1
Jadilah wanita yang sulit didapatkan tapi beruntung jika sudah dimiliki.
Rumah besar bergaya minimalis itu masih sama. Semenjak kedua anak yang dimiliki sang empunya rumah pergi tidak ada perubahan di sana. Masih begitu terlihat tenang namun terasa hangat di dalamnya.
Nada yang baru saja tiba menggunakan taksi dari stasiun Gambir langsung tersenyum lebar kala melihat rumah yang dia rindukan. Sudah hampir enam bulan dia tidak pulang ke rumah. Dan kali ini dia pulang pun karena sang Ibu memintanya untuk di rumah selama ramadhan tiba.
"Assalamu'alaikum..."
Tidak ada sahutan, tidak ada sosok Ibu yang selalu menghampirinya keluar saat dirinya pulang.
Awalnya Nada tidak merasa curiga. Dia duduk di atas kursi teras sambil membuka sepatu kets yang dipakainya. Tas ransel yang berisi beberapa barang dia letakkan di lantai. Kemudian Nada sengaja menaikkan kedua tangannya ke atas. Menghirup udara pagi ini di rumah tempat dirinya dilahirkan.
"Aaahh... Nada kangen semuanya,"
Setelah sepatu dan tasnya dia tinggal begitu saja, Nada mulai masuk ke dalam. Melihat ke sekeliling rumah yang terlihat begitu kosong.
Memang semenjak Nenek dan Kakeknya meninggal, keadaan rumah semakin sepi saja. Tidak ada lagi suara ribut-ribut antara sang Nenek dengan Ibunya di pagi hari. Semuanya terasa begitu senyap seperti perasaannya sekarang ini.
Nada yang baru berusia 20 tahun memang sering menjadi barang olok-olokan teman kampusnya. Bukan karena gadis itu jelek. Akan tetapi sejak masa puber pertamanya sampai usia sekarang ini, Nada belum pernah sekali pun dekat dengan laki-laki. Ayahnya yang super protektif membuat dirinya malas membantah larangan-larangan yang dibuat sang Ayah.
Karena itu ketika para sahabatnya di kampus sedang membangga-banggakan laki-lakinya, Nada hanya bisa diam. Diam bukan berarti dia sedih. Namun dia berjanji suatu saat nanti semua sahabatnya akan bungkam ketika dirinya menceritakan sosok yang telah halal untuknya.
Bahkan Ibunya sering kali menasihati Nada dengan serangkaian cerita yang menurut Nada pernah dialami Ibunya. Bahwa tidak selamanya mencintai sosok laki-laki yang bukan halalnya akan bahagia. Karena yang sudah halal saja masih bisa menyakiti.
Karena itu, Nada mencoba belajar dari lingkungan sekitar. Seperti Kakaknya pun yang menikah tanpa pacaran, Nada pun ingin seperti itu. Dan dia berharap segera dipertemukan oleh laki-laki yang baik tersebut.
"Bu... Ibu..." panggil Nada di dalam rumah.
Kedua alis gadis itu terangkat tinggi. Tidak biasanya sang Ibu tidak ada di rumah. Tetapi kenapa jika Ibunya tidak ada di rumah, pintu depan serta pintu gerbang terbuka lebar.
Sambil menebak-nebak ke mana Ibunya pergi, dia mulai berjalan masuk di mana kamar Ibunya berada. Ternyata yang tidak dia sangka, Ibunya sedang melakukan sholat di dalam kamarnya itu.
Sholat Dhuha, begitulah yang sedang dilakukan Ibunya. Wajah Ibunya benar-benar sangat berseri-seri dibingkai dengan mukena putih. Nada yang melihatnya saja begitu terpukau, apalagi Ayahnya yang hampir selama 24 tahun ini setia menemani Ibunya.
Nada pernah diceritakan oleh Neneknya bahwa dulu Ibunya tidak seperti saat ini. Begitu terbuka dan jauh dari cintaNya, tetapi kini semua berubah.
Yang Nada ketahui Ayahnya tidak pernah memaksa untuk membuat Ibunya berubah. Sang Ayah hanya mencontohkan yang terbaik untuk Ibunya lakukan. Dan berhasil. Bahkan sekarang Nada bersyukur bisa memiliki seorang Ayah sepertinya.
Yah walau Nada tidak bisa pungkiri waktu yang dimiliki Ayahnya tidaklah banyak. Sebagai komisaris sebuah rumah sakit besar, kesibukannya benar-benar harus dimengerti keluarganya.
"Wa'alaikumsalam, anakku." sahut Sabrin ketika selesai menjalankan ibadahnya.
Nada langsung tersenyum bahagia, mendekati sang Ibu lalu memeluknya erat.
"Nada kangen Ibu,"
"Ibu yang paling kangen sama Nada,"
Acara lepas kangen itu berlangsung cukup lama. Nada dengan segala kemanjaannya menceritakan semua yang terjadi di kampus kepada sang Ibu. Dan dengan penuh kasih sayang Ibunya mendengarkan bahkan sekali-kali ikut tertawa melihat ekspresi sang anak.
"Nada mau makan apa? Ibu baru aja mau masak."
"Apa aja, Bu. Nada emang kangen masakan Ibu."
"Oke sayang.. Ibu masak semua kesukaan Nada," Kekeh sabrin.
"Bu," panggil Nada ketika Ibunya sudah akan pergi berlalu. "Ayah belum pulang kah?"
Sabrin tersenyum sejenak, kemudian menghampiri Nada kembali. "Ayah tugas jaga malam, sayang. Tapi kalau tahu Nada pulang, pasti Ayah segera pulang."
Nada bisa menangkap rasa sedih di wajah Ibunya. Namun segera perempuan itu hilangkan. Kembali tersenyum sambil mengusap kening Nada.
"Ibu masak dulu ya,"
"Bu, Nada boleh ke rumah sakit Ayah kan?"
"Sekarang?"
"Iya. Sekarang. Nada mau kasih kejutan sama Ayah,"
"Diantar supir ya, Nak."
"Nggak usah, Bu. Pakai angkutan umum aja. Kan deket ini,"
"Ya udah hati-hati. Bawa Ayahmu pulang segera,"
"Siap, Bu!!!"
Ada senyum kebanggaan dalam diri Nada. Niatnya pulang kali ini memang untuk memberikan kebahagiaan, tak terkecuali kebahagiaan Ibunya.
***
Saat kedua kakinya turun dari bis umum yang membawanya ke rumah sakit di mana Ayahnya berada, senyum itu tidak kunjung hilang.
Dulu ketika kecil, dia sering sekali datang ke sini. Membawa bekal untuk sang Ayah bersama Ibu dan Kakaknya.
Namun sekarang ini dia datang kembali untuk membawa Ayahnya pulang. Bukan hanya Ibunya yang rindu bercengkrama dengan sang Ayah. Tapi dirinya juga.
Ketika dia berjalan masuk ke dalam lobi, beberapa satpam yang bertugas sudah cukup lama tersenyum kepadanya. Mereka seolah tahu siapa gadis yang baru saja melewati mereka.
Hingga Nada akan masuk ke dalam lift, tidak sengaja kedua matanya melihat sosok itu lagi.
Agam Baihaqi..
Laki-laki itu ada di rumah sakit ini. Berjalan dengan dua orang laki-laki di sampingnya sambil berbicara begitu serius.
"Pantau terus orang itu. Jangan sampai sakit dijadikan alasan olehnya."
"Baik,"
"Tapi pak, sepertinya memang kesehatan dia menurun drastis."
"Setiap akan disidang selalu alasan ini yang dipakai,"
Mendengar percakapan seperti itu, Nada hanya bisa diam. Niatnya datang ke rumah sakit untuk bertemu sang Ayah hilang.
Sekarang tubuhnya bersembunyi, mendengar apa yang dibicarakan oleh laki-laki itu.
Nada pun kesulitan menelan ludahnya ketika melihat pakaian yang dikenakan oleh laki-laki itu. Jaket yang sewaktu di kereta dipakai olehnya kini sudah tidak ada lagi. Hingga tato yang ada di lengannya bisa Nada lihat jelas.
Wajah laki-laki itu memang begitu tampan. Nada akui itu. Namun tampilan dari sosoknya membuat Nada ketakutan sendiri.
"Kalau begitu besok kita datang lagi,"
"Siap."
Selepas laki-laki itu pergi, Nada menarik napas dalam. Beberapa kali dia memukul bagian dadanya yang berdetak kencang seolah mengejeknya.
Ada apa dengan dirinya? Mengapa ada yang aneh ketika harus melihat laki-laki itu.
Jujur saja Nada belum pernah seperti ini. Walau dia memang belum pernah berpacaran namun bukan berarti dia tidak memiliki teman laki-laki.
Jelas sekali di kampusnya banyak anak laki-laki yang asalnya bahkan bukan dari kota penghasil apel Malang itu. Tetapi entah mengapa baru kali ini dia merasa aneh.
Agam Baihaqi..
Nama itu terulang lagi dipikirannya. Mengapa laki-laki itu berhasil mencuri perhatiannya? Padahal Ayahnya selalu bilang jangan pernah dekat dengan laki-laki yang mencintai Allah saja tidak. Tetapi dari mana Nada tahu kedekatan Agam dan Allah? Memangnya mereka sudah saling kenal? Baru mengenal nama saja bukan berarti kau tahu segalanya kan?
Namun karena seringnya doktrin sang Ayah tentang sosok laki-laki kepadanya, maka pikiran buruk itu muncul ketika ada sosok yang berhasil menarik perhatiannya. Padahal memiliki perasaan lebih kepada lawan jenis juga bukan keinginannya.
"Nada..."
Lamunannya sirna begitu saja. Tepat pintu lift di depannya terbuka, sosok Ayahnya berdiri di sana. Masih menggunakan jas dokter, laki-laki paruh baya itu merasa bingung melihat anak gadisnya di sini.
"Ayah," panggil Nada sambil meringis. Dalam hatinya terus saja berdoa, semoga tadi sang Ayah tidak memergokinya menatap laki-laki yang bukan mahramnya.
Tetapi jika pandangan tersebut tidak mengandung unsur syahwat bukankah tidak termasuk dalam zina?
Kata siapa Nada? Tanya hatinya begitu dalam. Bukankah tadi dia begitu memandang lekat sosok laki-laki bertato dengan anting di telinganya. Lantas kurang dari mana lagi menjelaskan unsur syahwat dari apa yang Nada lakukan.
"Ayah pikir kamu sampai Jakarta besok," ungkap Ayahnya begitu santai.
Dalam hatinya Nada mencibir kesal. Sejak kapan Ayahnya peduli dan ingat masalah keluarga. Sejak dulu hanya bisnis yang diingatnya. Bahkan tak jarang ketika Nada sudah mulai dewasa dia bisa melihat bagaimana Ibunya sedih atas segala sikap yang Ayahnya miliki.
"Ayo pulang, Yah." rengek Nada tanpa malu.
Seolah paham dengan tatapan bingung Ayahnya, Nada mencuri pandang dengan beberapa orang di belakang sang Ayah yang ternyata sejak tadi mencuri dengar perbincangan mereka.
Dari apa yang Nada lihat, Nada tahu semua yang ada di belakang Ayahnya adalah mahasiswa kedokteran yang sedang menjalani masa koas.
Wajah-wajah penuh berseri memang berbeda sekali dengan dokter yang sudah berkecimpung cukup lama.
Kalau tidak percaya lihat saja wajah Ayahnya. Kantung matanya begitu berlipat. Jambang di sekitar area wajah sang Ayah sudah tidak terurus lagi. Dan tubuh Ayahnya yang biasanya gagah, semakin terlihat menua.
Memang perkara umur tidak ada yang bisa dibohongi. Walau usia Ayahnya belum masuk kepala lima, tapi Nada tahu Ayahnya sudah tidak semuda dulu. Harusnya kata pensiun sudah laki-laki itu gantung tinggi-tinggi.
Tetapi lihat saja sekarang? Kegilaannya dengan bidang kedokteran tidak menurunkan semangat kerjanya. Yang Nada tahu selain Ayahnya menjadi komisaris di dua rumah sakit bertaraf Internasional, dia juga sebagai teknik pengajar dia salah satu universitas Negeri di Jakarta.
Bermodal dari segala bidang pengalamannya, Ayahnya bisa dipercaya menjadi pengajar pada bidang kedokteran. Seperti yang begitu dicintainya.
"Kamu tunggu saja di ruang kerja Ayah, nanti Ayah pulang kalau sudah mengarahkan mereka semua." tunjuknya pada mahasiswa.
"Nada kangen sama Ayah,"
"Ayah juga kangen Nada, tapi ada yang harus Ayah selesaikan juga."
"Bukan Nada aja sih yang kangen Ayah. Tapi Ibu juga," ringis Nada.
"Nada..." panggil sang Ayah.
"Iya Yah,"
"Kamu bisa tunggu Ayah di ruang kerja Ayah,"
Sambil cemberut kesal, Nada menghentak-hentakan kaki seperti anak kecil. Dia pikir Ayahnya akan luluh dan berputar arah untuk pulang bersamanya. Ternyata tidak. Dan bahkan dia harus menunggu Ayahnya selesai dulu baru bisa pulang bersama.
"Jangan dihiraukan putri saya yang manja itu,"
"Manis dok putrinya," goda seorang laki-laki bertubuh jangkung yang juga merupakan mahasiswa koas.
"Akan lebih manis kalau dipandangnya dalam status yang halal," jawabnya penuh sindiran halus.
Dia tahu sejak tadi para mahasiswa ini sibuk mencuri pandang terhadap Nada putrinya.
Dan dia juga tahu masa-masa seusia Nada adalah waktunya orang tua berputar otak untuk melindungi namun tidak mengengkang. Karena ia tahu gadis seperti Nada tidak mau ditegur namun selalu salah arah.
Maka dari itu lebih baik dia membuka lebar bendera ultimatum. Jika memang suka dan cinta dengan putrinya, maka halalkan ia dengan ijab.
"Jadi dokter Fatah rela punya menantu mahasiswa koas,"
"Saya nggak pernah perkarakan pekerjaannya. Yang saya perkarakan agamanya. Jangan sampai saya salah arah, merelakan putri saya kepada laki-laki yang bahkan tidak tahu bagaimana cara mencintai Tuhan."
Dari ucapan itu semua mendadak diam. Kibaran ultimatum itu tidak main-main ternyata.
***
Bersambung..
Ulululuuu..
Ada siapa tuh muncul lagi?
Aku bawa cast mereka...kalo gak cocok ya jangan diikuti
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro