Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. Meluruskan

Dengarlah, dengarlah kau di sana
Ku 'kan melupakan tentangmu
Lihatlah, lihatlah aku di sini
Kini aku telah berdua untuk selamanya
(Five Minutes - Selamat Tinggal)

***

Andro mengecup kening Salma sekali lagi, lalu memeluk erat sang istri, memastikan bahwa dia akan menjaga hati, meski bertemu dengan seseorang yang pernah berarti.

"Jangan mikir yang nggak-nggak, ya, Sal. Aku janji, setelah ini nggak akan ada lagi permasalahan yang melibatkan orang lain di antara kita. I love you."

"Kenapa orang lain? Kenapa nggak sebut nama? Kan yang jadi masalah buat kita sejauh ini cuma satu nama. Mas masih ingin melindungi nama baiknya, kan?"

Andro tersenyum. Baginya pertanyaan seperti yang Salma ajukan barusan bukan untuk dijawab. Istrinya cuma ingin memastikan bahwa Andro berpihak padanya, bukan pada orang lain yang mengganggu stabilitas hatinya. Dan bagi Andro, ini agak berlebihan, maka hanya senyuman yang dia berikan.

"Aku berangkat dulu ya, Sal. Nanti malam kita makan di luar, ya. Terserah kamu pengen ke mana."

"Sal maunya makan di luarnya di halaman belakang aja." Andro terkekeh, mengacak rambut Salma sampai berantakan, yang disambut dengan cemberut dan cubitan.

"Ya udah, terserah kamu mau masak apa, nanti malam kita santai di belakang. Oke?"

Mereka menutupnya dengan ciuman hangat. Andro menepuk pipi Salma, lalu beranjak meninggalkannya. Salma diam di tempat, sama sekali tak berniat untuk melepas Andro berangkat.

Andro sengaja membawa mobil agar bisa sambil menelepon Wahyudi, meminta kesediaannya untuk menemani. Juga menelepon Asya, memastikan dia akan ada bersama Zulfa. Zulfa sendiri tak dihubungi, sudah cukup dengan menitip pesan lewat Asya. Juga menjaga perasaan Salma, biarpun saat ini tidak sedang bersamanya.

Kantin departemen teknik sipil menjadi pilihan untuk bertemu. Andro datang bersama Wahyudi, Zulfa sudah lebih dulu tiba bersama Asya, menunggu di sudut yang cukup strategis untuk bicara agak serius.

"Assalamualaikum," sapa Andro dan Wahyudi. Asya membalas salam disertai senyuman. Zulfa membalas saja, tapi tak ada senyum.

"Gimana, Zul? Sehat?"

"Ya, kayak yang kamu lihat gini lah, Ndro," jawab Zulfa tak semangat.

"Semangat lah, Zul. Biasanya juga gimana."

"Ngomong sih gampang, Ndro. Prakteknya yang susah."

"Apa sih, jangan gara-gara aku kamu jadi nggak semangat gini. Aku udah punya istri lho. Nah dulu kuajak jalan nggak mau, malah ketikung Pak Iqbal akunya. Sekarang nggak semangat gini gara-gara aku. Eh, iya nggak sih, gara-gara aku?" Andro tertawa. Santai sekali dia bicara. Sudah dua tahun kenal baik dengan Zulfa, sudah hafal bagaimana menghadapi perempuan satu itu.

"Pede banget sih, Ndro. Kalau istrimu tahu kamu kepedean gitu, pasti males deh sama kamu."

"Nggak lah, Zul, cintanya ke aku udah setengah mati."

"Nah, kamunya gimana, Ndro? Cintamu ke dia setengah mati juga, nggak?" Kali ini Asya yang bertanya.

"Aku? Aku malah udah cinta mati, Sya. Nggak setengah lagi." Teman-temannya menyambut dengan tawa, kecuali Zulfa.

"So, sebenernya kamu kenapa, Zul? Aku lho, sampai dipanggil dan diajakin ngobrol sama Pak Iqbal gara-gara istrinya uring-uringan mulu sejak kejadian di rumah sakit waktu itu. Pak Iqbal bilang ada faktor kesalahan beliau juga, ada faktor hormonal karena kondisimu yang lagi hamil, tapi biasanya nggak sampai berhari-hari keselnya. Nah, ini kok begitu.

"Tahu nggak, sih, sampai Pak Iqbal tuh nyangkain Zulfa cemburu ke aku, coba. Lah, gimana mau cemburu ke aku, kan? Orang Pak Iqbal aja lebih segalanya dari aku. Makanya beliau minta aku ketemu kamu, Zul. Siapa tahu dengan ngomong sesuatu ke aku, kamu jadi lebih lega. Mau marah gara-gara aku nikah nggak kasih tahu, mungkin? Atau karena aku dan Yudi dicap nggak setia kawan. Apapun lah."

Zulfa menyambut dengan protes, kenapa harus melibatkan Wahyudi segala. Menurutnya keberadaan Asya sudah cukup. Andro balas menjelaskan apa adanya, bahwa Wahyudi ada bersama mereka karena permintaan Salma.

"Istrimu cemburu sama aku ya, Ndro?" tanya Zulfa lagi. Yang dijawab Andro dengan ya.

"Padahal kan dia lebih cantik. Kata mamamu dia penghafal Qur'an juga, dulunya ustadzah yang ngajari ngaji mamamu. Apanya yang dia cemburui dari aku, Ndro?"

"Itu juga yang aku bilang ke dia, Zul. Tapi dia tahu, aku pernah ada something ke kamu, dan itu nggak cuma di permukaan, tapi udah mendalam."

"Apanya yang di permukaan?" Kepolosan Zulfa membuat teman-temannya tak sanggup untuk tidak tertawa.

"Ndro, udah hafal sih gimana Luli, kenapa juga pakai istilahnya yang aneh-aneh," sahut Asya.

"Konkret, Bro, konkret." Wahyudi tak mau kalah.

Andro tertawa lagi. Ingatannya melayang pada Salma, dan dia merasa begitu bersyukur memilikinya sebagai istri.

"Kamu sih nggak peka, Zul. Aku dulu suka sama kamu. Sayang banget malah. Udah pernah kita bahas, kan ya, waktu itu. Tapi, ya begitulah, semuanya sudah berakhir. Bagiku itu cuma bagian dari masa lalu, tapi ternyata bikin Salma cemburu."

"Kalau aku bilang wajar sih, Ndro. Aku aja kadang masih cemburu sama mantannya suamiku, padahal beliaunya udah meninggal. Ya apalagi ini, yang ceritanya parah banget. Menantu sultan dikata pembantu." Asya angkat bicara, lalu tertawa. Dia sudah tahu cerita lengkapnya dari Zulfa. Wahyudi ikut menahan tawa, fakta ini baru terbuka.

"Nggak ngejek gitu juga kali, Nar." Zulfa tak terima, meski memang demikian adanya. Sebenarnya lebih kepada malu, karena soal sepele saja dia sampai luput menganalisa.

"Nah, sekarang kasih tahu aku, apa yang bikin kamu uring-uringan sama Pak Iqbal. Kasihan tahu, Zul."

"Eh, emm, itu..., ak-aku..., aku ngerasa kehilangan kamu, Ndro." Zulfa menunduk malu, Andro menelan ludah dan sedikit gugup. Dua yang lain saling berpandangan.

"Eh, k-kok gitu, Zul? Emm..., bukannya aku ya yang harusnya kehilangan kamu? Dulu, waktu tahu kamu menikah sama Pak Iqbal. Kamu becandanya gitu banget, Zul." Andro mencoba menetralisir keadaan dengan bercanda. Tawanya keluar, terdengar agak sumbang. Kentara sekali dia menyembunyikan kegugupannya.

"Eh, emm, sebenernya nggak gitu, Ndro. Bukan kehilangan yang gimana-gimana, gitu. Tapi aku tuh ngerasa kamu menjauh. Iya, aku udah punya Pak Iqbal, tapi ada yang beda, Ndro. Kalau sama Pak Iqbal kan aku punya kewajiban juga, jadi kayak harus tetap jaga sikap. Kalau sama kamu kan nggak. Kita dekat, tapi bukan siapa-siapa. Aku nggak pernah harus jaim saat di depan kamu, dan kamu juga selalu bisa ngertiin aku.

"Aku yang berharap lebih sih, Ndro. Aku yang egois. Aku pengennya punya Pak Iqbal, tapi tetap bisa berteman dekat sama kamu seperti sebelum aku menikah. Waktu itu aku memang pernah bilang kalau persahabatan kita mungkin nggak akan sama lagi. Pas liburan kan nggak pernah lihat kamu, aku pikir everything is okay. Tapi pas kita udah mulai kuliah lagi, tiap hari ketemu, dan kamu selalu ngejauh dari aku, rasanya tuh gimana, gitu.

"Apalagi pas tahu kamu udah punya istri. Rasanya aku kehilangan salah satu teman terbaik. Aku sedih karena persahabatan kita benar-benar nggak akan bisa seperti dulu lagi, Ndro. Dan rasanya makin sedih lagi waktu tahu istrimu jauh lebih segalanya daripada aku. Aku langsung insecure tahu, Ndro."

"Maafkan aku ya, Ndro." Zulfa memandang Andro dengan mata menyorotkan permintaan maaf yang mendalam.

"Begitulah, Zul. Jodoh itu kadang nggak seperti yang kita bayangkan Tapi percayalah, Allah ngasihnya sesuai yang kita butuhkan. Kalau kamu sama aku, bisa-bisa rumah isinya perang melulu. Kamu bocah banget gitu, aku sama aja. That's why, Pak Iqbal yang terbaik buat kamu. Beliau bisa momong kamu, bisa bimbing kamu, bisa jadi pemimpin yang baik buat kamu.

"Begitupun Salma untuk aku. Dia dewasa banget, sabar, rajin, pintar, dan ilmu agamanya bagus. Kontras banget sama aku. Tapi justru itulah yang membuat kami saling melengkapi." Andro tersenyum, sosok Salma memenuhi kepalanya. Asya dan Wahyudi takjub, Andro yang sekarang makin bijaksana.

"By the way, Ndro. Dari tadi ngomong istri istri istri, tapi aku nggak tahu sendiri kayak mana istrimu. No pic hoax, ah." Asya protes. Memang diantara mereka berempat, cuma dia yang belum pernah bertemu dengan Salma.

Andro mengeluarkan gawainya, scrolling sebentar sampai menemukan foto pernikahannya. Disodorkannya gawai pada Asya, yang segera melihat rangkaian gambar dirinya dan Salma dalam balutan busana pengantin nan sederhana namun tak menghilangkan kesan mewahnya. Pada beberapa foto terdapat pula penampakan Wahyudi.

"Dih, ada foto sahabat yang nggak setia kawan," celetuk Zulfa sembari melirik Wahyudi. Yang bersangkutan hanya nyengir saja.

"Istrimu pakai cadar ya, Ndro?" Asya agak tak percaya, mengingat reputasi Andro dalam menjalankan ajaran agama sebelas dua belas dengan dirinya sebelum menikah dengan Zulfikar Aditya. Seadanya saja.

"Nggak sih, Sya. Itu aku yang minta. Habisnya dia pas kelar di-make up jadi cantik banget. Padahal pas Yudi pertama kali ngelihat Salma aja dia bilang Salma cantik. Aku jadi nggak rela kalau pas Salma cantik banget dilihatin sama orang lain, apalagi Wahyudi bin Djamin. Nggak ikhlas aku."

"Lambemu, Ndro!" Yudi menepuk mulut Andro dengan gulungan kertas yang ada di hadapannya. Andro tertawa berderai-derai.

"Huu, laki-laki di mana-mana sama aja ya, Lul. Sendirinya bebas ke mana-mana, tapi nggak rela kalau istrinya dilihatin cowok lain. Padahal sama aja kan, dikira kita nggak deg-degan apa, punya suami ganteng berkeliaran di luaran sana. Hih!" Asya mengemukakan pendapat dengan agak ngegas, layaknya mendapat kesempatan untuk mengeluarkan uneg-unegnya.

"Udah sih, nggak usah ngobrolin pernikahan lagi. Mentang-mentang udah pada nikah, gitu amat sama temen yang jomlo. Nggak setia kawan ya pada." Nyatanya pembahasan tentang pernikahan belum benar-benar berakhir. Wahyudi hanya harus menahan kesabaran. Masih mending yang dibahas bukan bagian romannya, bisa mimisan dia.

"Jadi begitu, Zul. Pak Iqbal ke aku udah berubah banget. Beliau nggak pernah lagi menunjukkan kecemburuannya sejak ketemu aku sama Salma di bandara. Sebelumnya nggak percaya waktu aku bilang udah nikah. Tapi sejak lihat sendiri, kata beliau, bisa lihat dari mataku gimana cintanya aku sama Salma, jadi nggak ada alasan lagi mencemburui aku. Tinggal kamunya, Zul. Pak Iqbal cemburu karena ngerasa kamu cemburu ke aku.

"Sekarang udah clear sih kalau menurutku. Kamu cuma kehilangan seseorang yang bisa kamu ambekin, bisa kamu minta ajarin materi, bantu bikin tugas, dan semacamnya dengan sukarela." Andro tertawa. Zulfa cemberut karena diledek sebegitu rupa.

"Nggak, nggak, Zul. Becanda. Sekarang kamu udah ada Pak Iqbal, Zul. Yang bisa ngajarin kamu jauh lebih baik dari aku, bisa kamu ambekin kapan saja, bisa kamu minta bantu ngerjain tugas, dan semacamnya. Ya tentu saja Pak Iqbal sukarela. Kalau kamu ada kewajiban lain, ya itu beda lagi, bukan sekadar imbalan karena minta bantuan itu tadi. Namanya suami istri kan memang harus bisa menempatkan diri, kapan harus memposisikan diri sebagai istri, sebagai teman, sahabat, sebagai guru privat juga mungkin, dan sebagainya. Gitu sih, Zul.

"Aku sendiri sebenernya santai sih, Zul, nggak harus menjauhi kamu atau gimana gitu. Tapi kan aku nggak sendiri, Zul. Aku ada Salma, yang meskipun fisiknya nggak selalu bersamaku, tapi kan hatinya selalu ikut ke manapun aku pergi. Jadi, aku harus jaga bener-bener, salah satunya dengan nggak deket-deket kamu tanpa alasan jelas. Aku nggak mau nyakitin orang sebaik Salma. Aku sayang banget sama Salma. Dan aku tahu persis, kamu satu-satunya yang bisa bikin dia insecure, Zul.

"Jadi gitu ya, Zul. Udah jelas semuanya. Jangan bikin Pak Iqbal bingung lagi." Andro menutup ceramahnya dengan nasihat untuk Zulfa.

Dari perubahan yang Andro tunjukkan, ketiga temannya sekarang tahu, kenapa Andro bisa begitu sayang dan menghormati istrinya. Karena Salma adalah sosok yang istimewa.

"Salam buat istrimu ya, Ndro. Kapan-kapan, boleh ya aku kenalan sama dia?" ujar Asya. Diam-diam telah tumbuh kekagumannya kepada Salma.

"Gampang itu, Sya. Oh iya, dia nitip salam buat kamu. Terima kasih buat kiriman hampersnya, insya Allah doa-doa terbaik untuk anakmu." Andro menambahkan sendiri.

"Buat aku, nggak ada salam, Ndro?" tanya Zulfa, lagi-lagi dengan kepolosannya.

"Kamu salamnya dari aku aja deh, Zul."

"Hayo, Andro, nggak boleh nakal ya." Asya mengingatkan, disambut Andro dengan kedipan. Keduanya tertawa akrab.

"Aku, Ndro, nggak dapat salam juga?" Pertanyaan Wahyudi memancing emosi.

"Salma nitip salam ke kamu juga nggak bakalan kusampaikan, Yud. Gak ikhlas aku!" Andro ngegas. Ketiga temannya kompak memberikan huuu untuknya.

Urusan selesai, Andro dan Zulfa bertukar terima kasih. Menyempatkan sejenak ber-wefie agar bisa menjadi bukti, untuk Salma, untuk Pak Iqbal juga. Kemudian mereka bubar, melanjutkan urusannya masing-masing. Asya hendak pulang karena suaminya sudah menunggu di depan gedung jurusan. Zulfa sudah tak sabar bertemu Iqbal, yang mendadak begitu ia rindukan. Andro dan Wahyudi melanjutkan kebersamaan, masih ada tugas yang harus mereka selesaikan bersama beberapa teman lainnya.

***

Menjelang maghrib Andro pulang. Tak ada yang menyambut. Keadaan rumah sepi sekali. Ia memanggil-manggil Salma, tapi tak ada jawaban. Cepat-cepat menuju ke kamar, siapa tahu Salma ada di sana.

Perasaan Andro teramat lega ketika menemukan Salmanya ada di atas tempat tidur. Matanya terpejam rapat, bibirnya yang kemerahan sedikit terbuka, nafasnya berembus pelan dan beraturan. Tampak pulas sekali tidur sang nyonya. Ia memutuskan untuk mandi, baru membangunkan Salma setelahnya.

"Salma, bangun, Sal. Udah mau maghrib." Ditepuknya pipi Salma dengan lembut. Salma membuka mata dan mengerjap-kerjapkannya. Bahagia sekali melihat sosok ganteng dan segar di hadapan.

"Mas ganteng banget. Seger banget. Wangi banget." Tangan Salma bergerak menyusuri pipi suaminya, lalu membelai rambut basah yang tergerai rapi.

Biasanya semua Salma yang mengurus. Dari Andro datang, dia yang menaruh tas, kaus kaki, dan sebagainya. Lalu urusan mandi, Salma lagi yang memenuhi semua kebutuhan sang suami. Tapi kali ini, dia tidur sudah dari jam empat tadi, sampai tak menyadari Andro sudah pulang, bahkan sudah ganteng dan wangi.

"Boleh cium?" Andro masih suka bertanya semacam ini. Saat dia ingin, tapi keadaan Salma sedang tidak perform. Bangun tidur misalnya. Dia tak mau Salma merasa tidak nyaman karena sentuhannya.

Salma mengangguk. Tak menunda lagi, diciumnya kedua pipi Salma, lalu memeluknya erat. "Aku sayang kamu, Sal. Aku beruntung banget punya kamu. Maafkan aku, ya," ujar Andro di sela pelukannya.

Ini membuat Salma justru curiga. Habis ketemu dengan Zulfa, tiba-tiba bilang begini. "Mas tadi bicara apa sama teman-temannya Mas?"

"Nggak bicara macam-macam, beneran cuma bahas yang tadi aku sampaikan ke kamu."

"Mas Wahyudi sama Mbak Asya ada?" Andro tak menjawab, dia beranjak mengambil handphone, menunjukkan fotonya bersama ketiga teman baiknya. Salma melihat sekilas, merasa cukup dengan itu saja.

"Udah mandi, Sal?" Yang ditanya mengangguk.

"Cuci muka, terus wudhu, yuk. Kita salat berjamaah di rumah aja." Salma mengangguk lagi, tapi masih betah duduk di atas tempat tidur.

"Kamu tahu nggak, Sal? Kamu mirip sama artis cantik yang pintar dan multitalenta itu lho." Apakah Andro sedang melancarkan rayuan?

"Siapa?"

"Maudy."

"Maudy Ayunda? Kok bisa?"

"Kalau dia mau diayun nda? Kalau kamu, mau digendong nda?"

Salma terpingkal-pingkal. Suaminya memang jarang merayu, tapi sekalinya merayu, selalu bikin mikir, sekaligus bikin happy.

Tak minta persetujuan lagi, Andro menggendong Salma ke kamar mandi. Menunggu di depan pintu sampai Salmanya selesai berwudhu.

"Gendong lagi, nggak?" Salma menggeleng.

Mereka melaksanakan tiga rakaat berjamaah. Andro sudah percaya diri memilih surat-surat dari juz 29. Setelahnya melaksanakan dua rakaat masing-masing. Lalu Salma menyimak Andro memuroja'ah hafalannya.

Andro bahagia, betapa idealnya keluarga kecil mereka, meski belum bisa seperti itu setiap hari. Urusan dunia, terutama perkuliahan, masih lebih banyak menyita waktunya. Walau begitu dia bersyukur, ada Salma yang tak pernah lalai pada urusan ibadah. Dan Salma juga selalu sempat untuk mendoakan kebaikan baginya.

Keduanya kembali berjamaah di salat isya. Usai berdzikir dan berdoa, Andro mengambil tangan Salma. "Terima kasih banyak ya, Sal. Kehadiranmu bikin hidupku jadi jauh lebih bermakna. Aku udah nggak tahu lagi mesti gimana ngungkapinnya. Cuma berharap, maafmu akan selalu tersedia untukku. Untuk semua kekuranganku. I love you."

Salma melipat mukena, juga sarung dan kemeja suaminya. Sesudahnya keluar bersama. Sesuai kesepakatan siang tadi, mereka hendak makan malam di halaman belakang. Tapi Salma berubah pikiran.

"Kalau Mas belum lapar, kita nggak usah sambil makan. Sal pengen ngobrol aja, mau dengerin cerita Mas di kampus tadi." Andro mengiyakan. Mengambil karpet dan menghamparkan di atas rerumputan. Satu cushion besar ia taruh sebagai alas untuk kepala mereka.

Keduanya berbaring menatap langit malam. Taburan bintang yang tak begitu banyak meramaikan penglihatan.

"Kamu bisa lihat Andromeda nggak, Sal?" Andro membuka percakapan.

"Memangnya bisa dilihat gitu aja?"

"Bisa lah."

"Gimana caranya? Di sebelah mana letaknya?"

"Letaknya di sebelah kananmu. Kamu cuma tinggal menoleh aja ke arahku."

Salma terkekeh. Dihadapkan tubuhnya pada sang suami, lalu melingkarkan tangannya pada perut Andro yang rata.

"Mas tadi bicara apa sama mbaknya? Beneran jadi direkam?"

"Nggak, Sal. Aku minta maaf, karena aku juga memilih untuk nggak menceritakan detailnya. Yang jelas semuanya sudah clear, insya Allah. Itu bukan tentang aku sama dia, juga bukan tentang kita sama dia. Itu tentang dia sama Pak Iqbal. Kamu nggak perlu kuatir aku bicara yang macam-macam sama dia. Ada Asya, ada Yudi. Pembicaraan kami benar-benar cuma seperlunya, sama sekali nggak ada yang pribadi. Kamu percaya sama aku kan, Sal?" Salma menjawab dengan hemm saja.

"Nggak marah kan, Sal?"

"Nggak. Sal percaya sama Mas. Sal juga belum tentu sanggup kalau harus mendengar detail pembicaraan Mas tadi. Pokoknya Sal percaya sama Mas, kalau Mas menyalahgunakan kepercayaan Sal, itu urusan Mas sama Allah." Kalau sudah begini, Andro keder sendiri. Bagaimana tidak? Yang selalu diandalkan istrinya adalah Sang Pencipta.

"Iya, Sal. Insya Allah aku akan memanfaatkan kepercayaanmu dengan sebaik-baiknya." Dibawanya jemari Salma ke dada. Merasai detak jantungnya yang tenang setiap kali berdekatan dengan sang istri tercinta.

"Oh iya, ada salam dari Asya. Kapan-kapan pengen kenalan sama kamu, katanya." Salma mengungkapkan kesediaannya, lantas meminta Andro untuk menceritakan tentang Asya.

Andro tak keberatan. Diceritakannya banyak hal tentang Asya, perempuan tangguh yang sayangnya tak pernah membuat hatinya jatuh cinta. Salma jatuh simpati, merasa kagum pada Asya, seperti halnya Asya kagum padanya setelah mendengar cerita Andro siang tadi.

"Mbak Asya istimewa, ya." Begitu kesimpulan Salma.

"Kayaknya kalau Mas dulu jatuh cintanya sama Mbak Asya, Sal nggak akan cemburu deh."

"Bener?"

"He-em."

"Kenapa?"

"Ya karena Mbak Asya istimewa."

"Maksud kamu, Zulfa nggak istimewa?"

"Tuh, kan. Mas ngebelain dia lagi. Sal nggak pernah bilang begitu. Apa kalau Sal bilang Mbak Asya istimewa, berarti dia nggak istimewa? Lagian, kenapa memangnya kalau menurut Sal dia nggak istimewa? Mas nggak terima? Ya udah, terserah, Mas. Baru juga janji yang baik-baik, sedetik kemudian lupa. Semua cuma gara-gara Zulfa. Dia dia diaaa terus. Sal capek!"

Salma bangkit, bersiap meninggalkan Andro yang dengan sigap menarik tangannya.

"Kan kamu yang mulai berandai-andai soal masa lalu, Sal."

"Tapi Mas yang ngungkit-ungkit teman Mas yang satu itu." Ditepiskannya tangan Andro dengan kasar.

"Malam ini Mas tidur di luar!"

***

Udah panjang-panjang baca, ujung-ujungnya Mas Andro suruh tidur di luar. Hihi...

Jangan kezel sama aku yaaa, teman-teman.

Jangan kezel juga kalau obrolan Andro sama Zulfa agak nggak jelas fokusnya. Ini ada di kepalaku dari lama, tapi pas harus menuangkannya dalam bentuk tulisan, kok aku agak nggrambyang. Hehe... Mungkin karena kondisiku yg masih terpecah-pecah fokusnya. Pokoknya gitu lah ya.

Teman-teman yang seumuran atau pernah muda di zaman yg sama dg aku, ada yg ingat Five Minutes nggak?

Zaman SMA dulu aku pernah sekolah setahun di Pekalongan, terus karena bapakku pindah dinas, aku ikut pindah. Tapi pas udah pindah, kalau ada lagu Five Minutes, aku selalu ingat sama kakak kelasku (cowok) yg pernah nulis cerpen di majalah sekolah. Judul cerpennya Salam Terakhir, terinspirasi dari lagunya Five Minutes yg berjudul sama (kata dia sih begitu).

Mungkin karena dia satu-satunya kakak kelas cowok yang masih surat-suratan sama aku sampai aku lulus SMA. Mana nyangka kalau kakak kelasku itu sekarang jadi bapaknya anak-anakku. Hahaha....

Terima kasih banyak masih selalu menyimak ceritanya Andro-Salma sampai sejauh ini. Jangan bosan-bosan yaaa.

Eh iya, jangan lupa ikut baca dan dukung ceritaku yg kuikutkan event lomba menulis di KBM App. Judulnya Bin Fulanah. Nama akunku: fitrieamaliya. Thank you :)

Ya udah, gitu dulu aja.

See you :)

Semarang, 28062021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro