007: Serangan Tak Terduga
Setelah menyusuri lebatnya hutan rimba, Diky dan Dimas kini tiba di tempat mereka menebang pohon beberapa waktu yang lalu. Diky beralasan akan meneruskan pekerjaan membuat rakit seusai latihan menembak. Setelah memilih sebuah pohon sebagai sasaran, yang berjarak tak lebih dari seratus meter dari sekitarnya, dua lelaki itu langsung menyiapkan senjata mereka dan mulai membidik.
Melalui celah dari pisir yang berbentuk seperti lubang intip, Diky mencoba meluruskan pandangannya dengan pejera. Setelah dirasa sudah sejajar, lelaki itu langsung menekan tuas pemicu untuk menembak. Namun, lelaki itu sedikit tersentak karena gaya tolak yang lebih besar dibanding dengan senjata yang digunakan sebelumnya.
"Waw. Gila sekali," gumamnya sembari menatap senapan di tangan dan mengatur napasnya.
"Eh, kamu kenapa?" tanya Dimas keheranan dengan sebelah alisnya yang terangkat.
Diky menurunkan senjatanya lalu terdiam untuk sejenak. Karena senapan yang digunakan berjenis semi otomatis, ia tidak perlu lagi mengokang senjatanya untuk menembak lagi. "Coba kau tembak saja. Kau pasti akan mengerti."
Dimas menarik napas panjang dan terus membidik pohon sasaran yang sama. Setelah bidikannya dirasa sejajar, lelaki itu pun langsung menarik tuas pemicu. Namun, dia sangat terkejut saat merasakan kerasnya hentakan dari gaya tolak senapan itu. Meski begitu, tembakannya hanya berjarak beberapa sentimeter saja di bawah dari Diky.
"Hmm, tidak buruk. Ayo kita ganti target," kata Diky yang langsung memutar tubuhnya ke arah kiri. Ia langsung membidikkan senjata ke sebuah pohon tepat di sebelah sasaran sebelumnya. Tak lama berselang, lelaki itu pun melepaskan tembakan yang lagi-lagi mengenai target.
Tanpa banyak basa-basi, Dimas pun turut menembakkan senjatanya pada target yang sama. Namun, Diky hanya mengernyitkan kening dengan wajah yang seolah tidak puas.
"Eh, kamu kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Dimas seraya mengangkat sebelah alisnya.
Diky menurunkan senjata lalu menempelkan tangan ke dagunya untuk berpikir sejenak. Kemudian dia mengusulkan agar menembak secara bergantian, namun dengan target yang berbeda. Dimas yang tidak mengerti hanya bisa mengangkat sebelah alisnya dan bertanya, "Hah, apa maksudmu?"
Diky hanya menepuk kening dan menghela napas panjang. Rasa kesal tak pelak sempat menyelimuti hatinya dalam sesaat. Setelah dirasa agak tenang lelaki itu menjelaskan, ia dan Dimas saling memunggung satu sama lain dan menembak dengan sasaran yang berbeda. Dia juga mengibaratkan pohon di sekitarnya sebagai tentara lawan yang siap menghabisi mereka, layaknya dalam medan pertempuran yang sesungguhnya.
"Ah, jadi begitu. Aku mengerti sekarang," ucap Dimas antusias, seakan tak memiliki dosa.
Diky hanya memicingkan mata sembari komat-kamit, seakan menggumamkan kekesalan dalam hatinya. Tak berselang lama, ia dan Dimas saling memunggung satu sama lain. Dengan aba-aba dari Diky, mereka mulai menembakkan enam peluru yang tersisa. Dengan gerakan memutar, dua lelaki itu menembak pohon di sekelilingnya. Tak terasa suara dentingan keras terdengar diiringi dengan klip yang terlontar keluar secara bergantian, pertanda seluruh amunisi pada senjata tersebut telah digunakan sepenuhnya.
Dengan raut wajah kebingungan, Dimas hanya menatap ruang amunisi yang terbuka lebar. Dia bahkan memeriksa dengan seksama senapan yang ada pada tangannya. Dia tidak mendapati sebuah tombol untuk melepaskan magasin di senjata tersebut. Dia sama sekali tidak memiliki ide, bagaimana cara mengisi ulang peluru dengan benar.
"Umm, Diky. Apa kamu tahu bagaimana cara mengisinya?" tanya Dimas kebingungan.
Diky menyunggingkan bibirnya seakan tersenyum sinis. "Heh, gampang. Lihat saja aku."
Bermodal pengalaman bermain permainan first-person shooter di kehidupan lamanya, Diky mengambil klip en bloc yang terisi penuh, memasukkan ke ruang amunisi dan menekannya dengan ibu jari tepat di bagian tengah. Secara tidak sadar, rupanya itu memicu mekanisme penutup ruang amunisi berjalan dengan sendiri hingga menjepit jari lelaki itu dalam waktu sepersekian detik saja. Rasa ngilu yang menjalar membuat Diky hanya berteriak kesakitan lalu menarik tangannya.
Melihat apa yang dialami oleh sahabatnya itu, Dimas meringis ngilu. Ia langsung berjalan mendekat dan bertanya, "Diky, apa kamu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa matamu!" gumam Diky kesal lalu menghisap ibu jari kanannya yang barusan terjepit. Untuk meredakan rasa ngilu, ia terus menghisap dan bahkan menjilat-jilat bagian bagian kukunya. Meski begitu tampak dengan jelas kekesalan terukir di raut wajahnya, hingga tak mau berbicara apa-apa.
Agar suasana tidak menjadi lebih runyam, Dimas memutuskan untuk tutup mulut. Dia mengambil klip en bloc yang terisi penuh lalu memasukkannya ke ruang amunisi. Namun, ia hanya diam sembari menatap senapan di tangannya. Ternyata apa yang terjadi barusan tak pelak membuat lelaki itu sedikit takut untuk menekan peluru, kalau-kalau nanti besi penutup akan menjepit ibu jarinya.
Setelah jarinya dirasa sedikit lebih baik, Diky mengingatkan agar jangan menekan di bagian tengah klip. Sebuah ide seketika terlintas dalam benak Dimas. Meski sedikit ragu bercampur takut, ia menekan tepat pada pangkal klip. Benar saja, penutup ruang amunisi tidak bergerak sendiri sehingga tangan lelaki itu selamat.
Diky hanya menatap dengan kedua mata yang memicing. Dalam hati, dia merasa iri karena sahabatnya itu justru tidak mengalami apa yang ia rasakan sebelumnya. "Beruntung sekali kau, Dimas. Jarimu itu selamat dan tidak terluka sedikit pun," gumamnya.
Dimas hanya tersenyum canggung dan menggaruk kepalanya, tanpa berkata satu patah kata pun. Ia yakin, sahabatnya itu akan marah jika dia membanggakan diri. Dimas mengalihkan pandangan pada senapan di tangannya dan bertanya, "Oh iya. Habis ini bagaimana lagi, Diky?"
Diky menempelkan tangan ke dagunya untuk berpikir sejenak. Tak lama berselang dia berkata, "Coba kau tarik tuas pengokang ke belakang. Siapa tahu senapannya akan tertutup."
Tanpa banyak tanya, Dimas langsung melakukan apa yang disuruh. Benar saja, ruang amunisi langsung tertutup dan siap untuk ditembakkan kembali. Lelaki itu langsung bersiap untuk membidik dan berkata, "Baiklah, ayo kita lanjut lagi."
Diky hanya tersenyum kecil lalu menyiapkan senjatanya. Namun, suara desisan terdengar tak jauh dari tempat di mana mereka berdiri. Merasa ada bahaya yang mengancam, dua lelaki itu bersiap membidik sembari mencari sumber suara barusan. Benar saja, induk laba-laba raksasa seketika muncul dari balik semak-semak dan terus berdesis keras.
Belum sempat Diky dan Dimas menarik tuas pemicu senjatanya, laba-laba berukuran besar itu terlebih dahulu menembakkan air liur berwarna hijau pekat ke arah mereka. Dengan sigap dua lelaki itu bergerak menyebar demi menghindari serangan yang ditujukan padanya. Diky hanya tertegun saat melihat pohon yang terkena air liur barusan seketika berubah warna menjadi biru disertai daunnya yang lebat langsung berguguran ke tahah, seolah-olah layu dalam waktu yang sangat cepat.
"Dimas, laba-laba itu sangat beracun! Berhati-hatilah!" teriak Diky memperingatkan.
Kepanikan yang sempat menyelimuti hati membuat Dimas berlari menjauh untuk mencari tempat berlindung. Dengan sigap Diky menembak untuk mengalihkan perhatian laba-laba itu. Namun, binatang itu melompat ke samping demi menghindari proyektil peluru yang mengarah padanya. Kesal karena tembakannya meleset, Diky kembali menembak sebanyak dua kali secara beruntun. Lagi-lagi laba-laba itu kembali menghindar dan bergerak menjauh dengan lincah.
Laba-laba besar itu bergerak memutar untuk mengarahkan mulut ke arah Diky dan langsung menembakkan air liur beracun ke arahnya. Beruntung, tembakan tersebut hanya melewati lelaki itu dan mengenai pohon yang berjarak beberapa meter di belakangnya. Merasa jika dirinya kini menjadi sasaran, Diky langsung berlari mendekati pohon lain untuk berlindung. "Sialan, hampir saja!" umpatnya seraya mengatur napas yang tersengal.
Dimas yang berlindung di balik pohon melihat keadaan ini sebagai keuntungan baginya. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, lelaki itu langsung melepas dua tembakan beruntun ke arah lala-laba yang tampak sedang memunggunginya. Karena tidak sempat menyadari serangan barusan, dua proyektil peluru langsung bersarang tepat di perut binatang berkaki delapan tersebut. Tak ayal ia berdesis keras, seakan sedang berteriak kesakitan.
Terdorong rasa amarah membuat laba-laba raksasa itu kini mengalihkan serangannya pada Dimas. Merasa terancam, ia langsung berlindung ke balik pohon yang langsung layu setelah terkena tembakan air liur beracun. Mau tidak mau lelaki itu harus keluar dari tempat persembunyian dan berlari menuju pohon lain di dekatnya. Meski terus diberondong tembakan air liur beracun oleh binatang tersebut, Dimas dapat mencapai tempat untuk berlindung dengan bantuan kecepatan yang ia miliki.
Diky turut keluar dari balik pohon dan mulai menembak untuk menarik perhatian laba-laba besar tersebut. Lelaki itu terus menembakkan senjata sembari terus bergerak menyamping, hingga tak sadar sampai mengabiskan sisa amunisinya. Merasa jaraknya cukup jauh dari tempat berlindung memaksa Diky harus mengisi ulang senjata saat itu juga. Baru saja akan menekan klip, rupanya binatang raksasa berkaki delapan itu malah berhasil menembakkan air liur beracun tepat ke dada Diky. Seketika ia langsung terkapar ke tanah dan kejang-kejang. Efek dari racun itu membuat darahnya seakan mendidih, sehingga rasa panas yang hebat menjalar ke sekujur tubuhnya dalam waktu hitungan detik saja.
Seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan, Dimas hanya mampu berteriak histeris memanggil nama Diky dari balik pohon. Jarak yang cukup jauh membuat Dimas hanya bisa pasrah karena tak mampu memberi pertolongan. Seketika gejolak amarah yang besar menyelimuti batin lelaki itu, hingga secara tidak sadar aura hijau yang berputar bak angin topan mengitari tubuhnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro