3. Obrolan
Kau ingin 'ku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu, jauhkan godaan
Yang mungkin kulakukan
Dalam waktuku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu, jatuh, dan terinjak
(Ada Band - Yang Terbaik Bagimu)
***
"Ndro, bangun, Boy. Udah mau subuh nih. Ayolah, sekali-sekali jamaah ke masjid."
Andro membuka mata dengan berat. Biasanya suara mama yang membangunkan, disusul kecupan hangat pada keningnya. Tapi kali ini beda. Ia melihat papanya, yang sudah ganteng dan gagah dengan sarung, baju koko, dan kopiah. Wajahnya pun terlihat begitu cerah. Kontras sekali dengan dirinya yang masih bergelung malas di balik selimut, hanya boxer saja yang melekat di badannya.
Ditengoknya jam dinding dengan malas. 04.10. Ia bahkan baru tidur selama tiga jam setelah acara kakaknya semalam.
"Kamu nggak kedinginan apa gimana sih? Dari bayi sampai sekarang kalau tidur kok mesti kayak Tarzan. Mana AC-nya pol begini."
"Nggak gitu juga kali, Pa. Kalau pas ada temen yang numpang tidur di kost juga Andro pakai baju kok."
"Berarti harus ada yang nemenin tidur, gitu? Papa cariin mantu, gimana?"
"Papa ngelindur? Tidur lagi aja sana, gih." Papanya tertawa.
Andro kesal. Baru juga melek, sudah disambut obrolan macam begini. Ia langsung bangkit, mendorong papanya untuk keluar.
"Oke, papa keluar. Papa tunggu di ruang tamu ya. Kita ke masjid bareng."
"Andro mau subuhan di ru--- Eh, oke deh, Pa. Andro siap-siap dulu."
Hampir menuruti rasa malas, tapi niatnya semalam mendadak melintas. Niat untuk mulai rajin ke masjid, supaya terhindar dari menjadi imam, dengan makmum penghafal Al Qur'an.
Dih, apaan sih, kok jadi ke Salma lagi?
Secepat kilat ia bersiap. Mencuci muka, menggosok gigi, mengenakan outfit yang pantas untuk ke masjid. Setidaknya menurut dirinya sendiri.
Andro menepuk pundak papanya, yang sedang menunggu sambil membaca mushaf. Sungguh, Andro jadi malu melihat perubahan pria yang sejak kecil menjadi idolanya.
Papa memandang si anak bungsu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Joger pants di atas mata kaki, kaos oblong hitam yang hanya terlihat bagian lengan sebab ditutup oleh rompi salat warna abu-abu muda, rambutnya sudah licin dan diikat rapi. Ditambah aroma maskulin yang menguar segar.
"Ganteng amat, Boy. Mau langsung dilamarin anak gadis orang apa gimana?"
"Rese amat, Sir. Emang anak gadis orang nggak butuh dinafkahin apa gimana?" Papanya tertawa.
"Yuk lah, berangkat. Kita bahas nanti setelah salat subuh."
Kunci mobil Rea diserahkan padanya, sedangkan sang papa membukakan pagar. Mini Cooper warna silver meluncur menuju masjid, diiringi alunan murotal surat 'Abasa.
Andro menikmati subuh pertamanya di masjid. Pertama sejak ia berada di rumah. Detik itu juga dia menyesal, tak sedari dulu rajin berjamaah di rumah ibadah. Salatnya memang tak pernah bolong, hanya saja sering tak tepat waktu, apalagi kok dilakukan di masjid.
"Nggak apa-apa merasa terlambat. Bersyukur masih Allah kasih kesempatan untuk bisa merasakan nikmatnya iman dengan merasakan kenikmatan beribadah di masjid." Dari balik kemudi, papanya membesarkan hati. Seperti tahu apa yang sedang dirasakan sang penerus nasab.
"Maafkan papa dan mama ya, Ndro." Sambungnya lagi.
"Kenapa memangnya, Pa?"
"Karena nggak sedari kecil mengajari kalian tentang agama, tentang keimanan."
"Nggak apa-apa, Pa. Semua Allah yang rencanain. Alhamdulillah, masih dapat hikmah dan hidayah sebelum badan masuk ke tanah." Bisa-bisanya dia menjawab dengan bijak.
"Masya Allah. Anak papa wise betul. Udah cocok lah bersanding sama ustadzah."
"Hemm. Mulai deh."
Papanya terkikik. Membelokkan mobil bukan ke arah rumah.
"Kita mau ke mana nih, Bos?" tanya Andro. Ia ingat betul, papanya tak mengatakan apa-apa saat meminta kunci mobil darinya.
"Makan pecel Madiun, terus ke lapangan."
"Dih, kok nggak bilang-bilang sih, Pa. Andro nggak bawa sepatu dan lain-lain."
"Udah papa siapin, tenang aja."
Mau tak mau ia menurut saja. Makan pecel Madiun langganan keluarganya sembari berbincang topik ringan. Kuliah, pekerjaan papanya, Surabaya, juga sepak bola. Setelah tak lagi merasa terlalu kenyang, bapak dan anak itu meluncur ke lapangan. Papanya sudah reservasi untuk 9 hole saja.
Baru beberapa langkah, bahkan stick pun belum diayun, papanya sudah memberi mukadimah. Menceritakan masa mudanya, saat awal menjalani kehidupan pernikahan dengan mamanya.
Kedua orang tua Andro memang berasal dari keluarga berada, walau begitu, papanya memulai usaha dari nol. Kalaupun ada sejarah berhutang, ya itu soft loan dari eyang-eyangnya Andro dan Rea, bukan dari institusi seperti bank dan semacamnya. Jadi tak bisa juga dianggap mulai dari minus.
Antariksa Sisiutara, begitu nama papanya. Menikah dengan Utami Wulandari saat keduanya masih sama-sama duduk di tingkat akhir. Satu belajar di teknik sipil, satu lagi di jurusan manajemen. Sepakat untuk tak langsung memiliki keturunan, sebab sama-sama idealis. Inginnya mapan dulu tanpa campur tangan orang tua, meski pada akhirnya tetap saja bantuan mengalir, hanya judulnya saja yang berbeda. Pinjaman lunak, selunak duri bandeng presto. Kembali ya Alhamdulillah, nggak kembali ya sudahlah.
"Memang menafkahi itu tugas suami, Ndro, tapi ya nggak lantas harus menutup diri. Rizki itu sudah Allah tentukan jatahnya, datang dari arah mana saja, bahkan kadang dari arah yang nggak kita duga. Pemikiran dan kekhawatiranmu tentang bagaimana menafkahi sedangkan kondisimu masih seperti ini, itu sudah menunjukkan bahwa kamu memiliki niat baik soal tanggung jawab mengenai nafkah untuk istrimu, untuk keluargamu. Tapi jangan lantas menutup keberanianmu untuk melangkah ke arah sana.
"Allah menitipkan banyak pada papa dan mama, salah satunya adalah rizki untuk kalian. Kamu dan Rea. Kami masih mampu membiayai kehidupan keluarga kalian. Tapi kami juga akan berbahagia, ketika kalian menolak itu semua. Bahagia, karena itu berarti kalian anak-anak yang punya kemauan untuk mandiri. Nggak cuma mengandalkan kepemilikan orang tua.
"Cuma ya, Ndro, sama seperti rizki, pasangan hidup itu juga salah satu yang kadang datangnya nggak diduga-duga dari mana arahnya. Allah sudah menentukan siapa jodoh kita, tentu lengkap dengan jatah rizki untuk kita. Nggak perlu khawatir, karena sedikit saja kekhawatiran akan masa depan, itu sama dengan kamu meragukan bahwa Allah Maha Kaya.
"Ikhtiarmu yang paling utama. Kalaupun kamu menikah muda, apa ya papa mama akan diam saja, nggak ngajarin kamu bagaimana nyari duit buat menafkahi keluargamu? Nggak, Ndro. Apalagi kamu anak laki-laki. Ada tanggung jawab besar di pundakmu."
"Wih, Papa memang juara. Baru dapat hidayah berapa bulan, langsung bisa nasehatin Andro segini dalemnya."
Papanya menggeleng. Antara mau marah tapi lebih ingin tertawa. Dasar bocah! Papanya sudah serius-serius, malah begitu responnya.
"Iyalah. Kamu kira otak encermu dapat dari mana kalau bukan dari papa?" Andro tertawa, dalam hati ia menyetujui ucapan papanya.
Antariksa berhenti sejenak, mengambil ancang-ancang untuk memukul bola. Andro melihat sambil tersenyum, rasanya masih sama seperti pertama kali ia melihat papanya mengayun club. Takjub.
"So, how about getting married young, Son? (Jadi, bagaimana dengan menikah muda, Nak?)" Pertanyaan terlontar. Datar. Kedua pasang netra tak beralih dari bola yang baru saja dipukul hingga terlempar.
"Wait.... We never discussed this before, Pa. (Tunggu, kita nggak pernah diskusi tentang ini sebelumnya, Pa)"
"Kami semua sudah sering menggiring kamu ke arah sana lho. Jangan bilang kamu nggak paham."
"You mean..., S-Salma? (Maksudnya, S-Salma?)"
"Hemm."
"Astaghfirullah," gumam Andro. Diembusnya napas kasar.
"Nggak, Pa. Salma terlalu perfect buat Andro. Nanti harusnya suami yang bimbing istri, ini malah kebalik dong."
"Nggak gitu konsepnya, Boy. Pemimpin itu memimpin, tapi bukan berarti dia nggak boleh belajar dari yang dia pimpin. Pengikut itu sami'na wa atho'na sama pemimpin, tapi bukan berarti dia nggak boleh membagi pengetahuannya pada yang memimpin. Karena yang namanya pemimpin, bukan berarti dia harus menguasai segala sesuatu. Tapi lebih ke bagaimana dia bisa memenej dan mengoordinasikan berbagai kemampuan, termasuk kemampuan yang dikuasai oleh orang yang dia pimpin.
"Begitupun dalam pernikahan. Kalaupun laki-laki sebagai pemimpin, bukan berarti dia yang lebih tahu dan lebih pintar dalam segala hal. Ada kalanya Ustadzah Salma lebih pintar dalam satu hal, kamu bisa belajar banyak dari dia. Begitupun sebaliknya. Yang penting kamu sebagai pemimpin bisa memenej, bagaimana caranya agar kemampuan yang dimiliki Ustadzah Salma nggak membuatnya jadi ngelunjak di depan kamu sebagai suaminya. Tapi papa yakin sih, Ustadzah Salma nggak begitu."
"Pa, ini kenapa langsung sebut Andro dan Salma? Jangan ngawur deh."
"Nggak ngawur, memang sengaja. Biar langsung ada geregetnya gitu." Papanya terbahak.
"Ini kalau bukan sama orang tua, udah Andro timpuk pakai bola deh, Pa." Andro merasa sebal. Lagi-lagi malah ditertawakan oleh papanya. Huh.
"Emm, sebenernya bukan apa-apa sih, Pa. Jujur, Andro bilang Salma cantik, baik, dan banyak kelebihan lainnya. Jauh lebih segalanya dari si itu. Tapi matanya..., selalu mengingatkan Andro sama seseorang yang pernah Andro sayang, Pa."
"Katanya kemarin kalau diizinin ke Semarang terus udah. Ini kenapa masih mempengaruhi hidup kamu, sih? Senang amat dia. Udah happy-happy, masih ada aja yang mau mikirin sampai sebegitunya. Dapat apa kamu, Boy? Kurang apa Ustadzah Salma?"
"Nggak tahu lah, Pa. Emm, Andro cuma nggak mau jadiin Salma pelarian. Salma terlalu baik untuk itu. Lagian, Andro belum siap nikah, Pa. Masih kuliah. Tahu sendiri kan anak sipil tugasnya kayak apa."
"Jadi yang bikin kamu nggak siap tuh soal nafkah, soal kuliah, apa soal seseorang yang udah bahagia dengan orang lain?"
"Soal kuis, Pa." Andro ngakak.
"Ya gimana sih, Pa. Orang mau nyuruh anaknya nikah pakainya kode-kodean sama becanda. Yang bener aja deh. Nikah kan sesuatu yang serius, Pa. Sakral. Suci. Sekali seumur hidup. Kecuali khilaf kayak bapak-bapak yang itu tuh," canda Andro. Dagunya menunjuk pada pria tinggi besar di sebelahnya. Kaki Antariksa refleks maju, anaknya memang minta di-sleeding.
"Soal itu insya Allah kami paham, Ndro. Tapi seperti biasa, mamamu kalau mau bicara sesuatu yang khusus ke kalian berdua memang lebih suka masuk dari jalur yang asyik-asyik dan lucu-lucu. Nggak langsung serius. Kalau respon kalian bagus, barulah kita tingkatkan pembicaraan ke arah yang lebih serius. Lebih fokus.
"So, siap bicara serius tentang Ustadzah Salma?"
Andro memalingkan wajah. Mencoba menyembunyikan bulan sabit yang menggaris di sana. Macam hilal jodoh sudah tiba saja.
Antariksa masih bicara panjang lebar lagi setelahnya. Sebagai anak Andro hanya bisa pasrah, menjadi caddy sekaligus pendengar yang berbudi. Anggaplah bagian dari birrul walidain. Ia hanya berharap pahala yang melimpah ruah dari jalur menyenangkan orang tua.
Dipandangi papanya dengan saksama. Ia tak pernah bisa menyembunyikan kekagumannya pada pria yang selalu mencintainya tanpa syarat, bahkan sejak sebelum ia terlahir ke dunia. Ia tahu, pernah begitu kecewa pada seseorang yang tak pernah bergeser dari posisi idola di hatinya, tapi papanya sudah membayar semuanya, menerima balasan atas perbuatannya. Dan selama itu pula, ia tak pernah sekejap pun kehilangan kasih sayang dan perhatian, hanya dia sendiri yang memilih menjauh karena kekecewaan yang teramat dalam.
Ia masih remaja, masih belum banyak tahu tentang bagaimana menghadapi rumitnya masalah yang harus ia temui di dunia yang luas ini. Ia menutup diri, dari pergaulan di luar sana, dari keluarganya. Dunia kampuslah yang sedikit banyak mengubah dirinya, mengubah pemikirannya, juga pergaulannya. Jauh dari rumah, dari keluarga, membuatnya belajar menjadi manusia dewasa.
Dua tahun, dan ia hanya pulang dua kali. Ia bersyukur, kepulangannya yang kedua ini, yang ia lakukan sebab patah hati, memberikan hikmah tersendiri. Pelajaran berharga, yang mengikat kembali hatinya pada keluarganya. Pada mamanya, papanya, juga kakak satu-satunya.
Andro tak ingin menukarnya dengan apapun juga. Keluarganya adalah segalanya. Apalagi mereka semua sudah menempuh jalan yang lebih baik dari sebelumnya. Jalan yang segala sesuatunya didasarkan pada ajaran Allah dan Rasul-Nya.
"Pa," panggilnya.
"Ya?" Antariksa menghentikan kegiatannya. Menatap anaknya yang sejak tadi terdiam cukup lama.
"Andro sayang Papa."
"Ya sudah seharusnya begitu lah." Ganti tak serius.
"Andro nggak bercanda, Pa. Andro serius. Andro minta maaf untuk empat tahun yang sudah terlewat begitu saja."
Antariksa mendekat pada Andromeda. Menyentuh pundak anak muda itu. Mata mereka saling beradu.
"Alhamdulillah. Papa yang minta maaf, Nak. Semua karena kesalahan papa. Papa senang, kalian semua tetap mau menerima, seperti apapun keadaan dan kesalahan Papa."
Di lapangan hijau nan luas, dua lelaki beda generasi saling berpelukan erat.
"Andro sayang sama Papa." Begitu ujarnya, setelah pelukan saling terlepas.
"Papa juga sayang sama kamu. Sama Rea. Sama Mama."
"Andro juga. Andro juga sayang mama. Sayang Mbak Rea."
"Sama Ustadzah Salma?"
"Papaaa!"
***
Aku tidak akan membiarkan kalian terharu terus mewek. Hahaha...
*ketawa jahat
Ini lagunya ya.
Salah satu lagu favorit ttg ayah. Satu lagi lagunya Cat Stevens - Father and Son (pernah dibawain ulang sama Boyzone). Sebenernya lagu kedua lebih pas sih, karena Andro kan son ya. Tapi yg ini soulnya lebih dapet, setidaknya di aku. Hehe...
Ssstt, sampai sekarang kl denger lagu ini aku masih suka nangis lho. Karena seperti anggapan kebanyakan, bahwa anak perempuan lebih dekat sama bapaknya. Aku pun begitu.
'Cause how old i am, i'll always be the daddy's little girl.
Oke deh, semoga terhibur dg ceritanya Andro yaaa. Maafkan utk segala kesalahan dan kekurangan. Terima kasih sudah membaca, mendukung, dan mengapresiasi karyaku.
Dan oh ya, hari ini hari terakhir aku isolasi mandiri. Teman-teman selalu jaga kesehatan yaaa. Kita saling mendoakan.
See you and i love you all :)
Semarang, 29032021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro