26. Permasalahan
Semenjak ada dirimu
Semua terasa indahnya
Semenjak kau ada disini
Tak ingin melepaskanmu
(Andity - Semenjak Ada Dirimu)
***
Mama menelan ludah, menahan kesal dengan susah payah. Menantu kesayangan yang begitu dia sayangi dan banggakan dikatakan pembantu oleh seseorang yang pernah membuat hati anaknya patah. Ingin marah, tapi mama teringat saat Andro curhat tentang sosok bernama Zulfa yang polos dan lola. Mama membuat pemakluman untuk kejadian ini meski hatinya dongkol setengah mati. Mama yakin, setiap orang melakukan sesuatu pasti dengan alasan tertentu, termasuk Zulfa.
Beruntung, Andro dan Salma tak mendengar apa yang dikatakan oleh Zulfa. Mereka bahkan belum sadar, siapa tamu yang datang membesuk Andro.
"Maaf, Mbak. Yang Mbak maksud pembantunya Andro yang mana, ya?" Mama lantas bersyukur dalam hati, nada yang keluar dari lisannya sempurna tanpa cela. Tak ada kesan marah, kesal, dan semacamnya.
"Eh, emm..., it-itu, Tante, yang sedang sama Andro. Yang lagi itu, emm..., nyisirin Andro." Wajah Zulfa yang putih bersih terlihat memerah. Entah malu, entah merasa bersalah. Di sebelahnya, Iqbal merasa jauh lebih bersalah.
"Oh, itu. Sebentar ya." Mama kembali memanggil anak dan menantunya. Kali ini sambil menarik tirai hingga terbuka sepenuhnya.
"Eh, Z..., Pak Iqbal. Maaf ya, Pak, menunggu lama," sapa Andro agak keras, ruangan VVIP tempatnya dirawat memang terlalu luas. Andro urung menyebut nama Zulfa. Salma melirik pada suaminya, yang dibalas Andro dengan tatapan memohon pengertian.
Ketiganya --mama, Andro, dan Salma-- lalu mendekat dan duduk bersama-sama di sofa tempat menerima tamu.
"Jadi Mbak Zulfa, ini namanya Salma." Mama merangkul Salma yang duduk di sebelahnya. "Salma ini dulu ustadzah saya di Surabaya, ngajar ngaji saya dan kakaknya Andro. Dia ini hafidz Qur'an 30 juz. Alhamdulillah dari ngajarin ngaji saya, sekarang jadi menantu saya." Zulfa makin kaget lagi, mulutnya sampai terbuka.
"Iya, jadi Salma ini menantu saya. Istrinya Andro." Mama menekankan pada Zulfa, tetap dengan sabar dan lemah lembut.
"Hah?! Istri?! Istrinya Andro?!" Kali ini kekagetan Zulfa lebih heboh dari sebelumnya.
Iqbal cuma bisa beristighfar. Ekspresinya sudah tak bisa dijelaskan dengan kata. Kepolosan istrinya seringkali tak mengenal tempat dan waktu. Yang bisa dia lakukan cuma menginjak kaki istrinya. Matanya memberi isyarat pada Zulfa agar diam saja. Penyesalan dan rasa bersalah memenuhi hatinya, sebab ia tahu yang sebenarnya, tapi tak mengatakan kepada istrinya. Sama sekali tak menduga akan ada kejadian seperti ini.
"Maaf, Bu. Saya mohon maaf untuk kesalahpahaman ini, juga untuk apa yang dikatakan istri saya tadi. Memang Angkasa belum menceritakan kepada teman-temannya tentang statusnya yang sudah menikah." Iqbal pasang badan.
"M-maaf, Tante. S-saya benar-benar nggak tahu. Baru kemarin sore saya ketemu mbaknya, dan dia bilang kalau dia pembantunya Andro." Bukannya diam, Zulfa ikut menimpali lagi dengan gagah berani.
Salma tak sepakat dengan pernyataan Zulfa, ia merasa perlu untuk memberitahukan kejadian sebenarnya. "Maaf, saya meluruskan. Bukan saya yang bilang kalau saya pembantunya Mas Andro, Mbak. Saya cuma bilang kalau saya yang bantu-bantu jaga rumah dan bersih-bersih rumah. Saya pikir saya nggak berbohong sama sekali. Sebagai istri, memang sudah tugas saya membantu suami menjaga kehormatannya, nama baiknya, juga menjaga kepemilikannya. Salah satunya adalah menjaga rumahnya, termasuk kebersihannya, kenyamanannya, dan segala yang ada di dalamnya, baik saat suami ada maupun tidak ada." Ini menohok sekali bagi Zulfa.
"Mbak yang kemudian menyimpulkan kalau saya pembantunya Mas Andro. Saya cuma mengiyakan saja daripada berlarut-larut obrolan kita kemarin, sedangkan saya sama Mas Andro belum membahas lagi apakah masih harus merahasiakan status pernikahan kami." Salma membela diri. Kentara sekali ia mencoba menekan emosi.
"Y-ya tapi..., kenapa harus dirahasiakan?" Zulfa masih belum sadar diri bahwa akan lebih baik kalau dia diam saja.
"Saya rasa bukan urusan Mbak untuk tahu alasannya." Masih Salma yang bicara.
Papa mendekati mama, setelah sebelumnya saling melempar isyarat. Mama lalu memohon izin bicara."Maaf, menyela. Kami pamit pulang dulu ya, dari pagi papanya Andro belum ke rumah, biar istirahat dulu. Monggo dilanjutkan saja pembicaraannya," pamit mama pada keempat manusia yang jauh lebih muda darinya.
Papa mengikuti. Pasangan paruh baya itu menganggukkan kepala, kemudian berlalu dari hadapan. Lebih tepatnya memberi kesempatan dua pasangan muda itu untuk menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.
Pintu kembali tertutup. Papa dan mama tak lagi terlihat sosoknya. Suasana sesaat hening.
"Karena aku menghormati Salma, Zul. Aku sayang sama dia. Jadi aku nggak mau orang berpikir macam-macam ketika tahu dia istriku, salah satunya karena pernikahan kami bisa dibilang dadakan. Kupikir, nantilah kalau kami sudah jalan beberapa lama. Sebenarnya aku juga nggak merahasiakan sih, kalau ada yang ketemu kami dan tanya, aku pasti akan jawab apa adanya, kok. Qodarullah nggak pernah ketemu warga kampus saat kami jalan berdua, kecuali...."
"Kecuali siapa, Ndro?" Respon Zulfa membuat Salma mengerutkan dahi. Sejujurnya dia tak suka, si Zulfa Zulfa ini bersikap seolah dia saja yang paling akrab dengan Andro.
Lain halnya dengan Iqbal, dia merasa tegang, berharap bukan namanya yang akan Andro sebutkan. Dalam hati dia sudah berjanji untuk memberi tahu sang istri tentang kesalahannya soal ini, tapi nanti, dan tentu saja bukan di sini.
"K-kecuali...," Andro melirik sekilas pada dosennya.
"Kecuali Yudi." Iqbal lega, betapa inginnya dia berterima kasih pada mahasiswanya.
Andro juga lega. Dia seorang suami sekarang, kecerdasannya membuat otaknya bekerja cepat untuk melindungi pria yang berstatus sama dengan dirinya. Suami. Andro mulai hafal dan paham, kebingungan seorang suami itu ketika istri sudah marah pada mereka. Salah atau benar, semuanya akan jadi serba salah kalau istri sudah marah.
"Yudi datang ke pernikahan kami. Dia bahkan kuminta jadi saksi di akad nikah kami."
Akad nikah yang Mas Andro hampir salah sebut nama istri, batin Salma sedih.
"Yudi?! Wahyudi?! Yudinya kita?!" Mata Zulfa membelalak, hatinya sungguh tak terima. Lupa kalau dia tak ada hak untuk menuntut pemberitahuan.
"Iya, Yudi teknik sipil semester lima." Andro geli dengan kata Yudinya kita. Mereka memang dekat dan bersahabat, tapi Andro tak merasa memiliki seorang Wahyudi. Memangnya gue cowok apaan?
"Kok Yudi nggak ngasih tahu aku dan Nara? Sahabat macam apa kayak gitu!" Wajah Zulfa terlihat sangat kesal dan kecewa. Matanya berkaca-kaca.
"Aku yang memintanya, Zul. Sudah kukasih tahu alasanku kan, tadi?"
"Karena sayang dan menghormati mbaknya? Kalau sayang, kenapa malah disembunyikan?" Zulfa cari masalah saja. Apa dia lupa kalau pernah melakukan hal yang sama? Dia bahkan terang-terangan meminta Iqbal untuk menyembunyikan dulu status pernikahan mereka.
"Nama saya Salma, Mbak." Salma kesal disebut sebagai mbaknya. Bagaimanapun dia cuma manusia biasa. Wajar sekali perasaannya lama-lama tak baik-baik saja menghadapi kejadian seperti ini.
"Dan saya rasa Mbak nggak ada hak apapun untuk menuntut pemberitahuan dari Mas Andro, dari Mas Wahyudi, atau siapapun itu. Mbak juga kan bukan siapa-siapanya Mas Andro, cuma teman biasa, jadi nggak perlu merasa kecewa juga kalau Mbak baru tahu tentang status kami. Yang jelas keluarga kami semua tahu, lingkungan kami di Surabaya semua tahu, dan tetangga-tetangga kami di rumah sekarang ini juga semua tahu kalau kami suami istri.
"Sekarang Mbak juga sudah tahu, kan? Saya rasa yang harus Mbak lakukan hanya mengucap Alhamdulillah karena akhirnya tahu juga. Tidak perlu menunjukkan kesal, kecewa, atau marah. Saya tahu kok ceritanya tentang Mbak Zulfa dan Mas Andro." Sekuat tenaga Salma menekan emosi. Berusaha bersikap wajar dan tenang, tapi tetap saja kekesalannya muncul ke permukaan.
Andro menatap Zulfa dengan perasaan tak enak. Meski tak pernah menjadi apa-apa selain teman baik, dua tahun dekat membuat Andro hafal sifat-sifat Zulfa. Menghadapi Salma yang berani bicara tegas tanpa ngegas pasti membuat rasa percaya diri Zulfa lenyap seketika, berganti insecure yang merajalela.
"Sudah, Sal, cukup," pinta Andro pelan. Ditatapnya Salma dengan tatapan memohon, menyampaikan isyarat agar Salma berhenti bicara. Tangannya terulur hendak menggenggam jemari Salma. Salma menepis halus, matanya berkaca-kaca.
"Maaf, Mbak Zulfa dan Pak Iqbal, Mas Andro belum benar-benar sembuh, masih butuh banyak istirahat. Mungkin pembicaraan ini bisa kita cukupkan saja. Maghrib juga tidak lama lagi tiba, akan lebih baik kalau kita sudahi saja semuanya sekarang. Mungkin bisa dilanjutkan besok lagi obrolannya. Kami juga berterima kasih sekali atas kunjungan dari Mbak Zulfa dan Pak Iqbal. Dan sekali lagi, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kalau ada yang kurang berkenan," ujar Salma dengan suara bergetar.
Salma memutuskan untuk melakukan sesuatu yang mungkin kurang sopan. Terpaksa. Dia tak tahan jika harus berlama-lama berhadapan dengan Zulfa. Menurut Salma, polosnya si Zulfa Zulfa ini sudah masuk kategori nggak masuk akal. Dia malah heran, bagaimana suaminya dulu bisa sampai segitunya menyimpan perasaan untuk seseorang yang sedang ada di depan mereka itu?
Iqbal, yang sejak tadi lebih banyak diam, mencondongkan badannya pada Zulfa, membisikkan sesuatu ke telinga istrinya. Zulfa lantas diam, tapi bendungan air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya jebol juga. Zulfa menangis, meski tanpa suara.
"Saya mewakili Zulfa, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahpahaman dan kejadian yang kurang nyaman ini. Sungguh, kami ke sini tadi niatnya betul-betul hanya untuk menjenguk Angkasa yang sedang sakit.
"Saya rasa yang dikatakan Mbak Salma benar, sebaiknya kunjungan ini kami cukupkan. Insya Allah lain waktu kita bisa bertemu dan bicara lagi dengan keadaan yang lebih baik dan lebih nyaman. Sekali lagi kami minta maaf. Semoga Angkasa lekas sembuh dan sehat kembali. Kami pamit dulu.
"Oh ya, ada salam dari Asya. Minta maaf karena belum bisa ikut menjenguk ke sini, cuma bisa menjenguk lewat doa. Begitu katanya."
Andro mengucapkan terima kasih. Iqbal bangkit dan menyalami Andro, menyampaikan motivasi dan doa untuk mahasiswa yang dia akui istimewa. Beberapa tepukan darinya mendarat di bahu Angkasa Andromeda. Zulfa mengikuti, menyalami Salma yang menyambutnya dengan dingin.
Kedua tamu telah berlalu, Salma lalu keluar sebentar, meminta pada perawat yang berjaga untuk tidak menerima tamu lagi bagi suaminya. Salma langsung kembali ke ruang perawatan, menutup pintu, dan melancarkan aksi diam seribu bahasa. Sengaja menjauh dari Andro dan sok menyibukkan diri dengan gawai di tangan.
"Sal, aku minta maaf untuk semuanya." Andro mencoba membuka percakapan. Salma diam, pura-pura tak mendengar.
"Apa kamu memang mengiyakan waktu dia sebut kamu pembantuku?" Salma masih diam.
"Harusnya kamu jelaskan saja apa adanya, bukan malah mengiyakan. Dia tuh kadang polosnya kelewatan, suka nggak pakai analisa masuk akal apa nggaknya. Kamu juga mestinya nggak usah emosi gitu, Sal. Biarpun udah berusaha kamu tahan, tapi tetap kelihatan.
"Dia pasti ciut banget. Sadar kalau menyebut kamu pembantu padahal kamu istriku aja pasti udah bikin dia malu setengah mati. Ditambah ngadepin kamu yang tegas dan kelihatan berwibawa begitu. Udah pasti insecure dia.
"Bagiku dia cuma masa lalu, Sal. Dan hampir dalam segala hal, kamu jauh lebih baik dari dia." Maksud Andro baik, menunjukkan bahwa Salma jauh lebih segalanya dari Zulfa. Tapi jatuhnya malah membuat Salma merasa Andro tahu banyak hal tentang Zulfa, tapi tidak tentangnya. Dan itu membuat hati Salma makin meradang.
"Jadi saya yang salah karena saya nggak bilang apa adanya? Mbak Zulfa yang benar karena memang sifatnya yang polos, gitu?! Iya, nggak apa-apa. Salahkan aja saya. Saya kan baru dua bulan Mas kenal, beda jauh sama dia yang udah dua tahun dekat sama Mas. Mas udah hafal semua sifatnya, Mas bisa mengerti dan memaklumi semua kebiasaannya. Saya sih apa, cuma orang miskin yang ketiban pulung aja dinikahi sama anak orang kaya seperti Mas."
"Sal, bukan begitu maks---"
"Mas cuma mikirin insecure-nya dia, kecil hatinya dia, dia, dia, dia, pokoknya semuanya dia. Cuma perasaan dia saja yang Mas pikirin. Mas lupa, kalau yang istri Mas tuh saya? Bukan dia. Apa Mas kira saya baik-baik saja? Apa karena saya terbiasa hidup susah, terus saya bisa selalu mengalah? Apa karena saya orang miskin, terus saya yang harus selalu mengerti orang lain?
"Mas kira saya nggak punya rasa kecil hati? Mas kira saya nggak bisa insecure? Saya manusia, Mas. Hati saya nggak terbuat dari batu. Apa karena saya terbiasa hidup sulit, jadi yang seperti ini harusnya nggak bikin hati saya sakit, gitu? Saya yang tiap hari ngurusin Mas, nemenin Mas, apa-apa semua saya, tapi yang Mas belain juga dia. Saya capek, Mas. Mungkin saya memang cuma cocok jadi pembantunya Mas. Ketinggian kalau jadi istri, apalagi yang bisa geser posisi dia di hati Mas. Mimpi!" Salma meluapkan semua perasaannya. Merasa Andro bersikap tidak adil dalam hal ini, hatinya sakit sekali. Tangannya berulang kali menghapus kasar bulir-bulir bening yang mengalir deras dari kedua mata.
Andro merasa patah hati melihat Salma seperti itu. Didekatinya gadis cantik yang telah berhasil menguras semua perasaannya untuk Zulfa, tapi Salma menjauh, seakan tak berkenan.
"Sal, sekali lagi yang aku bisa cuma minta maaf. Aku udah berusaha membuktikan perasaanku ke kamu, kalau kamu belum sepenuhnya percaya, aku bisa memaklumi dan akan bersabar menunggu. Yang kulakukan barusan juga karena kebodohanku, tapi masudku bukan begitu. Aku nggak ada maksud sama sekali untuk membanding-bandingkan kamu dengan dia, juga nggak ada kepikiran untuk ngebelain dia.
"Aku juga masih sering lupa kalau kamu manusia biasa, punya rasa, punya hati, bisa emosi. Karena bagiku kamu itu bidadari. Kamu kan kalau sama aku nggak pernah marah, yang ada kamu selalu sayang, selalu lemah lembut, selalu ngurusin aku, nemenin aku, semuanya buat aku." Apakah ini masuk kategori menggombal? Andro tak tahu, memang yang dirasakannya seperti itu.
"Aku pernah bilang kalau akulah satu-satunya manusia di dunia ini tempat kamu boleh meluapkan semua perasaanmu, di mana kamu nggak perlu jaim dan semacamnya saat di depanku, tapi seringkali aku lupa memperhatikan itu. Itu karena aku yang terbiasa dimanja, tiba-tiba aku harus jadi tempat bermanja. Juga tempat bersandar, tempat berlindung, dan semuanya.
"Aku yang ngajakin kamu menikah muda. Aku yang menambah beban hidup buat kita. Aku yang mungkin istimewa di urusan kampus, nyatanya masih bukan apa-apa di urusan rumah tangga, sampai ngejaga perasaan istri aja aku selalu gagal. Maaf ya, Sal. Kita memang masih harus banyak belajar, terutama aku. Kamu selalu perfect buat aku, tapi aku selalu ngelakuin kesalahan terus yang bikin kamu sedih, marah, kecewa. Pokoknya aku minta maaf."
Tangis Salma mulai mereda, tinggal menyisakan isak saja. Andro kembali mencoba mendekat, kali ini gadis itu tetap diam di tempat.
"Maafin aku ya, Sal. Kamu nggak kasihan? Lihat nih, aku sampai ke sana ke sini nuntun tiang infus sendiri. Demi apa coba? Demi bisa deket sama kamu. Bisa meluk kamu. Bisa---"
"Bisa diem nggak, sih, Mas? Mas kalau udah ngomong begini susah di-stop, deh. Saya tuh lagi kesel sama Mas. Lagi merasa marah dan benci banget sama Mas. Saya cuma butuh menjauh sebentar dari Mas. Menenangkan diri, melegakan hati dan pikiran saya. Saya---"
"Iya, Sal. Aku minta maaf. Aku mulai hafal, kamu kalau lagi marah sama aku cuma butuh ruang dan waktu. Butuh menyendiri dulu, menjauh dari aku sementara waktu. Mungkin ngelihat mukaku bisa membangunkan monster naga yang lagi tidur di gendongan kamu."
"Mas bisa juga ya ngomong sesuatu yang nggak bermutu." Andro malah tertawa keras mendengar ucapan terakhir istrinya. Mengusap puncak kepala Salma, lalu mengecupnya dengan sayang. Tak peduli istri cantiknya masih terlihat tak bersahabat padanya.
"Iya, boleh. Diamlah. Menjauhlah dari aku sebentar, tapi jangan jauh-jauh, harus terjangkau dari jarak pandangku. Aku sedih kalau lagi barengan gini tapi nggak bisa mandangin wajah cantik kamu."
"Mas, please. Kalau Mas ngomong lagi, saya mau pulang dan tidur di rumah aja. Biar Mas sama papa mama."
Andro terkekeh lagi, "Iya, aku diam. Kita salat maghrib dulu ya, habis itu marahnya boleh dilanjutin, tapi lebih bagus lagi kalau marahnya diganti sama nyuapin aku. Aku lapar, Sal."
"Ngomong terus, gimana nggak lapar." Salma menggerutu, mulutnya mengerucut. Tapi dia sudah berjanji pada dirinya sendiri,semarah apapun pada Andro, dia tidak akan meninggalkan kewajibannya melayani suaminya yang manja itu.
Mama dan papa datang sehabis isya, membawa tiga bungkus nasi uduk dengan ayam goreng dan sambal. Salma menyambut mama papa dengan cium tangan, lalu dengan cekatan menyiapkan makan. Bertiga menikmati nasi uduk di meja makan yang ada di ruang perawatan. Andro sudah makan jatah pasien, tapi dia tetap ikut nimbrung, duduk di sebelah Salma sambil tangannya merangkul pinggang istrinya. Pintar-pintarnya memanfaatkan kesempatan. Andro tahu persis, biarpun berkali-kali menepis tangan Andro dari pinggangnya, Salma tak akan menunjukkan kemarahannya di depan mama papa.
Tak lama seusai makan, mama menyuruh Salma untuk tidur lebih dulu, seharian ini dia belum sempat istirahat. Mama juga tahu, ada sesuatu yang terjadi setelah mama dan papa pergi tadi. Mungkin berkaitan dengan tamu yang menjadi bagian dari masa lalu.
"Salma banyak diem, Ndro. Gara-gara tadi, kah?"
"Eh, emm..., iya sih, Ma." Andro melirik ke arah istrinya. Bahunya naik turun dengan pelan dan teratur. Gadis cantik itu sudah tertidur.
"Tapi memang agak keterlaluan sih temanmu tadi. Masa iya nggak bisa bedain pembantu sama nyonya rumah. Salma cantik dan anggun, gitu. Hanya gara-gara Salma bilang yang bantu-bantu jaga rumah dan bersih-bersih rumah, eh disimpulin aja pembantu. Untung Salma anaknya sabar, dan jawaban Salma tadi juga tenang banget walaupun mama tahu dia emosi. Mama bersyukur sekali, yang jadi menantu mama adalah Salma, bukan Zulfa. Kayaknya banyak nggak nyambungnya mama kalau ngobrol sama dia."
Andro tak tahu kenapa, tapi ada sedikit kesal mendengar mamanya membanding-bandingkan Salma dengan Zulfa. Manusia kan punya plus minusnya masing-masing, kenapa mama harus segitu sengitnya pada Zulfa. Lho kok, malah jadi ngebelain dia lagi, sih?
"Itulah jodoh, Ndro. Sudah Allah pilihkan yang terbaik," kata mama lagi. Kali ini Andro setuju.
"Sebelum ini, apa kalian pernah bertengkar juga gara-gara keberadaan Zulfa?" tanya mama.
"Emm..., nggak secara langsung sih, Ma, tapi memang Andro sama Sal pernah beberapa kali diem-dieman perkara masa lalu, dalam hal ini berkaitan dengan orang lain di luar kami. Dan..., ya gimana ya, Ma, memang dia nggak punya seseorang dari masa lalu sih. Jadi ya lagi-lagi kesalahan tuh memang di Andro, Ma. Salma sih bagi Andro udah terbaik lah. Kalau Andro bilang, punya istri seperti Salma itu susah buat nggak jatuh cinta, terus cinta banget, Ma. Cuma ya itu, yang namanya masa lalu, apalagi pernah dalem, memang kadang suka refleks muncul sendiri, Ma."
Andro memberikan beberapa contoh yang pernah mereka --dia dan Salma-- alami. Remeh temeh saja, tapi kadang mengganggu, baik buat Salma, lebih sering lagi buat diri Andro sendiri.
"Kayak kalau Salma gemes sama Andro, terus nyubit lengan Andro. Suka tiba-tiba keingetan sama si itu, Ma. Dia kalau lagi becanda saking serunya suka gemes gitu, pasti kalau nggak nyubit lengan Andro, ya mukul Andro pakai buku, gitu, Ma. Ya momen-momen kecil, tapi jadi mengganggu, Ma. Andro merasa mengkhianati Salma jadinya. Tapi ya gimana, itu tuh refleks aja, kayak kenangannya melintas gitu aja, Ma." Saking dekatnya, hal seremeh itupun Andro ceritakan pada mamanya.
Nasihat mama mengalir, bahwa rasa bersalah pada Salma yang muncul setiap kali hal-hal tentang Zulfa melintas, itu sudah nilai plus buat Andro. Mama lalu mendoakan, agar Andro selalu dijauhkan dari segala godaan, dan Allah jadikan Andro sebagai laki-laki yang bertanggung jawab pada keluarga. Seperti papa, minus tragedi yang pernah menodai kebahagiaan keluarga Antariksa. Cukup yang baik-baiknya saja.
Andro mengaminkan, diikuti papa yang sedari tadi hanya menjadi pendengar nan budiman. Papa lalu menyuruh mama istirahat di bed yang sama dengan Salma.
"Besok jadi ikut pulang ke Surabaya ya, Ndro?" Mama memastikan lagi.
"Iya, Ma. Biar Sal bisa istirahat satu-dua hari dari urusan rumah. Dia juga pasti kangen sama Bu Miska dan panti."
Mama mengecup kening Andro. Kemudian berpindah ke papa, memberikan satu kecupan di kening, dua di pipi kanan kiri, mata, hidung, berakhir dengan kecupan di bibir, yang hanya sekilas tapi hangatnya terasa sampai hati Andro.
"Mesra sekali, sih? Udah pada tua juga. Lebay." Andro sok kesal.
"Iri? Bilang, Bosss," goda mamanya. Sekali lagi mengacak rambut Andro, lalu pergi dan mengambil posisi di samping Salma. Keduanya tidur dengan saling memunggungi.
Papa melanjutkan berbincang dengan si pasien yang staminanya sudah terlihat kembali normal. Minimal kuat melek sampai malam.
Obrolan bertema laki-laki menjadi topik bapak dan anak tersebut. Dari urusan kuliah, tugas, nafkah, qawwam, sampai rencana masa depan. Andro betah sekali kalau sudah bicara dengan papa. Apalagi nyaris empat tahun mereka seperti orang yang tak saling mengenal. Tepatnya Andro yang tak ingin kenal dengan papanya.
Jam sebelas lebih Salma terbangun, lalu bergegas bangkit dan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelahnya mendekati Andro dan mempersilakan papa untuk tidur saja, sebab besok perjalanan ke Surabaya Andro mungkin tak bisa menggantikan papa menyetir.
"Masih marah, Sal?" Andro membuka pembicaraan begitu dengkuran papanya terdengar.
"Hemm."
"Aku harus apa biar kamu nggak marah lagi sama aku?"
"Mas cuma harus diam saja. Tidur lebih baik," ujar Salma datar.
"Iya. Tapi tolong ambilkan HP-ku ya, Sal. Belum cek dari tadi sore. Cek sebentar, habis itu aku tidur. Janji deh." Andro terpaksa mengiyakan. Mau minta dipeluk juga takut keadaannya malah makin ambyar.
Handphone Andro ada di laci kabinet tak jauh dari hospital bed. Salma segera mengambil dan menyerahkan pada suaminya. Hendak segera menjauh, tapi Andro menahannya untuk tetap di dekatnya.
"Cuma sebentar kok, Sal, cek pesan aja siapa tahu ada yang penting."
"Ya kan urusannya Mas sama HP nggak ada hubungannya sama saya."
"Tapi aku maunya kamu temenin sampai aku tidur. Diem-dieman juga nggak apa-apa. Ini cuma ngecek sebentar aja kok, habis itu aku tidur. Janji. Tapi kamu di sini, ya Sal, ya. Please." Andro merengek macam anak kecil. Salma membuang napas, duduk di samping bed dengan malas.
Andro serius menatap layar, menggulir pesan-pesan masuk yang cukup banyak. Hanya dari dosen saja yang dia buka dan balas, walaupun sudah kemalaman. Grup-grup kampus ia buka berikutnya. Yang terakhir pesan-pesan dari teman dekatnya. Pesan dari Asya dia buka paling awal.
[Ndro, maaf ya aku belum bisa nengokin. Tp aku selalu doain yg terbaik buat orang sebaik kamu. Semangat, Pal!]
Itu pesan sore tadi. Andro tersenyum sendiri. Cuma Asya yang kadang memanggilnya dengan sebutan Pal.
[Ndro, ada kejadian apa sih? Luli nangis2 telp aku. Katanya kamu udah nikah dan dia baru tau. So...]
Waktu diterimanya pesan menunjukkan 07.21 pm. Andro melirik Salma, yang dilirik sedang komat kamit. Salma memilih muroja'ah, daripada diam malah mengingatkannya pada amarah.
Pesan dari Wahyudi dibuka berikutnya. Isinya pesan suara. Biasanya sahabat satu itu hanya mengirimkan voicenote untuk hal-hal penting saja.
"Ndro, kamu habis ketemu sama Zulfa apa gimana? Barusan Zulfa telpon aku, nangis-nangis dan marah-marah. Aku dikatain sahabat nggak setia kawan, bla bla bla gara-gara diem aja padahal tahu kamu udah nikah. Lha hak dia ap---"
Dipencetnya tombol pause, dadanya berdebar tak keruan. Andro melirik Salma dengan ragu-ragu, lantas menemukan sang istri sedang menatapnya dengan sorot mata yang menunjukkan rasa kecewa.
"Kenapa di-pause? Takut saya dengar semuanya? Telat, Mas. Saya sudah dengar. Kalau besok di Surabaya Mas mau sekalian kembalikan saya ke Bu Miska, saya nggak apa-apa. Sekarang saya izin tidur dulu. Terima kasih untuk semuanya." Salma bangkit, berjalan cepat menuju sofa.
"Salma!"
Andro melompat dari tempat tidurnya. Lupa kalau masih ada selang infus menancap di tangannya. Salma bergerak cepat, menghubungi perawat untuk membantu suaminya. Akhirnya infus sekalian dilepas dengan pertimbangan kondisi Andro yang sudah mendekati sehat dan normal seperti biasa.
Perawat pergi, Salma kembali pula ke sofa, merebahkan tubuh di sana. Tak peduli pada Andro yang mendekat dan berusaha membujuknya. Sekalipun dia mendengar suara Andro bergetar seperti akan menangis, Salma tetap tak mau tahu.
"Ya sudah, kalau kamu tetap begitu, aku juga akan bertahan duduk di sini, Sal." Masih tak ada respon.
Salma membiarkan Andro melakukan apapun semaunya. Sampai malam hampir habis, keduanya masih tetap dalam posisi semula. Andro duduk di lantai, menyandarkan punggung di sofa tempat Salma membaringkan tubuh memunggunginya.
***
Please please, mohon dimaafkan atas ketelatanku. Dan dimaafkan juga kalau part ini ngawur dan absurd banget. Pokoknya yg banyak maafmu buat aku, ya.
*Eaaak, kata-katanya Bapak Anas ini sih. Wkwk....
Nggak akan panjang-panjang curhatan juga kok. Cuma....
Bolehlah follow instagramku. Haha...
Eh, sama sekalian akun KBM App-ku yaaa.
Namanya sama semua: fitrieamaliya
Baiklah.
Terima kasih banyak udah baca. Terima kasih banyak banyak banyak juga untuk kesabarannya, untuk perhatiannya, untuk semuanyaaa. pengertiannya, untuk semuanya.
I love you all.
See you.
Semarang, 11062021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro