011: Titik Balik
Sinar bulan bersinar di atas langit gelap yang menyelimuti. Dimas dan Diky nampak sedang asyik menyantap ikan bakar, ditemani api unggun yang menghangati tubuhnya. Namun, di sela makan malam DImas bergumam, "Wanita kucing itu benar-benar keterlaluan. Padahal, kita sama sekali tidak punya niat jahat."
"Sudahlah. Jangan dipikirkan terus," timpal Diky sembari melirik Dimas.
"Bagaimana aku tidak kesal. Dia mengusir sambil menodongkan senjatanya pada kita," ketus Dimas.
Diky hanya menghela napas panjang. Ia tak habis pikir dengan kelakuan Dimas yang mirip anak kecil yang sedang merajuk. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi, setidaknya kita jangan cari perkara dengan manusia kucing itu."
Dimas hanya menggerakkan bibirnya seperti berkomat-kamit lalu kembali menyantap makanannya. Setelah makanannya habis, Diky mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya dengan kayu bakar yang masih menyala. Rasa amis di mulut perlahan tersapu oleh pahit dari asap rokok yang dihisapnya.
"Dik, apa rencanamu besok?" tanya Dimas memecah keheningan.
Diky menempelkan tangan ke dagunya lalu berpikir sejenak. Ia mengusulkan untuk menjelajahi sekitar pulau untuk mencari buah-buahan, dan mungkin bisa menemukan bumbu masakan di dalam hutan. Namun, Dimas malah mengajak agar kembali ke pulau tempat di mana ia bertemu gadis setengah kucing siang tadi.
"Apa kau gila. Bagaimana jika nanti dia tidak segan menembak kita?" sergah Diky.
"Aku hanya mau bernegosiasi dengannya saja. Siapa tahu dia dan manusia kucing yang lain mau membantu kita," kata Dimas optimis.
"Aku sarankan lebih baik kita menghindar saja. Percuma kita berusaha membujuk mereka untuk bernegosiasi, mengingat kita bukan salah satu dari ras mereka."
Dimas seketika bungkam. Rasa optimisme yang dirasakannya berubah menjadi sebuah keraguan. Memang benar, dia dan Diky adalah manusia, sedangkan gadis yang ditemuinya berwujud manusia setengah kucing. Perbedaan ras yang sangat mencolok memungkinkan negosiasi akan gagal.
Seketika pembicaraan terhenti, membuat keheningan pun menyeruak. Diky nampak asyik menghisap rokok di tangannya, sedangkan Dimas hanya terpaku menatap api unggun yang bergoyang tertiup angin malam. Merasa suntuk, Dimas bangkit lalu berjalan ke hutan sekitar perkemahan untuk mencari udara.
Setelah cukup jauh meninggalkan perkemahan, Dimas duduk bersandar ke sebuah pohon sembari melihat bulan yang kontras menyinari langit malam. Lelaki itu tidak habis pikir, bagaimana caranya mengajak ras manusia kucing agar dapat bekerja sama? Tak kunjung mendapat jawaban yang memuaskan, Dimas memutuskan untuk kembali ke perkemahan.
Setibanya di sana, Dimas mendapati api unggun telah padam dan Diky pun sudah terlelap dalam tenda. Dimas pun akhirnya menyiapkan kantung tidur lalu memejamkan mata. Namun, pria itu belum merasa mengantuk membuatnya terus terjaga. Ia hanya menatap kosong ke arah atap tenda sembari memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Tak lama berselang, rasa kantuk membuat kedua matanya terpejam lalu tertidur pulas.
Pagi pun tiba. Diky yang bangun terlebih dahulu menggoyangkan tubuh Dimas untuk membangunkannya. "Hei, hei, bangun. Jangan tidur terus."
Perlahan Dimas mulai membuka mata. Setelah membuka resleting kantung tidur, ia duduk lalu meregangkan tubuhnya. Lelaki itu mengucek kedua matanya sembari menguap demi mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Karena Diky terus memanggilnya, Dimas pun bergegas untuk merapikan kantung tidur dan bersiap untuk menyalakan api unggun.
Diky dan Dimas duduk mengelilingi api unggun, untuk menunggu daging dan ikan yang dibakar agar matang sembari menghangatkan tubuh. "Andai saja ada panci, kita pasti bisa masak makanan yang enak," celetuk Dimas.
Diky memicingkan kedua mata, seakan menunjukkan kekesalan pada raut wajahnya. "Jangan mengeluh terus. Kau ini seperti anak kecil saja."
Dimas yang ikut kesal memicingkan kedua matanya lalu melirik Diky. "Apa salahnya jika kita makan enak? Memangnya kamu tidak mau makan makanan selain dibakar?"
Diky hanya menghela napas panjang seraya menggaruk kepalanya. "Aku mengerti perasaanmu. Tapi, setidaknya kau harus bersyukur dengan keadaan kita sekarang."
"Ya, ya, ya. Terserahlah," gumam Dimas kesal.
Setelah dirasa matang, Diky langsung melahap ikan bakar. Rasa lapar yang menyerang perut membuat Dimas terpaksa menyantap makanan yang disajikan. Dalam hati ia sangat ingin merasakan makanan selain dibakar. Kenyataan yang berat seakan menampar impian lelaki itu, mengingat tak ada peralatan dapur di perkemahan.
Akhirnya rasa lapar pun terpuaskan. Diky dan Dimas menyusuri hutan belantara yang lebat untuk mencari buah-buahan. Tidak ketinggalan, masing-masing dari mereka membawa dua buah keranjang berukuran besar yang digunakan seperti tas punggung. Setelah cukup jauh berjalan, kedua lelaki itu menemukan sebuah pohon apel yang sudah memerah, tanda buah itu sudah cukup matang. Dengan sihir telekinesis, Diky memetik apel tanpa susah payah memanjat ke atas pohon. Tak mau bermalas-malasan, Dimas pun ikut memetik apel dengan cara yang sama.
"Untung saja kita bisa memakai sihir seperti ini. Jadi, kita tidak perlu repot memanjat pohon," celetuk Dimas seraya memetik apel.
Diky hanya senyum menyungging lalu terkekeh pelan. "Heh, benar juga. Jika tidak, kita pasti harus bersusah payah untuk mengambil apel di atas sana."
Diky dan Dimas tertawa lalu melanjutkan pekerjaannya. Setelah dirasa cukup banyak, dua lelaki itu langsung mengumpulkan apel yang berjatuhan di tanah ke dalam keranjang. Mereka pun bergegas kembali ke perkemahan untuk menyimpan buah tersebut ke gudang penyimpanan.
***
Tak terasa satu minggu pun berlalu. Diky dan Dimas menghabiskan hari-hari mereka dengan mengeksplorasi pulau dan memancing di laut lepas. Tak lupa Diky mengingatkan, agar tidak memasuki pulau tempat mereka bertemu manusia setengah kucing berada. Hal ini membuat dua lelaki tersebut menjalani kehidupan dengan damai.
Suatu hari, Diky dan Dimas yang hendak memancing menemukan gadis setengah kucing berambut merah terkapar tak sadarkan diri di atas pasir pantai. Tak jauh dari sana, sebuah sekoci bersandar tepat di samping rakit kedua lelaki itu. Mereka menyadari wanita itu adalah manusia setengah kucing yang mengusirnya tempo hari.
"Kenapa dia ada di sini?" gumam Dimas dengan ekspresi kesal.
Diky hanya mengangkat kedua bahu lalu menjawab, "Entahlah. Lebih baik kita tanya saja jika dia sudah sadar."
Dengan sigap Diky mengangkat gadis setengah kucing tersebut lalu membawanya ke perkemahan. Namun, Dimas sama sekali tidak membantu karena teringat perlakuan wanita itu sebelumnya. Setibanya di perkemahan, Diky membaringkan gadis kucing itu ke dalam tenda lalu menunggunya di luar.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Dimas seraya melirik Diky.
"Hmm. Aku rasa dia hanya kelelahan saja," jawabnya singkat.
Diky dan Dimas menyiapkan makanan berupa buah-buahan, kalau-kalau gadis setengah kucing itu akan segera sadar. Tak berselang lama, wanita itu pun akhirnya terbangun dengan ekpresi ketakutan.
"Hei, hei, hei. Kamu kenapa ketakutan begitu?" tanya Dimas sembari masuk ke dalam tenda.
Gadis setengah kucing itu mengatur napasnya yang memburu. Setelah dirasa agak tenang ia berkata, "Kalian, tolong aku. Desaku..., diserang pasukan vampir dari Epitome Colony."
"Hah, vampir? Apa maksudmu?" tanya Diky kebingungan.
"Aku tidak punya banyak waktu. Kita harus kembali ke desa untuk melawan para vampir itu!" ujar gadis setengah kucing itu.
Dimas mengambil sebuah apel lalu menawarkannya pada gadis tersebut. "Lebih baik makan dulu saja, supaya kamu bisa tenang. Habis itu, ceritakan semuanya pada kami."
Gadis kucing itu mengambil apel lalu memakannya. Setelah hatinya merasa tenang, ia memberitahu bahwa tiga hari lalu puluhan vampir dari Epitome Colony datang dan menyerang desanya. Merasa terusik, manusia setengah kucing pun melawan dengan senapan bolt-action yang biasa digunakan untuk berburu. Namun, para vampir yang menggunakan senapan serbu otomatis dan rompi anti peluru mampu meredam perlawanan, membuat puluhan manusia setengah kucing tewas karena kalah persenjataan. Beruntung, gadis kucing itu dapat lolos dan menggunakan sekoci yang biasa ia pakai memancing untuk pergi meninggalkan pulau.
Diky bersedekap lalu berujar, "Hmm. Jadi, tujuan kau datang ke sini untuk meminta bantuan pada kami?"
Gadis kucing berambut merah itu hanya mengangguk mengiyakan. Ia menambahkan sudah menjelajahi pulau lain di sekitar, namun tak ada satu pun yang berpenghuni.
"Maaf jika menyela percakapan kalian. Tapi, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu di luar, Diky," kata Dimas lalu beranjak meninggalkan tenda.
Diky ikut meninggalkan tenda lalu berjalan menyusul Dimas. Merasa cukup jauh dari tenda ia bertanya, "Apa kamu ingin menolongnya, Diky?"
"Hmm, aku rasa begitu. Kenapa memangnya?" tanya balik Diky.
Dimas seketika menunjuk ke arah tenda lalu berujar dengan ekspresi kesal. "Apa kamu lupa dengan perlakuan dia pada kita waktu itu?! Dia hampir saja mencelakai kita!"
Diky menempelkan tangan ke dagu lalu berkata, "Memang benar, kita hampir saja celaka waktu itu. Tapi, aku rasa dia sedang terancam saat ini."
"Bagaimana jika itu hanya tipu muslihat dia saja?" tanya Dimas bersikeras.
Seketika Diky mengeluarkan bola api di tangan kirinya lalu berkata dengan tatapan tajam. "Kalau benar begitu, aku tidak akan segan untuk membunuhnya."
Gadis setengah kucing itu terjatuh dalam posisi duduk ke tanah, dengan ekspresi ketakutan yang teramat sangat. "A-aku mohon... Ja-jangan bunuh aku!"
Diky menoleh ke gadis itu, yang berada beberapa meter di belakangnya. "Katakan dengan jujur, apa kau ingin mempermainkan kami?!"
"Aku serius ingin meminta bantuan kalian. Jadi, aku mohon, jangan bunuh aku!" ucap gadis setengah kucing itu ketakutan seraya melambaikan kedua tangannya.
Dalam sekejap bola api di tangan Diky menghilang tak berbekas. Ia berbalik lalu menghampiri gadis setengah kucing itu seraya memberitahu dia akan membantunya. Namun dengan satu syarat, Diky tidak akan segan menghabisi wanita tersebut jika ketahuan ingin mempermainkannya saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro