penasaran. Tetapi rasa marahlah yang utama. Dan kini Ayahnya tengah sengaja menyiram bensin ke tubuhnya.
Dengan langkah besar, Nada menghampiri Ayahnya dan laki-laki itu. Nada yang datang dari belakang tubuh Ayahnya menjadi perhatian dari laki-laki jangkung itu.
"AYAAAAAHHH..." Panggil Nada kencang. Bukan hanya Ayahnya yang menengok ketika Nada bersuara begitu keras, beberapa pasien yang menunggu di ruang tunggu juga turut memperhatikan sosok Nada.
Hijab yang dipakai gadis itu sudah acak-acakan. Helaian rambut hitamnya nampak terlihat di atas keningnya karena sudah tidak beraturan.
"Ayah...!!!" panggilnya sekali lagi.
"Loh Nada, Ayah tadi minta kamu..."
"Nada capek, Yah. Selalu aja turutin apa kata Ayah. Tapi apa yang Ayah lakuin ke Nada?" geramnya kesal.
Dia tidak peduli walau diperhatikan oleh banyak orang sekarang ini. Yang Nada inginkan Ayahnya tahu bagaimana perasaan hatinya.
"Nada..." panggil Ayahnya nampak tenang. "Kamu mau sholat dulu baru kita pulang?"
"Nggak perlu!!! Nada nggak jadi minta Ayah pulang!!!" ketusnya masih dengan nada suara yang sama. "Percuma juga Ayah pulang kalau pikiran Ayah hanya ada di rumah sakit ini. Bahkan Nada kecewa sama Ayah, anaknya yang baru kembali, belum makan sesuap nasi pun nggak diingat sama Ayah." rengeknya melemah.
"Dulu bukannya Ayah yang ngajarin Nada kalau menolong orang itu harus dari yang terdekat. Dari lingkungan sekitar kita. Seperti keluarga. Tetapi mengapa Ayah hanya memikirkan yang jauh. Sedangkan keluarga Ayah sendiri.. Tersiksa." cicitnya begitu sedih.
Kedua manik mata bulatnya menatap Ayahnya begitu dalam. Terlihat sekali dia kecewa, tetapi tidak ada pembelaan atau penjelasan sedikit pun dari sang Ayah.
"Nada.."
"Nada pamit," ucapnya sembari mencium tangan sang Ayah.
Tubuhnya langsung berbalik dan berlalu begitu saja. Tanpa mengharapkan penjelasan dari Ayahnya sedikitpun. Karena Nada tahu seseorang seperti Ayahnya memang sesekali harus ditegur seperti itu.
***
"Pulang ke rumah dicuekin. Nggak pulang ditanyain mulu sampai disindir-sindir, udah lupa punya orang tua. Maunya apa sih?" gerutu Nada sambil memakai tali sepatunya.
Setelah meluapkan semua kekesalannya kepada sang Ayah, dia langsung bersujud kepada Tuhan. Merasa takut karena telah berani-beraninya berkata seperti itu.
Nada pun bingung bagaimana caranya dirinya berontak namun tidak melanggar batas agama.
"Kalau nggak diungkapin gondok, diungkapin disangka pakai kedok selama ini." cibirnya lagi. "Eh dokter Fatah kok anaknya jahat banget ngomongnya. Percuma auratnya tertutup tapi ucapannya nggak dijaga. Kan sebel dengar yang begitu terus!!! Memangnya ada hubungan apa menutup aurat sama menjaga ucapan?" sambungnya kembali sambil terus saja bermonolog.
"Kan nggak nyambung-nyambung amat. Yang namanya menutup aurat itu kewajiban. Terus kalau menjaga ucapan itu karakter. Beda kan ya?"
"Sama. Sama-sama ciri khas seorang muslim," jawab singkat seseorang.
Dengan satu tangan memegang sepatu ke udara, Nada melirik siapa yang menjawabnya. Ketika tahu siapa yang duduk di sampingnya, Nada tersenyum bahagia.
Ini dia, salah satu orang yang begitu dia rindukan. Tubuh laki-laki ini tidak banyak berubah. Itu yang bisa Nada gambarkan. Mungkin karena hampir setiap malam mereka melakukan video call sehingga terasa tidak ada perubahannya.
"Abaaaangg..." rengeknya manja.
"Jelek banget kalau ngerengek begitu," kekeh Syafiq sambil menarik Nada ke dalam pelukannya.
Dulu ketika mereka masih tinggal satu rumah, boro-boro ada adegan peluk memeluk. Semua terasa begitu memuakkan bagi satu sama lain.
Namun ketika jarak mengajarkan mereka arti merindu, semua terasa beda.
Maheswara Syafiq Al Kahfi, yang menjadi kakak Nada satu-satunya sudah benar-benar berubah. Dan Nada tahu sekali ketika saat-saat itu.
"Tumben kamu balik nggak minta Abang jemput?"
Sambil mengusap lelehan air matanya, Nada menggeleng cepat. "Nada nggak mau ngerepotin Abang. Apalagi Nada dengar Kak Farah lagi hamil. Nada nggak mau ganggu Abang."
"Dulu aja ganggu mulu." kekeh Syafiq.
"Kok Abang bisa di sini?"
Syafiq tersenyum, merapikan helaian rambut Nada yang keluar dari kerudungnya. "Tadi Ibu telepon. Katanya kamu udah pulang, tapi langsung ke rumah sakit Ayah. Naik angkot lagi. Karena nggak mau buat Ibu khawatir, jadinya Abang..."
"Makasih banyak, Bang. Nada bahagia masih ada yang peduli sama Nada," ungkapnya untuk menyindir sang Ayah.
Akan tetapi Syafiq menanggapinya hanya dengan senyuman. Dia tahu kenapa Nada bicara seperti itu. Karena sejak kecil pun dia selalu kecewa atas segala sikap Ayahnya.
"Nada mau dengarin Abang?"
"Mau,"
"Ayah, Ibu, Abang, Kak Farah, itu semua adalah keluarga Nada. Jika ada salah satu dari kami yang tidak sempurna, entah itu dari fisik atau sikap apakah Nada harus diam saja saat mengetahuinya? Nggak kan. Nada pasti bantu semampu Nada. Sama seperti Ayah. Abang paham kok maksud Nada. Dulu.. Waktu Abang kecil, Abang sampai pernah minta sama Kakek sejumlah uang. Bukan untuk Abang jajani. Tetapi Abang cuma mau beli senyum Ibu. Karena Ibu selalu menangis ketika Ayah nggak ada di rumah. Dan Abang yakin Nada pun pernah merasakan bagaimana sedihnya Ibu?"
"Tapi..." Syafiq menggantung kata-katanya, memakaikan sepatu Nada sebelah lagi sambil menunduk di depan gadis itu. "Tapi apa harus kita kucilkan keburukan Ayah itu? Apa kita harus berteriak selalu kepada Ayah agar memberikan waktu lebih kepada kita? Bukan seperti itu caranya dek. Jika memang Ayah tidak memiliki banyak waktu untuk kita, bukan berarti dia nggak sayang sama kita. Nggak peduli sama kita, dia nggak mungkin melengkapi semua kebutuhan kamu. Jadi menurut Abang sudah seharusnya kamu yang berusaha mengerti. Ayah juga lelah. Tetapi dia sama sekali nggak mengeluh. Karena apa? Selain dia bisa menolong orang banyak yang pahalanya tidak terhitung, dia juga bisa melihat senyummu tanpa sedikitpun kekurangan."
"Tapi kan Bang, bukan materi aja yang dicari di dunia?" cecar Nada.
"Kamu percaya sama Ayah kita? Insha Allah akhirat nggak pernah dia lupakan. Doanya untukmu selalu mengalir walau tanpa kau ketahui. Di dalam aliran darahmu ada jerih payah keringatnya selama ini dengan hal-hal yang halal. Apa kamu masih meragukan itu?"
Sejenak Nada terdiam. Apalagi saat Syafiq tersenyum ketika telah selesai mengikatkan tali sepatu Nada pada satu kakinya.
"Sekarang kita ketemu Ayah ya?"
"Tapi Nada tadi marah sama dia," cicit Nada takut.
"Tanpa kamu memohon ampun Ayah sudah memaafkan semuanya." ajak Syafiq sambil mengulurkan tangannya ke arah Nada.
Wajah adik perempuannya itu putih pucat sama percis seperti Ibunya. Sehingga bila Syafiq melihat sang Adik, selalu Ibunya lah yang teringat. Ibu yang begitu dia sayangi.
"Ayah..." panggil Nada saat melihat tak jauh dari mereka Fatah berdiri.
Entah sejak kapan dia di sana, yang jelas tidak ada aura marah dari ekspresinya.
"Ayaaaahh.. Maafin Nada," peluknya erat.
Fatah mengangguk pada Syafiq saat anak laki-laki itu tersenyum seperti memberikan isyarat jika Nada telah menyesal atas apa yang dilakukannya.
Dan di sini bukan Nada saja yang menyesal, tapi Fatah juga.
"Ayah maafin Nada nggak?"
"Ayah maafin. Tapi Ayah juga mau minta maaf ke Nada,"
Dalam pelukannya Nada tertawa, melirik Syafiq sambil mengangkat ibu jarinya tinggi-tinggi. "Dimaafin nggak ya? Dimaafin pakai syarat tapi."
"Apa sayang?"
"Mau makan," rengek Nada seperti anak kecil.
Fatah tertawa geli. Dia mengangguk, lalu merangkul tubuh Nada untuk berjalan mengikutinya. "Kita makan di tempat yang paling enak,"
"Assiiiikkkk.. Di mana tuh, Yah." histeris Nada.
"Di rumah bersama Ibumu,"
Mendengar lawakan segar dari Ayahnya, Syafiq terkikik geli di belakang mereka. Ia tahu pasti akan berakhir di mana kesalah pahaman ini. Tetapi dia bersyukur masih ada yang mau mengalah untuk kemenangan bersama dalam keluarga.
****
Bersambung..
Selamat buka puasa..
Btw busway pasti pada bingung, kok agamnya nggak muncul.
Sabar atuh aku mau memperkuat karakter utama perempuannya dulu. Dan mau kasih tahu bagaimana lingkungan sekitarnya.
Karena masalah yang akan hadir itu dari orang-orang terdekat mereka.
Dan buat yang kebingungan siapa dokter Fatah, siapa Sabrin, siapa Syafiq, dan Siapa Farah. Semua udah pernah aku ceritakan lengkap di ramadhan tahun2 sebelumnya..
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro