Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

74. Pengkhianatan

Tanah dicangkul buat nanam tomat. Lama nggak muncul, sekalinya muncul judulnya ngeri amat.
Wkwk....
-----

Hampir tiga bulan Andro dan Salma menghabiskan hari-hari di Surabaya. Andro sibuk dengan kerja praktiknya. Sesekali ke Semarang bersama ketiga teman yang juga kerja praktik di perusahaan papanya. Perkuliahan sudah dimulai dua pekan ini.

Salma tak terlalu mempermasalahkan kesibukan sang suami, sebab sejak status kekeluargaannya dengan Dokter Ardhito terungkap, ia beserta Andro dan Najma lebih banyak menghabiskan waktu di rumah orang tuanya. Hanya di akhir pekan saja mereka berkunjung dan menginap di kediaman keluarga Antariksa.

Andro sendiri merasa enjoy saja menghabiskan hari-hari di tengah keluarga Salma. Baginya, melihat Salma merasakan bagaimana bahagianya hidup di tengah keluarga yang utuh, itu sudah lebih dari cukup. Komplain, keberatan, dan semacamnya sudah tak ada lagi.

Pagi itu keduanya sedang bersiap,  hendak kembali menjalani hidup di perantauan. Tentu saja kepulangan mereka kali ini butuh persiapan lebih, karena ada bayi dengan segala perintilan yang nyaris memenuhi SUV putih milik Ardhito.

"Duh, asem tenan! Laptopku ketinggalan di Pakuwon, Sal," umpat Andro. Mukanya terlihat masam. Kecerobohan semacam ini selalu berhasil menurunkan mood-nya.

Semalam salah satu karyawan Antariksa membantu Andro urusan data-data. Mungkin saking buru-buru ingin pulang dan ketemu anak istri, Andro tak sadar laptopnya tertinggal. Ranselnya sudah berat oleh buku-buku yang ia ambil dari perpustakaan papanya.

"Tumben? Biasanya Mas kalau urusan kayak gitu selalu teliti, lho." Betul kata Salma, memang tidak biasanya Andro demikian.

"Ya namanya juga manusia, Sal, tempatnya salah dan lupa."

"Ya, untung cuma laptop, bukan anak yang ketinggalan," goda Salma. Andro makin kesal kekonyolannya tempo hari dibahas lagi. Ditariknya Salma dan menjatuhkan satu kecupan di bibirnya nan kemerahan.

"Itu hukuman buat kamu." Salma terkikik lagi.

"Berarti gimana? Mas ke Pakuwon dulu?"

"Enak aja. Nggak, lah. Kita ke sana, terus langsung cabut ke Semarang."

Salma mengiyakan, meski sebenarnya ingin menawar. Kembali ke Semarang kali ini rasanya bahkan lebih berat dari saat pertama mendampingi Andro. Dulu, sesaat setelah mereka menikah.

Dokter Ardhito dan Bu Dita pun sama, terlihat berat saat melepas anak, menantu, dan cucu mereka. Padahal besok sore mereka juga akan menyusul ke Semarang.

Air mata mengiringi lambaian tangan Salma pada ayah ibunya. Andro melirik, menahan tawanya. Merasa sikap istrinya terlalu lebay untuk perpisahan yang hanya akan terjadi tak sampai 2x24 jam.

SUV pabrikan Korea meluncur dengan kecepatan sedang. Obrolan ringan mewarnai perjalanan pasangan muda yang selalu dipenuhi dengan cinta. Sesekali terjadi perdebatan tak penting, berebut mengklaim wajah Najma paling mirip dengannya.

"Sudah lah, Sayang, akui saja kalau Naj itu mirip banget sama aku. Cuma matanya aja yang mirip kamu. Nggak usah ngeyel. Kalau soal mirip-miripan, malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya."

Mobil memasuki halaman rumah keluarga Antariksa. Andro menutup percakapan mereka dengan "I love you, Salmaku" dan satu kecupan hangat di kepala istrinya.

Di halaman yang cukup luas dengan rumput yang terpotong rapi, Andro melihat papanya sedang bermain bola bersama seorang bocah laki-laki, mungkin empat atau lima tahunan. Salma ikut melihat, hanya butuh sekian detik baginya untuk mengingat siapa bocah laki-laki itu.

Diliriknya wajah Andro, belum ada perubahan, hanya terlihat sedikit mengerenyit. Mungkin sedang berusaha mengingat.

Andro turun, Salma buru-buru melakukan yang sama. Menghampiri Andro dan menyerahkan Najma dengan sedikit memaksa.

"Naj udah gelisah, kayaknya udah kangen banget sama papanya. Bawaan biar Sal yang urus, nanti minta bantu Pak Surip atau mbak-mbak di dalam. Mas duluan aja ke mama, beliau pasti udah kangen sama cucu kesayangan."

Maksud Salma tidak tersampaikan. Bukannya langsung masuk ke dalam rumah, Andro malah berbelok menuju sang papa yang menghentikan permainan dan memandang lekat-lekat kepadanya.

"Siapa, Pa?" tanya Andro setelah yakin bocah laki-laki itu bukan salah satu dari sepupu atau pun keponakannya.

Tidak ada jawaban. Antariksa malah meraih Najma dan sibuk menimang-nimang cucu pertamanya dengan gemas. Sayangnya Najma menangis, baru diam setelah berpindah ke buaian papanya.

"Papa, ayo main bola lagi." Bocah kecil itu berlari menghampiri mereka dan merengek pada Antariksa. Mendengar panggilan itu, ingatan Andro pun datang seketika.

"Sal!" panggilnya dengan teriakan keras. Salma pura-pura tuli, tapi Andro secepat kilat menghampiri Salma yang baru saja membuka bagasi. Diserahkannya Najma kepada Salma, lalu menarik tangan istrinya agak kasar.

Blam! Pintu bagasi dibanting dengan sangat keras.

"Masuk mobil! Aku ambil laptop, terus kita pulang!"

"Tapi kita belum ketemu mama, Mas." Salma berusaha untuk tetap tenang.

"Kamu tahu nggak, sih? Aku udah nggak dianggap di rumah ini! Buat apa kita ke sini? Aku nggak akan menginjakkan lagi kaki di rumah ini kalau bocah sialan itu masih ada!" teriak Andro penuh amarah.

Andro lalu menyeret paksa Salma, membuka pintu mobil dengan serampangan, dan mendorong Salma agar segera masuk tanpa perlawanan. Setelahnya ia berlari masuk rumah dan keluar lagi dengan kecepatan cahaya. Dilemparnya laptop asal saja, lalu duduk di balik kemudi. Bagai pemuda yang memindahkan singgasana Balqis ke istana Sulaiman, semuanya selesai dilakukan bahkan sebelum Salma sempat mengedipkan mata.

"Mas," ucap Salma lemah lembut.

"Apa? Kamu mau ceramahin aku? Atau kamu mau turun? Silakan, tapi kalau kamu mau bertahan jadi bagian dari keluarga ini, kamu aja sendiri, Naj ikut aku."

"Nggak gitu, Mas. Mungkin ada penjelasan dari---"

"Turun kamu! Silakan dengar sendiri penjelasannya. Apapun itu, aku nggak peduli! Aku udah nggak dianggap di rumah ini!"

Kaca di sisi Andro diketuk dari luar. Keduanya menoleh, melihat Utami yang sedang memanggil-manggil nama anaknya sambil tak henti mengetuk-ngetuk kaca. Antariksa turut berdiri di belakang istrinya, rasa bersalah tersirat di wajahnya.

"Setidaknya buat mama, Mas. Kan Mas pernah bilang kalau Mas nggak mau lagi lihat mama tersakiti."

"Ini mama nggak tersakiti, Sal. Justru mama yang ikut nyakitin aku lagi."

"Tapi, Mas---"

"Aku mau pergi. Kamu kalau mau ikut aku, diam dan nurut aja. Kalau mau turun, silakan, tapi tinggalkan Naj sama aku." Dingin. Bahkan memandang Salma pun tidak.

Salma menghela dan mengembuskan napas dengan kasar. Andro kalau sudah emosi benar-benar menguji kesabaran. Dan penyebabnya selalu sama, masa lalu buruk yang pernah ditoreh oleh sang papa.

"Iya, saya ikut Mas." Andro agak tersinggung mendengar Salma menyebut dirinya dengan kata saya. Merasa Salma tidak ikhlas ikut dengannya.

Dipacunya mobil meninggalkan rumah keluarganya. Sama sekali tak menoleh, meski mamanya berlari mengejar hingga mobil keluar dari gerbang.

"Kita mau ke mana, Mas?" Mobil tak berbelok ke arah gate perumahan, menimbulkan pertanyaan dalam benak Salma tentang hendak ke mana mereka?

"Nggak tahu!" Andro masih ketus. Padahal dia hanya menghindar dari mama papanya. Dia yakin, keduanya pasti akan bergegas membuntuti mereka.

"Jangan jalan tanpa tujuan, Mas. Bahaya. Apalagi Mas masih dalam keadaan marah."

"Kamu mau ngatur aku?!" Salma menelan ludah menerima bentakan dari suaminya.

"Saya cuma nggak mau Mas menyesal. Mungkin mama papa punya alasan yang belum disampaikan sama Mas. Kita pergi, tapi jangan jauh-jauh dari sini, siapa tahu nanti kalau Mas sudah lebih tenang, Mas siap bicara dan mendengarkan penjelasan papa mama."

"Aku udah bilang, aku nggak butuh penjelasan apapun!"

"Mas cuma masih emosi. Istighfar, Mas. Kita berhenti dulu, di mana saja yang Mas merasa nyaman untuk istirahat, biar Mas lebih tenang. Jujur, saya nggak suka Mas bentak-bentak, tapi saya maklum, Mas kalau sedang emosi memang suka begitu. Gelap mata. Bahkan sama saya."

Andro memacu mobilnya meninggalkan perumahan elit tempat orang tuanya tinggal. Berkendara asal saja, lalu menepikan mobilnya dan berhenti di bawah pohon angsana. Dia diam, memandang kosong ke arah depan. Sesaat berikutnya ia menelungkup di atas setir, lalu terisak-isak. Terdengar begitu nelangsa, membuat Salma turut meneteskan air mata.

"Aku benci setiap kali mengingat kejadian itu, Sal. Aku harus bersusah payah, jatuh bangun, biar bisa ngelupain itu semua. Tapi apa? Aku bahkan nggak pernah berhasil melakukan itu. Aku cuma bisa menjauhkan ingatan itu, tapi aku merasa sakit lagi setiap kali ingatan tentang kejadian itu datang.

"Mereka tahu aku benci hal itu, tapi apa? Mereka selalu ngulangin lagi, lagi, dan lagi. Mereka yang katanya paling ngertiin aku, paling sedih ngelihat aku sakit hati karena perkara itu, paling sayang sama aku, tapi mana buktinya? Bullsh*t! Yang ada, kenangan buruk itu selalu dibuka lagi sama mereka. Selalu datangnya dari mereka. Mama papa. Aku benci, Sal. Aku benci!

"Aku benci sama diriku sendiri!" Andro berteriak, masih sambil menangis.

Salma terkejut mendengar kalimat terakhir yang dikatakan suaminya, tapi diam saja.

"Aku memang manusia lemah, Sal. Bodoh. Cupu. Melupakan dan memaafkan saja aku nggak bisa. Aku juga pengen bahagia, Sal. Aku pengen bisa lepas dari bayang-bayang menyakitkan itu, tapi ternyata aku belum bisa. Kukira episode sedih dalam hidup kita udah selesai, Sal, ternyata baru di hidupmu saja. Tapi nggak dengan hidupku."

"Mas nggak boleh ngomong begitu  Allah selalu sayang sama hamba-Nya. Ini cuma salah satu bagian dari kasih sayang-Nya. Kita hanya harus bersabar menunggu hikmah, Mas. Sekarang kita tentukan saja, Mas pengen ke mana? Ke rumah eyang, atau ke rumah Opa Johan, atau ke rumah ayah, atau ke mana saja yang Mas merasa nyaman. Perlu Sal yang nyetir?"

Andro tertawa mengejek. "Kalau kamu yang nyetir, yang ada malah nambah-nambahin emosiku, Sal."

Satu cubitan membuat nyeri paha Andro. Salma cemberut. Emosi yang tadi memenuhi dada Andro mendadak hilang entah ke mana, berganti rasa gemas melihat wajah lucu istrinya.

"Kita ke Malang ya, Sal."

"Hah? Malang? Jauh banget, Mas."

"Setidaknya lebih dekat daripada Semarang, kan? Lagian, kalau ke Semarang pasti mama papa nyusul ke sana. Aku males ketemu mereka."

"Ke Malang ke rumah siapa? Eyang? Bude? Mas Dimas? Atau...."

"Nginap di hotel lah, Sal. Please, jangan kayak orang susah, Sayang."

"Ya kalau di hotel, Surabaya juga banyak, Mas."

"Tapi nggak sesejuk udara di Malang."

"Nggak ada bedanya kalau udah di kamar, Mas. Kalau di sini aja kan Mas bisa lebih cepat istirahat, lebih cepat main lagi sama Naj, lebih---"

"Iya deh iya. Aku lupa, istriku udah jadi emak-emak sekarang, udah makin cerewet dan always right."

Salma cemberut lagi. Andro makin gemas. Diciumnya sekilas bibir Salma, kemudian membawa mobilnya ke salah satu hotel berbintang lima di pusat kota Surabaya. Tidak untuk istirahat, tapi malah asyik bermain dengan si bayi gendut kesayangan.

Hati Salma menghangat. Andro selalu terlihat begitu dewasa saat bersama Najma. Sama sekali tak pernah terbayang dalam benak Salma, Andro akan secepat itu menjadi seorang papa yang baik. Dulu, dia sangka Andro akan jadi papa yang cuek, tetap sibuk dengan urusannya, dan semau gue, ternyata prasangkanya meleset semua.

Salma masih berdiri, memandangi dua manusia yang begitu dia sayangi. Air matanya meleleh. Sebuah gumaman meluncur dari bibirnya, "Ya Allah, saya sayang banget sama Mas Andro." Disusul doa-doa baik untuk sang suami.

"Mas, Sal pesenin makan, ya? Mau dari resto sini apa dari luar?" Sebenarnya Salma yang lapar. Sebagai ibu menyusui, dia memang menghindari lapar yang berlebihan.

"Kamu lapar, ya? Kamu aja yang makan, Sal. Aku masih kenyang. Kalaupun makan, aku maunya masakan kamu, kalau nggak aku mau mogok makan aja." Salma terkekeh, air matanya meleleh. Entahlah, di telinganya Andro tidak terdengar sedang bercanda saat menyebut mogok makan. Semoga memang cuma bercanda.

Andro bermain-main lagi dengan si bayi chubby dan berhenti menjelang pukul sepuluh karena sudah waktunya tidur bagi si bayi.

"Mas tidur juga, ya? Sini, sambil peluk Sal dari belakang." Andro menurut saja, memosisikan diri di belakang Salma yang berbaring miring untuk menyusui.

Tak butuh waktu lama, keduanya sudah pulas, Salma bergegas meraih gawainya. Banyak panggilan tak terjawab, ada nama mama dan papa mertua, juga kakak iparnya. Sementara dia abaikan. Salma memilih untuk menghubungi ibunya, menceritakan sedikit masalah yang terjadi di rumah keluarga Antariksa pagi tadi.

"Sekarang kalian di mana?"

"Ada lah, Bu, tapi maaf, Sal belum bisa kasih tahu Ibu. Bukan Sal nggak percaya sama Ibu, tapi kelihatannya Mas Andro butuh waktu untuk menjauh sebentar dari orang-orang dekatnya. Nggak pa-pa ya, Bu?" Bu Dita mengiyakan. Memaklumi keadaan.

"Ya sudah, Bu, begitu dulu. Nanti kalau ada kabar atau perkembangan terbaru, Sal akan segera kabari Ibu."

"Atau kalian tetap pulang ke Semarang, tapi jangan ke Madina, pulang ke rumah ayahmu saja." Bu Dita memberi usulan. Salma bahkan tidak tahu kalau ayahnya punya rumah di Semarang.

"Di mana, Bu?"

"Kata Dhito nggak jauh dari Madina. Atau kalian bisa pulang ke Salatiga dulu. Besok kami menyusul ke sana."

"Salatiga?"

"Iya, di rumah orang tuanya Dhito." Ingatan Bu Dita melayang pada pertemuan pertamanya dengan Ardhito, yang buru-buru ia tepis. Waktunya kurang tepat untuk mengingat dosa besarnya saat itu.

"Biar nanti Dhito kirim maps-nya ke kamu ya, Nak. Rumah Semarang dan Salatiga."

Salma mengangguk, tentu saja tak terlihat oleh sang ibu. Setidaknya ada harapan untuk tidak berjalan tanpa arah tujuan.

"Oh iya, Bu. Jangan sebut Dhito dong, Bu. Ayah, gitu." Sempat-sempatnya protes. Di sana ibunya terkekeh sambil meminta maaf. Belum ada kesepakatan dengan suaminya soal panggilan.

"Ya sudah, begitu dulu ya, Bu. Terima kasih, Ibu. We love you. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. We love you too, Sayang."

Usai mengakhiri pembicaraan dengan ibunya, Salma memutuskan untuk membereskan barang bawaan mereka, supaya saat Andro bangun nanti, mereka bisa segera melanjutkan perjalanan ke Semarang.

Baru mulai, gawai Salma kembali berbunyi. Nama kakak iparnya terbaca di layar. Salma memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut, ditekannya ikon loudspeaker agar bisa sambil melanjutkan aktivitas.

Mereka bertukar salam, lalu tanpa basa-basi Rea membuat pengakuan. "Sorry, Sal. Sebenarnya Orion udah hampir dua minggu di sini."

"Orion siapa?"

"Anak itu, Sal."

Salma bahkan baru tahu namanya. Ia juga tahu bahwa nama itu diambil dari nama benda langit, sama seperti suami dan kakak iparnya.

"Ehk. D-dua m-minggu?" tanya Salma, lebih terdengar sebagai gumam.

"Semalem setelah Andro jalan ke rumah ayahmu, aku sama Mas Dimas anterin dia ke rumah papa. Kata papa Andro udah pamit mau pulang ke Semarang pagi ini. So, kami anter lah dia ke Pakuwon. Mana tahu kalian malah pagi-pagi udah dateng ke sana lagi."

"Eh, i-iya, Mbak. Laptop Mas Andro ketinggalan. Emm, jadi..., selama dua pekan ini, anak itu, emm maksudku Orion. Dia tinggal di mana, Mbak?" Salma gugup. Rasanya ingin menangis membayangkan betapa sakit hati suaminya jika tahu tentang ini.

"Di rumahku, Sal. Tinggal sama aku dan Mas Dimas." Tubuh Salma mendadak terasa lemah, pipinya pun sudah basah.

"T-ti-tinggal di rumah Mbak?" Salma meyakinkan bahwa dia tak salah dengar.

"Iya. Di rumahku." Seperti tak ada beban dalam nada bicara Rea. Tak tahu

Salma meraih gawainya, menonaktifkan loudspeaker, lalu menoleh ke arah Angkasa Andromeda. Air matanya makin deras saat menemukan Andro sedang memandanginya dengan wajah yang terlihat patah hati.

Andro menaruh telunjuk di depan bibirnya. Memberi kode agar Salma melanjutkan pembicaraan dengan Rea.

"Kalian di mana? Biar aku ke situ Aku mau ngomong sama Andro."

"M-maaf, Mbak. Emm, masnya lagi tidur. Dan untuk saat ini saya nggak bisa kasih tahu kami di mana. Kayaknya mas butuh ruang untuk menjauh sebentar. Mas Andro marah banget." Suara Salma bergetar, berusaha agar Rea tak menyadari kalau dia menangis.

"Andro nih udah jadi bapak juga tetep aja emosinya yang diduluin. Bocah banget, sih. Harusnya dia dengar dulu penjelasan papa."

Kenapa Mbak Rea malah menyalahkan Mas Andro? batin Salma, merasa ikut sakit hati. Salma ada di sana saat kejadian. Jangankan menjelaskan, papanya bahkan mengalihkan pembicaraan ketika Andro bertanya, siapa anak itu?

"Ya, Mbak. Nanti saya sampaikan ke mas kalau Mbak nelpon. Sudah dulu ya, Mbak. Naj kebangun. Assalamualaikum." Cuma alasan. Salma hanya ingin mengakhiri pembicaraan secepatnya.

"Aku dengar semua, Sal. Harusnya aku tadi tidur beneran, bukan malah pura-pura. Jadi aku nggak perlu dengar omongan Mbak Rea.

"Kamu jangan tinggalin aku ya, Sal. Please. Kamu tahu sendiri kan, Sal, sekarang aku nggak punya siapa-siapa. Bahkan Mbak Rea dan Mas Dimas pun mengkhianati aku, Sal. Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Aku cuma punya kamu dan Najma. Aku juga nggak tahu mau ke mana lagi, Sal. Aku terserah kamu aja, Sal."

Salma tak menemukan amarah dalam ucapan Andro, tapi nada putus asa dan patah hati itu terdengar jelas. Dan bagi Salma, melihat suaminya seperti itu sesungguhnya lebih menyakitkan dari penderitaan apapun yang pernah dia lalui.

Salma tak sanggup bicara, hanya bisa memeluk erat suaminya, menumpahkan air mata di dada Angkasa Andromeda, yang bahkan sudah kering air matanya. Hati Salma sakit, teramat sakit.

***

Sedih, ya? Huhuhuuu....

Nggak apa-apa. Bukankah pelangi muncul setelah hujan? Dan bintang hanya terlihat di saat gelap?

Jiah, ngomong apa sih aku? Lama nggak keluar ternyata kesambet. Hahaha....

Btw, apa kabar teman-teman?
Lama ya ternyata kita nggak berjumpa. Sungguh, aku merindukan kalian semua. Hehe.

Alhamdulillah aku dan keluargaku sehat semua. Doakan, semoga 1-2 part ke depan Andro-Salma terselesaikan. Biar bisa bikin cerita baru lagi, atau ngelanjutin yg belum kelar. Doakan juga aku bisa produktif menulis lagi yaaa.

Ya udah gitu dulu. Semoga updatenya lagi nggak lama-lama, ya.

See you :)

Semarang, 03112022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro