48. Perjanjian
Happy reading :)
***
Menjelang weekend Andro masih disibukkan dengan urusan kampus, tapi dia sudah berjanji, Jum'at siang mereka —dia, Salma, dan Bu Dita— akan pulang ke Surabaya.
Sebelum tengah hari, Andro sudah tiba di rumah. Seperti biasa, dia mengikuti salat Jum'at di masjid kompleks, setelahnya mereka bertiga makan siang bersama. Andro lahap sekali menikmati soto daging, perkedel, dan kerupuk yang tersaji di meja makan.
"Udah siap, Sal?" tanyanya begitu makan siang usai.
"Iya, udah."
"Ibu yang belum siap, Mas Andro." Bu Dita menginformasikan kesiapannya.
"Iya, nggak apa-apa, Bu. Kalau begitu biar Sal ikut Andro keluar sebentar ya, Bu, sambil nunggu ibu selesai berkemas. Tapi ibu santai saja, nggak usah buru-buru."
Bu Dita mengiyakan, malah menawarkan diri untuk membereskan piranti makanan. Tentu saja Salma tidak setuju, meski akhirnya menyerah karena paksaan sang ibu.
"Memangnya kita mau ke mana, Mas?" tanya Salma. Mereka sudah di atas Jimny Sierra, membelah jalanan di wilayah Tembalang.
"Ke kampus. Mau ngumpulin tugas sebentar. Dosennya lagi tugas belajar, tapi di kampus kita aja sih, jadinya masih ada ngajar. Semesterku cuma ada hari Jum'at, dan beliau ini kalau ada tugas ngumpulinnya mesti langsung ke beliaunya. Jum'at kemarin kan aku nggak hadir, tugasnya teman-teman udah kupasrahin Yudi, tapi tugasku sendiri belum. Makanya ini aku ke sini sendiri."
"Ya tapi ngapain pakai ngajakin Sal? Nanti kalau Sal nggak pede gimana?"
"Mana ada istrinya Andro nggak pede? Kamu itu kalau skala 100 nilainya 95, Sal. Mendekati sempurna."
"Ih, Mas nih berlebihan."
"Biar kamu pede." Andro tertawa.
"Mas punya penggemar nggak sih di kampus? Pasti nggak punya ya? Makanya ajak-ajak Sal." Salma bertanya sekaligus menggoda suaminya.
"Ngece ik. Banyak lah. Andro gitu loh!" Keduanya tertawa.
"Kalau ada, kenapa Sal diajakin segala? Nanti penggemarnya Mas kabur lho."
"Biar aja, asal kamu masih tetap ada buat aku, yang lain sih jadi nggak penting. Eh, tapi ada satu yang suka agresif ngejar-ngejar. Genit-genit gitu, Sal. Namanya Arimbi. Cantik sih, pintar lagi, tapi yaa..., gitu deh."
"Kenapa Mas nggak pernah cerita?"
"Lah, buat apa? Nggak penting juga. Aku sama sekali nggak tertarik, Sal. Nilainya jauh di bawah kamu. Ini aja aku cerita buat antisipasi, siapa tahu ketemu di kampus nanti. Pokoknya kalau ada yang tanya kamu siapa, jawab aja istrinya Angkasa Andromeda semester lima. Dijamin semua kenal." Andro jemawa.
"Hmmm. Mas seneng ya dikejar-kejar cewek?"
"Nggak lah. Aku nggak suka dikejar, lebih suka mengejar."
"Udah sih, nggak usah mulai lagi. Mau cerita, kan, kalau Mas pernah ngejar-ngejar Mbak Zulfa?" Salma terlihat tetap tenang. Jangan tanya hatinya, kebat kebit tak keruan.
"Dih, nggak gitu deh, Sal. Suuzon terus kalau soal itu. Aku sama dia pasif kok, cuma nunggu aja. Seumur hidupku, cuma ada satu perempuan yang kukejar-kejar."
"Kok Sal nggak pernah diceritain?" Wajah Salma sedikit mendung.
"Gimana mau diceritain, perempuan yang kukejar itu kan kamu." Tawa Andro pecah. Dicubitnya pipi Salma yang mendadak merona.
"Aku ingat banget waktu malam-malam kamu demam gara-gara galau mau jawab permintaanku buat nikahin kamu. Tahu nggak, Sal? Malam itu aku nggak bisa tidur gara-gara nggak sengaja lihat kamu nggak pakai jilbab. Padahal cuma sekilas, tapi sukses bikin aku panas dingin semaleman. Mana nyangka akhirnya malah bisa lihat kamu nggak pakai baju."
"Mas Andro, ih. Jangan saru gitu, Sal nggak suka." Salma cemberut. Untuk kesekian kali Andro tertawa gembira.
Mobil memasuki area departemen teknik sipil. Andro mencari parkiran yang teduh, lalu menahan Salma agar tak buru-buru turun. Dia yang membukakan pintu untuk istrinya, membantunya turun, dan menggandeng erat-erat Salma seakan tak rela melepas genggamannya.
"Mas, Sal malu. Nggak usah gandeng-gandeng gini, deh."
"Gini aja gimana?" Andro ganti merangkul bahu Salma, sambil mengecup sekilas kepala istrinya.
Dari kejauhan, beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang masih beredar di gedung 1 melihat kejadian itu. Satu dua diantaranya bertanya "Siapa, Ndro?" saat mereka berpapasan.
"Istriku," jawab Andro. Terdengar tegas dan bangga.
Setiap kali melihat Salma menunduk, Andro meraih dagunya agar wajah istrinya kembali menatap dunia.
"Come on, Baby. Bukan karena kamu malu jalan sama aku, kan?"
"Nggak, Sal bangga kok. Malah takutnya Mas yang malu."
"Dih, cantik cantik kok insecure." Diusapnya kepala Salma, lalu menyuruhnya duduk di salah satu kursi di depan ruang dosen.
Salma menarik napas panjang, menoleh ke kanan kiri dengan canggung. Merasa beruntung sebab area sekitarnya siang itu sepi. Alih-alih membuka gawai, Salma memutuskan untuk muroja'ah saja, sesuatu yang bisa menenangkan hatinya.
Hingga lima menit berikutnya, Andro belum juga keluar dari dalam ruangan. Dari sudut matanya, Salma menangkap bayangan dua orang duduk di bangku sebelah kanannya. Dia bimbang, akan tetap menunduk atau malah menyapa dengan sok akrab.
"Nungguin Andro ya, Sal? Gitu dong, sekali-sekali ikut ke kampus." Sebuah suara lebih dulu menyapanya.
Salma menoleh ke asal suara, Zulfa sedang melempar senyum untuknya. Di sebelahnya lagi ada Wahyudi yang mempersembahkan cengiran terbaik abad ini.
"Eh, Mbak Zulfa. I-iya, s-saya nungguin Mas Andro."
"Salma, nggak usah gugup. Aku kan bukan hantu. Hehe. Udah lama di sini?" Zulfa berusaha membuat suasana tetap santai. Dia berada di sana untuk menunggu Iqbal yang sedang memberi konsultasi skripsi.
"Baru lima menit, Mbak."
"Andro ketemu siapa?"
"Saya kurang tahu, Mbak. Tapi kata Mas Andro, bapak dosennya ini cuma ada hari Jum'at saja."
"Oh, Pak Alfa berarti. Dia belum ngumpulin tugas minggu kemarin." Wahyudi menyahut, Salma manggut-manggut.
"Iya, mungkin. Tadi saja dari rumah Mas Andro nggak bilang saya kalau mau ke kampus."
"Soalnya kalau dia bilang mau ngajakin ke kampus, kamu pasti nggak mau." Zulfa terkekeh. Salma ikut tersenyum.
"Ssstt, Andro ke kamu tuh sama kayak suamiku ke aku, Salma. Pengennya pamer-pamerin, ini lho istriku, tapi juga posesifnya warbiyasak. Dipamerin, tapi nggak rela kalau dilihat orang lain." Tawa Zulfa meluncur lebih keras dari sebelumnya, sedangkan Salma menjadi canggung. Merasa Zulfa tahu banyak tentang suaminya.
"Andro sering curhat, Mbak. Makanya Zulfa tahu. Bukan karena Zulfa mengenal Andro luar dalam. Zulfa kan nggak peka, mana bisa dia ambil kesimpulan sendiri." Satu cengiran kembali menghias wajah Wahyudi. Tak peduli Zulfa menginjak kakinya dengan tanpa perikemanusiaan. Dia sedang menyelamatkan sahabatnya dari perang dunia maupun gencatan senjata.
"Kok manggilnya mbak sih, Yud?" Zulfa merasa agak aneh mendengarnya.
"Sengaja. Selama ini aku nggak pernah ngobrol atau manggil beliau ini. Ngerti dewe to bojone model piye. Salah mbahas sithik wae aku diamuk kok."
Ketiganya kompak tertawa. Salma lalu mewakili Andro meminta maaf pada Wahyudi dan Zulfa. Keduanya sama-sama menolak permintaan maaf tersebut. "Nggak usah gitu kali, Sal Santai aja. Kita biasa bercanda kok. Andro sih, kalau disuruh ngajakin kamu nongkrong bareng di kampus gini mesti nggak mau."
"Iya, Mbak. Memang sayanya juga yang nggak mau. Mas Andro tahu itu. Oh iya, Mbak Asya kok nggak ada? Kata Mas Andro biasanya berempat."
"Dia udah pulang. Emak-emak beranak dua yang suaminya kaku macam dia kan kudu siap grak sewaktu-waktu driver pribadi menjemput," sahut Zulfa asal. Dia paling hafal dengan kelakuan seorang Zulfikar.
Obrolan berikutnya mengalir natural. Salma mulai merasa biasa saja berdekatan dengan Zulfa. Dia merasa nyaman-nyaman saja. Tak ada canggung, tak ada kesal, atau semacamnya.
Dari arah selatan, seorang mahasiswi terlihat menuju ke arah mereka. Rambut sebahunya yang lurus tampak selembut sutra, berkilau seindah permata. Wajahnya agak chubby dengan senyum lepas yang kekanakan, namun tetap cantik dan menggemaskan.
"Lagi pada ngapain, Kak? Belum skripsi kan, ya?" Mahasiswi itu tertawa, lalu mengambil posisi duduk pada bangku kosong di sisi kiri Salma.
"Ya kali, Mbi, semester lima udah skripsi." Zulfa mengeluarkan ekspresi yang lucu pada Arimbi. Sedangkan Salma, hatinya mendadak dag dig Dug mendengar panggilan Mbi. Dia ingat nama yang disebutkan Andro saat bercerita tentang seorang mahasiswi yang suka mengejar-ngejarnya.
Salma benar, yang datang memang Arimbi. Mantan penggemar Iqbal Sya'bani yang beralih menjadi penggemar Andro setelah tahu Iqbal telah berganti status menjadi seorang suami.
"Mbak siapa? Kayaknya nggak pernah lihat. Bukan anak sipil, ya?" Kali ini pertanyaan Arimbi tertuju pada Salma.
"Dia istrinya Andro. Tahu Andro, kan?" sahut Zulfa sebelum mulut Salma sempat terbuka.
"Ehk. K-Kak Andro? Angkasa Andromeda maksudnya? Kak Andro ud-udah nikah? Becanda ih Kak Zulfa nih."
"Lah, becanda gimana? Apa perlu nyonyanya suruh nunjukin foto KK yang memuat nama mereka dalam satu lembar yang sama?"
Wahyudi tertawa mendengar kalimat Zulfa. Tak biasanya istri dosennya itu menggunakan kata-kata yang ribet begitu.
"Tapi..., Kak Andro...."
Belum selesai Arimbi bicara, pintu ruang dosen terbuka. Angkasa Andromeda muncul di hadapan mereka semua.
"Wuih, meneng-meneng wis konsultasi skripsi ik. Sangar naaan." Wahyudi dan Zulfa menyambut dengan celetukan mereka.
"Konsultasi skripsi piye? Iki mau golek wektu nggo sidang kok malahan."
"Halah, lambemu, Ndro." Ketiga mahasiswa semester lima tergelak bersama. Salma hanya tersenyum. Sedang Arimbi masih tak percaya dengan yang didengarnya tadi.
"Kok ada di sini, Ar? Mau ketemu siapa?" tanya Andro basa-basi.
"Mau ketemu Kak Andro, tapi...."
"Eh, serius? Izin istriku dulu ya, Ar, boleh apa nggak suaminya ditemui cewek lain." Andro meringis ke arah Salma. Ditariknya Salma agar berdiri, lalu....
"Kenalin, Ar, ini Salma, istriku."
Salma mengulurkan tangan ke arah Arimbi. Mahasiswi cantik, baik, dan ramah namun selalu agresif pada laki-laki yang disukai itu dengan segera menyambut uluran tangan Salma.
"Maaf ya, Kak Salma. Kak Andro nggak pernah bilang kalau udah nikah. Makanya saya masih merasa ada harapan buat deketin beliau ini." Meski sedikit kecewa, sikap Arimbi tetap baik dan lepas saja. Dia bisa menerima, toh semua itu memang di luar kuasanya. Memang dasarnya Arimbi baik, hanya seringkali agresif pada laki-laki yang dia sukai.
"Santai aja, Ar. Salma bisa ngertiin kok. Resiko punya suami ganteng. Iya kan, Sal?" Salma mencebik. Andro jadi gemas, sampai hampir lupa akan mencium Salma di hadapan teman-temannya.
"Nggak usah patah hati, Mbi. Masih ada Kak Wahyudi." Wahyudi berdiri. Menawarkan diri, dengan tak tahu diri. Sungguh, anak itu memang kelewat percaya diri.
Andro dan Zulfa menepuk jidatnya masing-masing sambil menahan tawa. Kelihatannya Arimbi dan Wahyudi memang cocok. Mereka sama-sama pintar, baik, ramah, dan pikirannya tak pernah lepas dari pedekate kepada lawan jenis.
"Mbuh lah, Yud. Aku rak melu-melu. Meh balik Suroboyo ae. Arep melu rak?"
Tanpa basa-basi Andro bermaksud undur diri. Tapi tawarannya untuk Wahyudi tadi bukan bercanda. Dia serius, meski tak meminta persetujuan Salma.
"Tenan, Ndro?"
"Kapan aku nggak serius sama kamu, Yud? Kamu itu nomor dua sesudah Salma. Kurang romantis piye aku, ki?"
Zulfa berhuek-huek mendengar guyonan dua sahabatnya. Salma dan Arimbi tergelak mendengar jokes tidak bermutu yang telanjur mampir ke telinga mereka.
Wahyudi tentu saja tak melewatkan kesempatan. Dia selalu senang berada di tengah keluarga Andro yang baik dan dermawan.
Ketiganya segera berpamitan pada Zulfa dan Arimbi. Wahyudi pulang dulu ke indekosnya. Mereka sepakat akan berangkat pukul dua siang dari Madina.
Tapi ketika waktu yang ditentukan tiba, Salma mendadak meminta pengunduran keberangkatan. Nanti, bakda asar.
"Sal kan duduk di belakang sama ibu, kalau berangkat sekarang, nanti salat asar di jalan. Sal malas, Mas. Turunnya susah."
"Ya sudah, kamu di depan sama aku, Yudi biar di belakang sama ibu," usul Andro.
Salma tetap tidak bersedia. Andro memilih mengalah saja. Menunggu asar sambil ngobrol ngalor ngidul dengan Wahyudi.
Obrolan dibuka oleh Wahyudi, meminta pendapat Andro akan tawarannya tadi kepada Arimbi. Andro cuma bisa geleng-geleng kepala. Menurutnya, yang Wahyudi lakukan tadi cuma bercanda.
"Yo pancen guyon, Ndro, tapi nek dekne gelem kan yo Alhamdulillah."
"Nggak, Yud. Aku nggak setuju. Harus berapa kali aku bilang lagi? Udahlah, nggak usah mikirin cewek dulu, kuliah aja yang bener, lulus tepat waktu, nilai bagus, kemampuan oke. Aku janji akan rekomendasiin kamu ke perusahaan papaku. Kita bareng-bareng lagi di dunia kerja nanti."
"Kamu nggak langsung kuliah S2, Ndro? Lulus magister langsung pegang posisi oke di perusahaan keluarga. Lak yo ngono to?"
"Nggak, Yud. Papaku dulu mulai dari nol sampai bisa seperti sekarang ini. Sebelum terjun jadi kontraktor, papa sama mama bikin usaha di bidang lain, sambil papa kerja di proyek juga. Kata papaku, pengalaman penting banget sebelum punya usaha sendiri di bidang tersebut.
"Aku udah selangkah lebih enak karena papa sudah punya usaha keluarga, tapi aku nggak mau yang instan, Yud. Kalaupun aku mewarisi semua yang sudah diperjuangkan papaku, kalau aku nggak punya skill dan pengalaman di lapangan, mungkin aku nggak akanbisa melanjutkan sebaik papaku.
"Ada Mas Dimas juga yang sekarang lagi digembleng papa. Minimal dalam dua tahun ke depan aku bisa melihat gimana cara papa menyiapkan Mas Dimas ke arah yang sama dengan papa dulu, juga gimana progress Mas Dimas di situ. Nantinya aku juga mungkin akan melewati step yang sama."
Wahyudi mengangguk-angguk, dalam hati membenarkan semua ucapan sahabatnya yang entah sudah berapa kali mengingatkan dia soal itu. Andro yang anak sultan saja fokus memikirkan masa depan. Lah dia yang kaum marginal malah terlalu banyak membuang waktu hanya untuk memikirkan soal asmara. Bukankah waktunya lebih baik digunakan untuk berjuang demi masa depan yang cerah? Kelak ketika hidup sudah mapan, finansial juga aman, soal asmara pasti akan turut menyesuaikan.
"Siap, Ndro. Tapi...."
"Opo meneeeh?"
"Seandainya mamamu punya anak cewek lagi, apa---"
"Alhamdulillah nggak punya. Aku juga nggak bersedia punya adik ipar macam kamu. Wis ah, wis adzan kae." Andro tahu persis ke mana arah pembicaraan Wahyudi. Kedua pemuda harapan bangsa itu kemudian bergegas ke masjid. Setelahnya segera berangkat ke Surabaya.
Di perjalanan, Salma lagi-lagi tak mau turun saat salat maghrib. Dia memilih memanfaatkan keringanan bagi musafir untuk jamak takhir saja di Surabaya. Andro menawari makan, Salma masih juga enggan. Ingin kopi susu, Salma yang biasanya semangat ikut ke gerainya, kali ini pun memilih Andro saja yang membelikan untuknya.
Tepat pukul 19.30, Jimny Sierra abu-abu memasuki kediaman keluarga Antariksa. Tak seperti biasanya, Salma terlihat sangat kecapaian. Dia mengeluhkan hal itu hanya pada ibunya, sayangnya Andro turut mendengar semua keluh istrinya.
Mama dan papa yang melihat Salma agak kepayahan menyuruhnya segera beristirahat. Menawarkan untuk memanggilkan bu pijat langganan, tapi lagi-lagi Salma menolak. Dia hanya ingin merebahkan badan saja.
"Kamu kenapa, Sal?" tanya Andro setelah mereka hanya berdua di kamar.
"Nggak, kok. Cuma capek aja. Kan Sal lagi hamil, mungkin ada pengaruhnya."
"Kamu biasanya kalau perjalanan menikmati banget, semangat kalau diajak turun di rest area, seneng banget kalau diajak jajan. Ini tadi turun aja kamu nggak mau. Kenapa? Pengen ganti mobil?"
Degh. Tebakan Andro tepat sekali. Salma langsung merasa tak enak hati. Salma tahu betul Andro sayang sekali dengan mobilnya. Katanya limited, indentnya lama, yang punya jarang, dan semacamnya. Apalagi itu mobil pertama yang dia punya, hadiah ulang tahun ke-17 yang baru diterima menjelang umurnya 18 tahun.
"Eh, ng-nggak. Sal udah tinggal ngikut aja, apa haknya Sal minta-minta ganti mobil? Nggak, Mas. Nggak sama sekali. Maaf kalau jadi kesannya begitu." Rasanya ingin menangis. Salma cuma bisa menyembunyikan wajahnya dari Andro.
"Kamu istriku, kamu berhak dapat kenyamanan dari aku. Kalau mobil itu udah nggak nyaman buat kamu, itu juga mengganggu buat aku, Sal. Kamu bisa bicara bohong, tapi wajahmu nggak bisa, Sal. Kamu kentara sekali nggak nyaman duduk di belakang. Aku nggak apa-apa kalau memang begitu, Sal. Kita ganti, ya?"
"Nggak, Mas. Nggak gitu. Sal nyaman-nyaman aja kok, tapi Sal memang tadi capek."
"Capek karena duduk di belakang, kan? Terus ribet naik turunnya, kan? Makanya kamu ngejogrok terus di belakang, kan?"
"Mas, tolong jangan menyudutkan Sal begitu. Sal nggak masalah kok. Punya mobil aja udah Alhamdulillah. Apalagi Sal tahu, Mas sayang banget sama mobil itu."
"Tapi aku lebih sayang lagi sama kamu, Sal."
"Sal mau tidur, Mas. Sal capek."
"Oke, kamu tidur aja. Biar aku bilang papa soal mobil itu."
"Mas, nggak usah. Nanti Sal jadi nggak bagus di mata papa sama mama. Udah, Mas, kita istirahat aja. Sal minta maaf kalau jadi memberi kesan seperti itu."
"Tapi kamu pengen ganti mobil, kan?"
"Nggak, Mas."
"Jujur aja kenapa sih, Sal? Aku yakin kok, kamu tipe orang yang selalu punya pertimbangan matang untuk sesuatu. Masa lalumu ya tinggal masa lalu, nggak usah dibawa-bawa lagi sekarang ini. Jangan merasa nggak pantas untuk menyampaikan keinginanmu hanya karena kita pernah mengalami hidup yang beda banget secara finansial. Kita ini ya sekarang ini, Sal. Posisi kita sama, kedudukan kita setara, saldo tabungan kita pun nggak ada bedanya.
"Come on, Sal. Cukup kasih aku alasan atau pertimbanganmu aja. Kalau masuk akal, kenapa harus malu, nggak enak, dan semacamnya? Memangnya kamu nganggap aku apa? Aku ini suamimu lho."
Pasangan muda itu masih saja berdebat. Salma sudah berulang kali meminta maaf, bahkan membawa-bawa masa lalunya yang serba kekurangan. Dia tak mau Andro menganggapnya ngelunjak, padahal Andro sama sekali tak ada pemikiran seperti itu. Sejak dengan Salma, materi bukan lagi sesuatu yang teramat berharga baginya. Andro bisa menurunkan gaya hidupnya, bahkan level finansialnya. Salma sudah membuka matanya, bahwa dunia bukan segalanya, akhiratlah yang menjadi tujuan akhir bagi mereka.
"Iya, iya. Sal akan bilang." Salma mengalah. Barulah Andro berhenti mendebat.
"Insya Allah nggak lama lagi kita punya baby, Mas. Itu berarti saat bepergian bawaan kita akan lebih banyak. Kondisi membawa bayi dan tidak juga sangat mempengaruhi sekali, Mas. Mobil sebenarnya sudah nyaman, tapi pintunya memang agak mengganggu, Mas. Kalau sudah punya bayi nanti, mau keluar masuk aja agak butuh effort lebih, belum kalau mau pakai carseat, mau naruh barang, atau saat ketemu kondisi darurat. Bayangannya Sal, mobilnya Mas yang sekarang ini agak menyulitkan. Maaf." Salma tak enak hati, ditundukkannya kepala lagi.
"Hemm, mobilnya aku ya? Sebenernya ada kita nggak sih dalam hidupmu?"
"Mas...."
"Oke. Pertimbanganmu bisa diterima. Kamu istirahatlah, aku mau bilang soal ini sama papa."
"Tapi, Mas---"
Andro tak menggubris keberatan Salma. Dia sudah menghilang di balik pintu. Yang bisa Salma lakukan tinggal berharap-harap cemas sambil berdoa, semoga papa dan mama mertua tidak memberi cap buruk padanya.
Di teras samping, Andro menemukan papanya sedang ngobrol dengan Dimas. Wahyudi turut pula berada di sana, ikut mendengarkan diskusi mengenai salah satu proyek yang sedang ditangani papa Andro dengan Dimas sebagai salah satu penanggung jawab di lapangan. Wahyudi tampak enjoy terlibat dalam obrolan yang mungkin akan menjadi makanan sehari-harinya dua tiga tahun ke depan.
"Pa, bisa ngobrol sebentar nggak? Serius dan urgent." Andro memasang tampang serius. Tak ada kesan tengil dalam wajahnya. Bahkan senyum pun tidak.
"Oke. Tunggu di ruang kerja papa, ya."
"Yang di bawah?"
"Ya."
Yang dimaksud ruang kerja di bawah adalah ruang kerja yang terletak di kamar utama. Ada sudut cukup luas di samping kamar mandi. Sebuah meja kayu besar dengan beberapa laci penyimpanan mendominasi sudut tersebut. Sebuah macbook keluaran terbaru tergeletak di atasnya. Tumpukan buku berdampingan dengan printer di ujung sebelah kanan. Kursi putar nan besar dan nyaman dengan tone warna kayu yang serasi. Foto papa dan mamanya saat muda yang tak pernah berpindah posisi sejak pertama kalinya sudut kerja itu ada. Juga sofa kecil dengan bantal butut kesayangan mamanya.
Di tempat itu, papanya biasa mengurus pekerjaan yang tidak bersifat teknik, termasuk diskusi-diskusi serius dengan mama Andro.
"Mau bicara apa, kayaknya serius banget?" Antariksa memulai percakapan.
"Andro mau izin buat jual mobil, Pa."
"Wait. Mobil yang mana maksud kamu?"
"Sierra lah, memangnya Andro berani ngejual mobilnya papa? Yang bener aja lah bapak Antariksa ini kalau bertanya."
"Kamu habis kesambet apa?"
"Kesambet Salma."
"Hush, ngawur aja kalau bicara." Andro nyengir mendengar hush dari papanya.
"Papa cuma nggak yakin aja dengan yang papa dengar. Itu mobil kesayangan kamu, lho. Kamu bawa ke Semarang juga baru berapa bulan. Kenapa tiba-tiba pengen dijual? Yakin nanti nggak nyesel?"
"Y-yaa, sebenernya berat sih, Pa. Tapi Andro cuma pengen Salma nyaman aja. Nggak lama lagi kami punya baby, akan sedikit lebih repot kalau pakai mobil Andro yang sekarang ini."
"Ya udah, kamu kan bisa pilih aja mau bawa mobil papa atau mobil yang biasa dipakai Bu Jani belanja. Atau mau beli yang baru lagi? Tapi ya mobilmu nggak perlu dijual juga kali, Ndro. Mau ganti apa memangnya?"
Andro terdiam. Dia malah belum merencanakan apapun. Percakapannya dengan Salma tentang menjual mobil tadi sebenarnya hanya spontan dan ada unsur emosi berupa ketersinggungan sebab mobilnya dicap tidak nyaman. Kebiasaan lama Andro sebagai anak sultan kadang masih suka muncul ke permukaan.
"Emm, sebenernya kayak gitu juga bisa sih, Pa, tapi Andro pengen lebih ngehargain Salma. Pendapatnya, prinsip hidupnya, dan semacamnya. Termasuk soal ganti mobil ini. Andro mau berunding dulu sama Salma kira-kira yang cocok buat kita tuh apa."
"Oke, soal itu terserah kalian. Tapi untuk mobilmu yang dijual, Papa yang beli. Papa transfer ke mana? Kirim nomor rekeningmu sekarang."
"Eh, ng-nggak gitu juga kali, Pa. Andro udah dewasa, Pa. Andro nggak harus dikasihani begini. Insya Allah Andro bisa lah, Pa, jual mobil sendiri. Papa tenang aja." Andro tak enak hati.
"Siapa bilang papa beli mobilmu karena belas kasihan? No! Ini investasi jangka panjang, Ndro. Udah sini, kirim no rekeningnya, nanti biar papa transfer. 500 juta, ya? Deal?"
"Ehk..., kebanyakan, Pa. Beli barunya aja dulu nggak sampai segitu, kan?"
"Nggak kebanyakan untuk investasi jangka panjang, Ndro."
"Maksud Papa investasi jangka panjang tuh apa sih?" Andro yang tadi salah tingkah berusaha menolak, sekarang ditambah pula dengan kebingungan soal investasi jangka panjang.
"Papa tahu mobil itu adalah impianmu sejak kamu lihat untuk pertama kalinya. Kamu menolak tawaran papa untuk memilih tipe lainnya sekalipun yang lebih mahal, bahkan rela menunggu lama sampai unitnya tersedia. Papa terharu dengan perasaanmu yang all out sama Salma dan calon cucu papa, juga keinginanmu untuk membahagiakan Salma yang kamu tunjukkan dengan perbuatan nyata. Salah satunya melepas sesuatu yang papa tahu sangat kamu sayangi.
"Sesuatu yang kita miliki pertama kali, sejarah dan kenangannya bisa dibilang nggak akan pernah mati, Ndro. Mobil pertama yang papa beli dari hasil keringat sendiri, sampai sekarang masih ada. Mobil pertama yang eyangmu kasih waktu papa pertama kali pegang KTP dan SIM, juga masih ada.
"Kamu, Ndro, nanti kalau sudah lulus, sudah membesarkan perusahaan bareng papa, sudah bisa mandiri dan aman soal finansial keluargamu, dan punya saving sendiri buat sesuatu yang jadi passion, hobi, atau kesukaanmu..., temui papa! Kamu boleh ambil lagi mobilmu, nanti papa kasih nomor rekening papa. Kamu tinggal transfer tiga kali lipat dari harga papa beli mobilmu sekarang ini."
"Wah, nggak bener ini. Papa macam apa yang jadiin anaknya target investasi jangka panjang?" teriak Andro sambil tertawa bahagia.
"So..., deal or no deal?" tanya Antariksa lagi.
"Deal!" sahut Andro tanpa pikir panjang lagi. Keduanya berjabat erat.
"Thanks, Pa. Andro sayang Papa. Papa tahu nggak? Dari sejak kecil sampai detik ini, dan mungkin seterusnya..., di hati Andro yang paling dalam, Papa tetaplah pahlawan. My role model. My superstar. I love you, Pa."
Andro memeluk erat papanya. Berbagai kenangan masa kecil nan indah berlarian di benaknya. Suara isak mulai terdengar, pelan saja. Andro merasa ada yang basah di bagian belakang t-shirtnya. Antariksa merasa ada yang hangat di kulit punggungnya. Keduanya sadar, bahwa masing-masing dari mereka sama-sama larut dalam keharuan.
"Terima kasih, Ndro. Kamu tahu? Kebesaran hatimu untuk memaafkan kesalahan papa, itulah yang membuat papa bisa bertahan sampai sekarang. Papa bangga sama kamu, Boy. Tapi...."
"What else?"
"Tapi deal yang tadi tetap berlaku ya. Tiga kali lipat." Tawa Antariksa kembali terdengar.
"Iya iya, tuan besar Antariksa Sisiutara. Dasar bapak matre, ke laut aje!"
***
Baca kalimat terakhir auto inget lagu "cewek matre cewek matre, ke laut aje" nggak sih?
*eh, ini yang seangkatan aku aja sih. Hahaha...
Sumpah, aku malu sebenernya. Part ini gaje abisss. Mana panjang pula, hampir 4K words. Jujur ya, aku agak kehilangan arah mau dibawa ke mana Move On ini. Karena aku nulis ini dulu belum pakai outline-outlinean segala. Sekarang aku coba bikin outline untuk tulisanku. Nah pas mau lanjutin ini yg dari awal memang ngalir aja, eh kok jadi merasa kehilangan arah. Hehe...
Mohon dimaklumi dan dimaafkan ya teman-teman. Pokoknya aku terima kasih banyak kalian sudah membaca dan mengikuti sampai sejauh ini. Semoga masih tetap suka.
See you :)
Semarang, 28102021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro