39. Pendekatan
Resah yang kau rasakan
Kan jadi bagian hidupku bersamamu Letakkanlah segala lara di pundakku ini
(Ada Band -Masih (Sahabatku, Kekasihku))
***
Mama memeluk Salma erat. Cukup banyak permintaan maaf terucap dari mama, merasa bersalah karena sering membahas tentang ibu Salma setiap kali bertelepon dengan menantunya, seolah menuntut Salma untuk bisa segera menerima keberadaan ibunya. Diam-diam Andro sudah menyampaikan pada mama tentang Salma dan perasaannya kepada ibunya. Masih butuh waktu, itu saja kesimpulannya.
Salma balas memeluk erat mama, mengatakan bahwa ia sudah baik-baik saja, sudah lega karena Andro mau menjadi tempat berbagi keluh dan kesahnya. Dia pula menyampaikan terima kasih pada mama, karena sudah membesarkan Andro dengan limpahan cinta sehingga Andro pun menjadi orang yang penuh cinta dan kasih sayang.
Papa tak ada, sudah keluar kota pagi-pagi bersama Dimas untuk urusan pekerjaan. Andro dan Salma memohon izin untuk masuk ke kamar mereka. Mata Salma mengedar ke sekeliling, mencari sosok ibunya di kediaman Antariksa, tapi tak ada.
"Bu Dita di panti Sal. Setelah ketemu kita dulu, beliau dua hari di rumah eyang, terus di sini tapi cuma sehari, setelah itu minta balik ke panti. Bu Miska nggak pernah cerita?" Salma menggeleng, mungkin karena dia sendiri tidak pernah membahas soal itu dengan Bu Miska.
Bu Miska paling tahu tentang Salma, jadi tak membahas pula soal ibunya. Hanya sering berpesan untuk selalu menjaga prasangka baik kepada siapa saja. Tak menyebut spesifik, tapi semestinya Salma tahu arahnya ke mana.
"Kalau kamu mau, nanti kita ke panti. Kalau belum pengen, terserah kamu pengen ke mana, aku siap nemenin. Atau mau main ke Madura? Atau ke Malang? Ke Bromo? Jatim Park?" Salma menggeleng, cuma tersenyum lebar.
"Kok geleng terus, sih? Bilang aja, Sal, kamu maunya apa, atau ke mana?"
"Sal cuma mau ke---"
"Iya, ke mana? Bilang aja," sela Andro cepat.
"Ke sini, ke hatinya Mas." Telunjuk Salma mendorong pelan dada suaminya, yang disambut Andro dengan tawa.
"Belajar dari mana nih Nyonya Andromeda? Mulai pintar ngegombalin aku, ya."
Direngkuhnya pinggang Salma, melingkarkan lengannya di sana. Salma menengadah, memajukan bibirnya seakan memberi kode agar Andro melakukan lebih. Andro jelas paling paham dengan kode semacam ini. Dia merespon secepat kilat.
"Ndro, bukain pintunya dong!"
Rea memang identik dengan perusak acara. Teriakan disertai gedoran di pintu membuat Andro mengumpat tak keruan.
"Punya mbak satu aja kok ya nggak pengertian. Ganggu aja kerjaannya. Mau ngapain sih?"
Rea mendorong adiknya dengan semena-mena. "Kalian juga, mau ngapain emangnya? Baru juga dateng, udah mau gituan. Beramah tamah dulu kek sama yang lebih tua. Lagian, Salma udah hamil juga, nggak usah sering-sering itu, bahaya."
"Sirik banget, sih. Salmanya juga suka, kenapa jadi Mbak yang kesel? Iri? Bilang, Boss."
"Iya, aku memang iri. Aku yang lebih tua, aku yang udah pengen banget punya baby, aku yang diharap-harapkan papa mama untuk segera punya anak, Mas Dimas juga udah siap banget, tapi malah kalian yang dapet duluan. Sini lah, share ke aku gimana tips and trick biar cepet bisa hamil.
"Atau mungkin kamu pakai apa gitu, Ndro? Jamu? Obat kuat? Ramuan-ramuan? Atau apa?" Rea merepet, memaksa masuk ke kamar adiknya, dan menarik Salma duduk bersamanya di sofa.
"Iki meneh, ramuan apa deh, Mbak? Paling pakai rayuan. Masa iya Andro pakai jamu, pakai obat kuat, hoho..., nggak perlu pakai itu juga udah kuat kali, Mbak."
"Lambemu, Ndro!" Kaki Rea mendarat di bahu adiknya yang duduk di karpet. Andro tertawa ngakak.
"Tapi Mbak serius, Ndro. Sebenernya apa sih rahasianya biar bisa cepet hamil? Bukannya kalian gituan juga baru-baru aja kan, ya? Nggak dari habis nikah langsung gass kayak aku sama Mas Dimas."
"Asem! Pakai dibahas." Gawai di sampingnya melayang ke arah Rea. Untung dia sigap menangkap, karena sudah terbiasa dengan bad habit adiknya.
"Nggak ada rahasia dan nggak pakai apa-apa juga, Mbak. Mas Andro cuma rajin aja." Salma menjelaskan sambil tersipu. Andro jadi gemas melihat wajah Salma yang lucu. Digesernya posisi duduk mendekati Salma, menyandarkan kepala di kaki istrinya.
"Kalau rajin sih kami juga rajin, Sal. Tapi Mas Dimas memang nggak manja koyok bojomu kui. Aleman! Padahal udah mau jadi papa. Gimana nanti punya anak, apa nggak cemburu terus Salma banyak megang si baby daripada papanya?"
"Justru memanfaatkan waktu sebelum si baby lahir, Mbak." Andro paling mahir kalau disuruh membuat pembelaan diri, kecuali di hadapan Salma, dia memilih untuk mengalah demi kebahagiaan perempuan yang dia cinta.
"Wis siap tenan ta, Ndro? Bukane wingi kon sing ribut ae gurung siap dadi papa, ta?"
"Mungkin itu salah satunya, Mbak. Mas Andro memang tadinya belum siap, tapi ketika akhirnya semua terjadi, emm..., maksudnya m-malam pertama kami, keyakinan Mas Andro perlahan mulai bergeser. Waktu Sal ngerasa kayaknya Sal hamil, Sal juga nggak berani langsung bilang, Mbak. Sal takut Mas Andro belum sepenuhnya siap, tapi ternyata nggak begitu.
"Itu yang Sal maksud, Mbak. Mungkin ada hal-hal lain di bawah sadar kita yang sebenarnya mengarah pada kebelumsiapan untuk punya anak. Mungkin kita sendiri nggak sadar tentang itu. Tapi terlepas dari itu, semua memang kembali kepada kehendak Allah, Mbak. Allah yang paling tahu kapan waktu yang paling tepat," kata Salma bijak.
"Nah, itu, Mbak. Aku setuju banget sama yang dibilang Salma. Mbak juga kan masih bisa dibilang pengantin baru, nggak usah kemrungsung dulu lah, Mbak. Banyak kemungkinan yang kita sendiri nggak tahu. Bisa jadi Allah kasih kami dulu karena kami jauh dari orang tua, kalau ada anak mungkin Salma nggak akan terlalu kesepian kalau pas aku sibuk. Kalau Mbak kan tinggal di dekat mama, ke keluarga Mas Dimas juga satu dua jam sampai, saudara di sini banyak, kapanpun Mbak ngerasa kesepian banyak yang bisa nemenin.
"Mbak juga kalau sama anak kecil kan nggak gitu suka, jadi dikasih waktu dulu buat belajar. Masa iya ntar punya anak tapi nggak suka sama anak kecil, gimana momong anaknya coba? Terus Mbak juga belum mahir ngurus rumah kayak masak, bersih-bersih, dan semacamnya, kan. Ngurus rumah aja gagap, gimana mau ngurus bayi, ya kan?
"Satu lagi. Mbak kan dulu senengnya pacaran, sedangkan sama Mas Dimas Mbak nggak pakai proses pacaran sama sekali. Jadi sekarang Mbak dikasih kesempatan untuk puas-puasin pacaran dulu sama Mas Dimas. Aku sama Salma kan sama-sama nggak ada yang pacar-pacaran, jadi aja Allah suruh kami langsung sekalian belajar jadi orang tua.
"Pokoknya gitu deh, Mbak. Banyakin husnuzon aja sama Allah, insya Allah happy dan nggak kemrungsung karena belum hamil. Bisa jadi itu juga yang malah bikin Mbak jadi kepikiran, terus stress, dan mengganggu proses pembuahan. Enjoy aja lah, Mbak."
Andro menutup opininya dengan mendekat pada kakaknya, merangkul, dan mengecup pipinya dengan sayang.
"Andro sayang sama Mbak. Jadi kalau alaku dulu yang punya anak, anakku nanti bisa merasakan disayang-sayang dulu sama budenya, kayak sayangnya Mbak ke aku."
Mata Rea basah, dipeluknya Andro erat. "Makasih ya, Ndro. Mbak bangga punya adik kayak kamu. Tiga bulan jadi suami udah bisa mengubah kamu banyak, kamu jauh lebih dewasa sekarang. Mbak ikhlas, Ndro. Mbak ikhlas kamu yang punya anak duluan. Allah nggak pernah salah waktu, kamu memang lebih pantas untuk itu.
"Doakan aku ya, Ndro. Ajarin aku biar lebih bisa menyesuaikan diri sebagai istri. Sejauh ini masih Mas Dimas yang banyak ngalah dan banyak ngertiin aku, nggak kayak kamu sama Salma, yang sama-sama mau berusaha untuk saling mengalah dan merendah. Kami ketinggalan jauh dari kalian berdua."
Rea melepas pelukan, meraih dan menggenggam tangan Salma. "Makasih ya, Sal, udah sabar ngadepin adikku yang nyebelin ini, sampai dia jadi orang yang baik banget gini. Nitip Andro ya. Nitip ponakanku juga."
Keduanya berpelukan, dengan Andro berada di tengah-tengah dua perempuan.
"Udah sih, udah. Kok aku jadi kayak punya istri dua gini. Bubar, bubar. Nggarai risi ae arek wedok-wedok iki. Sengit aku." Andro selalu kesal pada hal-hal yang membuat ingatannya kembali kepada kasus papanya dulu. Sudah berlalu, namun Andro belum bisa sepenuhnya melupakan kejadian itu.
Andro meminta izin untuk salat Jum'at. Salma melanjutkan obrolan dengan kakak iparnya. Akrab, seperti dengan kakaknya sendiri. Berbagi banyak cerita tentang apa saja. Dari kerjasamanya dengan brand mama, aktivitas membuat kerajinan tangan dan menerima pesanan masakan yang di-stop oleh Andro, kesibukan Andro di kampus, dan tak ketinggalan obrolan tentang ibunya.
Rea menanggapi dengan antusias si adik ipar yang jauh lebih banyak bicara dari sebelumnya. Sama sekali tidak terkejut, karena Andro sudah menceritakan tentang banyak perubahan Salma sejak hamil.
"Jadi nanti mau ke panti, Sal? Ketemu Tante Dita juga?" Salma mengangguk.
Rea sudah berkenalan dengan ibunya Salma, sudah tahu juga inti cerita serta hubungan baik Bu Dita dengan keluarga eyangnya. Meski tidak detail, sebab banyak aib yang harus disembunyikan oleh para orang tua, termasuk dari Salma sendiri, setidaknya sampai waktu yang tepat nanti.
"Tapi Sal masih bingung, Mbak, gimana harus bersikap saat ketemu Bu Dita."
"Ya udah, ikuti kata hatimu aja, Sal. Kamu nggak harus langsung akrab dengan Tante Dita, kok. Kalau posisinya kayak kamu dengan dia, kamu mau menunjukkan bahwa kamu nggak benci sama dia, itu sudah lebih dari cukup sih, Sal. Setidaknya untuk sekarang ini.
"Dan..., oh ya, Tante Dita orangnya baik kok, Sal. Aku pernah beberapa kali ketemu, pernah ngobrol juga, orangnya asyik, sih, gampang akrab. Tapi yaa mungkin karena antara aku sama Tante Dita nggak ada beban apapun ya, jadi ya lepas aja gitu. But it's okay not to be okay, Sal, yang kalian hadapi sekarang ini memang nggak mudah. Semangat ya, adik ipar kesayangan."
Rea menepuk bahu Salma. Lalu berpamitan dan menyuruh Salma istirahat untuk persiapan ke panti nanti. Sebelum meninggalkan kamar, dipanggilnya salah satu asisten rumah tangga untuk membuatkan jus buah atau apapun yang segar untuk Salma.
***
Sampai sore tiba Salma masih ragu-ragu untuk pergi ke panti. Ingin, tapi bimbangnya jauh lebih besar. Salma seperti kehilangan dirinya. Sering melamun seakan sedang berpikir keras, lalu kembali bersemangat untuk ke panti, belum sampai berangkat sudah mengurungkan niatnya lagi. Begitu terus berkali-kali, Andro sampai bingung menghadapi Salma. Bahkan dua tahun menghadapi Zulfa --bukan sebagai siapa-siapanya-- rasanya dia belum pernah sebingung ini.
"Kita ke Bromo, mau? Kita jaramg jalan-jalan lho, Sal. Kayaknya kamu butuh refreshing barang semalam, Sal. Maaf ya, kemarin-kemarin aku kayak kurang peduli sama kebosanan dan kesepianmu. Mau ya ke Bromo?"
Salma menggeleng, malah mengajukan permintaan yang tak pernah terpikirkan oleh Andro. "Sal mau ke rumah eyang aja. Sal pengen lihat rumah kakek neneknya Sal. Sal mau tanya-tanya sama eyang tentang keluarganya Sal."
"Oke. Bawa baju ganti ya, kita nginap di sana." Tak banyak kata, Andro mengiyakan saja. Ada rasa bersalah sekaligus iba pada istrinya.
Eyang menyambut cucu-cucunya dengan gembira, mengajak keduanya menikmati kudapan yang selalu tersedia. Kepada Salma keduanya menunjukkan kasih sayang yang makin dalam dari sebelum-sebelumnya.
Andro menyampaikan pada eyangnya tentang tujuan mereka datang. Mata kedua sesepuh itu berbinar, kemudian cerita tentang keluarga kakek nenek Salma pun mengalir deras dari eyang papi. Sesekali eyang mami menimpali. Pasangan muda itu jadi makin tahu, seperti apa kedekatan dua keluarga, terutama papa Andro dengan ibu Salma.
Opa Johan atau kakeknya Salma sudah meninggal lima tahun lalu karena komplikasi, salah satunya sebab kesedihan dan penyesalan atas terlalu kerasnya pada Dita sehingga dia pergi dan menghilang. Ketika sudah tiba usia senja, semua menjadi sesuatu yang begitu menyesakkan.
Setelah Opa Johan meninggal, Oma Luci, neneknya Salma, sempat bertahan dua tahun di rumah yang bersebelahan dengan rumah eyang.
"Neneknya Luci atau nenek buyutnya Salma itu orang Spanyol asli. Jadi Salma itu boleh dibilang indo, punya darah campuran. Makanya cantiknya nggak ketulungan." Eyang mami menyahut lagi.
"Betul itu, Ndro, Sal. Dan keluarga mereka yang di Spanyol sana juga masih selalu berhubungan baik. Bahkan Sara, budenya Salma, menikah dengan orang sana juga. Dan akhirnya tiga tahun lalu Luci menyerah, dia kesepian di sini, nungguin Dita pulang juga kelihatannya sudah nggak ada harapan. Akhirnya dia memutuskan untuk tinggal bersama Sara di Spanyol.
"Jadi, omamu masih ada, Salma. Sekarang tinggal di Madrid. Masih rutin berkomunikasi dengan kami juga. Hanya saja..., sampai hari ini kami belum memberitahunya tentang Dita. Karena kalau kami melakukan itu, tentunya harus memberitahukan juga tentang kamu, Salma. Makanya kami memutuskan untuk memberitahu nanti saja, setelah Salma dengan Dita bisa bersama. Minimal hubungannya sudah lebih dekat." Eyang papi menjelaskan.
"Maaf ya, Salma. Kami sama sekali nggak bermaksud untuk menuntut kamu dekat dengan Dita sekarang juga. Kami tahu, itu bukan sesuatu yang mudah. Butuh waktu. Biar semuanya mengalir saja, senyaman kamu, Nak. Tapi kalau ada apa-apa jangan disimpan sendiri, khususnya yang berhubungan dengan hal ini. Ya?" Salma mengangguk, eyang mami mendekat dan memeluk.
"Eyang," ujar Salma lirih.
"Ya? Katakan saja, Nak."
"Emm..., apa Salma boleh masuk dan melihat-lihat ke rumah sebe--- maksudnya rumah kakeknya Salma?"
Eyang papi tersenyum. Tak berkata apa-apa, hanya meraih gawai di meja, tak jauh dari tempatnya duduk. Diteleponnya seseorang, meminta izin untuk masuk ke rumah yang halamannya terhubung dengan rumahnya. Sebenarnya eyang juga memegang kuncinya, hanya saja eyang masih menjunjung tinggi etika pada sesuatu yang bukan haknya.
Usai menelepon, eyang papi menatap lembut Salma. Sambil tersenyum eyang mengangguk. "Oke, kita bisa ke sana sekarang."
Andro meraih jemari Salma yang terlihat gemetaran. Dikecupnya pelan punggung tangan istrinya. "Aku di sini, Sal. Semangat ya. Kamu pasti bisa melewati semuanya dengan baik. I love you," bisiknya tepat di kuping Salma.
Sama seperti keluarga Jaya Ahmada, keluarga Johan pun memiliki tingkat kesejahteraan di atas rata-rata. Terlihat dari isi rumahnya yang bisa dibilang mewah. Meski tak lagi ditempati, tetapi keluarga yang merawat rumah tersebut tak pernah absen datang dan membersihkan setiap ruangan seperti saat rumah itu masih ditempati.
Salma berhenti di setiap bagian di mana ada foto yang terpajang. Kakeknya gagah dan tampan, neneknya pun cantik dan terlihat kebule-bulean, begitu pula budenya dengan rambut panjang nan menawan. Yang paling menarik perhatiannya adalah foto masa muda ibunya, masih sangat muda, mungkin usia SMA. Dia menemukan kemiripan pada garis wajah ibunya dengan wajahnya, terutama matanya.
"Ini kamarnya Dita, Sal. Nggak pernah ditempati lagi sesudah dia pergi. Tapi tetap dijaga dan dibersihkan sampai saat ini. Dita sendiri kemarin dua hari di rumah eyang belum mau ke sini, nangis terus setiap ingat papanya." Eyang mami berkata, mengajak Salma untuk masuk ke kamar ibunya.
Andro menarik lengan Salma, membawanya masuk ke kamar ibunya. Mereka berkeliling di kamar yang cukup luas, rapi, dan bersih. Penglihatan Salma terhenti pada foto sepasang anak muda, dia seperti melihat dirinya dan Andro di sana. Tangannya terjulur hendak mengambil pigura itu, tapi kalah cepat oleh suaminya.
"Berasa lihat foto kita berdua ya, Sal? Aku mirip banget sama papa waktu muda, dan kamu..., mirip ibumu. Hehe, jalan hidup kita lucu ya?"
Andro tertawa kecil, menertawakan diri mereka. Ada getir dalam nadanya. Direngkuhnya Salma, lalu keduanya menangis bersama.
"Aku sayang kamu, Sal, siapapun dirimu. Aku tetap sayang kamu, dan akan tetap begitu. Sekalipun kamu anaknya penjahat kelas kakap, itu juga nggak akan mengubah perasaanku ke kamu. Kamu cuma harus tahu, that i'll always love you, Sal."
"Terima kasih, Mas. Sayangnya Mas ke Sal udah jadi kekuatan tersendiri buat Sal menghadapi kehidupan ini. Habis maghrib kita ke panti ya, Mas. Sal mau ketemu ibu."
"K-ketemu siapa, Sal?"
"Sal mau ketemu ibu. Ibunya Sal. Ibu mertuanya Mas. Sal sekarang punya ibu, Mas nggak boleh lupa itu." Dengan telunjuknya, Salma menepuk-nepuk dagu Andro. Keduanya bertukar senyum, lega dan bahagia.
***
Jadi pengen ikut nepuk-nepuk pipi Andro. Eh.
Telat lagi. Aku lagi suka beberes rumah. Nggak tau nih, kayak lagi bosan dengan rutinitas yg biasa kujalani. Halah, padahal rutinitasnya cuma rebahan. Hahaha..
Ya gitu deh, pokoknya lagi ngerasa pengen suasana baru gitu. Makanya lagi suka geser-geser perabotan. Mungkin bisa sedikit mengubah suasana.
Terus ttg menulis juga kayaknya aku kayak lagi agak jenuh gitu. Mungkin aku akan berhenti sejenak dari Move On. Masih tetap mengusahakan update sesuai waktu, tapi aku nggak mau ngoyo ngejar juga kalau ngetiknya belum kelar.
Lagi melirik cerita lain yg juga nunggu dikelarin. Mungkin aku akan pegang salah satu dulu biar ada suasana yg berbeda juga. Hehe...
So, mohon maaf ya misalnya part aku updatenya telat lagi. Mohon dimaklumi.
Lagunya kesukaanku dari jaman awal-awal nikah dulu. Karena nggak pernah nyangka orang yg dulu sering kucurhatin (ttg gebetan), yg udah macam sahabatku, eh akhirnya jadi kekasihku (eaaak). Dan Alhamdulillah, sampai sekarang Masih (Sahabatku, Kekasihku). Hehe... Dipas-pasin, tapi memang pas sih.
Baiklah, terima kasih untuk semuanya yaaa.
Semangat semangat semangatt!!
See you :)
Semarang, 30072021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro