
13. Perpisahan
Lumpuhkanlah ingatanku
Hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentangnya
(Geisha - Lumpuhkan Ingatanku)
***
Mata Salma terlihat bengkak, semalaman ia menangis. Salma bahkan meninggalkan Andro tidur sendirian. Bu Miska menginap di rumah keluarga Antariksa, dan Salma memilih menghabiskan malam bersama perempuan yang telah merawatnya dengan tulus sejak ia masih bayi merah sampai hari sebelum dia menikah.
Di teras rumah, untuk kesekian kalinya Salma memeluk Bu Miska. Kali ini sangat erat, juga lama. Pipinya sudah bersimbah air mata, begitu pun jilbabnya, yang sejak tadi Salma gunakan untuk mengusap wajah cantiknya.
"Sudah, Sal. Jangan bikin aku merasa bersalah memisahkan kamu dengan Bu Miska." Andro mengelus lembut punggung Salma. Ia mulai tak kuat melihat kesedihan istrinya.
Bu Miska melepas pelukannya, menyerahkan Salma pada pelukan Andro. Salma melanjutkan tangisnya di sana. Bahunya berguncang hebat, ia lantas mendorong Andro, dan kembali memeluk Bu Miska.
"Bu, terima kasih banyak. Terima kasih banyak ya, Bu. Salma nggak bisa balas apa-apa sama Ibu. Malah Salma pergi ninggalin Ibu. Salma sayang Ibu. Salma selamanya jadi anak Ibu. Maafkan Salma ya, Bu. Maafkan Salma."
"Kalau Salma begini terus, ibu nggak mau maafkan Salma. Salma sekarang seorang istri, harus taat sama suami. Ibu nggak akan pernah sendiri, Nak. Adik-adikmu di panti selalu ada. Mbak Yanti juga ada. Bu Tami juga dekat di sini. Salma nggak usah mengkhawatirkan ibu. Yang penting selalu ingat ibu di setiap doa yang Salma panjatkan. Ibu sayang sama Salma, sampai kapanpun. Pergilah, Nak. Baik-baik di sana. Ibu sayang Salma."
Bu Miska ganti mendorong Salma. Andro menyambut dengan menggenggam kuat tangan istrinya. Menggandengnya menuju X5 putih yang sudah terparkir tak jauh dari teras tempat perpisahan berlangsung.
Andro membukakan pintu untuk Salma. Bukannya masuk, Salma malah lari kembali ke teras, dan berlutut memeluk kaki Bu Miska. Menangis lagi di sana.
"Sal, nggak gitu lah. Kalau kamu begitu terus, Bu Miska malah marah. Bu Miska nggak suka melihat kamu lemah. Bangunlah. Berdiri. Tunjukkan pada Bu Miska kalau beliau sudah berhasil mendidikmu. Buat beliau bangga atas segala kerja kerasnya mengajarkan kebaikan kepadamu," bisik Andro sambil membimbing Salma untuk berdiri. Memberinya kesempatan untuk memeluk Bu Miska sekali lagi.
Papanya mengambil alih kunci mobil dari tangan Andro. Menyuruh anaknya menemani Salma duduk di belakang. Karena menurut papa, pelukan dari Andro yang saat ini lebih Salma butuhkan. Bukan pelukan mama, atau yang lainnya.
Dengan sabar Andro menghibur Salma, membiarkan polo shirt-nya basah oleh air mata yang seakan tak ada habisnya. Salma menyandarkan kepala di dada Andro, yang sejak mobil melaju tak berhenti mengecupi puncak kepala gadis itu, membelai wajah yang basah dengan tangannya yang kokoh, juga membisikkan kalimat-kalimat yang menghibur dan menguatkan.
Hampir satu jam, hingga Salma mulai merasa nyaman. Salma tahu, keadaannya kini sudah berbeda. Panti bukan lagi tempatnya pulang, Andro-lah yang menjadi rumahnya sekarang.
"Maafin Salma, Mas," erangnya lirih.
Pada hidung mbangir Salma, Andro mengetukkan telunjuknya pelan. Sekali lagi mengeringkan mata bening Salma yang tampak bengkak.
"Ssstt, nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku sayang kamu, Sal. Tidur ya, aku nggak akan ke mana-mana."
"Papa?"
"Papa kalau cuma nyetir Surabaya Semarang masih kuat kok." Mama menyahut pertanyaan Salma dengan canda, lalu menyuruh menantu kesayangannya untuk tidur, atau minimal istirahat di pelukan anak bungsu mama.
Papa berada di balik kemudi sampai hampir memasuki ruas tol Solo. Sepanjang itu pula Salma tidur, sedangkan Andro menahan pegal sebab menjadi tempat Salma bersandar. Andro rela, asalkan Salma tak lagi bersedih hati meninggalkan Surabaya dan Bu Miska.
Mobil bikinan Jerman itu berhenti di salah satu rest area. Papa dan mama turun untuk melaksanakan salat dhuha, sekalian rehat barang sesaat. Andro membangunkan Salma. Gadis itu membuka mata dengan rasa bersalah yang luar biasa.
"Ya Allah, Mas, Sal tidur lama banget ya? Mas peluk Sal terus dari sejak tadi? Maafin Sal, ya, Mas. Mas pasti pegel, nanti Sal pijitin deh kalau udah sampai Semarang. Duh, papa gimana? Tadi nyetir terus ya, Mas? Ya Allah, Sal nih baru jadi mantu berapa hari udah sekurang ajar ini." Matanya lagi-lagi basah.
"Ssstt, nggak usah mikir berlebihan gitu, Sal. Nggak ada satupun yang keberatan kamu tidur, bahkan sekalipun kamu tidur dari Surabaya sampai Semarang juga nggak masalah. Semua sayang kamu, Sal, terutama aku. Aku seneng banget kamu tidur selama itu di pelukanku." Andro menenangkan dan menghibur istrinya.
"Mas nggak pegel?"
"Kalau pegel ya tetep lah, Sal. Kamu kan bukan bayi, udah berat. Mana tidurmu nyenyak banget. Aku mau gerak dikit aja takut kamu kebangun." Mulut Salma mengerucut. Dicubitnya paha Andro kuat-kuat. Andro sampai meringis kesakitan.
"Nggak boleh gitu lagi, Mas. Itu namanya Sal jahat banget, sampai bikin Mas segitunya ngadepin Sal."
"Lha iya kok. Kamu tidur udah kayak putri tidur. Memangnya semalam begadang ya sama Bu Miska? Bahas apa? Bukan buka aib-aibku di depan beliau, kan, Sal?"
"Kalau iya, kenapa?"
"Duh, aku nggak sanggup kalau Bu Miska berubah pikiran terus kamu nggak boleh ada di dekatku. Aku udah mulai terbiasa dengan keberadaanmu, Sal."
"Nggak usah ngegombal gitu kenapa, deh?"
"Ngegombal gimana? Memang kenyataannya begitu, Sal. Aku senang ada kamu di dekatku. Aku menikmati banget sebentar-sebentar deg-degan, kayak ada yang serr serr gitu."
"Apaan sih, Mas?" Salma tersipu.
"Ya udah yuk, Mas, kita turun. Sal juga mau salat dhuha."
"Eh, Sal." Andro menahan tubuh Salma. "Boleh cium nggak? Sedikit aja."
"Ehk. Emm..., b-bener ya, sedikit aja."
Salma lalu memejamkan mata. Detik berikutnya ada kehangatan menyentuh bibirnya. Sedetik, dua detik, lima detik, sepuluh detik. Kehangatan menghilang, berganti suasana yang memanas. Salma membiarkan saja jantungnya yang seakan hampir lepas. Andro tak berusaha menyembunyikan dadanya yang berdetak keras.
Ceklek. Pintu mobil mendadak terbuka.
Brakk. Langsung tertutup di detik berikutnya.
Andro menghapus bibirnya sekenanya saja. Salma menutup wajah dengan kedua tangannya. Kagetnya tak seberapa, malunya luar biasa.
Mereka turun dari mobil. Andro menggenggam tangan Salma, meminta izin pada papa mamanya untuk salat dhuha. Salma tak berani mengangkat wajahnya
Sisa perjalanan diambil alih oleh Andro. Ia dan Salma sama-sama lebih banyak diam. Masih malu dan tak enak hati akibat kejadian tadi. Berciuman agak lama dan tertangkap basah oleh mama papa? Sungguh, rasanya ingin menghilang saja ke luar angkasa, ke kutub utara, ke gurun Sahara, atau ke Segitiga Bermuda. Mana saja yang disebut oleh Gita Gutawa.
"Santai aja, nggak pa-pa, wong cuma begitu. Namanya juga pengantin baru. Asal jangan hal-hal yang bikin malu kalau sampai ketahuan orang. Kalau kalian tadi sih masih wajar. Mama sama papa nggak mikir yang negatif kok, udah jelas-jelas kalian pasangan halal." Mama buka suara, berusaha mencairkan suasana, dan membuat anak serta menantunya tak berlarut-larut menahan malu atau semacamnya.
Bagi mama dan papa, yang mereka lakukan tadi bukan sesuatu yang harus dipikirkan terlalu dalam. Toh mereka suami istri, melakukannya pun di tempat yang terhitung privasi. Meski demikian, mama dan papa juga memaklumi, kedua pengantin muda itu sama sekali tak pernah berdekatan dengan lawan jenis sebelumnya, maka ke-gep sedang bermesraan tentu menjadi sesuatu yang bagi keduanya sangat memalukan.
"Udah sih, Tam, nggak usah dibahas." Papa mengambil sikap yang tepat. Itu yang diharapkan oleh Andro dan Salma.
"Oh ya, kalian nanti nggak usah cari kontrakan." Topik lain dipilih mama. Bukan sebagai pengalihan, tapi memang ini salah satu yang akan disampaikan.
"Terus, tinggal di kost Andro yang sekarang, gitu, Ma? Andro sih nggak masalah, Ma, toh tempatnya juga cukup luas. Tapi Salma pasti nggak nyaman, karena tempatnya kurang privasi. Kasihan kan kalau dia cuma ndekem terus di kamar, ruang geraknya terbatas." Apalagi kost Andro adalah kost campur, penghuni laki-laki dan perempuan tinggal di satu bangunan yang sama.
Kamarnya memang nyaman dan luas, fasilitasnya pun tak main-main. Tak hanya kamar mandi, tapi dilengkapi pula dengan mini guest room dan pantry. Sudah macam apartemen, hanya saja bangunannya tak sebesar dan setinggi hunian modern itu, sehingga lebih memudahkan akses keluar masuk para penghuninya. Area parkirnya pun luas. Pemilik kost juga membangun beberapa ruangan di bagian depan yang disewakan untuk usaha sebagai pendukung kenyamanan penghuni kost. Laundry, toko retail, ayam goreng, kafe, masakan padang, dan gerai bakery berderet rapi. Itu juga yang menyebabkan tarif kost jadi makin mahal. Mamanya harus merogoh kocek lebih dari 40 juta setahun hanya untuk tidur si anak bungsu.
Tapi untuk tempat tinggal sebagai keluarga, tentu saja mama papanya tak setuju. Andro sendiri juga tak berniat mengajak Salma tinggal di sana berlama-lama. Ia sudah berencana untuk mencari kontrakan setibanya di Semarang.
"Mama udah cari kontrakan buat kalian. Udah sekalian mama isi. Siap ditempati pokoknya."
"Lah, kok gitu, Ma? Masa nggak diskusi dulu sama Andro dan Salma? Kan kami yang mau nempatin, Ma." Andro sedikit tak terima. Mamanya terlalu mengatur, bahkan sampai urusan rumah segala. Ia jadi merasa kecil. Bagaimana dengan harga dirinya sebagai laki-laki di hadapan Salma?
Memang mamanya pernah bertanya mengenai rencana Andro tinggal di Semarang. Apakah masih akan lama lagi? Kerja di Semarang setelah lulus kuliah misalnya. Andro dengan tegas menjawab, hanya sampai selesai kuliah saja, kemudian pulang, dan menetap di Surabaya. Mama menyarankan untuk kontrak rumah saja, Andro setuju. Tapi ya bukan lantas semua urusan diambil alih mamanya, kan?
"Andro kan udah dewasa, Ma. Apalagi sekarang ada Salma. Kenapa nggak diskusi dulu sama kami berdua? Gimana kalau nanti Andro atau Salma nggak cocok dengan lingkungannya? Atau---"
"Kamu kayak nggak kenal mamamu aja sih, Ndro." Papanya memotong kekesalan Andro.
"Sejak kapan mamamu nggak mengusahakan yang terbaik buat kamu? Percaya saja kenapa? Mamamu sudah suruh orang, sudah minta tolong ke relasinya yang di Semarang juga buat bantu cek rumah itu. Mamamu itu sayang banget sama kamu, sama Salma. Tenang saja, nggak akan dikasih rumah yang nggak nyaman buat kalian berdua." Papa membela belahan jiwanya.
"Bukan masalah nyaman dan nggak nyamannya, Pa. Tapi pendapat dan pertimbangan Andro kayak jadi nggak penting, gitu nggak sih?" Andro menurunkan nada suara, sedikit tenang karena lengannya dielus lembut oleh Salma dari seat belakang.
"Terima kasih, Ma, Pa. Insya Allah Salma senang di mana saja. Mas Andro juga insya Allah bisa menerima. Alhamdulillah kalau Mama sama Papa sudah mengurus semuanya. Kami minta maaf ya, Ma, Pa. Semoga nggak merepotkan. Kami terima kasih banyak."
Betapa senangnya mama menerima respon Salma. Andro tak bicara apa-apa lagi. Kalau Salma sudah bicara, dia memilih mengikuti saja. Kesabaran dan kepasrahan Salma selama ini sudah cukup menjadi alasan Andro untuk tak banyak menambah beban bagi hidup Salma. Sebaliknya, yang dia inginkan hanya kebahagiaan istrinya.
Setelahnya, lagi-lagi sepi mendominasi sisa perjalanan. Andro hendak bertanya lebih lanjut soal rumah kontrakan, tapi ia berusaha menahan, dan memilih untuk diam.
Pintu tol Tembalang telah terlewati. Ia berencana ke kost lebih dulu, tapi tidak demikian dengan mama papanya.
"Langsung ke rumah kalian aja, Ndro. Di kostmu paling belum siap buat kita pakai istirahat. Kalau di rumah insya Allah sudah."
"Iya, Ma." Salma yang menjawab, lalu kembali mencolek pundak suaminya sebagai kode untuk mengikuti mamanya saja.
"The Madina Residence ya, Ndro."
"Ehk, m-mau ngapain ke Madina, Ma?"
"Ya kan rumah kalian nanti di sana."
"Hah? Di M-Madina, Ma?" Terkejut sangat.
Mampus! Andro merutuk dalam hati. Tapi segera sadar dan berusaha bersikap tenang.
"Kenapa, Ndro? Kok kaget."
"Emm..., itu, Ma, emm..., di situ kan mahal. Kami jadi ngerepotin Mama Papa."
"Nggak lah, ngerepotin di mananya? Mama papa tuh anaknya cuma dua. Kemarin-kemarin ngurus kalian juga nggak mesti bisa setahun sekali. Namanya orang tua ya kadang salah, tapi kesalahan kami kemarin di mata kalian sangat fatal, sampai kalian males berurusan sama kami. Kami nggak ingin yang lalu-lalu itu terjadi lagi, Ndro. Kalian sudah kembali, itu priceless buat kami." Papa berkata apa adanya.
"Kalau cuma ngontrakin rumah insya Allah nggak memberatkan kami, Ndro. Nggak sebanding dengan kedekatan kamu lagi dengan kami. Malah sama papamu tadinya mau dibeli itu rumah. Tapi nggak jadi, karena kamu bilang cuma mau di sini sampai selesai kuliah aja. Lagian, kalau dibandingkan kostmu, ya masih mahal kostmu. Ini keluar duit yang selisihnya cuma sedikit tapi dapatnya satu rumah. Kamar tiga, ada halaman depan belakang, ada garasi dan carport muat. Mama juga udah ngerasa cocok. Pas lah. Kalau nanti kami sering-sering main ke sini juga mama nyaman." Mamanya menimpali, menjelaskan panjang lebar tanpa diminta.
"Kostmu udah mama stop juga, kalau udah dapat penggantinya, insya Allah duitnya dibalikin. Nanti ambil aja buat kamu. Kalau mama minta kamu urus sendiri pasti lama, Ndro."
"Iya, Ma."
Andro tak ingin memperpanjang urusan lagi. Dia pasrah saja. Yang pertama sebab ingin menghargai usaha mama untuk dirinya dan Salma. Yang kedua, Andro tak mau mama papanya tahu bahwa Zulfa tinggal di perumahan yang sama. Yang ketiga, ia tak mau larut dalam perdebatan yang bisa menjatuhkan wibawanya di depan Salma. Dan yang paling utama, ia tak ingin Salma tahu tentang Zulfa. Paling tidak untuk saat ini.
"Madina udah dekat, Ma. Blok apa?"
"Yang belakang, Ndro. The Madina Residence 2, blok C nomor tujuh."
"Iya, Ma." Andro agak lega. Minimal jarak rumahnya dengan rumah Zulfa cukup berjauhan.
Gerbang utama The Madina Residence sudah terlihat di depan mata. Andro menunjukkan pada mama, papa, dan Salma, di sanalah perumahan yang baru saja disebutkan mamanya.
Andro berhenti di pos sekuriti, membuka kaca mobil, dan ber-say hi serta melapor pada petugas. Dari arah jalan raya sebuah HRV putih berbelok dan berhenti tepat di belakang BMW X5-nya.
Keberadaan rear view mirror membuat Andro tahu itu mobil siapa. Ia pula bisa melihat jelas dua orang yang berada di dalamnya. Sehalus mungkin ia menghela napas. Baru juga mau memulai hidup baru di Semarang, ia sudah harus melihat masa lalu berada tepat di belakang.
***
Kesian banget ya si Andro. Sampai minta dilumpuhkan ingatannya lho. Wkwk...
Pesan Andro buat pembaca, "Tolong jangan bully saya ya, Kak. Saya yang paling berat ini bebannya." Haha...
Baiklah. Part kali ini nggak panjang, cuma 2K+ saja. Semoga tetap suka dan terhibur yaaa.
Terima kasih masih mau membaca cerita ini sampai sejauh ini. Kalau mulai ngebosenin atau nggak asyik, boleh DM aku ya. InsyaAllah akan aku perbaiki lagi.
See you.
Semarang, 26042021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro