1. Pertemuan
Berjumpa denganmu belum kusuka
Sedikit pun rasa cinta tak ada
Melamunkan saja aku tak sudi
Di mataku kau, yah, biasa saja
(Melly Goeslaw - Dunia Milik Berdua)
***
Libur semester genap baru berlangsung separuh jalan. Andro masih anteng berdiam di rumah. Sepekan tiga kali ia memperbaiki bacaan Al Quran dan menyetorkan hafalan di salah satu rumah tahfidz yang direkomendasikan oleh Dimas. Tapi khusus akhir pekan kali ini ia izin, sebab keluarganya sedang ada kesibukan khusus.
Rea, kakak semata wayangnya, akan dilamar oleh Dimas. Salah satu pekerja di perusahaan papanya, yang masih memiliki hubungan sebagai saudara agak jauh. Ayah Dimas adalah saudara sepupu dari mama Andro dan Rea.
"Udah siap, Mbak?" tanya Andro sore itu. Rea sedang membaca buku di teras samping.
"Insya Allah."
"Kok mau-maunya dijodohin sih, Mbak? Udah era four point o lho ini."
"Ya why not sih, Ndro. Mbak udah cukup umur lah buat nikah. Udah lulus kuliah. Mas Dimas juga udah kerja. Orangnya baik, pintar, dan terutama sholeh, insya Allah. Lagian, mama papa ngejodohin juga kan nggak sembarangan. Pasti udah menilai bener-bener. Orang mau ngelepas tanggung jawab atas anaknya, mestinya kan nyari yang bisa memperlakukan anaknya dengan kebaikan yang sama.
"Mbak juga kan udah belajar, udah ngaji. Memilih istri dalam Islam itu bisa dilihat dari empat. Ini bisa juga dijadikan patokan dalam memilih pasangan. Empat itu adalah hartanya, nasabnya, rupanya, dan agamanya.
"Dari segi harta, Mas Dimas udah punya penghasilan tetap, insya Allah cukup buat menafkahi keluarga. Dari nasab, nasab kita malah ketemu sama Mas Dimas di eyang buyut. Dari segi rupa, Mas Dimas ganteng juga kok, walaupun kalau sama kamu ya masih ganteng kamu, Ndro.
"Dan dari keempat tadi, yang paling utama adalah agamanya. Mas Dimas nggak cuma pintar di bidangnya, tapi dia juga punya keilmuan yang baik dalam agama. Mas Dimas lulusan pesantren. Dia juga pas kuliah nggak ngekost, tapi pulang ke pondok. Jadi di luar jam kuliah atau tugas-tugas yang katanya banyak itu, dia juga tetap belajar agama.
"Itu juga yang jadi pertimbangan utama mama sama papa. Karena aku sendiri kan lagi belajar tentang Islam, Ndro. Udah lalai dari kapan, Astaghfirullah. Alhamdulillah ada hikmah dari musibah. Aku mulai dapat hidayah gara-gara papa sempat nggak waras dulu itu," jelas Rea panjang lebar.
"Hush, Mbak nih ngawur. Papa sendiri dibilang nggak waras. Dosa tauk!" Keduanya tertawa.
"Mbak kok santai banget, nggak persiapan apa-apa, gitu."
"Lah emang mau persiapan apa sih, Ndro? Menikur pedikur luluran gitu-gitu maksudmu? Itu sih nanti kalau pas mau nikahan, Ndro. Biar pas malam pertama bisa kasih yang terbaik buat Mas Dimas."
"Ish, jijik." Andro mengedik. Belum sanggup membayangkan malam pertama.
"Jijik piye, to? Itu tuh yang ditunggu-tunggu, Ndro."
*piye: gimana
"Udah, ah. Bahas yang lain aja."
"Bahas apa? Ustadzah Salma?"
Andro mendadak kesal. Dia bangkit, dilemparnya satu cushion ke muka kakaknya.
"Apa sih, Ndro! Perasaan kalau bahas Ustadzah Salma kamu langsung lebay gitu responnya. Naksir? Bilang, Boss." Rea malah seperti dapat topik buat menggoda adiknya.
"Eh, emm, dia tuh ...." Andro kembali duduk di dekat kakaknya.
"Dia tuh apa, Ndro?"
"Aku nggak suka ketemu sama Salma, Mbak. Matanya bikin aku gagal move on. Mirip banget sama matanya si itu." Andro meredup.
Rea mengganti posisi duduknya. Ia menghadap adiknya sekarang.
"Si itu yang udah bahagia sama dosenmu?" Andro mengangguk.
"Kamu sayang banget pasti ya sama dia?" Andro mengangguk lagi, lalu menghela napas panjang. Terlihat berat.
"Tapi dia udah bahagia sama orang lain, Ndro. Kalau mbak bilang, rugi banget kamu masih mikirin dia, masih berat ke dia, sedangkan dianya di sana boro-boro mikirin kamu, dia malah udah happy-happy sama suaminya.
"Eh, Ndro, kamu tahu kan, mbak dulu sering gonta ganti pacar?" Andro kembali mengangguk.
"Iya. Mana Mbak dulu kalau pakai baju seksi-seksi gitu. Seneng banget yang jadi pacar Mbak. Mesti Mbak udah nggak orisinil, kan?"
"Heh, asem tenan arek iki! Yang mau kubahas bukan itu, adinda Angkasa Andromeda. Maksud mbak tuh, kalau mau move on tuh justru harus ada yang baru. Mbak dulu gampang banget move on karena selalu ada yang baru. Putus---"
"Ini beda, Mbak. Mbak kan pacaran nggak pake perasaan yang dalem. Main-main doang. Aku kan nggak. Aku sayangnya tulus, bahkan sekalipun dia nggak ngerti, aku tetep tulus sayang sama dia. Makanya nggak segampang itu ngelupainnya, Mbak. Itu juga yang bikin aku malas di rumah atau malas keluar kalau pas ada Salma. Aku nggak bisa ketemu sama dia. Aku malas kalau harus nyapa-nyapa. Aku nggak kuat kalau harus ngelihat matanya."
"Nah, justru itu. Minimal udah ada yang bikin kamu bisa sayang sama Ustadzah Salma, kan?"
"Eh, maksudnya apa lagi, nih? Jangan ngawur deh, Mbak." Andro menatap tajam pada kakaknya. Rea malah membalas dengan mengedipkan mata.
"Kon tambah tuo kok malah tambah gak jelas se, Mbak (Kamu tambah tua kok malah tambah nggak jelas sih, Mbak)," gerutu Andro.
"Tahu nggak, Ndro, mama tuh sering banget muji-muji Ustadzah Salma lho. Cantik, lemah lembut, sabar, pekerja keras, dewasa, ---"
"Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cinta Alam dan kasih sayang sesama manusia. Patriot yang sopan dan kesatria. Hemat, cermat, dan bersa---"
"Mbak serius bicara tentang Ustadzah Salma, Ndro." Rea ganti menyela candaan adiknya, wajahnya tetap serius seperti sebelumnya.
"Yang paling bikin mama terkesan tuh karena Ustadzah Salma hafal Qur'an 30 juz, Ndro. Dan nggak cuma hafal, dia juga mengamalkan. Mama sering bilang kalau mama pasti seneng punya mantu kayak Ustadzah Salma. Oh, bukan kayak, tapi Ustadzah Salma."
Andro berdiri. Dia kesal mendengar omongan sang kakak yang menurutnya ngelantur.
"Mbuh, ah. Kon gak jelas (Tauk ah, kamu nggak jelas)."
"Nggak gitu, Ndro. Ini mama sendiri yang bilang." Rea mengejar adiknya, mencengkeram erat sikut Andro agar tak ke mana-mana.
"Males ah kalau mbahasnya Salma lagi. Aku mau tidur. Capek."
Dihempasnya tangan Rea sedikit kasar. Andro benar-benar gusar. Buru-buru meninggalkan kakaknya dengan langkah lebar.
"Capek ngapain? Capek berusaha ngelupain dia yang udah bahagia sama suaminya? Ciyan," teriak Rea menyindir.
"Halah, lambemu, Mbak!"
"Andro! Ngomong apa kamu? Nggak ada adab ya sama mbakmu. Gimana juga dia lebih tua dari kamu. Kamu harus hormat."
Mamanya tiba-tiba ada diantara mereka, bahkan sempat mendengar ucapan Andro pada kakaknya. Andro sendiri tahu, apa yang dia lakukan memang bukan hal yang baik.
"Iya, Andro salah, Ma. Maafin Andro, Mbak. Tapi Andro nggak suka kalau Mbak ngeledekin Andro macam tadi. Andro tuh udah susah payah ngelupain, Mbak malah ngejeknya gitu banget. Bukan membesarkan hati adiknya, malah ngejatuhin."
"Udah udah. Rea siap-siap sana," perintah mamanya. Rea segera menuruti tanpa tapi.
Andro sendiri langsung pergi masuk ke kamar. Mamanya menyusul, menghampiri si bungsu yang langsung rebah di atas bed-nya.
"Kamu kenapa sih, Sayang, kok kayak kesel banget gitu?" tanya sang mama lembut. Dielusnya rambut Andro, yang selama di rumah sengaja tak pernah dipangkas.
"Mbak tuh, godain Andro terus."
"Ya terus apa masalahnya? Bukannya dari kalian masih pada bocah juga hobinya Rea memang godain dan gangguin kamu? Terus kenapa sekarang macam jadi masalah besar?"
"Andro nggak suka digodain sama Salma, Ma."
"Salma?" Mamanya mengerenyit.
"Ustadzah Salma maksudnya?"
"Ehk, i-iya. Itu. Emm..., Ustadzah Salma."
"Hemm. Salma ya? Sounds so intimate ya---"
"Apa deh. Kalau mau ikut-ikut ngejekin Andro, mending Mama juga siap-siap aja sana, gih."
Andro bangkit, mendorong-dorong mamanya agar keluar, yang malah disambut sang mama dengan tawa.
"Lha mama, papa, Rea, aja manggilnya selalu ustadzah, kok kamu santai banget manggil Salma. Mama kan jadi berasa udah punya calon mantu, Ndro."
"Mamaaa...."
***
Bakda maghrib Andro diminta papanya untuk mengatur mobil di garasi, agar sebagian mobil dari rombongan keluarga Dimas bisa parkir di area rumah. Setengah berlari ia menuju ke garasi, sambil menggerutu sebab papanya tak menyuruh sejak tadi. Mana dia belum mandi.
Saking terburunya, Andro tak melihat ada orang di depan pintu. Tubrukan tak bisa dihindarkan. Ia tak apa-apa, tapi lawannya nyaris terjengkang. Untung Andro sigap meraih tangannya.
"Salma."
Ya, seseorang yang ditabrak Andro adalah Salma.
"M-maaf," jawab Salma sambil menarik tangannya dari tangan Andro.
Andro tak kalah kagetnya begitu sadar dia memegangi tangan Salma. Untungnya Salma selalu memakai manset sampai ujung pergelangan tangannya.
"Ehk.. Ng-nggak, aku yang minta maaf. Aku buru-buru, jadi nggak lihat kamu di depan pintu. Kamu nggak apa-apa kan, Sal? Ehk, m-maksudku, eh maksud saya, Ustadzah Salma."
Andro salah tingkah. Kenapa jadi sok akrab begitu. Tapi sungguh, dia tak ada maksud seperti itu. Semua terjadi spontan saja. Salma tersipu, meski berusaha menyembunyikan hal itu.
"Nggak, saya nggak apa-apa. Emm, mama ada? Ehk, maksud saya, Bu Tami. Apa Bu Tami sudah siap belajar mengaji?"
Apa deh? Kenapa dua orang ini jadi sama-sama grogi?
"Emm, kamu duduk dulu aja, biar aku panggil mama. Eh, maksudnya Ustadzah duduk dulu aja, biar saya panggilin mama."
Andro kembali masuk ke rumah. Dalam hati misuh-misuh tak tentu arah. Malu sekaligus heran, bisa-bisanya dia jadi nggak jelas begitu di depan Salma. Mana manggilnya Salma Salma, bukannya ustadzah. Duh, parah.
Ia keluar lagi lewat pintu samping demi menghindar dari Salma. Malu.
Usai melaksanakan perintah papanya, Andro buru-buru mandi. Setelahnya segera menuju musala rumahnya untuk salat isya berjamaah. Lagi-lagi ia harus menelan ludah. Salma ada di sana, itu berarti dia harus menjadi imam dengan Salma sebagai salah satu makmumnya.
Andro menyesal masih malas mengikuti ajakan papanya ke masjid. Ia berjanji dalam hati, setelah ini ia akan rajin salat berjamaah ke masjid. Daripada begini, benar-benar menciutkan nyali.
Juz 30-nya sudah selesai, dan sekarang hafalannya sudah menginjak juz 29. Tapi dengan Salma di barisan belakang, lagi-lagi yang sanggup keluar cuma Al Falaq dan Qulhu. Memalukan.
Usai salat isya, mama Andro berpesan pada Salma, "Ustadzah Salma, mohon maaf ya, saya tuh lupa bilang kalau malam ini ngajinya libur dulu. Kami mau nerima tamu, lamarannya Mbak Rea. Tapi Ustadzah jangan pulang dulu ya. Di sini aja, ikut acaranya Mbak Rea. Nanti pulangnya biar diantar sama Andro."
"Ehk. Uhuk uhuk."
Andro keselek seketika. Mama dan Rea menatapnya dengan tercengang. Salma menundukkan wajah dalam-dalam.
***
Hai, karena satu dan banyak hal, akhirnya aku launching lebih cepat nih ceritanya Andro. Hehe...
Banyak kegalauan, termasuk judul dan cover yg seadanya saja. But it's okay, i did it for happiness. Semoga teman-teman jg bahagia yaaa.
Stay safe, teman-teman semua.
Thank you & love you.
Sampai jumpa :)
Semarang, 21032021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro