010: Pelayaran Pertama
Sang surya perlahan menyeruak keluar dari ufuk timur, pertanda hari baru telah tiba. Diky dan Dimas yang bangun lebih awal keluar dari tenda lalu melakukan olahraga kecil. Selepas menyelesaikan olahraga dan peregangan kecil, Dimas langsung membuat api unggun sedangkan Diky menyiapkan makan pagi, berupa daging dipotong kecil dan ditusuk dengan ranting kayu.
Diky dan Dimas duduk mengelilingi api unggun untuk menghangatkan tubuh sekaligus menunggu makanannya matang sempurna. "Hei. Ngomong-ngomong, stok daging kita tersisa sedikit lagi," kata Diky memecah keheningan.
"Hah? Benarkah?" tanya Dimas tak percaya.
Diky hanya mengangguk pelan lalu menjawab, "Aku rasa akan cukup sampai dua atau tiga hari lagi. Itu juga kalau kita makan dengan porsi kecil."
Sebuah ide seketika terlintas dalam benak DImas. "Kalau begitu, bagaimana jika kita memancing saja? Sekalian menguji rakit buatan kita juga."
Diky menempelkan tangan ke dagunya lalu berkata, "Hmm, boleh juga. Tapi sebelum itu, kita harus buat pancingan atau jaring terlebih dulu."
Beberapa saat kemudian, Diky dan Dimas meneruskan proses pengasapan daging. Setelah dirasa cukup matang, kedua lelaki itu langsung menyantapnya dengan lahap. Rasa lapar yang terpuaskan membuat energi mereka terkumpul. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Diky dan Dimas akhirnya bergegas menuju tempat pembuatan rakit di tengah lebatnya hutan belantara.
Setibanya di sana, Diky dan Dimas terkejut bukan main. Bagaimana tidak, tiang utama telah terpasang sempurna tepat di tengah rakit. Jika diingat lagi, tak ada satu pun dari keduanya yang melakukan hal tersebut.
Diky memeriksa keadaan rakit dengan seksama. Ia bersedekap untuk berpikir sejenak. "Hmm, aku rasa ini bukan perbuatan orang biasa."
Secara refleks Dimas menoleh ke arah Diky dengan raut wajah bingung. "Hah? Apa maksudmu?"
Diky menjelaskan, tidak mungkin satu orang mampu mengangkat tiang dari batang kayu besar dan memasangnya sendirian. Tidak hanya itu saja, ia teringat tidak ada orang lain di pulau tersebut selain dirinya dan juga Dimas. Diky berandai, semua itu bisa dilakukan jika saja dia memiliki sihir telekinesis.
Seketika Dimas tertegun lalu bertanya, "Jadi, ada orang lain yang bisa menggunakan sihir selain kita?"
Diky hanya mengangguk pelan lalu menjawab, "Sepertinya begitu. Lagi pula, mana mungkin ada orang yang muncul dan menghilang begitu saja?"
"Aku rasa ada orang lain di pulau ini. Dia sengaja bersembunyi dan membantu tanpa sepengetahuan kita," kata Dimas menyangkal.
Diky menempelkan tangan ke dagunya dan berpikir sejenak. Ternyata ia masih mengingat ada seseorang yang mengawasinya beberapa hari lalu. Satu hal yang membuatnya penasaran adalah, bagaimana mungkin sosok misterius itu bisa menghilang hanya dalam hitungan detik saja? Terlebih lagi dia sama sekali tidak meninggalkan jejak apapun, bak lenyap ditelan bumi.
"Kamu kenapa, Diky? Apa ada masalah?" tanya Dimas penasaran.
Diky menceritakan apa yang dipikirkannya barusan. Dimas seketika berpikir jika saja ada orang kala itu, tidak mungkin ia bisa menghilang dalam waktu sekejap mata. Tak pelak kedua lelaki tersebut dibuat pusing karena memikirkannya.
"Sudahlah, kesampingkan saja hal itu. Lebih baik kita buat jaring lalu mencari ikan," ujar Diky mengalihkan pembicaraan.
Dimas mengangguk lalu berkata, "Benar juga. Aku rasa tanaman merambat yang kita pakai membuat rakit bisa digunakan sebagai pengganti tali."
Diky berjalan lalu mencari tanaman tersebut, yang tumbuh pada batang pohon utuh di sekitarnya. Setelah mengumpulkannya cukup banyak, ia dan Dimas saling bahu-membahu membuat jaring. Tak butuh waktu lama, mereka pun dapat menyelesaikannya dengan cukup baik.
Diky dan Dimas pun bergegas membawa rakit ke sekitar pantai, yang berada cukup jauh dari dalam hutan. Berbekal berkah dari Kristal Suci, dua lelaki itu sama sekali tidak merasa berat saat mengangkat dan menggotongnya. Setibanya di pantai, mereka pun langsung menyandarkan rakit ke bibir pantai.
Dimas melihat ke arah sekitar dan mendapati angin tidak berhembus dengan cukup kuat. "Bagaimana ini? Anginnya tidak terlalu kuat. Apa kita tunda saja pelayarannya?"
Diky hanya mengangkat sebelah alisnya dan berkata, "Bukannya kau punya sihir elemen angin yang lebih kuat dariku? Kenapa tidak kau gunakan saja untuk mengatur angin agar rakitnya bisa bergerak?"
Dimas tersenyum canggung seraya menggaruk kepalanya. "Eh, benar juga, ya. Aku tidak kepikiran sampai ke situ."
Diky hanya menepuk kening, seolah menunjukkan rasa kecewa yang dirasakannya. Tak berselang lama, ia dan Dimas naik ke atas rakit. Dia merentangkan tangan kiri ke arah layar, sembari mengerahkan tenaga sihirnya. Benar saja, seketika angin berhembus cukup kuat sehingga mampu menggerakkan rakit menjauh dari pulau tersebut.
Setelah berlayar cukup jauh, Diky meminta untuk berhenti. Seakan tidak mau membuang waktu, lelaki itu langsung melemparkan jaring. Alhasil, puluhan ikan berukuran cukup besar terperangkap ke dalam saat ia mengangkatnya.
"Waw, tangkapan kita banyak sekali," ucap Dimas kagum.
Diky yang merasa bangga hanya tersenyum kecil lalu berkata, "Setidaknya dengan hasil segini, sudah cukup untuk mengisi perut kita selama beberapa hari ke depan."
Karena lupa membawa ember, Diky terpaksa membiarkan ikan yang ia tangkap di dalam jaring. Dimas yang merasa penasaran mengusulkan untuk menjelajahi sekitar sebelum pulang. Akhirnya mereka sepakat untuk kembali berlayar menyusuri laut lepas. Tak berselang lama, dua lelaki itu melihat sebuah pulau dari kejauhan dengan pantai dan hutan yang membentang luas.
"Hei, bagaimana jika kita jelajahi pulau itu dulu?" usul Dimas.
Diky mengangguk pelan lalu menjawab, "Boleh juga. Semoga saja ada banyak hewan buruan di sana."
Dengan sihir angin, Dimas mengarahkan rakit menuju pulau tersebut. Setelah bersandar di bibir pantai, dia dan Diky berjalan memasuki hutan belantara yang tak jauh dari sana. Keduanya merasa keadaan di pulau ini tak jauh berbeda dengan tempat di mana mereka terdampar sebelumnya. Pohon-pohon berbatang besar yang menjulang tinggi berdiri kokoh dengan semak belukar tersaji di sekitar mereka, seakan-akan sama sekali tidak terjamah oleh manusia.
"Hei, kalian. Berhenti di sana sekarang!"
Diky dan Dimas seketika berhenti dan mencari sumber suara barusan. Benar saja, seorang gadis berumur sekitar dua puluh tahun berambut merah yang panjang terurai keluar dari balik pohon. Meski terlihat seperti manusia, ia memiliki sepasang telinga yang meruncing ke atas bak kucing. Sebuah senapan bolt-action berjenis Kar-98k menggantung di salah satu pundaknya, membuat kesan bahwa dia adalah seorang pemburu.
"Oh, jadi pulau ini ada penghuninya, ya," ucap Dimas lalu tersenyum.
Namun, gadis itu justru menyiapkan senapan yang ia bawa lalu mengarahkannya pada Diky dan Dimas, seolah siap melepaskan tembakan pada mereka "Jika kalian masih sayang nyawa, cepat pergi dari sini!"
"Hei, hei, hei. Kami tidak bermaksud buruk," ucap Dimas sembari berjalan mendekat.
"Berhenti! Aku tidak segan menembak, jika kalian maju satu langkah saja!" ujar gadis itu lantang dengan telunjuk menempel pada tuas pemicu senapannya.
Dimas yang terpancing amarah berusaha mendekat, seakan-akan ingin menghajar gadis di hadapannya itu. Namun, dengan sigap Diky menghentikan sahabatnya tersebut dengan cara menepuk bahunya.
"Sudahlah, Dimas. Lebih baik kita turuti saja dia."
"Tapi, dia sudah lancang pada kita!" ujar Dimas kesal.
"Ayo pergi. Aku tidak mau membuat masalah di sini," ujar Diky serius.
Dimas hanya berdecak untuk melampiaskan kekesalan dalam hatinya. Diky dengan tenang memaksa sahabatnya itu untuk segera pergi, agar tidak menyebabkan masalah yang jauh lebih serius. Akhirnya mereka berbalik lalu meninggalkan hutan tersebut, meninggalkan gadis setengah kucing itu seorang diri.
Setibanya di pantai, Dimas meninju tangannya sendiri. "Apa-apaan dia itu?! Kurang ajar sekali!" ujarnya lantang untuk melampiaskan kemarahan dalam hatinya.
Diky yang tidak terpancing hanya menepuk bahu Dimas, dengan harapan agar ia merasa lebih tenang. "Sudahlah, lupakan saja. Lebih baik kita mengalah, daripada membuat keadaan semakin rumit."
"Maksudmu?" tanya Dimas lalu melirik Diky.
Diky menjelaskan jika mereka menghajar gadis itu, bisa saja dia kembali lagi dengan orang banyak untuk membuat perhitungan. Terlebih lagi, wanita tak dikenal itu adalah manusia setengah kucing, sangat berbeda dari kedua lelaki tersebut. Diky sangat yakin akan memicu konflik ke depannya, sehingga membuat keadaan menjadi semakin rumit.
"Ah, jadi begitu. Maaf, aku cuma tidak terima dengan perlakuan dia saja," kata Dimas lesu.
Diky menghela napas lega lalu tersenyum kecil. "Syukurlah jika kau bisa mengerti. Ayo kita kembali."
Dimas hanya mengangguk pelan. Dua lelaki itu akhirnya berlayar kembali, dengan Diky yang menggunakan sihir air agar dapat menggerakkan rakit. Namun, gadis setengah kucing itu rupanya membuntuti mereka dan mengawasinya dari dalam hutan.
"Apa mungkin... Mereka salah satu anak buah Mr. Manhattan?" gumam gadis setengah kucing itu. Seketika wajahnya mendadak sayu, seakan menunjukkan ekspresi kesedihan yang mendalam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro