002: Awal Kehidupan Baru
Diky menepuk pundak Dimas lalu mengelusnya, dengan harapan agar lelaki itu bisa merasa sedikit lebih tenang. “Bagaimana jika kita memeriksa sekitar perkemahan?”
Dimas hanya menoleh dengan wajah lesu karena batinnya masih terguncang. Dia masih bersedih atas apa yang dialami oleh penghuni perkemahan. Terlebih mereka sempat memberikan makanan untuknya. Pemuda itu menghela napas sejenak dan berucap lemah, “Beri aku waktu sedikit lagi. Aku ingin menenangkan pikiran sebentar.”
Hela napas panjang keluar dari mulut Diky. Dia tahu persis sahabatnya itu pasti masih merasa berduka. Pria itu terus langsung berjalan dan menghampiri sebuah tenda, yang berada sekitar lima meter di dekatnya. Di sana terdapat kasur lipat berukuran besar tergeletak dengan dua bantal di atasnya.
Rasa penasaran seketika menghampiri Diky saat melihat beberapa tenda berjajar di sekelilingnya. Dia langsung memeriksa satu per satu dan hanya mendapat kasur dan bantal saja. Lelaki itu berasumsi tenda-tenda itu sebagai tempat tinggal.
Tepat di ujung, ada sebuah tenda berukuran lebih besar berdiri tepat di tengah. Batin Diky seakan tergelitik oleh rasa penasaran, ada apa di dalam sana? Pemuda bersurai ikal panjang itu tanpa ragu memasukinya dan memeriksa keadaan di dalam sana.
Dengan bantuan sedikit cahaya dari luar, Diky mendapati tumpukan peti kayu yang tersusun rapi di kedua sudut tenda. Merasa makin penasaran, ia memeriksa tumpukan kotak di sebelah kanan. Lelaki itu dengan hati-hati menurunkan salah satu peti berbentuk kubus dan membukanya, yang ternyata berisi daging segar. Dia mengambil kotak lainnya yang serupa dan menemukan beberapa roti baguette.
Diky menyimpulkan di sudut itu berisi bahan makanan. Lalu ia beranjak untuk memeriksa tumpukan peti di sebelah kiri, yang kali ini berukuran lebih panjang. Lelaki itu mengambil salah satu kotak yang terletak di paling atas dan menurunkannya secara hati-hati. Dia nampak terkejut dengan apa yang berada di dalam kotak tersebut.
Diky menemukan sepucuk senapan laras panjang dengan badan yang seluruhnya terbuat dari kayu, ditambah dengan teropong kecil terletak di dekat gagangnya. Ia lantas mengambil senjata itu dan membawanya keluar untuk memeriksa dengan lebih jelas.
Mosin-Nagant M91/30 dengan teropong PU. Sumber: https://www.artstation.com/alexgarcia3dart
Setelah memeriksa secara rinci, Diky menyimpulkan senapan itu berjenis bolt-action, yang harus selalu dikokang dalam tiap penembakan. Berkat keseringannya bermain permainan first-person shooter, ia memutar 90° tuas kokang dan menariknya ke belakang. Tak disangka sebuah peluru utuh terlontar keluar dari ruang amunisi, dan memperlihatkan peluru lainnya yang siap untuk ditembakkan.
Seketika Diky terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak menduga bahwa senjata di tangannya itu masih terisi penuh. Dia mengambil peluru yang terjatuh dan memasukkannya kembali. Tak lupa dia menutup ruang amunisi dan memutarkan tuas kokang ke bawah. Namun, lelaki itu masih terguncang karena membayangkan, bagaimana jika dia tidak sengaja menembakkan senjata tersebut.
Dimas yang merasa sedikit lebih tenang berjalan mendekat. Namun, seketika ia mendelik dengan mulut yang terbuka lebar. “Hah? Da-dari mana kamu mendapatkan senjata itu, Diky?”
Diky refleks menoleh ke arah Dimas dan menurunkan senapan di tangannya. Tak lupa Diky meluruskan jari telunjuk untuk menjauhkannya dari tuas pemicu. “Aku tidak sengaja menemukannya saat memeriksa tenda-tenda di perkemahan.”
Wajah Dimas tampak tegang saat melihat senapan di tangan sahabatnya itu. “Hey, a-apa senjata itu aktif?”
Diky hanya mengangguk pelan. Ia memasuki tenda dan menaruh senapan tersebut ke lantai. “Sebaiknya kita periksa ada apa saja di sini.”
Diky dan Dimas akhirnya menurunkan peti panjang di sebelah kiri dan membukanya. Benar saja, mereka mendapati sebuah senapan bolt-action yang lain dari dalam sana. Diky mengambil dan membawanya ke luar agar dapat memeriksa lebih rinci, sedangkan Dimas hanya bergeming tanpa kata.
Lee-Enfield No. 1 MK III dengan teropong Pattern 1918. Sumber: https://www.artstation.com/martijnpetersen
Setelah beberapa saat, Dimas menghela napas panjang lalu menepuk kening. Dia tak habis pikir, kenapa dirinya justru menemukan benda berbahaya seperti senjata api di perkemahan? Ditambah lagi seumur hidup pemuda itu sama sekali tidak pernah menggunakan senapan, sehingga merasa takut jika harus menggunakannya.
“Sepertinya senjata yang kita temukan digunakan untuk berburu, Dimas. Dua senapan ini masing-masing ditambahkan teropong untuk dipakai menembak dalam jarak jauh,” ujar Diky yang masuk ke dalam tenda.
Secara refleks Dimas menoleh ke arah sahabat masa kecilnya itu. “Senjata itu ..., apa sama-sama masih aktif?”
Diky hanya mengangguk pelan tanpa mengatakan apa-apa, sementara Dimas hanya menepuk kening lalu memijatnya perlahan. Untuk memecah keheningan, Diky menoleh ke arah satu peti panjang yang sempat diperiksa dan berkata, “Bagaimana jika periksa yang satu ini? Aku penasaran senapan apa yang ada di dalamnya.”
Terdorong oleh rasa penasaran, Dimas mengiyakan ajakan tersebut. Benar saja, dua buah senapan tergeletak dalam peti. Diky lantas memeriksa senjata api itu, yang diketahuinya senapan jenis semi otomatis bertipe M1 Garand.
Ilustrasi M1 Garand. Sumber: https://www.artstation.com/polysquid
Dimas hanya menghela napas panjang dan menepuk kening. Sedangkan Diky seakan teringat bahwa senjata yang mereka temukan sama seperti masa Perang Dunia Kedua. Seketika beberapa pertanyaan melintas dalam benak lelaki itu: Kenapa bisa ada senjata peninggalan sejarah kelam di Bumi di sini? Apa mungkin dia dan Dimas dihidupkan kembali ke dunia mereka berasal?
Tiba-tiba perut Dimas berbunyi keroncongan bak menjerit karena rasa lapar. Diky hanya menepuk kening sambil tertawa kecil. “Ayo kita ambil beberapa makanan. Aku juga sedikit lapar.”
Diky dan Dimas langsung meletakkan senjata api itu, lalu berpindah ke peti sebelah kanan yang berisi makanan. Mereka sepakat untuk memakan roti baguette untuk mengganjal perut. Rasa lapar yang melanda perut membuat keduanya langsung melahap makanan yang ada di tangan.
“Hei, Diky. Bagaimana jika kita tinggal di sini saja?” tanya Dimas memulai pembicaraan.
Diky langsung melihat tenda-tenda yang berjejer di luar. “Aku rasa itu bukan ide yang buruk. Tapi ....”
“Hah, tapi apa?”
Diky hanya menghela napas panjang dan menepuk kening. “Apa kau tidak merasa kalau tenda-tenda ini terlalu banyak untuk kita berdua?”
Dimas hanya mengangguk kepala. “Ehehehe. Kamu benar juga.”
Diky hanya tersenyum kecil lalu kembali melahap makanannya. “Setelah makan, kau bantu aku beres-beres."
Dimas hanya memicingkan kedua matanya dan menoleh ke arah Diky, seolah menunjukkan rasa enggan. “Baiklah, baiklah. Aku akan membantumu.”
Diky hanya melirik ke arah sahabatnya itu sembari meneruskan mengunyah makanan. “Jangan malas-malasan kau, Dimas. Setidaknya kita harus membuat tempat baru kita ini lebih nyaman.”
Setelah rasa laparnya terpuaskan, dua lelaki itu bergegas keluar. Mereka akhirnya mengeluarkan peti dalam tenda-tenda kecil lalu merapikannya, hingga menyisakan tenda untuk mereka tidur dan untuk menaruh barang-barang.
Namun, ada yang mengalihkan perhatian Diky saat merapikan barang-barang peninggalan penghuni perkemahan. Ia menurunkan peti-peti lalu memeriksa apa yang ada di sana. Ia menemukan sebuah seragam militer berwarna coklat, dengan bendera merah di kerah dan bahunya.
Tidak hanya itu saja, sepasang sepatu bot setinggi lutut dan tiga tas kotak kecil, yang biasa digunakan untuk menyimpan peluru, ada di dalam peti tersebut.
Diky langsung mengambil baju seragam coklat itu dan melihatnya. Ia beranggapan jika pakaian tersebut memiliki perlindungan yang lebih baik daripada kaus oblong biasa.
“Waw, seragam yang bagus. Tapi ....”
Ucapan bernada ambigu dari Dimas barusan membuat Diky mengangkat sebelah alisnya. “Apa ada yang salah, Dimas?”
“Kalau tidak salah, seragam ini mirip dengan pasukan Soviet.
Diky seketika terkejut, seolah jantungnya hampir saja copot. “Hah, yang benar saja? Mana mungkin seragam Soviet bisa ada di dunia ini! ”
Dimas memeriksa secara rinci seragam yang ditemukannya. “Hmm, aku rasa hanya mirip di lencana bahu dan kerahnya saja.”
“Kau benar-benar membuatku kaget saja,” gumam Diky dengan tatapan tajam. Tiba-tiba sebuah ide terlintas dalam benaknya. “Tapi menurutku seragam ini lebih baik daripada kaus oblong saja.”
“Yah, benar juga. Ayo sekarang kita pakai saja.”
Diky langsung memakai seragam coklat itu dengan kaus sebagai pakaian dalamnya. Pemuda itu sedikit kebingungan saat memakai celana karena tidak ada penahan untuk ikat pinggang. Yang ada hanya tali seperti celana pendek, untuk mengikatnya agar tidak longgar.
Dimas hanya menepuk kening. “Ikat pinggang dipakai di bagian bajunya, Diky.”
“Eh, kau benar juga. Aku tidak tahu.”
Dimas hanya menggeleng lalu menghela napas. Setelah Diky mengenakan baju seragam yang menutupi sampai pangkal pahanya, ia langsung memasang ikat pinggang dan mengaturnya agar tidak terlalu sempit. Lelaki itu tidak lupa untuk memakai sepatu bot dan tas peluru.
Setelah persiapan selesai Diky seketika keluar dan berkacak pinggang, dengan senyum puas terpampang di wajahnya. “Bagaimana, apa aku sekarang terlihat gagah?”
Dimas yang menyusul hanya menutup mulut dan tertawa kecil. “Kamu ini ada-ada saja. Memangnya mengenakan seragam militer bisa membuat seseorang menjadi lebih gagah?”
Diky hanya bisa menggaruk kepala, meski raut wajahnya terlihat sedikit kesal. “Yah, setidaknya aku terlihat seperti seorang tentara.”
“Ahahaha, sudahlah. Aku jadi ingin mengenakannya juga.”
Dimas kembali masuk dan memakai pakaian yang serupa, sedangkan Diky hanya menunggu di luar tenda. Setelah berdiskusi sebentar, dua lelaki tersebut akhirnya sepakat untuk tinggal di perkemahan. Mereka juga akan berburu bersama-sama untuk menambah variasi makanan.
Tampak di balik pepohonan yang berada sekitar belasan meter dari perkemahan, datanglah seekor laba-laba setinggi pinggang lelaki dewasa. Matanya yang besar dan berwarna merah darah tak lepas dari Dimas dan Diky, seolah mengawasi pergerakan mereka. Beberapa menit berselang binatang raksasa berkaki delapan itu akhirnya pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro