Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

75. Mencoba Menjelaskan

Sudah tiga malam Andro dan Salma tinggal di rumah Ardhito di Semarang. Tak jauh dari rumah mereka, tapi cukup aman untuk menghindar dari pencarian mama papanya.

Selama itu pula keduanya sama sekali tak keluar dari rumah. Andro bahkan menonaktifkan handphonenya. Menyita handphone Salma dan melakukan hal yang sama. Tapi dasar pemuda yang beruntung, ia memiliki ayah mertua pengertian dan punya kemampuan untuk memberi fasilitas tak kalah dari orang tuanya.

Semua kebutuhan dipenuhi dengan bantuan orang kepercayaan Ardhito. Termasuk dua handphone baru yang mereka dapat tanpa perlu meminta. Ayah Salma sendiri yang berinisiatif, agar tetap bisa berkomunikasi tanpa terlacak oleh Antariksa dan Utami.

Tapi sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga.

Siang itu Andro baru usai kuliah. Dia lupa kalau papanya tidak hanya kenal pada Wahyudi. Ada dua teman lain yang juga bisa dimintai informasi. Maka menghindar sudah tentu tak bisa dilakukan. Mama papanya sudah mengepung SUV putih milik ayah mertua.

"Papa sama mama mau bicara, Ndro. Tolong dengar dulu penjelasan kami, setelahnya bebas, keputusan ada di tanganmu. Kamu sudah jadi papa lho, semestinya bisa lebih sabar, lebih tenang, lebih dewasa dalam menghadapi hal-hal semacam ini."

"Oke. Kita bicara di rumah." Dingin saja. Andro bahkan tak menyalami kedua orang tuanya, apalagi cium pipi kiri kanan.

Utami ikut masuk ke mobil yang dikendarai Andro. Antariksa mengekor di belakang dengan mobil yang berbeda.

"Jadi begini, Ndro. Papa---"

"Kita mau bicaranya di rumah, Ma, dan ini belum sampai rumah." Masih datar. Sama sekali tak menoleh pada mamanya.

Utami terkekeh sambil menepuk lembut paha anaknya. "Kamu kalau udah marah banget masih sama ya kayak dulu. Diamnya istiqomah."

"Aku cuma mau ada Salma, Ma. Biar dia ikut dengerin pembicaraan ini. Gimana pun, cuma Salma yang mau ngertiin aku dan aku yakin, Salma nggak akan pernah nusuk aku dari belakang."

"Kok gitu sih nganggap mama papa, Ndro?"

"Jangan lupa, Mbak Rea dan Mas Dimas juga." Mamanya cuma diam, mengembus napas dengan berat.

"Kamu betah juga, ya, nggak pegang HP?" Tema pembicaraan bergeser.

"Kata siapa? Aku pegang HP, kok. Sal juga."

"Mama papa kamu blokir?"

"Nggak, lah. Kurang kerjaan amat main blokir."

"Terus?"

"Aku sama Sal ganti nomor. Ganti handphone juga. Nggak berniat sih sebenernya, tapi ayah yang kirimin lewat orang suruhannya."

Baru kali ini Andro menyebut ayah mertuanya dengan 'ayah', biasanya masih memanggil dokter. Sengaja ingin menunjukkan kalau dia juga punya keluarga yang —menurut egonya— sayang padanya.

"Terus, kalian tinggal di mana? Mama beberapa kali lewat rumah kosong terus."

"Ada lah, nggak penting di mana kami tinggal. Memangnya berapa hari nyariin kami?"

"Dari kalian pergi, mama sama papa udah nyusul dan stay di Semarang. Berarti udah empat hari ini."

"Niat juga, ya? Terus anak yang namanya satu tema sama aku dan Mbak Rea, ditinggal di Surabaya sama siapa? Kenapa malah ngurusin aku? Aku kan udah jadi papa, udah dewasa, udah bisa ngurus diri sendiri. Harusnya kan lebih perhatian sama dia daripada nyariin aku. Buat apa? Dia masih kecil, lho. Kasihan. Pernah jadi anak papa juga, kan? Atau malah mau jadi anaknya papa lagi?" Nada mengejek terdengar jelas di telinga Utami.

"Mama udah nyangka bakalan begini kejadiannya, Ndro."

"Tapi tetap membiarkan ini terjadi juga, kan?"

Utami melirik anaknya. Menemukan senyum miring dan wajah patah hati di sana. Ingatannya melayang pada masa hampir enam tahun lalu.

Tak menjawab apapun, Utami hanya menghela dan membuang napas berkali-kali. Hatinya nyeri mengingat rasa sakit yang pernah Andro terima saat masih belia, tapi sisi hatinya yang lain berharap Andro bisa lebih berlapang dada menyikapi rasa sakit hatinya. Apalagi Andro sudah dewasa, sudah jadi papa, sudah jadi pemimpin dalam rumah tangga.

Sampai di rumah, tak ada siapa-siapa. Andro mempersilakan papa mamanya untuk istirahat. Sedangkan dia akan menjemput Salma dan Naj.

"Aku mau jemput Sal. Pinjam mobilnya, biar lebih gampang. Mobilku nggak bisa keluar."

Tak banyak tanya, Antariksa menyerahkan kunci mobilnya, lalu Andro pergi. Kunci mobilnya sendiri tetap dikantongi. Sengaja. Khawatir diikuti, sebab dia tak mau mama papanya tahu di mana mereka tinggal tiga hari ini.

Salma bersiap secepat dia bisa, begitu tahu Andro mengajaknya ikut serta dalm pembicaraan dengan mama dan papa mertua. Dalam tiga hari terakhir, bukan satu dua kali Salma mengajak diskusi soal ini, tapi belum ada perubahan. Memang tak ada lagi amarah, tapi Andro juga sudah tak peduli. Dan bagi Salma, yang seperti ini justru membuatnya jauh lebih sedih.

Kedatangan Salma disambut air mata sang mama mertua. Air mata kerinduan sebab sudah tiga hari tak bertemu dan tak tahu di mana keberadaan si cucu pertama. Diciuminya Najma, mengungkapkan segala bentuk rindu serta kasih sayangnya.

"Naj biar ditidurkan dulu sama Sal. Lebih cepat bicaranya lebih bagus. Aku masih ada urusan lain." Sok sibuk sekali young daddy satu ini.

Lagi, Utami menghela napas berat. Diserahkannya Najma pada menantu kesayangan, yang segera menyampaikan permintaan maaf atas sikap suaminya.

"Ibunya meninggal dan keluarganya nggak ada yang sanggup merawat dia." Utami yang membuka pembicaraan. Tanpa mukadimah, bahkan sekadar basa-basi pun tidak.

"Mati kenapa? HIV? Hati-hati. Papa harus cek kesehatan. Mama juga. Biarpun udah dipakai orang lain, Mama Papa tetap having sex seperti biasa, kan?"

Istighfar terdengar dari bibir Salma. Pelan, sembari meremas jemari suaminya. Andro cuek saja.

"Sebenarnya kami juga sudah menyampaikan keberatan. Tapi kalau nggak kami terima, Or..., maksudnya anak itu, dia mungkin nggak ada yang merawat. Jadi kami mengiyakan dulu, sambil memikirkan mau bagaimana nantinya. Apa ke panti asuhannya Bu Miska atau bagaimana. Tapi Rea malah mengajukan diri untuk merawatnya."

"Oh. Bagus, dong. Itu harapannya Papa, kan? Ada kakak yang mengakui dia sebagai adiknya. Ya minimal salah satu, lah. Karena kalau aku ya jangan diharapkan. Aku ini siapa, sih? Cuma anak bungsu yang suaranya nggak laku, kan? Yang udah jadi papa tapi pikirannya nggak juga dewasa, kan? Yang...."

Andro tak melanjutkan kalimatnya. Ia membuang muka, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Utami memandangi anak laki-lakinya dengan nelangsa.

"Kami---"

"Nggak masalah, Pa!" potong Andro cepat. "Aku nggak masalah anak itu mau tinggal di mana, ikut siapa, atau gimana juga. Aku nggak masalah. Tapi tolong, jangan minta aku untuk ikut peduli, untuk ikut berbaik-baik hati, atau semacamnya. Aku memang dari dulu cuma bisa jadi orang yang keras hati, bukan orang yang baik hati.

"Satu lagi. Mama, Papa, Mbak Rea, Mas Dimas, atau siapapun, silakan kalau mau datang ke sini, mau nengokin Naj atau Sal. Silakan. Tapi tolong, jangan bawa anak itu ke sini, dan jangan paksa aku untuk bisa bersikap sebagaimana keluarga harmonis seperti kemarin-kemarin lagi. Aku nggak bisa kalau disuruh marah, tapi kalau cuma disuruh diam dan nggak peduli, aku udah pernah dan masih sangat bisa kalau disuruh mengulangi.

"Udah. Kayaknya udah cukup pembicaraan kita. Seperti yang Mama Papa bilang, aku udah dewasa, udah bisa ambil keputusan sendiri. Salma istriku, Najma anakku, tapi mereka juga menantu dan cucu Mama Papa. Aku nggak akan menutup komunikasi atau apapun dengan mereka. Silakan. Silakan juga kalau mau ngobrol sama Sal sekarang. Atau mau main sama Naj. Atau mau di sini. Atau apapun. Aku izin dulu, ada tugas yang harus dikerjakan. Assalamualaikum."

"Ndro, nggak begini caranya, Nak. Kita masih bisa...." Suara Utami menghilang bersama langkah Andro meninggalkan ruang keluarga. Kemudian disusul isak, di sela hening yang melanda.

"Maafkan Mas Andro ya, Ma, Pa. Sal sudah coba ngobrolin ini, tapi responnya sama. Mas kayak udah apatis, gitu. Nanti Sal coba lagi, Ma, Pa. Sal beberapa kali lihat Mas Andro marah, merasa kaget dan serem juga. Sal takut. Tapi lihat mas bersikap cuek, nggak peduli, dan nggak mau tahu gitu, ternyata Sal lebih takut lagi, Ma."

Keduanya bertangisan. Utami merengkuh sang menantu ke dalam pelukan. Mengusap punggungnya sambil meminta maaf.

"Andro nggak sepenuhnya salah, Sal." Utami memulai penjelasan. Hanya pada Salma.

"Memang di sini mama dan papa yang kesannya mengalahkan dia dan mendahulukan Rea. Awalnya juga Rea agak sinis, tapi Dimas bisa memberi pengertian. Malah akhirnya Rea berubah pikiran. Dia dan Dimas yang akan merawat Orion. Bukan mengadopsi, hanya merawat saja. Nanti kalau Orion sudah menjelang baligh, akan dicarikan tempat yang lebih pas untuk dia, karena dia dan Rea bukan mahram. Mungkin ke pesantren, walaupun pulangnya mungkin tetap ke rumah kita. Ah, tapi itu juga kan masih jauh waktunya."

Utami mengambil jeda, menatap pintu kamar Andro yang dibiarkan terbuka.

"Selain itu, Rea juga sudah ingin punya momongan, Sal. Kemarin ada kalian di Surabaya, Rea seneng banget bisa sering main sama Naj, malah kadang-kadang maunya dibawa pulang, kan?"

Keduanya terkekeh getir. Memang benar. Rea hampir tiap hari menyambangi keponakannya, sampai-sampai rumah keluarga Ardhito bagai rumah keluarga sendiri, saking seringnya. Beberapa kali Rea meminta 'dipinjami' Najma untuk dibawa pulang, tak pernah berhasil, yang ada malah berantem dengan Andro gara-gara berebut si bayi chubby.

"Ya mungkin memang cuma mitos, Sal. Tapi karena sudah saking kepengennya, Rea jadi nggak terlalu peduli mitos atau bukan. Pokoknya segala cara dicoba. Padahal sebenarnya cuma soal waktu saja kan ya, Sal?"

Utami mencari persetujuan, Salma mengangguk mengiyakan. Dia sangat bisa memahami posisi dan keadaan Rea. Dalam hati bertekad akan membawa topik itu sebagai salah satu bahan diskusi dengan sang suami, berharap Andro akan melunak mendengar salah satu alasan kenapa keluarganya menerima Orion untuk tinggal bersama mereka.

"Ibunya Orion meninggal karena gagal ginjal akut. Kami juga kurang tahu cerita detailnya. Kamu masih ingat kan, Sal, waktu mereka datang dan Andro maki-maki dia di depan kita semua?" Salma mengangguk.

"Setelah itu dia bekerja, jadi kasir minimarket di kampung halamannya. Sebenarnya sayang skill-nya kalau cuma buat jadi kasir, tapi ya karena dia cuma punya ijazah SMK dan keluar dari perusahaan pun karena dipecat, ya mau nggak mau agak sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai, wong yang namanya pengalaman nggak bisa dilihat, kan?" Lagi-lagi Salma mengangguk.

"Kalau emm..., b-bapaknya? Emm..., maaf. Maksud Sal, emm, b-bapak biologisnya."

Salma menunduk. Menyesali pertanyaannya. Ia gugup dan merasa tak enak hati. Gugup karena mengingat dirinya sendiri, yang baru bertemu ayah biologis di usia yang sudah tidak bocah lagi. Tak enak hati karena ada papa mertua yang pernah menyangka dirinya sebagai penanam benih alias ayah biologis dari anak bernama Orion itu.

"Wallahu a'lam, Sal. Mama nggak pernah mau tahu. Papa juga, sejak terbongkar siapa dan bagaimana perempuan itu, hanya minta tes DNA. Setelahnya semuanya selesai, nggak ada urusan lagi, sampai..., ya, sampai dia datang lagi pagi itu."

Salma mengangguk-angguk untuk kesekian kali.

"Alhamdulillah dia meninggal sudah dalam keadaan bertaubat. Insya Allah begitu kalau dari keterangan kerabatnya yang mengantarkan Orion tempo hari. Dia menceritakan kisah hidupnya, termasuk bagaimana dia merusak rumah tangga kami, juga tentang sepak terjangnya dengan kaum laki-laki. Untungnya soal bapak biologis juga dia ceritakan kepada kerabat yang dia percayai itu."

Masih Utami yang bercerita. Kuat. Sebab dari awal sudah yakin, dia yang akan keluar sebagai pemenang, meski harus menahan pedih dulu beberapa waktu.

Salma pun diam-diam menahan pedihnya. Teringat rekam jejak ibunya di masa lalu, yang mungkin tak jauh beda dengan apa yang dilakukan mantan istri papa mertua. Sebuah niat tiba-tiba berkelebat. Ia akan membawa kisah hidup ibunya, juga kisah hidupnya sendiri. Bahwa asal-usulnya dan Orion tak jauh berbeda. Siapa tahu bisa melembutkan hati Angkasa Andromeda.

"Qodarullah sebelum mapan hidupnya, dia keburu sakit-sakitan." Utami melanjutkan. "Orion juga kan kami yang biayai semua keperluannya. Tapi memang dia nggak mengabarkan apapun tentang penyakitnya, jadi kami juga sama sekali nggak bantu apa-apa. Kalau tahu ya sebisa mungkin kami bantu. Iyo gak, Ik?"

"Ehk, i-iyo. Iyo, Tam. Nek eruh yo mestie awak dewe bantu (Iya, Tam. Kalau tahu ya pasti kita bantu). Dia juga dari dulu memang susah banget kalau disuruh minum air putih. Minumnya sedikit banget."

"Cieee, jek kelingan banget yo, Ik? (Masih ingat banget ya, Ik?)"

"Yo gak ngono lah, Tam. Ojok cemburu, koyo arek cilik ae kon." (Ya nggak gitu lah, Tam. Jangan cemburu, kayak anak kecil aja kamu)

"Lha kamu pakai gugup segala. Pakai bahas kebiasaannya segala. Lha gelo ta piye? (Lha menyesal apa gimana?)" Wajah Utami mendadak cemberut. Salma sekuat tenaga menahan tawa. Baru kali ini melihat wajah mama seperti itu. Mama cemburu.

"Opo se, Tam? Wong wis matek ae kok dicemburui. Isin ah ambek mantue. Wis lah, ayo turu ae, kesel aku mikiri Andro." (Apa sih, Tam? Orang sudah mati saja kok dicemburui. Malu lah sama menantunya. Udah lah, ayo tidur saja, capek aku memikirkan Andro).

Antariksa tergelak, berusaha membelokkan topik pembicaraan yang mulai tak mengenakkan. Dihampirinya Utami, meraih jemarinya dengan mesra. Serangkai rayuan dilancarkan di depan sang menantu tanpa malu-malu. Malah Salma yang salah tingkah. Beruntung, gawai Antariksa berbunyi. Salma tak salah tingkah lagi.

"Heh, bagaimana? Lha kenapa katanya, Dim? Oh, oke. Ini papa lagi di rumah Andro. Iya, udah ketemu, papa cegat di kampus. Oke, nanti biar papa ajak bicara anaknya. Iya, terima kasih."

Pembicaraan berakhir, menyisakan wajah Antariksa yang berubah serius.

"Dimas, Ik? Ada apa?"

"Andro, Tam. Katanya nggak jadi ambil data buat tugas akhir di proyek kita. Malah udah dapat proyek pengganti."

Salma yang turut mendengar jadi kesal. Andro bahkan tak memberitahunya soal itu.

"Ngono mau yo gak omong-omong. Koyo arek cilik ae bocah iku. (Begitu tadi juga nggak bilang-bilang. Kayak anak kecil saja bocah itu)." Antariksa beranjak tergesa.

"Mau ke mana, Ik?"

"Aku harus bicara empat mata sama Andro, Tam. Nggak bisa begini. Aku bikin perusahaan salah satunya buat memudahkan anak-anak, ini malah anaknya kayak gini."

"Jangan sekarang, Ik. Kamu tahu sendiri kan, Andro kalau udah kayak gitu tuh gimana. Udah lah, biarin aja. Dia udah dewasa, udah bisa ambil keputusan sendiri. Cobalah untuk lebih menghargai dia, Ik!" cegah Utami setengah berteriak.

Dari dalam kamar, Andro yang sebenarnya sejak tadi menguping —sambil berharap Salma segera menyusulnya masuk ke kamar, mendengar semuanya. Dia keluar dan menghampiri mama papanya.

"Terima kasih udah ngehargain apa yang jadi keputusanku, Ma. Doakan aja. Aku juga udah berniat untuk nggak kerja di perusahaan Papa, nanti kalau udah lulus. Aku mau cari tempat dari sekarang. Nggak apa-apa tanpa orang dalam. Aku malah jadi termotivasi untuk membuktikan kalau aku juga bisa mandiri. Membahagiakan istri dan anak-anakku dari hasil keringatku sendiri. Aku---"

Kalimat Andro terhenti. Dia terkejut. Antariksa memeluknya erat, menumpahkan tangis di bahunya.

***

Duh, udah mau kelar malah Andro bikin drama. Eh, bukan Andro ding, keluarganya. Hihi....

Eh, tapi pas ngetik obrolan kezel-kezelannya Utami ke Antariksa, aku ngikik sendiri lho. Wkwk...

Oke deh, insyaAllah nggak akan panjang lagi, kok. 1-2 part lagi ya. Doakan aja cepet kelar ini Move On.

Ya udah gitu dulu. Mau jemput anak-anak.

Thank you masih mau ngikutin ceritanya Andro-Salma.

See you :)

Semarang, 07112022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro