6. Jawaban
Aku ingin dirimu yang menjadi milikku
Bersamaku mulai hari ini
Hilang ruang untuk cinta yang lain
(Yovie, Tulus, Glenn - Adu Rayu)
***
Malam ini Salma tak datang mengajar. Tak pula menyampaikan izin, juga penjelasan. Mama yang gelisah, sebab sudah berencana hendak mengantar sang ustadzah pulang, sekaligus meminta jawaban atas lamaran si bungsu kesayangan.
"Ndro, coba deh kamu yang tanya ke Ustadzah Salma, kenapa nggak datang," perintah mamanya.
"Oke, Ma."
Tak menunggu perintah yang kedua, Andro segera menelepon Salma. Tak diangkat. Kemudian berkirim pesan kepada Salma.
[Assalamualaikum, Sal. Kok gak dtg? Mama nunggu. Gak ada kbr jg. Kamu kenapa? Ada yang salah dr kami? Atau dr aku? Please, say something.]
Terkirim, terbaca, tapi tak juga berbalas. Andro hampir menelepon lagi, tapi dering handphone mama keburu memekakkan telinga. Nama Bu Miska terbaca di layarnya.
"Loudspeaker ya, Ma," bisik Andro segera.
"Assalamualaikum, Bu Miska," sapa mama Andro.
"Waalaikumussalam, Bu Tami. Maaf, ini Salma tidak bisa mengajar karena sore tadi pulang kerja kok mendadak demam."
"Hah, demam? Sudah ke dokter belum, Bu?" Mama Andro menyahut cepat.
"Belum, Bu. Anaknya tidak mau."
"Kita ke sana, Ma. Andro siapin mobil."
Tak peduli obrolan berikutnya, Andro menghilang begitu saja. Entah kenapa ia merasa begitu khawatir pada keadaan Salma.
[Kl sakit bilang apa susahnya sih? Aku ke sana sm mama. Kita ke dokter. Aku gak mau tau!!]
Sambil menunggu mamanya, satu pesan ia kirimkan lagi untuk Salma. Lagi-lagi hanya dibaca saja. Mamanya malah lama tak juga keluar. Begitu muncul, malah bersama papanya. Masih sempat senyum-senyum pula. Andro kesal.
"Ya Allah, Ma, sempet-sempetnya ganti baju dulu. Pakai ngajakin Papa segala," omel Andro.
"Cie, yang jatuh cinta."
"Ehk, b-bukan gitu, Pa. Belum kok, belum jatuh cinta. Tapi Salma sakit, Pa. Kan harus gercep kalau ada orang sakit."
"Kamu dulu sama istrinya dosenmu itu juga selalu gercep gini?"
"Apa sih, Pa? Katanya suruh move on, kenapa malah dibahas?" Andro cemberut. Memacu mobilnya dengan tergesa.
"Ustadzah Salma nggak apa-apa kok, Ndro. Cuma bingung dan tegang mau jawab lamaranmu. Makanya mama ajak papa, kita sama-sama dengar jawabannya dari Bu Miska."
"Lha Salmanya?"
"Kata Bu Miska malam ini Ustadzah Salma mau kasih jawaban, tapi cuma Bu Miska yang mewakili. Ustadzah nggak bersedia keluar."
Firasat Andro tak enak. Belum apa-apa ia sudah yakin bakal ditolak. Tapi ya sudahlah, minimal dapat kepastian, itu jauh lebih baik daripada berlama-lama menanti sebuah jawaban.
Pintu panti masih terbuka, Bu Miska menunggu di teras. Senyumnya mengembang lebar begitu keluarga Antariksa tiba. Ia mempersilakan tamunya masuk dan menikmati lebih dahulu tiga gelas teh panas yang terhidang di meja.
"Gimana, Mas Andro? Sudah siap menerima jawaban dari Salma?" tanya Bu Miska.
"Insya Allah siap, Bu. Sudah siap ditolak juga." Andro tersenyum. Ada ketegangan yang terukir jelas di sana.
"Jangan pesimis dulu, Bung!" Papa meninju bahu anaknya.
Bu Miska tersenyum lagi, "Sebelumnya saya mewakili Salma, minta maaf yang sebesar-besarnya karena anaknya tidak bersedia keluar untuk menyampaikan sendiri jawabannya. Ya jangankan melakukan itu semua, baru membayangkan saja dia sudah demam duluan.
"Saya mohon maklumnya ya, Pak Antariksa dan Bu Utami. Dan Mas Andro terutama. Karena anaknya memang nggak pernah berhubungan dengan anak laki-laki. Sekalinya ada yang datang dengan maksud baik, kok jauh melebihi ekspektasi. Salma tidak percaya diri. ---"
"Jadi saya ditolak ya, Bu?" sela Andro.
"Tadinya Salma mengambil keputusan begitu. Tapi waktu ibu tanya lagi lebih dalam, anaknya malah menangis. Ibu minta dia jujur, sebenarnya apa yang ingin dia katakan sebagai jawaban, malah makin nangis. Apa Salma pantas sama Mas Andro? Apa Salma nggak akan bikin malu keluarga Pak Antariksa dan Bu Tami? Dan semacamnya.
"Saya tahu, sebenarnya hatinya tidak begitu. Dia hanya ragu, takut membuat malu, takut merusak kehormatan keluarga Antariksa, dan semacamnya. Saya juga tahu, dua hari ini hal itu menjadi sesuatu yang membuat dia berpikir agak berat. Sampai tadi pulang kerja saya lihat agak pucat, ternyata badannya juga hangat."
"Jadi, Salma nerima saya nggak ya, Bu?" Andro tak sabar. Menurutnya penjelasan Bu Miska terlalu melebar dan berputar-putar.
"Sebenarnya ibu tahu apa jawaban yang ingin Salma sampaikan, tapi memang belum keluar secara gamblang dari lisan Salma. Monggo, Mas Andro kalau mau ketemu Salma, biar dengan saya atau dengan Bu Tami. Mungkin dengan begitu, Salma mau menyampaikannya sendiri."
"Iya, Bu. Saya dengan mama saja."
Bu Miska mengantar ke kamar Salma. Meminta Andro dan mamanya menunggu di depan pintu, sementara beliau memberitahu Salma lebih dulu.
"Salma, Bu Tami dan Mas Andro di depan kamar, mau ketemu kamu. Ibu yang mengizinkannya masuk ke sini."
Pintu yang tak tertutup sepenuhnya membuat obrolan Salma dengan Bu Miska menembus gendang telinga Angkasa Andromeda.
"Bu, jangan, Bu. Salma mau berhenti saja. Salma nggak usah ngajar di tempatnya Bu Tami lagi. Salma di sini saja, Bu." Rintihan Salma membuat Andro tak sabar lagi. Dia menerobos gorden dan masuk tanpa permisi.
"Sal--- Astaghfirullah hal adzim."
Andro memalingkan muka. Salma menarik selimut menutupi wajah, juga kepalanya. Tetap saja terlambat. Andro terlanjur melihat sekilas aurat Salma.
"Maaf, Sal. Aku nggak sabar dengar kamu begitu, makanya aku masuk. Aku serius memintamu menikah denganku. Apalagi aku terlanjur melihat auratmu. Jadi nggak ada alasan lagi untuk nggak nerima permintaanku. Please, Sal. Menikahlah denganku." Kepalang basah, sekalian saja ia jadikan alasan supaya Salma menerimanya.
Mamanya sangat malu. Menyusul masuk dan menyeret Andro keluar dari kamar. Lalu serangkaian amarah meluncur tanpa bisa dibendung. Salma yang mendengar tak sampai hati. Ia kenakan jilbabnya, lalu keluar dengan lemah. Bu Miska turut keluar bersama Salma.
"B-Bu Tami," panggil Salma.
Mama Andro buru-buru menggandeng Salma untuk kembali ke kamar dan tiduran saja. Kecerdasan Andro bagai terdegradasi, ia mengikuti keduanya tanpa disadari. Lagi-lagi tanpa permisi.
"Sudah, Ustadzah, istirahat saja. Nggak usah dengarkan Andro. Anak itu suka ngawur memang. Saya minta maaf untuk kelancangan Andro. Sudah, nggak usah dijawab saja. Nggak apa-apa kalau Ustadzah Salma nggak mau menerima Andro."
"Ma, please."
"Andro! Siapa yang suruh kamu ikut masuk ke sini? Keluar!" bentak mamanya gusar.
"Ng-nggak apa-apa, Bu Tami. S-saya baik-baik saja." Salma tak tega.
"Ya udah, Sal. Aku minta maaf. Kamu nggak harus menerimaku. Mungkin memang aku belum cukup baik buat kamu." Andro berbalik badan, siap kembali ke ruang tamu.
"M-Mas," panggil Salma lirih.
"Kamu manggil aku, Sal?" Andro tak yakin dengan pendengarannya.
"I-iya."
"Kamu nerima aku kan, Sal?"
"Andro!" bentak mamanya lagi.
Salma memberanikan diri mengangkat wajahnya. Kedua pasang netra beradu. Andro menatapnya lembut, Salma tersipu malu.
"Sal?" Tak ada jawaban, hanya anggukan lemah disertai senyuman.
"Kamu nerima aku kan, Sal? Say something, Sal."
"I-iya. S-saya, emm, s-saya iya. M-mau---"
"Mau apa, Sal? Bilang yang jelas."
"Sengaja banget sih, Ndro. Jangan bikin Ustadzah kesel, nanti berubah pikiran mbuh lho." Mamanya yang kesal. Andro nyengir.
"Kita keluar yuk, Ma. Ajak Salma, biar dia segeran. Nggak lemes lagi. Makan tom yam panas-panas, atau wedang ronde. Mau kan, Sal?"
"Androoo! Ngelunjak banget sih kamu, Nak!"
Salma tersenyum lebar melihat ibu dan anak itu ribut melulu. Mama melanjutkan usul Andro, yang akhirnya diterima sang ustadzah setelah diyakinkan oleh mama. Lebih tepatnya setengah dipaksa.
Di ruang tamu, Salma lebih dulu mengulang kesediaannya untuk menerima lamaran Andro. Dengan malu-malu Salma berkata YA di depan calon papa mertua.
"Alhamdulillah. Jadi mulai besok pagi sudah bisa urus dokumen-dokumen untuk mendaftarkan pernikahan njih, Bu Miska dan Ustadzah Salma. Biar pegawai saya yang mengurus semua. Nanti apa saja yang dibutuhkan, biar Andro atau mamanya yang menghubungi Ustadzah Salma," kata papa.
"Lho, memangnya mau nikahnya kapan ya, Pak?" Bu Miska mengerenyit.
"Secepatnya, Bu. Kalau bisa bareng sama Mbak Rea." Andro yang menyahut, Salma kembali terkejut. Tak menyangka akan sebegitu ngebut.
"Pembicaraan tentang ini kita agendakan besok ya, Bu Miska. Malam ini kami minta izin mengajak Ustadzah Salma keluar, muter-muter sebentar cari yang hangat-hangat biar demamnya cepat membaik." Mama memintakan izin.
"S-saya sudah baikan kok, Bu Tami. Tidak usah keluar saja tidak apa-apa. Biar saya istirahat saja."
Salma kembali berubah pikiran, tapi Andro tak mau tahu. Akhirnya berempat tetap keluar, menikmati udara malam Surabaya bagian barat. Salma tak pernah merasa sebahagia ini, meski hatinya masih dipenuhi tanya, kenapa Andro tiba-tiba melamarnya di usia yang masih sama-sama muda?
Wedang ronde menjadi pilihan. Mereka menuju warung tenda yang menjual wedang ronde langganan keluarga Antariksa. Seperti biasa, warung tenda itu ramai. Tak ada tempat untuk duduk berempat, tapi ada satu meja dengan dua kursi kosong di pojokan. Dua kursi yang lain berada persis di depan gerobak penjualnya.
"Ustadzah duduk pojok sana sama Andro ya. Sekalian ngobrol biar lebih kenal. Mama sama papa di sini aja, lama nggak ngobrol sama Pak Ronde."
Mama memutuskan sepihak, Pak Ronde dijadikan alasan. Keluarga Andro memang sudah belasan tahun menjadi pelanggan wedang beraroma khas jahe dengan bulatan-bulatan tepung ketan berisi tumbukan kacang dan gula jawa itu.
"S-saya s-sama Bu Tami saja." Salma berusaha menghindari duduk berdua dengan Andro.
"Nggak apa-apa kali, Sal. Kita nggak cuma berduaan kok. Lah pembelinya aja sebanyak ini. Aku nggak nakal kok, aku juga nggak akan macem-macem. Aku akan jaga kamu. I promise you, Sal." Andro memandang Salma, sepasang bening itu kembali beradu dengan matanya. Ada sejuk mengaliri hatinya. Bersamaan dengan ingatan pada seseorang bernama....
Astaghfirullah.
Andro tersadar begitu Salma menganggukkan kepala. Sedikit gugup, tapi senyum lebar terbit di wajah si pemuda. Mereka beranjak menuju meja di pojokan. Berdua saja.
"Sal."
"Ya?" Suaranya nyaris tak terdengar. Ia bahkan menunduk terus sejak tadi.
"Jangan nunduk terus, gimana kita mau ngobrolnya?"
Salma terpaksa mengangkat wajahnya, tapi mata beningnya menatap ke arah gerobak di sebelah sana. Rona merah tergores jelas di kedua pipi nan putih mulus. Andro menahan tawa.
"Aku di sini, Sal, di depanmu. Kamu mau ngobrolnya sama aku, kan? Bukan sama Pak Ronde."
Mau tak mau bola mata bening itu mengarah pada wajah ganteng di hadapannya. Hanya dua detik, lalu kembali menunduk, lebih dalam. Dadanya seperti dihantam palu godam. Masih tak percaya, rupa nan mempesona di depan mata itu akan menjadi suaminya.
"Sal, ada yang mau kamu tanyain ke aku nggak? Just feel free to ask ya, Sal. I'll answer you honest."
"Emm, M-Mas Mas Andro benar mau menikah sama saya? Saya anak laqith, Mas. Nasab saya nggak jelas. Menikahi saya mungkin akan lebih ribet karena banyak yang harus diurus. Kalau memilih istri bisa dilihat dari empat, saya mungkin tidak memiliki keempatnya." Salma memberanikan diri bertanya.
Andro bersyukur, Rea pernah bicara tentang ini, jadi dia tak merasa bego-bego amat.
"Siapa bilang? Kamu justru punya yang utama. Agama. Tak perlu menjelaskan, aku sudah tahu banyak. Akhlakmu baik. Dan kamu penghafal Al Qur'an. Kamu juga punya satu lagi dari empat yang kamu katakan tadi. Kamu...."
Andro berhenti sejenak, memandangi gadis di hadapannya, yang mendengar ia bicara sambil menunduk dan meremas ujung jilbabnya.
"Kamu...." Ia sengaja menggantung kalimatnya, menunggu si calon istri kembali mengangkat wajahnya. Feeling-nya tak meleset. Wajah cantik itu sedikit mendongak, menatap Andro dengan sorot bertanya. Satu senyum Andro berikan. Hati Salma makin tertawan.
"Kamu cantik." Hening. Sunyi. Sepi.
Anak buah Pak Ronde datang, menyajikan dua mangkuk ke atas meja. Andro menyampaikan terima kasihnya dengan sopan. Terdengar manis di gendang telinga si gadis.
Masih saling diam. Hanya denting sendok yang seolah sedang bercakap dengan mangkuknya. Juga kepul asap yang menguarkan wangi jahe segar menusuk hidung keduanya. Tetap saling diam, sampai isi mangkuk tandas tak bersisa.
"Sal." Suara Andro menyusup kembali ke telinga Salma. Ada yang menghangat di wajah si gadis muda.
"Ya?"
"Boleh aku ganti nanya?"
"I-iya. Boleh."
"Emm..., anak langit itu apa? Bukan judul sinetron, kan?" Andro mencoba bersikap santai, menutupi rasa rendah dirinya karena tak paham apa yang dikatakan Salma tadi.
Salma menutup mulutnya, menahan tawa agar tak lolos dari sana.
"Anak laqith kah maksudnya?" Salma balik bertanya.
"Iya kali, itu. Aku baru dengar sekali dari kamu tadi."
"Iya, anak laqith. Dalam hukum Islam, anak temuan disebut anak laqith, Mas. Mereka yang dibuang atau ditinggalkan oleh orang tuanya saat bayi atau sampai batas usia mumayyiz."
"Emm..., kalau mumayyiz, apa?"
"Mumayyiz itu saat seorang anak sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang bermanfaat dan tidak. Sekitar usia tujuh, sampai dia tiba di masa baligh."
"Maaf ya, Sal. Pengetahuan agamaku nol besar. I hope it doesn't change your mind."
"No, i don't. I would love to learn many things with you..., Mas." Panggilan itu terucap lirih, terdengar manis di telinga Andro. Teramat manis.
"Emm, i lov--- Ehk. Thanks, Sal. For agreeing to marry me."
Kedua pasang netra kembali beradu. Lebih lama dari sebelum-sebelumnya. Seakan satu sama lain saling menyelam dalam beningnya.
***
Acieee, wedang ronde bikin lengket nih yeee. Haha...
Btw, aku ngerasa aneh lho update dua hari berturut-turut. Wkwk. Semoga aja yg baca nggak bosen lah ya.
InsyaAllah kita ketemu lagi hari Kamis yaaa.
Maaf dan terima kasihku untuk teman-teman semua.
See you :)
Semarang, 05042021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro