Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Kepulangan

I will never leave you
I will stay here with you
Through the good and bad
I will stand true
I'm in love with you
(Regine Velasquez & Jacky Cheung - In Love With You)

***

Sepanjang perjalanan Semarang hingga Surabaya, Salma melewatkannya dengan lebih banyak diam. Untung saja mama dan papa tak suka kepo. Keduanya sudah sangat memahami dinamika kehidupan rumah tangga, apalagi yang menjalani dua manusia yang masih sangat belia.
Papa mengemudi sendiri, tak bersedia diganti oleh mama, apalagi oleh Andro yang baru saja sembuh dari sakitnya. Menjelang sore mereka tiba di Surabaya. Entah kenapa Salma merasa begitu bahagia, seperti bertemu sesuatu yang telah sekian lama dirindukannya.

Salma baru usai mandi ketika Andro menyambutnya di depan pintu dan mencekal tangan Salma. "Sal, masih belum mau maafin aku, kah?" Salma diam saja. Andro meremas rambutnya, rasanya ingin sekali dia berputus asa.

"Pengen ke panti, nggak? Kalau pengen nanti kuantar," tawar Andro, kali ini dengan keyakinan penuh akan mendapat jawaban.

"Pengen banget. Saya terima kasih sekali kalau Mas mau ngantar. Ini kamar udah saya beresin, Mas bisa tidur di sini, saya biar tidur di panti."

"Sal, kamu nih ngomong apa, sih?" Andro menarik napas panjang, melepasnya dengan kasar.

"Jangan berlarut-larut begini lah, Sal. Aku udah minta maaf berkali-kali. Kamu juga tahu pasti kalau cuma kamu yang aku sayangi, yang aku cintai. Terus apa lagi? Apa lagi yang bikin kamu masih marah kayak begini? Please lah, Sal, jangan kekanakan. Ini sengaja aku bilang begini, karena marahmu udah mulai mengganggu, Sal. Bahkan di depan mama papa juga kamu nggak berusaha nyembunyiin itu. Kamu kenapa, sih, Sal?

"Kejadian kemarin juga bukan keinginanku. Mau diapa-apain juga udah nggak bisa, orang udah terjadi. Tapi kan kita bisa bicarain baik-baik. Diem-dieman gini nggak akan ada solusi, Sal. Yang bisa kulakukan berkaitan dengan kejadian kemarin ya cuma minta maaf." Salma masih diam, cuma bahunya yang naik turun. Dia menangis lagi.

"Ayolah, Sal. Come on. Nangis juga nggak menyelesaikan masalah. Kecuali kamu nangis di pelukanku, yang kenceng sekalian nangisnya, keluarin semua yang bikin kamu kesel sama aku. Marah boleh, misuh-misuh boleh, mukulin aku, apapun itu. Tapi habis itu udah, selesai. Kita duduk bareng. Kalau ada yang perlu dibicarain, ya udah kita bahas, kalau nggak ada lagi, ya udah selesai, kita baikan lagi.

"Kalau harus menurunkan standar hidup, insya Allah aku masih sanggup. Tapi kalau kamu diemin aku sampai lama begini, aku nyerah, deh. Terserah kamu aja maunya gimana."

"S-Sal mau ke panti." Perkataan Andro tadi membuat Salma makin ciut hati. Tapi sebutan Sal yang telah kembali, membuat Andro lega setengah mati, meski dia masih menjaga wibawa dengan tak langsung menunjukkan kegembiraannya.

"Aku antar nanti habis maghrib, tapi kamu tetap harus pulang sama aku ke sini." Salma cuma mengangguk, sesekali isaknya masih terdengar.

"Mau nangis sambil kupeluk?" Salma tak menjawab, cuma membenamkan wajahnya ke pelukan Andro. Menangis keras di sana, sampai bagian depan kaus Andro basah semua. Andro mendekap erat perempuannya, menciumi rambutnya, menghujani dengan banyak permintaan maaf dan ungkapan sayang.

Hampir setengah jam, sampai Andro harus menggendong Salma ke tempat tidur. Kakinya pegal, sedangkan Salma seperti tak mau melepas pelukan barang sebentar. Adzan maghrib berkumandang, pelukan akhirnya terlepas, bersama tangis Salma yang berhenti sepenuhnya.

"Kamu maunya aku salat maghrib di rumah apa di masjid, Sal?" Tentu saja masjid menjadi pilihan Salma.

"Kamu mau salat sama mama apa sendiri aja?" Salma memilih salat sendiri di kamar mereka.

"Ya udah, nanti kukasih tahu mama. Habis maghrib pengen apa? Makan di luar, mau?" tawar Andro. Salma menggeleng.

"Jadi mau ke panti?" Salma menggeleng lagi. Memilih untuk menunda ke sana sampai esok hari.

"Jalan-jalan?"

"Ke mana?" Kali ini Salma bersuara. Sepertinya tawaran yang ini agak menarik baginya.

"Kamu pengennya ke mana? Atau mau muter-muter aja? Nggak harus ada tujuannya, Sal, pokoknya jalan aja nggak pa-pa." Salma menyetujui. Sesungguhnya yang dia inginkan cuma berduaan dengan Andro. Itu saja.

Sesudah isya mereka baru keluar dari rumah. Salma masih banyak diam, tapi hatinya sudah jauh lebih lega. Untuk saat ini, pelukan Andro memang menjadi tempat ternyaman untuk meluapkan emosinya.

"Pulang ke Semarang belajar nyetir ya, Sal." Andro membuka obrolan dengan topik yang ringan. Salma mengiyakan saja.

"Aku udah boleh tanya-tanya atau ngebahas soal yang kemarin lagi, nggak?" tanya Andro hati-hati.

"Memangnya Mas mau tanya soal apa? Kan udah jelas Sal marah karena apa. Dan Sal cuma butuh menyendiri sementara, sampai Sal ngerasa lega."

Tapi Andro merasa belum paham betul apa yang membuat Salma marah. Setengah ngeyel dia ingin Salma menjelaskan dengan lebih detail tentang bagaimana perasaannya dan apa yang membuat perasaan Salma tidak baik-baik saja. Alasannya agar dia lebih berhati-hati mengambil sikap terhadap Salma, sehingga kejadian seperti kemarin tidak akan terulang lagi.

Salma menjelaskan dengan singkat, padat, jelas. Yang paling membuatnya sakit hati adalah tahu kalau Andro hampir salah menyebut namanya saat akad nikah. Yang kedua karena Andro terlihat sangat memahami Zulfa, itu membuat Salma merasa dia bukan siapa-siapa.

Lalu Salma menyebutkan pula apa yang membuatnya kecewa, yaitu karena Andro membela Zulfa, sedangkan pada Salma malah terkesan menyudutkan.

"Yang istrinya Mas kan Sal, bukan temannya Mas itu." Bahkan menyebut namanya saja Salma enggan.

Andro tersenyum, meraih tangan Salma dan menggenggamnya erat. Matanya melirik Salma dengan sorot penuh cinta.

Salma melanjutkan, bahwa yang membuatnya kesal adalah sikap Zulfa yang seakan masih menganggap dirinya sebagai orang terdekat Andro, apalagi itu dilakukannya di depan Salma, yang sudah Zulfa tahu statusnya sebagai istri Andro. Lagipula Zulfa sendiri sudah menjadi seorang istri, datang bersama suaminya pula, masa iya nggak ada sungkan sama sekali.

"Menurut Sal, dia tuh udah bukan polos atau lugu lagi, tapi lebih ke beg---" Salma menghentikan kalimatnya tiba-tiba. Tak sampai hati mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Dia melirik suaminya dengan ragu, tak siap seandainya menemukan kesan tidak rela pada mata Angkasa Andromeda. Tapi tidak, Andro malah tertawa.

"Bego?" Andro mencubit hidung Salma, dia terkekeh lagi.

"Aku cerita boleh, ya?" Salma mengangguk.

"Aku pas awal-awal kenal dia juga kesel, Sal. Udah cengeng, lola banget, ck..., apa sih, emm..., lemah gitu. Apalagi aku kan nggak pernah dekat sama anak cewek. Qodarullah kok aku kudu berurusan lagi soal ospek-ospek gitu sama dia. Memang default mukanya tuh gitu. Apa dikit langsung kelihatan memelas, tapi nggak dibuat-buat, memang gitu. Anaknya baik kok, tulus, mungkin karena saking lugunya ya."

Andro terus bercerita, tentang pertemuan pertamanya, sampai mereka dekat. Warga kampus yang melihat juga pasti heran, karena Andro sabar sekali menghadapi Zulfa. Menjelaskan saat dia nggak juga paham tentang materi perkuliahan, diomelin ketika Zulfa lagi kesal karena suatu hal, dan banyak lagi, semua selalu Andro lakukan dengan sabar. Sekalipun hampir tak pernah ada kesempatan berduaan atau semacamnya, Andro tetap ikhlas. Dia memang suka dan sayang, jatuh cinta malah, tapi tak pernah mencari kesempatan dalam kesempitan. Sekalinya modus --itupun sebenarnya Wahyudi yang memulai-- ketahuan Iqbal Sya'bani. Eh, Zulfanya sudah mau menikah pula.

Sesekali Andro tertawa saat bercerita, ada nada gembira dalam setiap kalimatnya. Salma tahu itu. Dia diam saja, memberi kesempatan Andro untuk menyelesaikan bicara. Mungkin akan ada satu bagian yang membuatnya bisa mengerti dan memaafkan. Bukankah hikmah selalu datang setelah kesabaran?

Andro bukannya tak tahu kalau hati Salma kembali tak baik-baik saja. Gadis cantik itu terlihat berkali menghela napas panjang, matanya menerawang, mendengarkan cerita Andro sambil menatap jauh ke depan. Tapi Andro tak lantas menghentikan ceritanya. Dia ingin Salma tahu alasannya sampai pernah memiliki perasaan sedalam itu pada Zulfa.

"Sal." Diraihnya jemari sang istri, mengecupnya sekali, dan tak dilepaskan lagi.

"Kamu kemarin dengar candaan temanku?" Salma menoleh, matanya seakan bertanya, yang mana?

"Yang alasan aku jomlo. Kalau bukan karena soleh, ya berarti hom*, itu." Salma mengangguk.

"Sejak kejadian papa, aku tuh nggak suka sama perempuan, Sal. Selain mama, di mataku semua perempuan itu punya potensi sebagai penggoda. Bahkan Mbak Rea, karena dia dulu penampilannya mengerikan. Kalau pakai baju selalu yang seksi-seksi, gitu. Mengundang lah. Nggak tahu deh, Mas Dimas kok mau, ya? Padahal tahu lho Mbak Rea dulunya kayak apa."

"Mas, nggak usah salah fokus, kok malah ghibahin Mbak, sih." Andro tertawa kecil, membenarkan ucapan Salma, lalu mengecup sekilas pada pipi mulusnya.

"Sampai lulus SMA, bahkan mulai ngampus, aku masih nggak tertarik sama perempuan. Aku sampai kuatir karena kadang muncul pertanyaan dalam diriku sendiri, jangan-jangan aku disorientasi nih. Ih, tapi amit-amit, deh. Aku sampai baca-baca dan cari referensi soal itu. Akhirnya aku coba cek diriku sendiri dengan ngeliatin cowok-cowok, gitu. Tapi aku tetap nggak tertarik kok, yang ada malah aku risih sendiri. Jijik." Andro mengangkat bahunya, wajahnya menunjukkan ekspresi yang lucu.

"Lega banget aku waktu itu. Berarti aku normal. Alhamdulillah." Salma melirik suaminya, berusaha menahan senyum. Ada rasa geli sekaligus kasihan, tapi juga bersyukur karena Andro bisa melalui masalahnya dengan baik-baik saja.

"Sampai akhirnya aku ketemu dan dekat sama dia. Itu untuk pertama kalinya aku merasa ada yang berbeda ketika berhadapan dengan anak cewek, Sal. Waktu kejadian papa kan aku masih SMP, dan aku nggak pernah yang pacar-pacaran. Main bareng iya, gebet-gebet iya, tapi ketertarikan yang sampai bikin hatiku gimana gitu, nggak pernah. Terus ada kejadian papa itu, aku langsung blas, nggak suka sama perempuan.

"Perempuan pertama yang dekat sama aku sejak kejadian papa adalah Asya. Itu juga karena anaknya cuek, nggak kayak perempuan pada umumnya. Kondisi hidupnya yang sulit, anak pertama, yatim, ekonomi pas-pasan, menuntut dia untuk fokus cuma di kuliah dan cari duit. Anaknya tegas, nggak bertele-tele, dan pintar luar biasa. Kami nyambung bahas materi kuliah. Kami juga nyambung karena kalau bicara langsung thas thes pada permasalahannya. Tapi tetap saja, dia nggak menarik secara hati.

"Nah, waktu aku kenal sama si itu, karena dia orangnya menjaga jarak sama lawan jenis, jadi kukenalin lah ke Asya, biar lebih nyaman kalau minta bantuan apa-apa, terutama diajarin soal materi kuliah. Terus mereka jadi sahabatan. Tapi karena Asya sibuk kerja, tetep aja kalau ada apa-apa dia lebih sering ke aku. Sekarang malah Asya jadi kakak iparnya, dan---"

"Mas kenapa fokusnya ke mana-mana terus, sih. Biasanya juga Mas kalau ngomong pasti to the point." Komplain Salma.

"Eh, iya. Sorry, Sal. Emm, jadi ya gitu, deh. Entah kenapa justru keberadaan dia yang lugu dan polos malah bikin ada yang beda di hatiku. Aku merasa dibutuhkan, merasa punya peran dan manfaat. Hidupku yang selama ini cuma berputar di duniaku sendiri, rasanya jadi lebih berarti. Sejak itu aku jadi punya semangat untuk berubah, minimal di lingkungan kampus lah. Jadi aku mulai dari sana. Karena merasa dibutuhkan dan punya peran itu ternyata menyenangkan, Sal.

"Dia juga yang bikin aku akhirnya sadar kalau aku ini normal, dan always normal. Masih bisa jatuh cinta sama perempuan. Aku---"

"Sudah cukup, Mas, Sal udah ngerti. Kalau Sal simpulkan, intinya Mas merasa punya hutang budi karena keberadaannya membuat Mas menyadari banyak hal."

"Dan aku---"

"Udah titik tadi ceritanya. Nggak usah dilanjutin lagi. Saya tahu Mas mau menunjukkan sisi baiknya, jasa-jasanya buat Mas, dan bla bla bla biar saya bisa memahami kenapa Mas bisa mengerti banget tentang dia. Tapi yang jadi istrinya Mas sekarang saya. Saya juga nggak pernah minta, Mas sendiri yang datang dan minta ke Bu Miska untuk nikahin saya. Saya cuma menerima. Nggak tahu kalau Mas punya masa lalu dengan perasaan sedalam itu.

"Kalau Mas benar mencintai saya, cuma saya yang sekarang ada di hatinya Mas, baiknya pembicaraan tentang dia kita sudahi saja. Mulai sekarang, dan sampai kapanpun juga!" kata Salma tegas.

"Mas nggak pernah punya pacar, kan? Berarti Mas belum pernah dicemburui perempuan, kan? Nah ini, saya cemburu. Saya nggak suka Mas ngomong tentang dia, apapun itu." Salma bicara apa adanya. Air mukanya datar. Tak sedikitpun memandang pada Andro.

"Iya, Sal. Aku janji. Tapi kamu jangan marah lagi sama aku, ya."

"Saya sudah nggak marah, Mas. Sudah cukup yang semalam sampai tadi. Saya sudah jauh lebih lega. Dan saya juga sadar, memang rasa mencintai, memiliki, membutuhkan, dan semacamnya, yang paling besar harus kepada Allah, bukan kepada makhluk. Itu yang harus selalu saya ingat. Karena cuma cinta kepada-Nya yang selalu akan berbalas, rasa memiliki kepada-Nya yang selalu membuat kita tenang, begitu juga rasa membutuhkan, karena cuma Allah yang selalu ada ketika hamba-Nya membutuhkan.

"Saya nggak akan bergantung apapun lagi sama Mas. Saya cuma akan menjalankan peran saya sebagai istri dengan sebaik-baiknya. Perkara hati Mas seperti apa, itu urusan Mas sama Allah, saya cuma harus percaya aja, kan, kalau Mas bilang saya satu-satunya di hatinya Mas?"

"Sal, yang kamu bilang semua bener, bahwa Allah segalanya buat kita. Tapi ya nggak lantas begitu juga sikapmu ke aku. Aku cerita tadi salah satunya biar kamu tahu kalau aku senang saat merasa dibutuhkan, merasa bisa bermanfaat untuk orang lain, terutama orang yang aku sayang. Dan sekarang ini, yang paling berarti buat aku ya kamu. Aku pengen bisa melindungi kamu, Sal. Pengen selalu ada buat kamu. Aku---" Kalimat Andro terhenti oleh panggilan yang berasal dari gawainya. Nama Eyang Mami terbaca di sana. Nenek dari pihak papa. Andro dan Rea, juga para sepupu dari pihak papa, memanggil keduanya dengan sebutan eyang papi dan eyang mami

"Assalamualaikum, Yang."

"Waalaikumussalam. Jare mlebu rumah sakit, Ndro?"
(Katanya masuk rumah sakit, Ndro?)

"Hehe, iya, Yang. Tapi udah sembuh kok. Alhamdulillah."

"Jare Tami wingi, lek wis sehat arep moleh Suroboyo?"
(Kata Tami kemarin, kalau sudah sehat mau pulang ke Surabaya?)

"Iya, Yang. Ini juga udah di Surabaya. Apa mama papa belum ngabarin Eyang?"

"Yo wis, lek ngono eyang tak nak omahmu."
(Ya sudah, kalau begitu eyang tak ke rumahmu)

"Eh, Yang, emm..., Andro malah ini udah jalan-jalan sama Salma. Ini lagi di deket-deket rumah Eyang. Andro aja yang ke situ ya, Yang."

Eyangnya tentu saja menyetujui, begitupun Salma. Maka tujuan mereka berubah, yang tadinya mau keluar rumah sembarang saja, akhirnya malah berakhir di rumah eyang Andro dari pihak papa.

Eyang papi dan eyang mami bersukacita menyambut kedatangan cucu kesayangan. Memang demikian adanya. Andro adalah cucu laki-laki pertama dari anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Itulah mengapa posisi Andro istimewa bagi eyang papinya, sebab Andro satu-satunya cucu yang akan meneruskan namanya pada buyut dan mungkin cicit-cicitnya kelak.

"Kalau keluarga kita ini keluarga kerajaan, Andro ini putra mahkota nomor satu, Nduk. Pewaris tahta utama," kelakar eyang kakungnya pada Salma.

"Nomor dua kali, Yang? Pertama kan papa." Andro meluruskan.

"Papamu wis tak coret seko pewaris tahta. Mana ada putra mahkota main perempuan? Belum jadi raja sudah mencurangi keluarganya, gimana jadi raja, bisa-bisa mencurangi rakyatnya," sahut eyang papi berapi-api. Masih selalu emosi setiap kali membahas tentang noda yang digoreskan oleh Antariksa.

"Uwis ta, Pi. Wong bocahe yo wis insyaf. Malah saiki dadi tambah apik ngono. Lagian, keluargae dewe dudu keluarga kerajaan ae kok, gak usah sewot ngono ta." Andro terbahak, eyang papi turut pula tertawa.
(Sudah lah, Pi. Orang bocahnya juga sudah insyaf. Malah sekarang jadi makin baik begitu. Lagipula, keluarga kita bukan keluarga kerajaan saja, kok. Nggak usah sewot begitu lah)

Berempat kemudian ngobrol banyak, sembari menikmati teh poci bikinan mbok yang sudah puluhan tahun bekerja pada eyang.  Sebuah tray cake berisi lemon meringue pie berdampingan dengan dua toples berisi kastengels dan nastar. Eyang putri menawari Salma untuk mencoba kudapan hasil karyanya. Salma yang memang penasaran segera mencicipi. Dia hampir tak pernah membuat masakan yang berasal dari luar negeri, apalagi yang asing di lidah ataupun di matanya.

Salma jatuh cinta pada gigitan pertama. Rasa manis yang pas berpadu dengan rasa asam dari lemon. Dinikmatinya kue itu dengan penuh penghayatan, sampai tak sadar kalau eyang mengamati tingkahnya.

"Nginap sini ya, Salma. Besok pagi eyang ajarin bikin lemon meringue pie ini." Eyang putri seakan mengerti apa yang ada di benak cucu menantunya. Lalu memberi penawaran yang menarik. Kelihatannya mereka berdua akan cocok karena sama-sama suka ngedapur.

"Eh, emm..., Salma terserah Mas saja, Eyang," jawab Salma sambil menoleh pada Andro dengan pandangan Kita nginap di sini ya, Mas, please.

Andro tertawa, menggeser duduknya hingga tak berjarak lagi dengan Salma. Sambil merangkul pundak Salma, dia mengiyakan permintaan istrinya sekaligus permintaan eyangnya.

"Nggak usah mikirin baju tidur. Di kamar Iksa ada banyak baju tidurnya Tami. Baju Rea juga ada. Atau dasternya eyang juga banyak." Lagi, eyang sudah berpikir sampai sejauh itu. Padahal Salma belum kepikiran soal ganti baju.

"Nggak pakai baju juga nggak apa-apa kali, Yang, kan di kamarnya nanti cuma sama Andro. Halal." Salma mencubit paha suaminya. Hatinya berdenyut mendengar candaan Andro yang menyerempet bahaya.

Eyangnya tertawa, menggodai si pasangan muda dengan guyonan yang agak dewasa. Andro tertawa-tawa, sedangkan Salma mukanya sampai memerah karena malu.

"Andro kalau sama kamu manja juga nggak, Nduk?" tanya eyang papi.

"Nggak, Eyang. Mas Andro baik, kok," ujar Salma memuji suaminya.

"Nggak ding, Yang. Salma yang terlalu baik. Andro sih sering manja dan bikin repot dia. Malah kadang bikin dia sedih juga. Ini aja baru kelar marahan." Jujur sekali Andro ini.

"Apa ini tentang perempuan lain? Kon ojo nganti niru papamu lho, Ndro. Tak coret seko ahli waris mengko." Eyang papinya ngegas.
(Kamu jangan sampai meniru papamu lho, Ndro. Tak coret dari ahli waris nanti)

"Eh, ng..., i-iya, tapi juga nggak sih, Yang. Ini lebih ke masa lalu sih, tapi ya memang tentang perempuan lain gitu, sih." Andro menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ikatannya yang rapi jadi sedikit berantakan.

Lalu cerita tentang prahara rumah tangga mengalir begitu saja. Salma yang tadinya sudah lega terpaksa mengingat kembali kejadian kemarin. Tapi dia tidak menangis sama sekali. Sebaliknya, Salma menunjukkan ketegaran.

Eyang mami memuji sikap Salma. Menyamakan dengan mama Andro saat menghadapi kegilaan anak laki-lakinya, Antariksa.

"Utami itu orangnya kuat, tabah, tegar. Eyang sampai malu sama dia, merasa gagal mendidik Iksa. Lha bojoe lagi susah payah ngopeni aku, malah katut wedokan liyo (Lah istrinya sedang susah payah merawat aku, malah kebawa perempuan lain). Astaghfirullah." Eyang mami mengusap kedua mata yang basah begitu saja.

Cerita tentang masa-masa kelam itu kembali diangkat. Satu fakta turut pula terbuka, tentang mengapa mama masih bertahan di samping papa, padahal kedua eyang Andro sudah meminta keduanya bercerai, lalu nama Antariksa akan dicoret dari daftar ahli waris digantikan oleh mama serta Rea dan Andro. Eyang papi bahkan sudah mengundang notaris dan pengacaranya untuk menulis surat wasiat.

"Utami itu nggak cuma kuat, tapi juga pintar. Dia bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri, bahkan sekalipun menanggung Rea dan Andro sendiri dengan gaya hidup yang nggak berubah, dia tetap mampu. Tapi dia nggak mau. Dia memilih bertahan, dengan perjanjian, yang semuanya demi kalian, anak-anaknya."

Andro menghela napas, menahan air mata serta perih di hatinya. Betapa berdosanya dia telah meninggalkan mamanya di saat mama mungkin membutuhkannya. Waktu itu dia benci, menganggap mamanya bodoh karena mau-maunya bertahan di samping papa yang sudah mengkhianatinya. Padahal mamanya bertahan demi memperjuangkan masa depannya dan Rea.

Di situlah Andro baru tahu. Mamanya memilih bertahan karena tahu seperti apa perempuan yang sudah merampok sebagian waktu dan perhatian Antariksa darinya dan dari anak-anaknya. Maka mama membuat perjanjian dengan banyak poin untuk kepentingan kedua anaknya, yang semua disetujui oleh papa sebab rasa bersalahnya.

Yang pertama, Antariksa tidak boleh menasabkan namanya kepada anak yang dikandung perempuan tersebut sebelum pernikahan --di bawah tangan-- mereka berlangsung. Rupanya insting Utami telah terasah untuk mengetahui bahwa anak itu belum tentu anak Antariksa.

Kedua, mama tidak mengizinkan keduanya menikah resmi di catatan sipil dan tidak mengizinkan papa memberikan aset berupa apapun sampai lima tahun ke depan. Sepertinya mama yakin sekali, borok mantan orang kepercayaannya itu tak akan tersimpan sampai selama itu.

Ketiga, mama menaikkan berkali-kali lipat nominal jatah bulanan yang harus diberikan papa untuk Rea dan Andro. Bukan tanpa alasan, karena Utami tahu persis berapa kemampuan Antariksa menghasilkan uang setiap bulannya. Juga sebagai persiapan, jika feeling sebelum lima tahun itu tidak terjadi, mama sudah punya dana cadangan untuk masa depan Rea dan Andro.

Terakhir, jika perempuan tersebut terbukti bukan perempuan baik-baik, Antariksa harus menceraikannya saat itu juga, tanpa memberikan tunjangan, harta benda, dan sebagainya.

Eyangnya menceritakan semuanya dengan gamblang, seakan keduanya yang paling tersakiti atas kejadian tersebut.

"Kalau ada yang paling sakit hati, Ndro, kamilah orangnya. Rasanya seperti dilempar kotoran ke wajah kami, oleh anak kami sendiri. Anak laki-laki pertama dan satu-satunya yang kami punya. Kami nggak tahu harus menyembunyikan wajah ke mana setiap kali harus bertemu eyang kakung sama eyang putri dari mamamu. Kami nggak tahu harus bersikap seperti apa pada mamamu, sedangkan Utami, meskipun terpuruk, tapi malah selalu menguatkan dan menghibur kami yang sudah gagal mendidik papamu. Cuma ke budemu, Utari, dia sambat (mengeluh)." Mama memang paling dekat dengan kakaknya yang satu itu.

"Tapi sakit hati terbesar kami adalah setiap kali mengingat cerita Utami tentang kamu, Ndro."

Eyang mami mendekap Andro erat. Tangisnya berderai-derai di bahu cucu kesayangannya. Andro membalas pelukan eyangnya, menciumi kepala yang dipenuhi rambut berwarna keperakan.

"Udah, Yang, Andro udah baik-baik aja kok. Udah punya Salma yang sayang banget sama Andro. Andro janji, nggak akan mengulang kesalahan papa. Andro akan contoh yang baik-baiknya aja dari papa. Papa udah sembuh kok, udah baik, jauh lebih baik dari papa yang dulu. Eyang nggak gagal, papa aja yang pernah gagal. Tapi, bukankah kegagalan itu adalah kebaikan yang tertunda? Dan papa udah dapat kebaikannya, Yang. Udah dapat hikmahnya. Nggak cuma papa malah, tapi kita semua.

"Kejadian itu juga yang akhirnya bikin Andro punya Salma. Jadi yang harus kita lakukan sekarang cuma banyak bersyukur aja, Yang." Dewasa dan bijak sekali Angkasa Andromeda ini.

Mendengar kalimat penghibur Andro untuk eyangnya, Salma turut menangis haru. Salma tahu, di balik kalimat bijaksananya, Andro berusaha menyembunyikan kesedihannya sendiri.

"Uwis, Mi, uwis. Harusnya Andro ke sini tuh kita ngobrolnya yang seneng-seneng aja. Apalagi dia habis sakit, malah dijak tangisan ngene iki. Yo wis ngono iku eyangmu, Nduk," ucap eyang papi sambil memisahkan pelukan istri dan cucunya.

"Masya Allah. Eyang bersyukur sekali, Ndro. Alhamdulillah, kamu tumbuh besar jadi anak baik. Karena banyak kejadian, anak-anak dari keluarga yang bermasalah, mereka jadi masalah juga. Tapi kamu tidak. Kami bangga sekali punya mantu seperti mamamu. Kamu harus sayang dan hormat sama mamamu, Ndro. Harus!" Andro mengiyakan. Menjawab keinginan kakeknya dengan janji.

Obrolan kembali ke topik yang ringan sambil makan mi tektek yang lewat di depan rumah eyang setiap malam. Jam sepuluh lebih Andro dan Salma meminta izin untuk beristirahat. Mereka masuk ke kamar papa. Salma langsung tertarik menemukan foto-foto yang menghias di salah satu sisi dinding. Banyak foto masa kecil Andro di sana.

Mas Andro dari kecil memang udah ganteng sih, ya. Nanti anak-anak kami pasti lucu-lucu kayak papanya, batin Salma. Senyumnya mengembang, membuat bidadari berkecil hati jika harus berdiri di samping Salma. Saking cantiknya.

"Aku dari dulu udah ganteng, kan, Sal?" bisik Andro sambil memeluk Salma dari belakang.

"Huh, kepedean!" Salma mencibir, lalu melepaskan diri dan menuju ke lemari. Andro mengikuti, menunjukkan yang mana lemari berisi baju-baju mama, Rea, juga miliknya. Dia pula yang menarikkan satu baju untuk Salma. Sebuah t-shirt dress warna putih dengan sketsa menara Eiffel menghias bagian depannya.

"Nih, pakai bajunya Mbak Rea." Disodorkannya pada Salma, yang dengan segera melihat penampakan baju itu secara keseluruhan. Lengannya pendek sekali, dan panjang bajunya hanya sampai di atas lutut. Bahannya pun terlalu tipis. Duh. Salma menelan ludah.

"T-tapi, Mas, emm..., ini b-bajunya...."

"Ssstt, udah, Sal, pakai aja. Siapa tahu kita akan bermalam pertama di sini."

"Ehk!"

***

Nah nah nah....

Langsung pada nggak sabar nunggu part berikutnya nih pastiii. Hahaha...
*ketawa jahat :D

Sabar ya. Doakan aja lancar idenya dan ngetiknya. Bocil lagi UAS nih. Doakan juga sehat-sehat semua, soalnya Jawa Tengah lagi naik banget ini angka covidnya. Ngeri :(

Btw, yang pas ngerti lagunya langsung ingat We Could Be In Love-nya Lea Salonga sama Brad Kane, angkat tangan katakan sayaaa, nggak usah sebut usiaaa. Hahaha...

Terima kasih banyak untuk semuanya. Dan maaf kalau ada kesalahan dan kekurangan. Maafkan juga untuk nyaris 4K words yang ceritanya naik turun kayak roller coaster. Kalau partnya rada nggak jelas, ya itu udah biasa kan yak?! Wkwk..

See you.

Semarang, 14062021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro