Chapter 2
"Ibu! Ayah! Kalian mau kemana?"
"Riku... Ibu dan ayah akan pergi menjaga 'gerbang'. Kamu harus tetap dirumah dan jagalah kakakmu ya!
"Tapi... "
"Lepaskan tanganmu! Ini semua bukan urusanmu!
"Tapi...kakak akan pergi kemana?! Diluar sangat berbahaya, bagaimana bila-"
"Aku tidak peduli! Dan sudah kubilang semua ini bukan urusanmu!
"Kakak! Kakak mau kemana?! Kakak!!"
"HAH! Hah... Hah.. Mimpi itu lagi? "
Mengatur nafasnya yang masih tak beraturan,pemuda itu menyenderkan tubuhnya ke sandaran tempat tidur.
Kembali ia termenung memikirkan mimpi yang di alaminya.
'padahal sudah enam tahun dari kejadian itu... Bagaimana keadaan kakak... Apakah ia baik-baik saja? '
Lamunannya terputus karena panggilan yang berasal dari luar pintu.
"Riku! Apakah kamu sudah bangun? " Suara itu terdengar di barengi dengan ketukan pelan di pintu ruangan itu.
"Iya nek. Riku sudah bangun sebentar ya! Aku mandi dulu!"
Bergegas ia turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk melakukan rutinitas wajibnya.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, ia keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju dapur dan ruang makan.
Senyum ceria menghiasi paras wajah riku. Ia lalu berfikir untuk mengerjai nenek, mengendap-endap riku menghampiri sang nenek tanpa suara lalu memeluknya dari belakang.
"Riku! Kamu mengagetkan nenek saja!" nenek memukul pelan kepala si surai merah, sedangkan sang empunya mengaduh pelan sambil mengelus kepalanya yang menjadi korban 'pukulan' sang nenek
"Habis... Nenek sepertinya sibuk sekali, sampai riku yang sudah disini,nenek tidak mengetahuinya"
Riku memalingkan wajah sambil menyilangkan tangan, ekspresi kesal terlihat di wajahnya.
Nenek mengenyitkan dahinya melihat riku yang berpose seperti itu
"Bukankah seharusnya nenek yang marah? Kenapa riku yang marah kepada nenek? "
Riku tetap memalingkan wajah dan tidak mau menatap nenek yang berdiri di depannya, nenek lalu menghela nafas sambil tangannya terlulur untuk mengelus rambut riku
"Baik... Baik... Ini salah nenek. Jadi riku mau memaafkan nenek kan? "
Mendengar permintaan maaf dari nenek, riku akhirnya menolehkan kepalanya dan memasang ekspresi senang
"Kalau begitu sebagai syarat agar riku memaafkan nenek, Riku bolehkan membantu nenek?" kata riku dengan semangat
"Baiklah kalau riku memaksa"
Nenek berjalan menuju almari untuk mengambil keranjang dan daftar belanjaan
"Ini daftar belanjaan, riku nanti beli keperluan sesuai dengan daftar. Jangan membeli sesuatu yang tidak perlu "
Nenek menyerahkan daftar belanjaan dan keranjang beserta uang kepada riku dan segera disimpan olehnya.
Riku berjalan menuju pintu depan rumah, tangannya telulur akan memegang haddle pintu.
"Riku!"
Gerakan tangannya terhenti karena teriakan dari nenek, Lalu ia menoleh ke nenek, bingung dengan teriakannya yang tiba-tiba
"Iya nek, Ada apa? Apakah ada yang nenek butuhkan lagi?" ujar riku
Nenek seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi ia tidak jadi membuka mulutnya.
Menggeleng pelan, nenek kembali berucap
"Riku... Hati-hati di jalan ya! Nenek akan menunggu riku di rumah, jadi cepat pulang! Mengerti? "
Riku mengangguk patuh sambil memandang wanita tua di hadapannya.
"Baik Nenek! Riku berangkat dulu! "
Riku membuka pintu sambil melambaikan tangan, Nenek juga membalas dengan melambaikan tangan juga.
Pintu tertutup menimbulkan keheningan di ruangan itu, nenek menghela nafas sambil tersenyum pahit.
"Riku... Apapun yang terjadi, Kau tak boleh kehilangan rasa kasih sayang yang ada di hatimu"
.
.
.
.
.
.
.
.
"Uwah... Rasanya salju hari ini lebih banyak dari kemarin! " kata Riku sambil mengadahkan sebelah tangannya yang tidak memegang belanjaan yang tadi dibelinya. Uap tipis keluar dari mulutnya saat ia berbicara.
Melirik jam besar yang ada disamping jalan yang dilaluinya, Riku berkata
"Sudah jam segini... Aku harus cepat-cepat pulang!"
Langkah kakinya ia percepat karena ia takut terlambat pulang kerumah sampai ia tidak melihat jalan yang dilewatinya, Tak sengaja riku menabrak orang yang berjalan berlainan arah dengannya.
"Maafkan saya! Apakah anda tidak apa-apa? Maaf saya tadi tidak melihat jalan saya" riku segera meminta maaf kepada orang yang di tabraknya, pria bersurai navy panjang yang di ikat rapi tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Ia membantu memunguti beberapa belanjaan riku yang terjatuh di jalan
"Tidak apa-apa, Saya juga salah karena telah menabrak anda"
Tak lama mereka sudah selesai memunguti barang yang terjatuh tadi,
Riku membungkuk hormat kepada pemuda itu
"Terima kasih telah membantu saya. Sekali lagi maafkan saya"
"Sama-sama. Lain kali hati-hatinya! " kata pria itu sambil tersenyum
"Baiklah saya permisi dulu"
Riku kembali membungkukkan badan dan berjalan meninggalkan pemuda itu.
"Sepertinya kita akan bertemu lagi"
Riku menghentikan langkah kakinya, lalu ia cepat-cepat membalikkan tubuhnya
"Maaf apa maksud anda menga-"
Riku berhenti berbicara karena pemuda berambut panjang itu sudah menghilang entah kemana. Ia menoleh ke sekelilingnya tetapi ia tidak menemukannya juga, Seperti pria itu hilang dan menyatu dengan angin.
'kemana ia pergi? ' batin riku terheran-heran dan kebingungan.
Mengedikkan pundak, riku meneruskan langkah kakinya sesekali berlari kecil agar ia tak terlambat pulang.
Riku tidak tahu bila pria berambut panjang tadi menatap dirinya dari atap bangunan, lagi-lagi senyuman kecil muncul di wajahnya, ia berbalik dan menghilang dari atap bangunan itu.
"Nenek, Riku pulang!" teriak riku sambil membuka pintu, suaranya menggema di rumah sederhana itu. Nenek menghampiri riku yang berdiri di depan pintu, ia membantu membawakan kantong belanjaan yang dibawa riku.
"Selamat datang, riku! Kamu pasti sangat kedinginan, Ayo nenek buatkan coklat panas untukmu"
Riku berjalan mengikuti nenek masuk ke dapur dan duduk di kursi meja makan, berpangku dagu riku menatap jendela, Salju terus turun meninggalkan jejak putih di tanah yang di hujaninya.
"Ayah... Ibu...Apakah aku bisa melakukannya? "
Secangkir coklat panas yang masih mengepulkan asap diletakkan didepannya, riku tersentak dan mendongak menatap nenek yang berdiri disampingnya.
"Riku... Kamu melamun lagi? " tanya nenek sambil menarik kursi lalu mendudukinya, riku tak menjawab dan memilih menundukkan kepalanya. Keheningan menguasai mereka berdua, namun di pecahkan oleh kata riku
"Tidak kok nenek. Riku tidak melamun, hanya teringat saat pertama kali datang kesini" kata riku sambil memandang nenek.
Nenek menganggukkan kepalanya menyetujui kata riku.
"Tidak terasa ya... Sudah enam tahun dari waktu itu. Riku sekarang sudah besar ya! " ujar nenek.
"Iya...tidak terasa ya... " Riku tersenyum kecil dan tangannya menggenggam cangkir coklat panas lalu menyesapnya sedikit demi sedikit.
"Baiklah nenek keatas dulu ya!"
Kata nenek lalu bangkit dari duduknya, riku hanya menganggukkan kepalanya dan melanjutkan meminum coklat panasnya
Brak...
Riku terkejut dengan suara hantaman yang keras, ia segera berdiri dari duduknya dan menoleh menuju tangga, di dasar tangga tergeletak nenek yang bersimbah darah,disamping tubuhnya berserakan pecahan vas yang jatuh mengenai kepalanya. Detak jantung riku serasa berhenti berdetak melihat kejadian itu di depan matanya.
"NENEK! "
Riku berlari menghampiri nenek, ia meletakkan kepala nenek di pangkuannya. Nenek terbatuk-batuk dan nafasnya terputus-putus.
"Nenek bertahanlah! Riku akan panggilkan orang lain untuk membantu! "
Riku membopong nenek ke sofa ruang tamu, setelah membaringkan tubuh nenek ia bergegas keluar dari rumah menuju rumah dokter yang kebetulan tinggal di samping rumahnya.
Riku mengetuk pintu dengan kencang sambil berteriak meminta tolong, tetapi tidak ada sahutan dari dalam rumah itu. Ia tetap sabar dan harap-harap cemas karena tidak ada satupun orang yang menyahuti atau membukakan pintu. Riku menggigit bibirnya karena dirudung cemas.
'Bagaimana ini... Nenek harus segera mendapatkan pertolongan' batin riku
Akhirnya riku memilih pergi dari depan rumah dokter sampai sebuah suara mengagetkannya.
"Nak riku apa ada yang bisa saya bantu? "
Riku berbalik dan menemukan tetangga yang bekerja sebagai dokter berdiri tak jauh darinya. Menghela nafas lega riku menghampiri dokter itu.
"Iya saya mencari anda. Nenek saya terjatuh dari tangga. Beliau harus mendapatkan pertolongan segera" kata riku dengan ekspresi cemas
"Astaga ayo kita harus bergegas! "
Kata dokter dan berlalu menuju rumah riku, sedangkan riku mengikuti dokter dibelakangnya.
Tak lama mereka berdua sampai di depan rumah riku, lalu riku membuka pintu di susul dokter yang memasuki rumah. Di sofa nenek riku masih berbaring lemah, dokter menghampiri nenek dan melakukan pertolongan pertama, sementara riku berdiri di belakangnya sambil berdo'a berharap sang nenek tidak dalam bahaya.
Dokter melepaskan stetoskopnya dan menghela nafas, senyum getir menyertai wajahnya. Ia menoleh kepada riku.
"Nak riku... Bisa sedikit mendekat? "
Kata dokter dengan lirih dan masih memandang riku.
Riku mengangguk dan berjalan mendekat, ia melihat wajah neneknya yang sudah bersih dari darah dan menutup matanya dengan damai.
"Sebelumnya... Maafkan saya... "
Kata dokter sambil berdiri dari duduknya, dokter menepuk pundak riku lalu mengelusnya dengan pelan
"Saya tidak bisa menyelamatkan neneknya nak riku... Jadi sekali lagi maafkan saya"
Riku melebarkan matanya mendengar ucapan dokter, kepalanya menggeleng pelan dan ekspresi tak percaya terlihat di wajahnya.
"Tidak... Pasti anda bercanda kan? Nenek hanya tidur karena obat dari anda. Nenek pasti bangun iyakan? "
Dokter mengeleng lemah, tatapan matanya menyiratkan kebenaran tanpa kebohongan sama sekali.
Tak terasa setetes air mata meluncur dari mata merahnya, rasa sesak memenuhi rongga dadanya. Ia menghampiri nenek dengan gerakan lemah tak bertenaga, terduduk lemah di samping sofa, riku mengangkat tangan dan mengambil tangan nenek, Ia meremas pelan tangan yang pernah merawatnya dengan limpahan kasih sayang dan kehangatan yang membuat nyaman.
Tangan yang dulu begitu hangat yang selalu mengelus lembut rambutnya...
Tangan yang selalu mengenggam tangan kecilnya yang kedinginan...
Tangan itu sekarang kehilangan kehangatan dan menjadi sedingin es
Terisak pelan, Air matanya terus meluncur dari matanya tanpa berhenti.
"Nenek... "
Riku menundukkan kepalanya dan meletakkan tangan nenek di dahinya. Bahunya terus bergetar karena isak tangisnya. Dokter juga menundukkan kepalanya dengan dalam.
Hari itu...
Hari itu ia kembali kehilangan seseorang yang di sayanginya...
Akankah hatinya tetap diliputi kasih sayang...
Ataukah ia memilih menutup hatinya dan membenci takdir yang mempermainkannya....
Semua itu hanya tergantung darinya...
Apakah sang 'penjaga' akan kembali dan melingkupi salju dengan kehangatan kasih sayangnya?
TBC....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro