006: Kutukan yang Datang Kembali
Mentari perlahan mulai menyembul dari ufuk timur, pertanda pagi akan segera menjelang. Diky yang bangun terlebih dahulu bergegas bangkit dan meninggalkan tenda. Dia melipat kedua lengannya karena kedinginan, meski tidak terlalu menusuk karena sudah terbiasa. Lelaki itu langsung berinisiatif untuk membuat api unggun guna menghangatkan dirinya. Hawa panas yang menjalar ke sekujur tubuhnya membuat Diky merasa nyaman, sampai-sampai memutuskan untuk menunda menyiapkan makan pagi.
Tak lama berselang, Dimas ikut terbangun. Ia mendapati sahabatnya itu sudah tidak berada di dalam tenda. Setelah menggeliat untuk melemaskan otot, Dimas pun langsung keluar tenda dan duduk di dekat api unggun.
"Hei, Diky. Apa nanti kita akan meneruskan membuat rakit?" celetuk Dimas memecah keheningan.
Diky menempelkan tangan ke dagunya dan berpikir sejenak. "Hmm. Selain itu, kita juga harus berlatih menembak. Kita harus mempersiapkan diri sebelum bahaya datang."
Dimas turut menempelkan tangannya ke dagu lalu mengangguk pelan. Sekilas ia teringat saat melawan anak laba-laba beberapa saat lalu. "Yah, benar juga. Waktu itu kita sama sekali belum siap."
Diky hanya menghela napas dalam. Namun, sebuah ide terlintas dalam benaknya. "Hei. Bagaimana jika kita pakai senjata yang lain dari sebelumnya?"
Dimas hanya mengangkat sebelah alisnya. "Maksudmu, dua senapan yang terakhir kita temukan?"
Diky mengangguk pelan lalu secara refleks menunjuk sahabatnya itu. "Benar sekali. Yang aku tahu, senapan itu berjenis semi otomatis."
"Hah? Dari mana kamu tahu?" tanya DImas yang kembali mengangkat alisnya.
Diky hanya menggaruk pelipis lalu melirik ke arah lain untuk mengalihkan perhatian. "Yah, aku hanya tahu dari video game saja."
Dimas hanya menghela napas lalu mengangkat bahu. "Hah. Pantas saja kamu tahu banyak soal senjata dan lainnya."
Tiba-tiba perut Diky berbunyi, menandakan dia merasa lapar. Dimas seketika menutup mulutnya dan terkekeh pelan. "Kalau begitu, lebih baik kita makan dulu saja."
Diky seketika memicingkan mata dan melirik ke arah lain demi menyembunyikan rasa malunya. "Ya, ya, ya. Kita kesampingkan dulu saja rencana untuk hari ini."
Dua lelaki itu beranjak bangkit dan memasuki tenda penyimpanan. Diky langsung mengambil daging dan memotongnya. Setelah itu dia mengiris-iris menjadi bagian yang lebih kecil dari biasanya.
Merasa keheranan, Dimas mengangkat sebelah alisnya dan bertanya, "Kenapa kamu memotongnya terlalu kecil, Diky?"
"Apa kau lupa, jika stok makanan kita perlahan mulai menipis?" jawab Diky tanpa mengalihkan perhatian dan terus melanjutkan pekerjaannya.
Dimas hanya menggaruk pelipis dan tersenyum canggung. "Eh, iya juga. Aku benar-benar lupa."
Diky hanya melirik sekilas, namun menunjukkan ekspresi kekesalan di wajahnya. "Jangan banyak mengeluh. Lebih baik kau tusuk-tusukkan saja daging ini dan mulai memasak."
"Ba-baiklah," ucap Dimas seraya mengangguk pelan. Dalam hatinya ia tahu persis, jika sahabatnya itu merasa tersinggung dengan apa yang ia katakan sebelumnya. Tanpa banyak basa-basi Dimas melakukan apa yang diperintahkan padanya.
Setelah persiapan dirasa cukup, dua lelaki tersebut langsung menancapkan daging tusuk mengelilingi api unggun. Sembari menunggu makanannya matang, mereka duduk dan menghangatkan diri. Dimas melihat Diky hanya diam dengan wajah serius, seakan masih merasa kesal. Tidak mau memancing kemarahan sahabatnya itu, Dimas hanya bungkam dan menatap kobaran api yang bergoyang karena tertiup angin.
Keheningan seketika menyeruak karena tidak ada salah satu dari kedua pria tersebut mengatakan sepatah kata pun. Setelah makanan dirasa sudah matang, Diky langsung mengambil setusuk daging dan langsung menyantapnya. Dimas turut melakukan hal yang sama tanpa berani memulai percakapan.
Seusai menyantap makan pagi, dua lelaki itu duduk santai di dekat api unggun yang perlahan mulai padam. Diky mengambil sebatang rokok dari saku baju dan menyalakannya dengan kayu bakar yang masih menyala. Ia menikmati rasa pahit yang mengisi rongga mulutnya dan mengeluarkan asap rokok sedikit demi sedikit. Dimas yang merasa sedikit bosan bertanya, "Umm, apa kita akan berlatih menembak sekarang?"
Diky yang hendak menghisap rokok seketika terhenti. Setelah berpikir sejenak ia menjawab, "Sebentar lagi. Perutku masih kenyang, tahu."
"Eh? Umm, iya juga, ya," kata Dimas canggung sembari menggaruk kepalanya.
Diky menyunggingkan bibirnya dan menoleh ke arah Dimas. "Dasar. Kau ini seperti anak kecil yang tidak sabar dengan mainan barunya."
Lagi-lagi Dimas menggaruk kepalanya sembari tertawa canggung. "Ahahaha. Meski awalnya sedikit menakutkan, ternyata menggunakan senjata agak menyenangkan juga."
Diky hanya menghisap rokok di tangannya. Sambil mengeluarkan asap di mulutnya dia menggeleng pelan dan tertawa kecil. "Asal tahu saja, medan perang tidak akan menjanjikan kesenangan. Yang ada hanya ketegangan dan ketakutan saja."
Dimas seketika mendelik sembari menelan ludah. Ekspresi wajahnya berubah tegang karena membayangkan suasana peperangan yang pernah ia lihat di film-film. "Yah, kamu benar juga."
Diky hanya menghela napas panjang dan bergumam, "Jika saja berkah dari Kristal Suci masih ada, kita tidak akan mati dengan mudah."
Dimas hanya menunduk dan mengangguk lemah. Memang benar, saat di Eoggavar ia dan sahabatnya itu mampu selamat dari pertempuran mematikan karena perlindungan Kristal Suci. Di dunia asing ini, mereka terlahir kembali tanpa berkah dari benda tersebut. Bisa saja, nyawa dua lelaki itu melayang kapan dan di mana pun.
Tiba-tiba sebuah sinar keemasan muncul dari langit, membuat Diky dan Dimas harus menutup mata karena silau. Secara tak disangka dua kalung bermatakan Kristal Suci melayang di dekat mereka. Tidak hanya itu saja, suara seorang wanita bergema di sekitar keduanya.
"Kalian jangan khawatir. Aku akan membantu, meski kalian sudah tidak lagi berada di Eoggavar."
Seketika Diky dan Dimas saling berpandangan. Dua lelaki itu menyadari suara barusan adalah Nadella, Dewi yang mengangkat mereka menjadi Utusan Suci dalam kehidupan sebelumnya. Setidaknya, kini Diky dan Dimas tidak perlu khawatir lagi akan keselamatannya di dunia baru yang tidak mereka ketahui.
Dua kalung itu seketika melesat ke arah Diky dan Dimas. Mereka langsung mengambil dan memasangkannya ke leher mereka. Diky hanya melihat Kristal Suci di tangannya dan tersenyum kecil. "Aku benar-benar tidak menyangka, masih diberi kutukan ini di kehidupanku sekarang."
Dimas hanya mendelik untuk sesaat dan menunduk lemah. Kutukan yang dimaksud adalah keabadian. Jadi, hanya mereka saja yang mampu bertahan hidup di saat orang lain gugur dalam peperangan. Seketika rasa takut menghantui benak Dimas, kala mengingat seberapa banyak orang yang harus kehilangan nyawa di hadapannya.
Dimas menggenggam erat Kristal Suci dan bergumam, "Apa mungkin .... Apa mungkin kita akan mengalami kejadian yang sama seperti di Eoggavar?"
Diky hanya menutup mata dan mengangguk lemah. Tampak jelas ekspresi kesedihan terpampang di wajahnya. "Aku yakin dunia ini dalam bahaya, hingga ada seseorang yang menghidupkan kita kembali."
Dimas hanya bungkam. Pikirannya seketika kalut, sampai-sampai tidak tahu harus berkata apa. Diky menarik napas panjang lalu menambahkan, "Tapi, aku juga belum tahu secara pasti, bahaya seperti apa yang akan mengancam. Kita harus berjuang bersama untuk mengungkap misteri di dunia ini."
Dimas sedikit tersentak lalu mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Diky. "Benar juga. Setidaknya aku senang karena tidak merasa sendiri," ucapnya sembari tersenyum.
Diky hanya tersenyum kecil. "Baiklah. Kalau begitu, kita harus siap-siap berlatih menembak."
Diky dan Dimas seketika beranjak dan bergegas menuju tenda tempat penyimpanan. Mereka menurunkan dua peti panjang berisikan senjata lalu mengambil senapan M1 Garand, yang berada di kotak bagian bawah. Diky langsung teringat akan golok yang tersimpan di tenda lain lalu bergegas untuk mengambilnya. Sementara Dimas memeriksa amunisi senapan tersebut, yang berupa klip en bloc (klip berbentuk kotak) berisikan delapan butir peluru dalam dua baris.
Diky seketika menghampiri ke dalam dan berkata, "Ayo kita pergi sekarang."
"Tunggu dulu. Apa ini amunisi yang akan kita bawa?" tanya Dimas seraya menunjukkan klip en bloc di tangannya.
Diky menempelkan tangan ke dagunya dan berpikir. Dia berusaha mengumpulkan ingatan sewaktu bermain permainan first-person shooter dalam kehidupan lamanya. "Hmm, yang aku tahu seperti itu. Lagipula, senapan ini akan melontarkan klip dengan sendirinya saat peluru sudah habis."
Dimas hanya diam dengan ekspresi kebingungan. Diky hanya menghela napas karena tidak tahu bagaimana cara menjelaskan apa yang dia katakan sebelumnya. "Nanti kau akan tahu sendiri jika sudah menggunakannya."
"Ehehe. Baiklah kalau begitu," ucap Dimas canggung.
Kemudian Diky dan Dimas langsung mengenakan tas pinggang dan memasukkan beberapa amunisi. Tidak lupa juga mereka memasang tali senapan melingkari bahunya. Setelah persiapan dirasa cukup, dua lelaki itu keluar dari tenda bergegas meninggalkan perkemahan.
Namun tak jauh dari sana, asap hitam mengepul dan memunculkan sesosok lelaki bertudung, yang tidak lain adalah orang yang memiliki paras seperti Diky. Dia mengawasi kembarannya itu dari kejauhan agar tidak ketahuan. Setelah Diky yang asli beserta Dimas menghilang dari pandangan, Diky yang lain mengeluarkan kalung bermatakan kristal berwarna hitam pekat dari dalam pakaiannya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia hanya menatap benda yang melingkar di lehernya itu.
Beberapa saat kemudian, ia menyeringai lebar bak tersenyum penuh aura kejahatan. "Heh, menarik sekali. Aku tidak sabar menanti saat kita bertarung," gumamnya lalu menghilang bersamaan dengan kepulan asap hitam yang menyelimuti dirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro